"Gue pinjam mobilnya mau main," ucap Kalil Nayaka cukup keras sambil menutup gerbang lagi, tepat setelah melihat Rana masuk rumah dengan wajah masam. Tidak terdengar tanggapan, jawaban, maupun respon lain dari emosi khas Rana. Terhela napas Kal seraya masuk mobil dengan pikiran kacau, tidak ada rasa cinta pada Rana, namun tanpa alasan pula Kal merasa ada suatu keharusan untuk membantu sang istri. "Enggak waras si Tom," gumamnya kemudian melajukan mobil yang masih ada banyak lecet dan rusak pada bumper. Perjalanan yang sudah dapat dikatakan lancar, perjalanan malam yang terasa sunyi, hilang sudah hasrat Kal untuk sekadar mendengarkan musik di jalan. Kalutnya pikiran yang tidak sesuai dengan hati, tidak kompaknya urusan hati dan pikiran dalam menghadapi Rana, dan muaknya Kal melihat sekaligus mendengar segala kelakuan Rana, cukup mengantarkan Kal pada posisi yang aman untuk menghentikan segalanya. Enam kilometer sudah Kal lewati, satu bangunan kayu yang menggugah mata untuk singgah t
Hening menerpa salah satu meja di kafe kopi, lima pria muda sesekali saling bertukar pandang dengan wajah masam. Pertanyaan pembuka dari Kal berhasil mengacaukan suasana santai, berhasil membuat suasana jadi kaku, dan berhasil membuat keadaan jadi canggung."Oi gue tanya, lo selingkuh dari kakaknya Rana tapi lo juga suruh gue buat nikah sama Rana. Apa tujuan lo sebenarnya?" ucap Kal mengulangi pertanyaannya, menatap pria yang ia beri pertanyaan berulang."Kenapa jadi aneh gini sih suasana?" pungkas Den, pria bernama lengkap Denandra Jamali yang seringkali hanya menjadi pendengar dalam kelompok, "lo punya prasangka buruk sama Tom?" lanjutnya bertanya pada Kal yang justru hanya mengecapkan mulut."Enggak, makanya gue tanya sama dia sekarang biar enggak ada prasangka atau fitnah," jawab Kal tanpa sedikitpun melihat ke arah Den, ia tahu tiga teman lain merasa keadaan tidak nyaman, tapi bagi Kal pula pikirannya kini harus lurus dan segala pertanyaan harus mendapat jawaban sekarang."Gue je
Malam semakin larut, rasa kantuk mulai merayap ke pikiran yang menjadi berat rasanya bagi mata. Perlahan tapi pasti, banyak kumpulan di kafe kopi pun kembali ke rumah masing-masing, mengakhiri pertemuan dan perkumpulan mereka demi mengisi kembali tenaga dengan tidur, hingga memaksakan diri untuk siap menghadapi esok hari dengan segala pikiran, aktivitas, dan pekerjaan.Muak, oh tentu saja. Hanya saat tanggal gajian orang bisa tidak muak dengan kegiatan monotonnya."Kenapa?" tanya Kal setelah tiba di dekat mobil Den, pria yang menjadi temannya sejak awal kuliah, pria yang sejak balik dari toilet bertingkah aneh dengan segala sorot mata tajam dan seriusnya yang meresahkan."Lo peduli sama Rana sampai tanya kayak gitu ke Tom?" kata Den yang terlihat jelas sangat santai, Kal sadar gerak-geriknya yang aneh dan gelisah, namun Kal tidak peduli dengan segala keanehan yang biasa Den lakukan.Den yang bisa tiba-tiba tertawa karena teringat hal konyol, Den yang bisa tiba-tiba gelisah berdalih pa
