"APA?!" serempak Ina dan Nisa berteriak. Mereka langsung bergidig ngeri. Apalagi Ina. Ia tinggal satu rumah dengan pembunuh? Dan di rumah Nisa sedang sendirian. Baru saja Iman pergi ke rumah Anto. "Barangkali ada kerjaan yang ada duitnya." begitu kata Iman tadi.Mereka menatap Rima dengan netra terbuka sebesar - besarnya. Rima tersadar telah membuat mereka takut. "Dalam pikiran Saya, Bu. Saya tidak ingin melihatnya lagi." "Ooh, syukurlah." mereka menghela nafas lega.Bugh!Ina menonjok bahu Rima. "Ngagetin aja!" omelnya. Nisa juga mengelus dadanya."Jadi bagaimana? Kamu siap kerja nanti malam?""Siap, Bu."Ina tersenyum."Mudah - mudahan Dia nggak ngecewain Kamu, Nisa.""Ya. Tapi Kamu juga tolong masuk dulu untuk ngajarin Dia, ya?""Kan ada Anet.""Yailah, segitunya. Udah nggak mau ke warung lagi ceritanya?" Nisa berlagak cemberut."Iya - iya! Sensi amat, sih?" Ina menoyor kepala Nisa. Rima memperhatikan semua itu dengan keheranan yang tidak dapat disembunyikannya. 'Mereka ak
"Cantik sekali." "Makasih.""Maksudku, bajunya yang cantik." Nisa tertawa. Ia senang Ina langsung mengenakan blouse darinya. "Ngeledek terus." Ina memonyongkan mulutnya. "Aku pulang, nih.""Iih, ngambekkan." Nisa mengalihkan perhatiannya pada Anet dan Rima yang diam - diaman padahal mereka saling berhadapan. Iman melewati warung untuk menuju papan. Sekilas ia melihat Rima dan Anet. Mereka benar - benar seperti seumuran."Pah, sini dulu." Nisa menarik tangan Iman. "Ini Rima." Nisa mengenalkan Rima pada suaminya. Iman hanya mengangguk sebelum melanjutkan langkahnya. Nisa kembali melihat Rima dan Anet. Mereka terlihat canggung. Tidak ada yang berani untuk mulai menyapa lebih dulu."Kok pada diam, sih? Kenalan, dong?!" Ina mendorong Rima. "Rima.""Anet." mereka saling melempar senyum. Di mata Anet Rima sekarang terlihat jauh lebih bersih. Bahkan rambutnya dipotong pendek. Ia jadi seperti anak laki - laki. Anak laki - laki yang cantik. "Kamu ajarin Dia ya, Net?" Anet mengangguk."Sa
Kembali dulu pada keadaan sekarang, ya? saat Nisa dan Iman sudah kehilangan pemancingannya dan menjadi terpuruk seperti sekarang ini. "Sari sakit." Yanti memberi kabar buruk. Ia baru pulang mengantarnya berobat."Ada benjolan di payudaranya." Nisa terkejut. Benjolan? Kanker? Bayangan mengerikan berkelebat di kepala Nisa. "Sudah berobat, Teh?" Yanti mengangguk."Udah. Tadi Aku ikut nganterin berobat sama Teh Yanah. Katanya tumor. Nggak tau ganas atau ji.." tanpa bicara lagi Nisa berlari ke rumah Sari. "Et! Kenapa, sih? Main pergi - pergi aja!" gerutu Yanti. Ia bangun dan ikut berjalan keluar. Ia tahu Nisa pasti pergi ke rumah Sari, rumah petak paling ujung di seberang empang Nisa dan Iman. Nisa masuk setelah mengucapkan salam. Sari sedang berbaring di sofa. Ada Yanah juga di sana. "Teteh bagaimana?" tanya Nisa. "Teteh nggak papa, Nisa.""Bohong!" sela Yanah kesal. "Dia itu harus dioperasi! Biar tau tumornya ganas apa enggak! Malah nggak mau!" ketus Yanah lagi. "Teteh kenapa
