"Serius deh, kaki kamu kenapa bisa begitu sih, Ran?"Sekali lagi, napas pendek terhela tidak bebas dari mulut seorang wanita yang kini berkulit pucat pasi. Pertanyaan yang setidaknya sudah tiga kali ditanyakan hanya dalam waktu lima menit, "memangnya jawaban aku kurang jelas sampai ditanya lagi dan lagi?" sahut wanita bernama Kirana Zendaya itu menanggapi rekan kerjanya."Jelas sih jelas, tapi masa sih karena hal itu?" tanya Nifa, rekan kerja sekaligus asisten bagi Rana untuk beberapa pekerjaan."Kamu kira aku bohong?" ucap Rana santai menanggapi pertanyaan Nifa, walau dirinya tahu bahwa Nifa tidak mengira itu suatu kebohongan, namun jelas terasa itu pertanyaan atas rasa tidak percaya."Eh? B-bukan begitu, mana mung ....""Memang sesulit itu buat dipercaya, tahu kok aku," tukas si Kepala Humas itu tersenyum kecil, "entar sore antar aku pulang, ya?" lanjutnya mengalihkan perhatian Nifa."Ih pasti susahlah. Sekarang gini saja, laki-laki pengangguran, pinjam mobil istri, pas balik malah
Lenguhan terdengar sedikit menggema dari ruang utama di rumah sederhana, seorang pria dengan pakaian berantakan itu bergerak asal untuk merenggangkan badannya. Keluhan pusing dan mual pun menyusul keluar dari mulutnya, dengan mata yang masih enggan terbuka ia beranjak duduk dan bersandar di sofa. "Ah ...," desahnya yang terdengar amat lelah, seolah ada rasa muak dan penat yang sangat mendesak hati maupun pikiran, seolah ada beban berat yang harus dipikir, dipertimbangkan, dan dijalankan, dan seolah ada kesulitan besar yang menghalanginya dengan segala rupa. "Kirana," panggil pria bernama Kalil Nayaka itu menyebut nama istrinya, dengan suara parau kembali menyebut nama sang istri lagi dan lagi. Tidak kenal lelah dan tidak kenal bosan, "Kirana!" Suara paraunya terdengar keras. Terdiam lagi pria yang akrab disapa Kal, menunggu tanggapan dan kedatangan sang istri. Satu dua menit ia menunggu, tidak ada juga suara yang terdengar dan tiada pula wujud yang dilihatnya. "Argh! Kemana sih
"Halah, Jess cuma cewek goblok. Bisa santai gue.""Masa sih? Orang kaya loh mereka, lo bisa dalam bahaya.""Mereka banyak duit tapi kagak punya otak."Tap!Ditekan cepat dan kasar tanda jeda di laptop, lirikan tajam dengan napas memburu bersatu tidak padu pada sorot mata lemah, sorot mata yang jelas menunjukkan rasa bersalah dan ketakutan, "maksud kamu apaan?""Kayak yang tadi aku bilang, Kak. Aku dapat paket misterius terus-menerus, ada foto Mas Tom lagi main di meja bundar, ke hotel sama cewek yang enggak tahu siapa, terus juga sekarang dapat alat rekam suara yang isinya ginian," ujar wanita cantik berambut hitam lebat, menatap sang kakak yang justru berdecih dan tersenyum miris."Kamu fitnah suami aku? Dari awal aku tahu kok kamu enggak suka sama cowok, kamu benci sesama manusia, dan kamu juga enggak suka sama suamiku sejak aku bilang mau nikah. Tapi aku enggak duga kalau si kecil kesayanganku bakal memfitnah orang, memfitnah kakak ip ....""Siapa yang fitnah?" tukas wanita cantik