Menarikan jemari di atas meja kerja, diam yang mengantarkan pikiran secara acak ke dalam dunia yang tidak tertembus apapun. Bukan imajinasi yang menyenangkan dan bukan juga harapan yang diimpikan, hanya kekosongan pikiran yang terasa memuakkan dan melelahkan dalam menjalani hidup yang penuh permasalahan.“Ah …,” desah seorang wanita di ruang kerja khusus Kepala Humas, ruang kerja yang pernah diperjuangkan demi privasi dan keinginan menyendiri yang amat kuat dari pada keinginan bersosialisasi.Sekali lagi, bekerja sebagai kepala hubungan masyarakat di sebuah perusahaan besar jelas menjadi pekerjaan yang tidak pernah diimpikan, hanya direncanakan secara mendadak karena suatu rasa bernama frustrasi, dan kehampaan diri yang ingin menyerah dalam kekonyolan, “Nifa,” panggilnya pada salah satu anggota humas yang sangat diandalkan, wanita yang cukup cekatan namun tak sepandai dirinya saat berdebat penuh keberanian pada siapapun.Walau kenyataannya, wanita bernama Kirana Zendaya itu tahu bahwa
"Temanmu!" teriak seorang wanita setibanya di rumah. Wajah memerah dalam emosi menggebu dengan mata berair, sangat menggambarkan betapa banyaknya emosi yang siap ia luapkan. Gerbang yang belum ditutup, mobil yang masih terparkir asal, dan alas kaki yang masih digunakan meski sudah berada di dalam rumah. Hasrat besar tidak terbendung begitu terlihat, "kenapa sama temanku? Temanku yang mana?" "Tomi Uraga," ucap wanita bernama Kirana Zendaya itu dengan tegasnya yang mendalam, seolah ada dendam yang menelan suaranya hingga ke dalam diri yang menyesakkan. "Oh si Tom, kenapa?" tanggap pria berstatus suami dari Rana. "Masih tanya?" sahut Rana tersenyum miris sebelum menggigit bibir bawahnya, menahan tangis dengan perasaan kosong yang mengecewakan. "Iya gue tanya dong, gue bukan maknya yang harus tahu semua tentang dia," jawab Kal tetap bersandar di sofa dengan santainya, menggerakkan kaki yang selonjor lurus ke meja kecil depan sofa, menatap Rana yang terlihat mengatur napas, "ses
Taman kota dengan ciri khas yang menenangkan, banyaknya berbagai kendaraan melewati taman dengan segala kesibukan setiap pengemudi. Para pengunjung taman dengan berbagai permasalahan dan beban hidup, datang menyendiri, datang untuk sekadar rehat sejenak, maupun datang untuk janji temu seperti yang dilakukan seorang pria bernama Kalil Nayaka."Kal," panggil seorang pria di salah satu bangku taman, melihat lurus ke pohon rindang tanpa sedikitpun menoleh ke lawan bicara yang berada di sebelahnya."Hm?" deham pria yang akrab disapa Kal itu menanggapi, melihat lurus ke sela di antara dedaunan dan batang pohon untuk melihat banyaknya kendaraan yang lewat, terlihat begitu menarik dan cukup menghibur saat pikiran berhasil menebak jenis kendaraan yang dilihat."Maksud lo apaan bilang gue pacaran sama Fafa?" tanya pria bernama Tomi Uraga, pria berstatus sebagai teman Kal sekaligus kakak ipar Kal."Ada alat kontrasepsi bekas dan masih ada sedikit isinya, dan di kotak bertuliskan KDRFN," jawab Ka
Termenung diam dengan jemari menari tak lincah di atas meja rias, tatapan kosong menatap lurus ke permukaan meja yang rata dengan pantulan cahaya lampu dari sekitar kaca. Desah napas yang dihelakan berulang kali terdengar bebas dari mulutnya, tangan kanan menangkup pipi dengan kepala sedikit miring jelas menggambarkan kegundahan yang ada.Pertemuan tidak mengenakkan yang menghanyutkan diri dalam aliran fakta menyedihkan, membuatnya harus izin dari kantor untuk pulang lebih awal, dan tidak kembali sejak pamit keluar untuk bertemu dua pria konyol di taman kota. Mengernyit cepat kening wanita cantik itu seraya netra bergerak perlahan menatap bayangan di cermin, teringat pada suatu percakapan bersama seseorang, bukankah lebih baik jika mencari bukti valid dan saksi yang jelas untuk dihadapkan ke Jessica?“Tapi, mau mulai darimana?” gumamnya melirih seorang diri dengan rasa pesimis yang kembali melanda hati dan pikiran.Merengut lagi bibirnya dan terhembus lagi napas kasarnya melalui hidun