Tahun berlalu tanpa terasa dengan keadaan yang semakin tidak stabil. Pemancing mulai bosan dengan pemancingan mereka atau bagaimana? "Malam ini yang datang hanya 14 orang." keluh Iman. "Tapi malam kemarinnya 20 orang lebih, Pah." Iman mengangguk. Ia terlihat letih, lesu, lemah dan lelah. Padahal bukan karena kurang darah, tapi lebih karena frustasi. "Kenapa nggak begitu terus?" keluhnya lagi. "Nggak papa, Pah. Emang rezekinya cuma segitu." "Tapi lama - lama bisa habis, Mah. Papah nggak ngerti kenapa pemancingan sana itu bisa selalu ramai. Lampaknya selalu penuh." pemancingan sana yang dimaksud Iman tentu saja pemancingan si Mas."Papah tau sendiri mereka pakai apa.""Karena itu, Mah. Kita bisa habis sama mereka. Kita juga harus begitu." Nisa menggeleng - gelengkan kepalanya. "Nggak juga, Pah. Kita punya backingan yang lebih kuat." Nisa menunjuk ke atas. Iman menghembuskan nafas kasar. Ia mulai tidak yakin. Kenapa Allah membiarkan mereka seperti sekarang ini? Kemana masa - masa
Begitu juga Eman. Wajah baby face nya membuat ia selalu terlihat muda. Dan yang jelas, mereka sangat suka mencandai Iman."Ini buat Abang dan Kang Mas. Ini buat Bapak." Anto dan Eman tertawa karena Anet menyambut kelakar mereka."Kesannya jadi Aku yang paling tua!" sungut Iman seraya mengambil mie nya. Anto dan Eman juga mengambil mie mereka masing - masing. "Emang Kamu paling tua, Man!" cengir Anto. Iman membelalakkan netranya. Apa nggak salah? "Muka Kamu sering ditekuk gitu, jadi lecek, butek,.." "Makanya mukanya jangan ditekuk mulu, jadi boros 'kan?" tambah Eman. "Boros apanya?" Iman mendesis karena menyuap mie yang masih panas. "Muka Kamu, boros!" Anto dan Eman tertawa. "Sialan!" tapi Iman ikut tertawa saat mengatakannya. Sahabat - sahabatnya ini bisa lebih parah lagi mengatainya. "Anet, mana minumnya? Makan kok nggak dikasih minum, sih? Kang Mas seret, nih!""Kang Mas kepalamu!" Iman menjebik. Bibirnya jadi seperti Donald bebek yang tukang ngomel itu. "Minumnya apa?" tany
Hujan seharian membuat air sungai di samping rumah mereka meluap. "Anet, tagih para pemancing itu sekarang." Anet segera melaksanakan perintah Nisa padahal lomba baru setengah jalan pada season 2 ini. "Rima, angkatin gelas - gelas. Yang sempet di cuci ya di cuci. Kalau nggak, tumpukkin aja di sana." titah Nisa menunjuk bak westafel.Anet dan Rima bergerak cepat. Nisa menerima uang yang diberikan Anet dan catatannya ia letakkan di atas etalase rokok."Kalian cepat pulang, sebelum air semakin tinggi." titah Nisa lagi. "Iya, Bu." sebelum pulang Anet mengambil beberapa photo dengan kamera hpnya."Tanggul Cibeureum jebol!"Air melimpah naik saat lomba masih berlangsung. Lomba berhenti dengan sendirinya. Banyak yang langsung pulang tanpa banyak bicara. Ada yang sempat berpamitan tapi terkesan tergesa - gesa."Istri lagi sendirian, Bos!""Mau Kamu kekepin?""Bukan. Takut banjir!"Pemancing banyak yang terjebak karena mereka menunggu hujan reda sementara hujan bukannya berhenti justru t
"Doni makan dulu aja, ah" Doni langsung duduk di dekat kaki Nisa seraya meraih nasi goreng itu."Baju Kamu basah, Don. Ganti dulu sana!""Tapi Doni lapar, Mah." "Mana enak makan pakai baju basah?" komentar Deni. "Enak aja, lah!" Doni cuek dan langsung menyuap nasinya. Yang lainnya pergi ke dalam untuk berganti pakaian. "Habis semua, Mah." keluh Iman saat ia kembali ke tempat Nisa duduk. Kaosnya kering, sekering hatinya. "7 ton ikan nggak bersisa sama sekali.""Lalu bagaimana?" Nisa nyaris menangis. Itu juga menjadi pertanyaan Iman. Bagaimana? Bagaimana cara mereka menghidupkan lagi pemancingan ini? Pemancingan yang menjadi tempat bergantung mereka. Mereka menatap empang mereka yang tertutup air sejauh mata memandang. Tembok - tembok lampak sama sekali tidak terlihat padahal saat renovasi pada banjir pertama sekian tahun yang lalu mereka sudah merancangnya sedemikian rupa. Mereka membuat tembok yang lebih tinggi."Kalau banjir lagi, tinggal di tarik jaring dari sana ke sini. Ikan