(Beberapa jam sebelumnya)Memainkan jemari berulang kali di atas meja kerja, pikiran yang tidak fokus, hati yang kacau, dan badan yang terasa tidak enak. Sungguh hari kacau yang memuakkan, "masuk," kata Rana setelah terkejut mendengar ketukan pintu.Rasa terkejut membuatnya kembali tersadar pada dunia yang seharusnya ia jalani, untuk sekejap membawanya pada kesadaran diri bahwa ada hal yang berada di luar kendalinya. Meski begitu, rasa sayangnya pada sang kakak dan penasaran pada isi kotak yang diterimanya, membuat Rana berada di pusaran yang membingungkan.Haruskah tetap tidak peduli karena itu urusan rumah tangga Jess? Atau haruskah peduli demi menyelamatkan Jess dari suami yang konyol?"Ini, Bu." Seorang wanita berkaca mata kotak dengan lensa yang sedikit gelap, wanita yang lebih banyak diam dan hampir selalu hanya terfokus pada layar ponsel maupun laptop, menyerahkan dua map pada Rana yang spontan mengerjap, "bisa dibaca dulu, tapi saya harap bisa langsung ditanda tangani, capek r
"Gue pinjam mobilnya mau main," ucap Kalil Nayaka cukup keras sambil menutup gerbang lagi, tepat setelah melihat Rana masuk rumah dengan wajah masam. Tidak terdengar tanggapan, jawaban, maupun respon lain dari emosi khas Rana. Terhela napas Kal seraya masuk mobil dengan pikiran kacau, tidak ada rasa cinta pada Rana, namun tanpa alasan pula Kal merasa ada suatu keharusan untuk membantu sang istri. "Enggak waras si Tom," gumamnya kemudian melajukan mobil yang masih ada banyak lecet dan rusak pada bumper. Perjalanan yang sudah dapat dikatakan lancar, perjalanan malam yang terasa sunyi, hilang sudah hasrat Kal untuk sekadar mendengarkan musik di jalan. Kalutnya pikiran yang tidak sesuai dengan hati, tidak kompaknya urusan hati dan pikiran dalam menghadapi Rana, dan muaknya Kal melihat sekaligus mendengar segala kelakuan Rana, cukup mengantarkan Kal pada posisi yang aman untuk menghentikan segalanya. Enam kilometer sudah Kal lewati, satu bangunan kayu yang menggugah mata untuk singgah t
Hening menerpa salah satu meja di kafe kopi, lima pria muda sesekali saling bertukar pandang dengan wajah masam. Pertanyaan pembuka dari Kal berhasil mengacaukan suasana santai, berhasil membuat suasana jadi kaku, dan berhasil membuat keadaan jadi canggung."Oi gue tanya, lo selingkuh dari kakaknya Rana tapi lo juga suruh gue buat nikah sama Rana. Apa tujuan lo sebenarnya?" ucap Kal mengulangi pertanyaannya, menatap pria yang ia beri pertanyaan berulang."Kenapa jadi aneh gini sih suasana?" pungkas Den, pria bernama lengkap Denandra Jamali yang seringkali hanya menjadi pendengar dalam kelompok, "lo punya prasangka buruk sama Tom?" lanjutnya bertanya pada Kal yang justru hanya mengecapkan mulut."Enggak, makanya gue tanya sama dia sekarang biar enggak ada prasangka atau fitnah," jawab Kal tanpa sedikitpun melihat ke arah Den, ia tahu tiga teman lain merasa keadaan tidak nyaman, tapi bagi Kal pula pikirannya kini harus lurus dan segala pertanyaan harus mendapat jawaban sekarang."Gue je
Malam semakin larut, rasa kantuk mulai merayap ke pikiran yang menjadi berat rasanya bagi mata. Perlahan tapi pasti, banyak kumpulan di kafe kopi pun kembali ke rumah masing-masing, mengakhiri pertemuan dan perkumpulan mereka demi mengisi kembali tenaga dengan tidur, hingga memaksakan diri untuk siap menghadapi esok hari dengan segala pikiran, aktivitas, dan pekerjaan.Muak, oh tentu saja. Hanya saat tanggal gajian orang bisa tidak muak dengan kegiatan monotonnya."Kenapa?" tanya Kal setelah tiba di dekat mobil Den, pria yang menjadi temannya sejak awal kuliah, pria yang sejak balik dari toilet bertingkah aneh dengan segala sorot mata tajam dan seriusnya yang meresahkan."Lo peduli sama Rana sampai tanya kayak gitu ke Tom?" kata Den yang terlihat jelas sangat santai, Kal sadar gerak-geriknya yang aneh dan gelisah, namun Kal tidak peduli dengan segala keanehan yang biasa Den lakukan.Den yang bisa tiba-tiba tertawa karena teringat hal konyol, Den yang bisa tiba-tiba gelisah berdalih pa