“A-aku … aku … aku kecewa bang-banget,” tangis seorang wanita meringsak masuk ke dalam dekapan seorang pria, menangis tersenguk dengan napas yang begitu sulit untuk diraihnya.Desisan pelan yang lembut terdengar berulang kali dari bibir pria berbadan cukup atletis, melingkarkan tangan kanan di pinggang dan tangan kiri mengusap lembut puncak kepala wanita yang menangis. Kelembutan bersama kesabaran yang justru membuat wanita itu semakin tersenguk dalam tangis yang hampir serupa meraung, “shh … shh … nangis saja sampai lega, aku di sini kok,” gumam pria itu menjawab.Deham pelan dengan tangis yang meraung sendu terdengar jelas, sunyinya rumah yang berada di perumahan pada pagi hari sungguh menjadi tempat yang menenangkan, hanya andai permasalahan dan kekecewaan tidak mendatangi hati. Satu jam sudah wanita itu bersandar di dada bidang si pria, berada dalam dekapan hangat yang seharusnya menenangkan, “maaf ya, ka-kamu jadi har ... harus lihat muka aku ... la-lagi jelek begini,” ucap wanit
[Hari ini]Diambilnya ponsel dan mencari nama Fauziah Aini Fafa di daftar kontak, pernah saling bertukar nomor saat berjumpa di kantor beberapa hari lalu, demi kepentingan apapun kelak. Ditekannya kolom tulisan yang bertujuan untuk menghubungi, melakukan panggilan suara dengan sengaja, "halo," sapa Rana dengan canggung dan kebingungannya.Begitu pula dengan Fafa di lokasi berbeda, yang terbangun dalam keadaan terkejut karena nada dering dari panggilan. Sapaan ringan itu pula yang cepat ditanggapi, "halo, Rana.""Aku enggak mau basa-basi biar enggak basi juga, aku mau bilang ayo kita jadi teman," kata Rana membuat Fafa sontak terduduk di ranjang dengan mata terbuka lebar."Apa kamu bilang?" tukas Fafa menjawab sambil menggelengkan kepala dan mengusap mata, "aku takut salah dengar, baru bangun tidur hehe," lanjutnya terkekeh ringan tidak beralasan, hanya mencegah adanya kesan canggung."Ayo jadi teman," tanggap Rana singkat dan kali ini semakin jelas terdengar di telinga Fafa, "mau?" ka
[Kemarin] "Kakak mau sampai kapan jadi budak cinta dari cowok sialan itu? Sebenarnya juga, sejak kapan kakak jadi enggak percaya sama aku? Kenapa enggak percaya lagi sama aku? Aku salah apa?" tanya Rana memandang sang kakak dengan kecewa, membiarkan kakaknya hanya tertunduk yang mungkin saja menggerutu, alih-alih berpikir dan menyadari kesalahan, "Kak ... kakak tahu enggak sih yang sudah kakak kasih tahu ke Tomi itu apa? Kakak sadar enggak?" kata Rana mencecar Jess dengan pertanyaan dan pertanyaan. Terdiam dua wanita itu, napas menggebu Rana semakin memperjelas suasana yang canggung dan tidak tentram. Mata memerah dan hidung yang sesekali kembang-kempis, cukup menjelaskan suasana hati Rana kini yang menahan segalanya. Sedih, marah, dan kecewa sudah tidak bisa lagi dibagi atau sekadar dijelaskan semuanya, hanya ada satu kata yang pantas menjelaskan. Sesak. "Itu rencana aku, itu rencanaku untuk mencari tahu keterlibatan Tomi sama Fafa si pengirim paket, itu rencanaku buat cari ta
