Lenguhan terdengar sedikit menggema dari ruang utama di rumah sederhana, seorang pria dengan pakaian berantakan itu bergerak asal untuk merenggangkan badannya. Keluhan pusing dan mual pun menyusul keluar dari mulutnya, dengan mata yang masih enggan terbuka ia beranjak duduk dan bersandar di sofa. "Ah ...," desahnya yang terdengar amat lelah, seolah ada rasa muak dan penat yang sangat mendesak hati maupun pikiran, seolah ada beban berat yang harus dipikir, dipertimbangkan, dan dijalankan, dan seolah ada kesulitan besar yang menghalanginya dengan segala rupa. "Kirana," panggil pria bernama Kalil Nayaka itu menyebut nama istrinya, dengan suara parau kembali menyebut nama sang istri lagi dan lagi. Tidak kenal lelah dan tidak kenal bosan, "Kirana!" Suara paraunya terdengar keras. Terdiam lagi pria yang akrab disapa Kal, menunggu tanggapan dan kedatangan sang istri. Satu dua menit ia menunggu, tidak ada juga suara yang terdengar dan tiada pula wujud yang dilihatnya. "Argh! Kemana sih
"Halah, Jess cuma cewek goblok. Bisa santai gue.""Masa sih? Orang kaya loh mereka, lo bisa dalam bahaya.""Mereka banyak duit tapi kagak punya otak."Tap!Ditekan cepat dan kasar tanda jeda di laptop, lirikan tajam dengan napas memburu bersatu tidak padu pada sorot mata lemah, sorot mata yang jelas menunjukkan rasa bersalah dan ketakutan, "maksud kamu apaan?""Kayak yang tadi aku bilang, Kak. Aku dapat paket misterius terus-menerus, ada foto Mas Tom lagi main di meja bundar, ke hotel sama cewek yang enggak tahu siapa, terus juga sekarang dapat alat rekam suara yang isinya ginian," ujar wanita cantik berambut hitam lebat, menatap sang kakak yang justru berdecih dan tersenyum miris."Kamu fitnah suami aku? Dari awal aku tahu kok kamu enggak suka sama cowok, kamu benci sesama manusia, dan kamu juga enggak suka sama suamiku sejak aku bilang mau nikah. Tapi aku enggak duga kalau si kecil kesayanganku bakal memfitnah orang, memfitnah kakak ip ....""Siapa yang fitnah?" tukas wanita cantik
(Beberapa jam sebelumnya)Memainkan jemari berulang kali di atas meja kerja, pikiran yang tidak fokus, hati yang kacau, dan badan yang terasa tidak enak. Sungguh hari kacau yang memuakkan, "masuk," kata Rana setelah terkejut mendengar ketukan pintu.Rasa terkejut membuatnya kembali tersadar pada dunia yang seharusnya ia jalani, untuk sekejap membawanya pada kesadaran diri bahwa ada hal yang berada di luar kendalinya. Meski begitu, rasa sayangnya pada sang kakak dan penasaran pada isi kotak yang diterimanya, membuat Rana berada di pusaran yang membingungkan.Haruskah tetap tidak peduli karena itu urusan rumah tangga Jess? Atau haruskah peduli demi menyelamatkan Jess dari suami yang konyol?"Ini, Bu." Seorang wanita berkaca mata kotak dengan lensa yang sedikit gelap, wanita yang lebih banyak diam dan hampir selalu hanya terfokus pada layar ponsel maupun laptop, menyerahkan dua map pada Rana yang spontan mengerjap, "bisa dibaca dulu, tapi saya harap bisa langsung ditanda tangani, capek r
"Gue pinjam mobilnya mau main," ucap Kalil Nayaka cukup keras sambil menutup gerbang lagi, tepat setelah melihat Rana masuk rumah dengan wajah masam. Tidak terdengar tanggapan, jawaban, maupun respon lain dari emosi khas Rana. Terhela napas Kal seraya masuk mobil dengan pikiran kacau, tidak ada rasa cinta pada Rana, namun tanpa alasan pula Kal merasa ada suatu keharusan untuk membantu sang istri. "Enggak waras si Tom," gumamnya kemudian melajukan mobil yang masih ada banyak lecet dan rusak pada bumper. Perjalanan yang sudah dapat dikatakan lancar, perjalanan malam yang terasa sunyi, hilang sudah hasrat Kal untuk sekadar mendengarkan musik di jalan. Kalutnya pikiran yang tidak sesuai dengan hati, tidak kompaknya urusan hati dan pikiran dalam menghadapi Rana, dan muaknya Kal melihat sekaligus mendengar segala kelakuan Rana, cukup mengantarkan Kal pada posisi yang aman untuk menghentikan segalanya. Enam kilometer sudah Kal lewati, satu bangunan kayu yang menggugah mata untuk singgah t