Menarikan jemari di atas meja kerja, diam yang mengantarkan pikiran secara acak ke dalam dunia yang tidak tertembus apapun. Bukan imajinasi yang menyenangkan dan bukan juga harapan yang diimpikan, hanya kekosongan pikiran yang terasa memuakkan dan melelahkan dalam menjalani hidup yang penuh permasalahan.“Ah …,” desah seorang wanita di ruang kerja khusus Kepala Humas, ruang kerja yang pernah diperjuangkan demi privasi dan keinginan menyendiri yang amat kuat dari pada keinginan bersosialisasi.Sekali lagi, bekerja sebagai kepala hubungan masyarakat di sebuah perusahaan besar jelas menjadi pekerjaan yang tidak pernah diimpikan, hanya direncanakan secara mendadak karena suatu rasa bernama frustrasi, dan kehampaan diri yang ingin menyerah dalam kekonyolan, “Nifa,” panggilnya pada salah satu anggota humas yang sangat diandalkan, wanita yang cukup cekatan namun tak sepandai dirinya saat berdebat penuh keberanian pada siapapun.Walau kenyataannya, wanita bernama Kirana Zendaya itu tahu bahwa
"Kandungan?" tukas Rana dan Kalil serempak, "Kak Jess hamil?" lanjut Rana masih terkejut."Iya, sudah empat bulan," jawab pria bernama Tomi Uraga itu, pria yang berstatus sebagai kakak ipar Rana tapi pria yang juga pernah menjadi penguntitnya.Terasa aneh, kadang menakutkan, seringkali juga membingungkan. Tapi bagi Rana, namanya bukan hidup jika tidak dipenuhi berbagai hal tidak terduga. Sederhananya, seorang Kirana Zendaya jadi menikah hanya karena selalu didesak dan diganggu orang tua?"Dan badannya sekarang jelek banget, mukanya kusam, susah makan, pemalas juga," lanjut Tomi melambatkan langkahnya agar berjalan di samping Rana, secara sadar memaksa Kalil untuk berjalan di belakang Rana, "dia juga emosian, kalau mau bicara atau dia bicara kasar, bentak saja, biasanya bakal nangis doang," ucapnya lagi lalu berjalan cepat meninggalkan Rana dan Kalil yang sontak berhenti melangkah.Menyipit perlahan mata Rana mendengar ucapan kakak iparnya, sangat ingin dirinya untuk bertanya ulang dan
Terdiam, merengut, melirik sinis, sesekali terhela napas, dan banyak diam seolah telinga telah tuli dan suara sudah tidak bisa lagi keluar. Puluhan pertanyaan sejak bertemu di parkiran tidak juga ditanggapi, keluar mobil dan menutup pintunya dengan kasar, dan melangkah masuk rumah dengan tergesa.Bersandar lelah Rana di atas sofa, membentangkan kedua tangan dan kaki, seolah memaksa suaminya yang baru masuk rumah untuk duduk di sofa lain. Entah diksi yang harus diucapkan, entah hal yang harus diceritakan, dan entah hal yang didengar nantinya. Haruskah mendengar lagi? Haruskah memakluminya lagi?"Rana, kamu ken ....""Kamu yang kenapa?" tukas Rana cepat memotong ucapan suaminya, "pas pergi sama Fafa kemarin, kamu isi survei enggak? Kamu pergi sama KDRFN juga?""Hah? Enggak," tanggap Kalil terlihat bingung tapi juga terkejut, "kenapa?" katanya bertanya lagi.Menggeleng pelan Rana sambil memegang pelipisnya, kali ini bersandar secara utuh ke sofa hingga kepala mendongak malas, terpejam er