[Kemarin] Satu hari sudah berlalu sejak wanita asing datang dan berbincang, sehari sudah berlalu dengan beban pikiran yang semakin tidak terkendali, dan sudah sehari pula memiliki suami rasa jomlo. Walau hubungan tidak melibatkan perasaan, namun tak jarang perasaan memang tidak bisa dikendalikan, terutama saat diri ini beberapa kali mengandalkannya dalam berbagai hal. "Ih!" seru wanita bersetelan semi formal cenderung santai, hanya menggunakan blus dan blazer dengan celana panjang kulot. Ingin rasanya berkeluh kesah dan mengoceh atas segala yang terjadi, namum nyatanya hidup memang akan selalu sendiri dan berjuang sendiri Melangkah keluar wanita itu tanpa sedikitpun menoleh ke pria yang termenung membisu di sofa ruang tengah, melewatinya seolah memang tidak ada apapun. Memulai pagi dengan perasaan yang berkecamuk, menghabiskan hari kemarin dengan kegundahan dan kesedihan. Walau pernikahan ini dilakukan dengan kesepakatan demi tujuan masing-masing, namun menikah demi sebuah kart
[2 Hari lalu] Membelah ramainya jalan di siang menuju sore hari, lebarnya jalan di area bisnis perkantoran dan pusat kota, membuat jalanan seolah tidak pernah padat merayap meski seluruh karyawan keluar pada waktu bersamaan. Tertibnya lalu lintas tentu bagian dari kelancaran jalan yang dihasilkan, berpacu lagi dengan kecepatan tinggi nan stabil usai lampu jalan telah hijau. Pikiran yang terbang ke banyak hal dengan penuhnya fokus tak terbatas, membawa wanita di dalam kendaraan roda empat berwarna merah itu kembali ke rumah. Menghentikan cepat mobilnya di pinggir jalan tepat depan rumah, keahlian mengemudi jelas tak perlu dipertanyakan lagi. Bruk! "Loh ... sudah pulang?" tanya seorang pria yang kini memiliki perut sedikit buncit, memegang sapu dan terlihat sedang menyapu rumah. Menoleh pria itu ke dalam rumah dan kembali melihat ke arah istrinya yang sedang membuka gerbang, "baru jam 11," katanya lagi. "Aku enggak boleh pulang ke rumahku sendiri?" ketus Rana sambil melangkah masuk
[2 Hari lalu] "Menguasai salah satu cabang bisnis buat berbagi hasil, melanjutkan bisnisnya dan berorientasi pada penghasilannya?" kata Rana mengulang hal yang baru ia tahu, perkataan yang mendapat anggukan setuju, "kalau tentang Kalil taruhan, aku sudah tahu langsung dari Kalil sekitar dua minggu lalu. Tapi kenapa Tomi dendam sama aku?" "Ya kamu punya masa lalu apa sama Tomi?" jawab Fafa membuat Rana mengernyit bingung, terdiam sesaat dan menggeleng, "yakin?" kata wanita itu bertanya lagi, dan mendapat anggukan walau ekspresi tidak meyakinkan. Terhela napas Fafa melihat kebingungan Rana. Sebagai perempuan, dirinya sadar bahwa Rana tidak merasa bersalah dan tidak menganggap hal yang sudah lalu itu sebagai hal penting. "Aku mau tanya dulu, kamu kenapa bisa enggak peduli sama apapun dan siapapun?" tanya Fafa setelah terdiam sejenak dan bertukar tatap dengan Rana, komunikasi mata pun yang didapat hanya kehampaan belaka. "Ya ... buat apa? Aku urus diri sendiri saja belum tentu benar,
[2 hari lalu]Berdeham panjang Rana mendengar itu, begitu ingin mulut berujar jahat tentang fakta bahwa pada akhirnya Kalil tidak menikahi wanita itu, "oke," tanggap Rana singkat dan memilih untuk menahan dirinya dari kejahatan verbal.Saling terdiam dan memikirkan banyak hal dalam satu waktu. Tujuan, manfaat, keinginan, kehendak, harapan, dan hal lainnya yang baru diketahui. Menciptakan hening yang begitu dalam di antara mereka, seolah tidak tahu lagi hal yang ingin dibicarakan namun juga ada banyak hal yang ingin dikatakan dan ditanyakan. Kebingungan melanda keduanya, harus memulai dari mana? Apakah akan ada rasa tersinggung? Bisakah ini dibicarakan? Dan banyak lagi yang dikhawatirkan wanita bernama Fauziah Aini itu.Begitu pula dengan keragaman yang berada di pikiran seorang Kirana Zendaya. Apa harus bertanya lebih jelas tentang hubungan wanita itu dengan Kalil? Bisakah Kalil dan wanita itu dipercaya? Harus mulai dari mana mempercayainya? Tapi apa perkataannya semua itu benar? Kena