Hening menerpa salah satu meja di kafe kopi, lima pria muda sesekali saling bertukar pandang dengan wajah masam. Pertanyaan pembuka dari Kal berhasil mengacaukan suasana santai, berhasil membuat suasana jadi kaku, dan berhasil membuat keadaan jadi canggung."Oi gue tanya, lo selingkuh dari kakaknya Rana tapi lo juga suruh gue buat nikah sama Rana. Apa tujuan lo sebenarnya?" ucap Kal mengulangi pertanyaannya, menatap pria yang ia beri pertanyaan berulang."Kenapa jadi aneh gini sih suasana?" pungkas Den, pria bernama lengkap Denandra Jamali yang seringkali hanya menjadi pendengar dalam kelompok, "lo punya prasangka buruk sama Tom?" lanjutnya bertanya pada Kal yang justru hanya mengecapkan mulut."Enggak, makanya gue tanya sama dia sekarang biar enggak ada prasangka atau fitnah," jawab Kal tanpa sedikitpun melihat ke arah Den, ia tahu tiga teman lain merasa keadaan tidak nyaman, tapi bagi Kal pula pikirannya kini harus lurus dan segala pertanyaan harus mendapat jawaban sekarang."Gue je
Malam semakin larut, rasa kantuk mulai merayap ke pikiran yang menjadi berat rasanya bagi mata. Perlahan tapi pasti, banyak kumpulan di kafe kopi pun kembali ke rumah masing-masing, mengakhiri pertemuan dan perkumpulan mereka demi mengisi kembali tenaga dengan tidur, hingga memaksakan diri untuk siap menghadapi esok hari dengan segala pikiran, aktivitas, dan pekerjaan.Muak, oh tentu saja. Hanya saat tanggal gajian orang bisa tidak muak dengan kegiatan monotonnya."Kenapa?" tanya Kal setelah tiba di dekat mobil Den, pria yang menjadi temannya sejak awal kuliah, pria yang sejak balik dari toilet bertingkah aneh dengan segala sorot mata tajam dan seriusnya yang meresahkan."Lo peduli sama Rana sampai tanya kayak gitu ke Tom?" kata Den yang terlihat jelas sangat santai, Kal sadar gerak-geriknya yang aneh dan gelisah, namun Kal tidak peduli dengan segala keanehan yang biasa Den lakukan.Den yang bisa tiba-tiba tertawa karena teringat hal konyol, Den yang bisa tiba-tiba gelisah berdalih pa
Menarikan jemari di atas meja kerja, diam yang mengantarkan pikiran secara acak ke dalam dunia yang tidak tertembus apapun. Bukan imajinasi yang menyenangkan dan bukan juga harapan yang diimpikan, hanya kekosongan pikiran yang terasa memuakkan dan melelahkan dalam menjalani hidup yang penuh permasalahan.“Ah …,” desah seorang wanita di ruang kerja khusus Kepala Humas, ruang kerja yang pernah diperjuangkan demi privasi dan keinginan menyendiri yang amat kuat dari pada keinginan bersosialisasi.Sekali lagi, bekerja sebagai kepala hubungan masyarakat di sebuah perusahaan besar jelas menjadi pekerjaan yang tidak pernah diimpikan, hanya direncanakan secara mendadak karena suatu rasa bernama frustrasi, dan kehampaan diri yang ingin menyerah dalam kekonyolan, “Nifa,” panggilnya pada salah satu anggota humas yang sangat diandalkan, wanita yang cukup cekatan namun tak sepandai dirinya saat berdebat penuh keberanian pada siapapun.Walau kenyataannya, wanita bernama Kirana Zendaya itu tahu bahwa
"Temanmu!" teriak seorang wanita setibanya di rumah. Wajah memerah dalam emosi menggebu dengan mata berair, sangat menggambarkan betapa banyaknya emosi yang siap ia luapkan. Gerbang yang belum ditutup, mobil yang masih terparkir asal, dan alas kaki yang masih digunakan meski sudah berada di dalam rumah. Hasrat besar tidak terbendung begitu terlihat, "kenapa sama temanku? Temanku yang mana?" "Tomi Uraga," ucap wanita bernama Kirana Zendaya itu dengan tegasnya yang mendalam, seolah ada dendam yang menelan suaranya hingga ke dalam diri yang menyesakkan. "Oh si Tom, kenapa?" tanggap pria berstatus suami dari Rana. "Masih tanya?" sahut Rana tersenyum miris sebelum menggigit bibir bawahnya, menahan tangis dengan perasaan kosong yang mengecewakan. "Iya gue tanya dong, gue bukan maknya yang harus tahu semua tentang dia," jawab Kal tetap bersandar di sofa dengan santainya, menggerakkan kaki yang selonjor lurus ke meja kecil depan sofa, menatap Rana yang terlihat mengatur napas, "ses