"Mbak jangan pergi dari sini ya, tinggal di sini saja," pinta Vina pada Ambar. Gadis yang biasa terlihat dewasa itu sekarang merengek bak anak kecil yang akan ditinggal ibunya. Sementara Ambar masih teguh dengan pendiriannya."Kita masih bisa bertemu, Vin. Aku hanya pindah ke gang sebelah," bujuk Ambar pada gadis itu. Ambar mencoba tersenyum untuk meyakinkan Vina kalau dia hanya akan pindah ke kosannya yang baru. Ambar tak enak hati jika harus lama-lama tinggal di kediaman Handoko. Apalagi di rumah itu ada seorang lelaki yang belum menikah, Ambar hanya tak ingin terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Ambar sadar jika pesona Iyan sangat kuat, dia takut terjerat."Om Baik ...." Alif berlari ke arah Iyan. Bocah berambut ikal itu langsung memeluk pinggang Iyan. Iyan yang masih bingung dengan keadaan yang terjadi di depannya, meraih tubuh Alif kemudian menggendongnya. "Ada apa, Sayang?" tanya Iyan sambil mengelus punggung kecil Alif."Alif mau ikut Bunda, tapi Alif juga gak mau pergi diri
Santi berteriak kesal ketika sedang berasyik masyuk dengan Haris, ponselnya berdering. Sebuah panggilan dari Sumi terdengar seperti tengah terburu-buru dan ingin segera diangkat."Apa, Sumi?!" sentak Santi langsung ketika mereka terhubung."Ibu meninggal dunia, Mbak." Tak ada nada kesedihan di suara yang mengabarkan kabar duka itu. Begitu juga dengan Santi. Bukannya bersedih wanita berambut panjang bergelombang itu malah marah-marah pada adiknya karena telah mengganggu kesenangannya."Ibu? Sekarang? Ya udah kubur aja. Susah amat, memang kalau aku datang dia bisa hidup lagi?!" Santi berbicara tanpa berpikir lagi, dia benar-benar kesal. Hanya karena sebuah kabar kematian dia harus berhenti bermain ketika hampir mencapai puncak."Beneran Mbak nggak mau lihat ibu untuk yang terakhir kalinya?" tanya Sumi lagi, gadis yang juga ingin menjadi simpanan bos itu tak ingin disalahkan jika tidak memberi tahu kakak-kakaknya."Nggak! Udah kubur di tempat yang sama dengan bapak! Biar mereka selalu be
Ruang tengah itu masih sunyi, walaupun semua penghuninya berada di tempat itu. Farida duduk bersisihan dengan suaminya. Vina berdampingan dengan Alif dan Ambar. Sementara Iyan duduk di kursi yang berbeda.Farida menatap takjub pada sang putra, hari yang dinantikan telah tiba, sang jagoan kecil telah menemukan tambatan hatinya. Sementara Rahayu yang dihubungi lewat ponsel juga tak bisa menahan haru. Wanita itu terlihat berkali-kali mengusap matanya. "Bundanya Alif, maukah kamu menikah denganku?" tanya Iyan tanpa basa-basi. Lelaki itu terlihat tenang dengan tatapan yang tepat menghujam manik cokelat Ambar.Vina melotot pada kakaknya, walaupun Iyan tak melihat kearahnya. Gadis itu meremas bantal yang ada di sofa, saking gemesnya pada kakaknya yang gak ada romantis-romantisnya itu. "Bundanya Alif, maukah kamu menikah denganku?" ucap Vina mengulang kalimat Kakaknya yang menurutnya kurang greget. Membuat Handoko dan Farida melotot ke arahnya.Setelah itu semuanya kembali tegang menunggu ja
"Aku tak menyangka kalau Iyan dan Ambar berjodoh," ucap Rahayu ketika mereka berada dalam kendaraan. Wanita senja itu terlihat bahagia. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Rahayu mengalihkan pendanaannya keluar jendela mobil."Ada apa?" tanya Farida setelah dia menyadari perubahan di wajah sahabatnya."Anakku, Da. Dia ... mungkin dia sekarang sudah berada di penjara. Kemarin dia datang dan menceritakan semuanya. Sekarang dia hancur, Da. Hancur, sehancur-hancurnya."Farida mengelus punggung tangan Rahayu, wanita yang memakai kecamatan itu mencoba memberi kekuatan dan dukungan pada Rahayu."Setelah dia memberikan segalanya, kini dia dibuang. Istrinya menggugat cerai ketika dia hendak mengakui kesalahannya dan ingin menebus kesalahannya tersebut." Rahayu tak tahan lagi menahan beban di hatinya, selama ini dia menyimpan dukanya sendiri. Kini setelah dia menemukan orang yang tepat, dia bisa mencurahkan semuanya."Bagaimana keadaannya di tempat itu, Da?" Rahayu menangis tersedu."