"Nggak usah ngapa - ngapain." jawab Iman santai. Kok gitu? "Tapi Kita 'kan harus makan, Pah. Masa' mau ngandelin Abang terus?" abang Hasby yang Nisa maksud. "Nanti Kita beli aja.""Tapi bagaimana dengan yang lain? Kita nggak mungkin makan sendirian, Pah. Kita juga nggak mungkin beliin mereka semua. Uang Kita nggak banyak." "Ya beli masing - masing, lah." sesantai itu. Semudah itu. Itulah Iman. Ia tidak pernah mau berpikiran panjang. "Mamah belanja, ya? Biar yang lain juga bisa makan.""Bagaimana keluar dari sini? Mamah mau berenang?" Nisa tersadar. Rumah ini terkepung banjir. "Kalau beli gimana? Kan harus keluar juga.""Nanti. Kalau airnya udah turun sedikit."Nisa menghela nafas. Kalau airnya surut, mereka baru bisa membeli makanan. Kapan itu terjadi? Sedang langit masih terlihat gelap karena awan kelabunya. Mendung. Dari gelapnya langit di atas mereka, sepertinya akan ada hujan susulan. Matahari hanya menunjukkan kalau hari sudah semakin siang. "Mamaaah!" ada suara sayup -
"Udangnya pesan beberapa porsi ya, Nah. Oke, Kita nanti meluncur ke sana. Nemenin Edi dulu sebentar." Hasby menutup ponselnya."Bagaimana? Mau ikut apa tinggal di sini?" Hasby melirik Sani yang langsung tersipu malu."Saya punya suami, Bang." Mumu, Yanti, Iman dan Nisa langsung tergelak - gelak. "Emang Saya nanya?"Edi mengerucutkan bibirnya. Hasby tak dapat menahannya lagi. Tawanya terlepas. "Dia ngomong begitu karena takut Kamu kena php, Di.""Ayok, jalan." Edi menyeruput kopinya lagi sebelum berjalan."Mau kemana? Yanah di sebelah sana!" Hasby menunjuk arah yang sebaliknya. Edi memutar langkahnya. "Kasihan Bang Edi." ucap Nisa. Iman merengkuh bahu dan memeluk Nisa.Yanti tau Mumu tidak akan melakukan itu karena tidak terbiasa. Ia berinsiatif memeluk lengan Mumu lagi. Tapi tak di sangka Mumu melepaskan tangan Yanti dan melingkarkan tangannya di pinggang istrinya. Yanti hampir menangis karena bahagia. Netra Edi yang tajam langsung melihat keberadaan Yanah dan Ijay. "Nah!" ter
"Bang Hasby tidak terlalu memuja pada kecantikan. Yang penting klik.""Tapi Aku nggak pe de tanpa make up." kata Ratna, mulai goyah. "Ya, jangan harap Bang Hasby akan melirik Mbak. Padahal Dia lagi cari pendamping hidup, lho. Dia sudah lama jadi duren. Duda keren." Yanti mulai menjadi kompor. "Udah, yuk. Kita mau ke toilet." ajak Yanah. "Eh, nanti dulu. Kalau Saya nggak pakai make up apa Hasby akan menyukai Saya?"Ikan memakan umpannya. Nisa tersenyum. "Sudah pasti. Abang pernah bilang suka kok, sama Mbak. Tapi katanya,'Sayang ya, Dia pakai make up. Coba kalau enggak." Nisa heran kenapa Yanti begitu lancarnya berbohong. Ratna termenung. "Andai Mbak bisa jadi kakak ipar Kita, Kita pasti seneng banget bisa makan enak terus." rayu Yanah lagi. Dalam hatinya ia bergumam, 'Duh - duhh..! Apanya yang enak, siiih?'Ratna tercenung. Apakah Hasby benar - benar akan tertarik padanya tanpa riasan di wajahnya? Mereka melanjutkannya dengan cerita mengenai Hasby. Hasby yang seorang psikiate