"Aku mau ke rumah kakakku dulu buat cari celah cara dekati Tomi," ujar Rana tiba-tiba, tidak menoleh atau melihat ke arah suaminya, hanya menoleh ke kiri dan melihat banyaknya pengendara motor melewati mobil.Suasana pagi yang tidak macet tapi juga tidak lancar, suasana pagi cukup membantu Rana yang sedang dikejar waktu demi pertemuan internal yang formal. Pertemuan yang sebenarnya sudah Rana tahu, bisa Rana tebak, bahkan bisa diperkirakan debat yang akan terjadi."Terus?" sambut Kalil atas ujaran Rana, tanpa banyak ucap pun Kalil tahu bahwa Rana menjawab pertanyaan saat di dapur tadi."Untuk langkah selanjutnya tergantung celah yang aku dapat nanti," jawab Rana menegakkan badannya, menghadap depan dan menghela napas singkat, "nanti sore antar aku ke rumah kakakku ya, jadi harus banget jemput aku dan enggak ada drama jalan sama mantan," lanjutnya dengan ketegasan yang terdengar kuat dan menyuratkan bahwa Rana tidak menerima alasan atau bantahan apapun."Iya," jawab Kalil singkat sambi
"Hm," deham seorang wanita memakai setelan formal, merapikan blazernya lalu duduk di meja makan, menunggu nasi uduk yang dibeli untuk disajikan.Berdeham pelan menunggu sekaligus sedikit menuntut cerita berpacaran dari pria berstatus sebagai suaminya, bersandar ia di kursi makan dengan mata terus tertuju pada pria yang sedang membuka bungkusan nasi uduk dan meletakkannya di piring. Tidak bisa dibilang lama, tapi juga tidak bisa dibilang sebentar jika mengingat hanya membuka bungkusan dan meletakkannya di piring."Sarapan," kata pria bernama Kalil Nayaka itu sambil menyajikan menu sarapan yang ia beli, menu sarapan yang jelas dibeli dengan uang dari sang istri, sangat minimal sampai dirinya mendapat pekerjaan tetap dan jelas."Gimana semalam?" tanya wanita karir itu seraya mengambil alat makan dari tempat sendok di pojok meja makan yang dekat dengan tembok, mengelap sendok itu dengan tisu, dan mulai menyuap makanan meski netra terus tertuju pada suaminya."Makan dulu saja," jawab Kalil
"Bagianku selesai, selanjutnya apa?" tanya seorang wanita melaporkan progresnya ke seorang pria melalui telepon video, "aku buat seolah taruhan sama dia buat dekati Kalil," lanjutnya menegaskan hal yang dilaporkan."Bagian Kalil, pura-pura menolak respon dulu. Tipe kaya Fafa, kayaknya bakal jual cerita sedih dan sesekali menggoda juga, kuat iman saja kau kalau memang mau tetap dalam pernikahan sama Rana, kalau serius komitmen dalam pernikahan itu," jawab pria dari sambungan telepon video itu pada temannya, pria yang berada di samping sang istri."Oke, itu gampang, aku sudah tahu betapa enggak ada manfaatnya buat tetap dekat sama Fafa," tanggap suami dari wanita yang tadi melapor, tanggapan yang jelas membuat wanita di sampingnya spontan menoleh, "aku serius buat komitmenku," lanjutnya pada sang istri yang tersenyum kecut."Haha, Rana ... Rana. Kamu sudah percaya sama Kalil buat jadi teman satu tim tapi belum percaya buat jadi pasangan, ya?" komentar pria sambungan telepon video berna
"Terus gimana kamu kenal Tomi? Dia kenal kamu pas dekati kakakmu, kan?""Aku kenal Tomi pas awal masuk kuliah, sial banget bisa satu kampus sama dia. Terus dia bilang suka sama aku, tapi aku tolak, dan dia malah jadi penguntitku," jawab Rana terdengar menyayangi keadaannya yang tidak menyenangkan.Hidup sebagai anak konglomerat, hidup bergelimang harta, dan hidup dengan kepastian tahta, bagi Rana sama sekali tidak enak. Banyak orang mengatakannya munafik dan bodoh, tapi nyatanya Rana tetap merintis semua dari awal tanpa membawa latar belakang yang memuakkan."Terus gimana dia bisa jadi suami kakakmu?""Pas dia menguntitku, sering dilihat Kak Jess. Terus konyol banget itu cewek, menemui langsung si Tomi, mereka berteman bahkan jadi mak comblang tapi gagal karena aku tetap enggak mau." Rana tersenyum miring saat berhasil menjaga dirinya dari Tomi, "dan tiba-tiba, dia masuk ke rumah, dikenalkan Kak Jess sebagai pacar, dan Tomi bilang mau serius dan menikahi Kak Jess. Nikahlah mereka," la