[2 hari lalu]"Jadi inti tujuanmu untuk mengingatkanku tentang bahaya sosial terutama lingkunganku gitu?"Mengangguk Fafa menanggapinya, "kamu bisa menjauhi bahaya itu dengan sikap bodoamat, dengan perilaku individualis, tapi itu tetap enggak bisa menyelamatkanmu. Orang jahat bisa saja dari sekitarmu sendiri, kayak yang dialami kakakmu," jelas Fafa membuat Rana terbungkam bersama pemahaman dan kesadarannya."Aku payah," lirih Rana seorang diri menyadari kegagalannya melindungi orang yang disayang dan menjaga diri sendiri, "terus apa urusannya sama kamu?""Kalau orang jahat saja bisa dari lingkungan sekitar, dari orang terdekat. Berarti orang baik juga bisa dari lingkungan terjauh, bahkan enggak dikenal dong," tutur Fafa membuat Rana sontak menyipitkan matanya bingung, "enggak ada yang bilang kalau aku baik, aku juga enggak baik ke kamu. Buktinya kamu ketakutan, dan kakakmu mau melibatkan pihak berwajib, ya karena caraku juga salah sih.""Sadar?" kata Rana menjawab dengan ketus."Aku c
Waktu berputar tak kenal lelah, waktu berjalan tak tahu bosan, dan waktu berlalu tanpa terasa. Sepuluh hari sudah sejak paket terakhir dikirim, dan dua hari sudah setelah bertemu tatap muka dan berbicara langsung dengan si penerima paket.Aktivitas harian selama satu bulan yang biasa terisi dengan pikiran untuk paket, kini menjadi aktivitas harian yang terasa lebih tenang dan santai. Bisa melakukan apapun dengan bebas dan sesuai keinginan, tidak perlu berharap dan hanya perlu mengambil segala hal serupa kesempatan yang menguntungkan terlihat.Berbaring cepat seorang wanita dengan rambut hitam sebatas bahu, napas terengah, mata terpejam, dan keringat yang membasahi wajah maupun tubuhnya. Diembuskan napas terengah itu berulang kali dari mulut, seolah meniup udara yang tak kunjung mengantarkan oksigen yang cukup."Ah ... kamu enak," puji seorang pria sambil mengubah posisi berbaringnya jadi menghadap ke wanita di sebelahnya, menatap penuh kepuasan pada wanita yang hanya tersenyum kecil t
"Masuk!" Terbuka perlahan pintu ruang kerja itu oleh seorang wanita setelan formal, senyum simpulnya tidak mendapat balasan apapun dari sang penguasa ruangan itu. Melihat respon yang cenderung biasa diterima, berjalan keluar lagi wanita itu seraya mempersilakan tamu yang dibicarakan sebelumnya. Bunyi langkah dari sepatu tinggi terdengar jelas beradu dengan lantai, bunyi langkah yang sontak menghilang saat gerakan kaki itu terhenti tepat di balik pintu ruang kerja yang kini sudah tertutup. Saling beradu tatap dua wanita itu, napas menderu menjadi bahasa tubuh pertama yang disadari si Kepala Humas. Ada sedikit kegugupan yang wanita itu lihat dari tamu tak diundangnya, kegugupan yang sangat terlihat dari napas tidak stabil. "Sini," kata wanita bernama Kirana Zendaya itu menunjuk kursi di depan meja kerjanya, dua kursi yang berada persis di hadapannya dan hanya terjarak meja kerja. Terdiam wanita bersetelan santai cenderung tak sopan itu, setelan santai berupa celana pendek di atas lut