"Ra.. Ra..?" Edi tergagap. Ia terkesima bukan karena takjub tapi lebih karena terkejut dan takut. "Ratna?" sapa Hasby dengan senyum yang mengembang. Bertolak belakang dengan Edi yang kemudian memalingkan wajahnya, Hasby justru bangun untuk menjabat tangannya. Di mata Edi Ratna begitu menyeramkan. Alisnya hanya tinggal sebelah - sebelah karena tidak ada lukisan dari pensil alis di sana. Bibirnya juga hampir membiru karena tidak ada sapuan lipstik di atasnya. Hasby tersenyum."Apa kabar?" tuturnya. Lebih hangat dari biasanya. "Baik." Ratna langsung duduk di sebelah Hasby. Ia merasa Hasby telah meresponnya dengan baik. Tidak kaku seperti sebelumnya. Bibir birunya menguakkan senyum. "Kapan - kapan Saya main ke rumah Abang, ya?" katanya tanpa melirik sedikitpun pada Edi yang belum pulih dari rasa terkejutnya. "Boleh." Hasby tersenyum tipis. Ia tidak takut Ratna datang ke rumahnya karena banyak anak buahnya yang dapat menghalangi Ratna untuk bertemu dengannya. Ratna semakin senang
Iman ikut tertawa sedang Hasby yang baru keluar dari ruangan itu menahan senyumnya. Baru kali ini Mumu mencemburui istrinya. Sudah puluhan tahun sejak mereka menikah. Selama ini Iman yang terkenal dengan kecemburuannya. Mumu selalu cuek pada istrinya. Tapi sekarang? Setelah menghentikan tawanya Edi berujar, "Habis ini Aku akan bertemu dengan Ratnaku. Aku sudah rindu berat." Ratnaku? Yang lain sontak menepuk jidatnya masing - masing. Gusti, bagaimana menyadarkbuan manusia satu ini? "Emang Kita mau ke sana lagi? Makanannya 'kan kurang enak?" berengut Yanah. "Iya." timpal Iman setuju. Edi menatap Hasby. Ia mulai cemas. Hasby mengerti kecemasan Edi. Bagaimanapun Ia tidak ingin mengecewakan adiknya yang satu ini. "Ya. Nanti Kita ke sana." Edi kembali ceria dan bersemangat. "Yes!"Nisa menggelengkan kepalanya. Prihatin. 'Kasihan Bang Edi. Dia kesepian.'Yanti menarik lengan Nisa."Ayok nanti Kita kerjain ondel - ondel itu, Nisa." bisiknya. "Bagaimana?" Yanti membisikkan sesu
"Sabar, dong. Orang sabar itu kekasih Allah." ucap Hasby. Bijak seperti biasanya. "Taraaa!" Nisa mengembangkan kedua tangannya. Netra merah Mumu membelalak saat Yanti kembali. Yanti mengenakan gamis seperti Yanah dan Nisa. Kepalanya juga memakai hijab instan. Ada sapuan bedak dan lipstik tipis - tipis. Yanti terlihat berbeda. Yanti terlihat berbeda. Ia tersenyum malu saat netra suaminya nyaris tak berkedip menatapnya. "Kamu apain Dia, Nisa?" tanya Edi dengan mengerjapkan netranya berulangkali. "Ternyata gamis Teh Yanti banyak. Bagus - bagus. Tapi Dia nggak berani pakai. Takut Bang Mumu nggak suka. Takut diketawain.""Aku suka. Suka banget." cetus Mumu tanpa sadar. Air liurnya bahkan menetes. Ia seperti siap menelan Yanti sekarang juga."Iler tuh, iler!" Edi tertawa diikuti yang lain. "Nggak ada yang nggak suka sama perempuan feminin." ujar Iman sambil meraih Nisa dan menghadiahinya dengan sebuah kecupan kecil di pipinya. Cup! "Hadiah karena udah membuat Teh Yanti jadi peremp
Yanah kembali memeluk Nisa. 'Kasihan anak ini. Dia benar - benar jadi korban untuk semuanya.'Ijay menatap Nisa. Ia kini menyadari perasaannya. "Itu bukan cinta, Nah. Itu cuma rasa kagum yang dibaluri rasa iri karena tidak dapat memilikinya. Nisa seperti boneka yang tidak bisa Kamu miliki, Jay. Jadi Kamu terobsesi padanya."Yanah dan Ijay mengangguk. Mereka sama menatap Nisa yang memerah wajahnya karena dikatakan boneka. Bulu matanya yang lentik mengerjap. Dia memang seperti boneka. "Boneka kesayangan." Yanah mencium pipi Nisa yang memerah karena malu.Nisa menyadari sesuatu. "Tolong, Teh, Bang, Iman nggak usah tau hal ini, ya?" Nisa tidak ingin membuat Iman menjadi posesif bila melihat Ia bersama Ijay."Masalah ini Kita tutup sampai di sini. Yang lain nggak usah tau, bukan hanya Iman." tegas Hasby. "Ya." Ijay dan Yanah mengangguk. Hasby tersenyum. Ia juga langsung pamit untuk pulang. Masalah ini sudah mereka selesaikan dengan baik karena campur tangan Hasby. Ijay berjanji aka