Melaju santai kendaraan roda empat itu melintasi ramainya jalan kota di siang hari, terik panasnya matahari tidak membuat para pejuang nominal itu melunturkan semangatnya, "mau makan siang dimana?" tanya Kalil pada sang istri yang sedari tadi terdiam membisu, tidak banyak kata dan hanya sesekali melihat ke arahnya."Nasi goreng buatan kamu saja," jawab Rana singkat, bagi Rana tidak ada gunanya untuk memberi kode harapan pada siapapun, lebih baik langsung katakan dan urusan disukai atau tidak itu sudah hak masing-masing orang. Bagi Rana, yang terpenting tetap bisa bertahan hidup dan mempertahankan hidup, meski tanpa tujuan jelas untuk bertahan."Oke," kata Kalil sambil mengatur persneling mobil dan perlahan menambah injakannya pada pedal gas untuk mempercepat laju kendaraan.Kedekatan memang harus terjalin lebih dulu sebelum kekompakan dipertemukan, rencana sudah terbentuk berlandas pada kepercayaan yang sebenarnya belum bisa dijamin oleh apapun. Tapi desakan dan desakan seolah menghim
"Oke, aku ada ide."Empat kata yang sontak membuat Rana membuka mata lebar, dan Kalil yang menatap temannya tidak percaya. Bagi Kalil, ini serius? Seorang Denandra Jamali bisa berpikir cepat? Hal yang biasa terjadi di kumpulan hanyalah, Denandra mengikuti hasil kesepakatan tanpa benar-benar berpikir atau berpendapat, sampai membuat Kalil pernah berpikir bahwa Denandra bisa bertahan hidup karena dia cerdas secara teori."Cepat amat," komentar Kalil mendapat senyuman miring mengejek dari temannya yang akrab disapa Den, "gimana idemu?" lanjut Kalil bertanya."Semalam Rana telepon dan bilang buat kita dekati Fafa, buat dia mau diajak ke dokter dan tes DNA. Rana juga bilang, semua dimulai pekan depan karena mau konfirmasi tujuan dari kotak itu dulu, betul?" tutur Den mengingat sambungan telepon mereka semalam, hal yang sebenarnya tidak perlu diungkit lagi karena terjadi kurang dari dua puluh jam. Tapi, bagi Den semua hal harus jelas dan terarah.Mengangguk serentak antara Rana dan Kalil, m
"Terus karena aku risih ya, banyak kerjaan tapi harus menanggapi dua tua bangka bau tanah itu. Padahal ada anak kesayangan mereka yang sudah nikah, belum beranak pinak, tapi aku yang dikejar buat nikah dan cepat beranak, apa enggak gila?" oceh Rana yang sudah mulai terpancing emosinya, umpan kecil Den berhasil dimakan walau belum terkena kail, "akhirnya aku cari orang yang mau nikah tapi cuma untuk formalitas sampai kakakku hamil, jadi aku enggak akan berperan sebagai istri dan dia juga enggak akan berperan sebagai suami. Enggak ada istilah hak dan kewajiban suami istri, kita cuma seatap karena sudah satu kartu keluarga dan tercatat sebagai pasangan.""Terus dia mau?" kata Den menunjuk Kalil yang cukup peka untuk segera membuka matanya, menatap tajam Den yang hanya tersenyum mengejek."Saat itu aku dan Kalil baru menyelesaikan satu proyek konflik perusahaan, aku sebagai Kepala Humas butuh berkas lama dan proses pemberkasan baru, kebetulan juga Kalil punya posisi sebagai Kepala Arsip,