"Teteh kenapa? Jangan bikin Nisa takut, Teh?" Nisa mengusap airmata Yanah dengan jari dan telapak tangannya. "Kamu mau maafin Aku kan, Nisa? Apapun kesalahanku?" Nisa semakin bingung. Ia ikut menangis karena mengkhawatirkan keadaan Yanah. Ia takut Yanah seperti Sari yang meminta maaf padanya karena akan pergi untuk selamanya. "Iya. Tapi Teteh jangan nangis gitu, dong?"Melihat Nisa ikut menangis Yanah berusaha meredam tangisnya. Tapi tidak bisa. Airmatanya justru meluncur semakin deras. Ia tidak henti - hentinya mengucapkan kata maaf. "Maafin Aku, Nisa. Maafin Aku."Terbayang sikap buruknya selama ini pada Nisa.'Kenapa Aku baru merasakan kebaikanmu, Nisa? Kenapa Kamu nggak pernah membalas perkataanku yang sengaja membuatmu sakit hati?'Melihat Yanah terus menangis Nisa tidak tahan lagi. Ia menghambur keluar kamar. Ijay dan Umboh terkejut melihat wajah Nisa yang basah dengan airmatanya. "Kenapa, Bik?" tanya Umboh panik. Ia langsung berlari ke kamar Mamahnya. Ijay menatap Nisa sebe
Iman mengangguk seraya menepuk kantong celananya. "Ada. Tadi Bang Hasby sebelum berangkat ngasih Papah uang. Katanya biar Papah semangat nyetirnya." memang Hasby itu sangat murah hati. "Buat belanja besok aja, Pah." Nisa mulai berhitung. "Cukup, kok." berapa yang harus dihabiskan, sih? Hanya makan bakso berdua. Mereka semua makan juga masih ada lebihnya. "Buat bekal Doni?" Nisa ini benar - benar, ya? "Aman." rungut Iman. Tapi Nisa berpikir lagi."Tapi Mamah benaran kenyang, lho." Nisa melihat kekecewaan di mata Iman. Ia ingin jalan berdua dengan istrinya. Makan bakso hanya alasan."Gini aja. Mamah temenin Papah makan, ya?" Iman menjadi tidak bersemangat. "Mana enak makan sendiri."Nisa tersenyum. Tangannya mengelus pipi Iman. Ketiga anak mereka menatap dengan hati senang. "Mamah lagi romantis." bisik Doni. "Kita bikin romantis," Deni malah bersenandung dengan mulut penuh nasi. Ada yang tersembur keluar. "Jorok, ih!" Nino menoyor kepala adiknya. Deni dan Doni tertawa. "Yang
Setiap ada masalah Nisa yang akan selalu disalahkan."Itu semua karena Nisa!" "Gara - gara Nisa!" "Nisa, siiih..!"Demi menutupi perasaannya Ijay mendukung keinginan Yanah. Bahkan ia ikut bersikap julid pada Nisa di depan orang lain. Ijay berhasil membohongi orang lain termasuk Iman, tapi ia tidak dapat mengelabui istrinya. Ijay dapat mengelabui siapapun tapi tidak dengan istrinya, Yanah. Istrinya diam dengan hati yang berkobar dan bila ada kesempatan akan membakar saat ada permasalahan antara Iman dan Nisa.Tapi itu beberapa waktu yang lalu. Setelah Yanah sakit dan mendapat curahan perhatian dari Nisa rasa benci itu terkikis sedikit demi sedikit. Kelembutan Nisa saat menemaninya membuatnya luluh. Apalagi Nisa selalu menundukkan pandangannya pada lelaki lain, termasuk Ijay. "Siapa yang tidak jatuh hati pada Nisa. Dia begitu cantik dan lembut. Idaman setiap laki - laki." Yanah tidak pernah mendengar Nisa berteriak. Bahkan saat Yanah memakinya sekalipun.Iman membelokkan mobil k