Selepas kepergian teman-temannya, Santi masih bergeming di tempatnya. Wanita yang selalu terlihat sempurna itu masih shock, dia sama sekali tidak menyangka kalau akan dipermainkan oleh beberapa orang yang katanya teman baik tersebut. Santi mulai mengotak-atik ponselnya, pikirannya saat ini tak bisa diajak kompromi, dia seperti wanita tua yang sudah pikun, akibat kejadian yang bahkan tak pernah dibayangkan olehnya.Sementara tak jauh darinya, sang pelayan masih setia menunggunya dengan membawa bon yang harus dibayar olehnya. Gadis yang rambutnya digelung itu terus menatap ke arah Santi.Sesekali Santi memijit keningnya sambil memejamkan matanya, nampak jelas kalau saat ini wanita itu sedang bingung. Beberapa bulan menikah dengan Rudi, membuatnya terlena hingga lupa untuk menyisihkan sedikit uang di tabungannya. "Apa yang terjadi, Win?" tanya seseorang yang terdengar sampai di gendang telinga Santi. Namun, wanita itu sama sekali tak tertarik untuk sekedar menengok. Dia sudah bisa meneb
"Kamu di mana? Dari tadi tak bisa dihubungi?! Buat apa punya ponsel hah?!" tanyanya langsung setelah panggilannya diangkat oleh adik bungsunya."Aku lagi di jalan, Mbak. Ada apa?" balas Sumi."Kamu ke ATM, cek saldo dan ambil sebisanya, setelah itu langsung pulang," titahnya pada sang adik."Buat apa, Mbak?" tanya Sumi malas-malasan. Gadis itu hanya ingin menikmati harinya, setelah beberapa waktu mengurus ibunya di rumah sakit hingga wanita yang melahirkannya itu tiada."Nggak usah banyak tanya. Lakukanlah saja apa yang kukatakan tadi!" sentak Santi."Baiklah, ada lagi?" tanya Sumi, gadis itu merasa jengah dengan sikap kakaknya yang selalu memerintahkan dirinya."Udah itu saja, ambil sebisanya." Santi kembali mengingatkan. Seperti biasa, tanpa menunggu jawaban dari Sumi, Santi langsung menutup telponnya.Walaupun kesal Sumi tetap melakukan perintah Kakaknya, bagaimanapun juga Santi adalah saudara yang mengentaskan keluarganya dari kesusahan. Kartu ATM yang dibawa Sumi adalah milik Sa
Rumah sederhana yang biasanya sepi itu kini terlihat sibuk. Ambar dan Vina tengah berbincang sambil memasak, sedangkan Rahayu dan Farida, kedua sahabat itu tengah asyik mengobrol di ruang tengah, sementara Iyan dan Handoko sedang berbincang di teras samping."Bagaimana kabar menejermu? Apa sudah ada jadwal sidangnya?""Minggu depan persidangan pertama dilakukan, Pak."Handoko menatap putranya penuh dengan tanda tanya, sorot matanya menanyakan kenapa bisa secepat itu. Iyan seolah mengerti, lelaki jangkung itu melanjutkan ceritanya. "Selama penyidikan dia bersikap kooperatif, sehingga mempercepat proses persidangan. Kata Soni Rudi terlihat sangat menyesali perbuatannya, selama di tahanan Rudi tak pernah mengeluh, hanya saja dia selalu terlihat murung, dan jika malam suka berlama-lama bersujud di pojok sel, sambil menangis." Iyan mengatakan apa yang ditahu dari pengacaranya. "Rudi beruntung, mungkin ada doa tulus dari seseorang hingga Allah berkehendak membuka pintu hidayah untuknya ...
Untuk sesaat suasana menjadi hening, Ambar menunduk sementara Iyan merasa canggung. Namun, itu tak berlangsung lama, lelaki jangkung itu duduk dan meminta Ambar untuk melakukan hal yang sama."Em ... urusan di kantor agama sudah selesai, tinggal menunggu harinya. Kurang semingguan lah, jadi masih mau keluar dari rumah ini?""Iya, Abangnya Vina, menurutku itu yang terbaik," sahut Ambar. Untuk sekilas pandangan mereka bertemu. Namun, Ambar segera mengalihkan pandangannya."Baiklah. Em ... sesuai keinginanmu, kita gak akan mengadakan pesta resepsi, tapi bolehkan kalau aku mengundang beberapa teman?" tanya Iyan sambil menatap lekat wajah calon istrinya. Tak bisa disembunyikan kalau saat ini detak jantungnya sangat tak beraturan. "Aku ingin mereka ikut merasakan kebahagiaanku," imbuhnya dengan suara tenang.Ambar melihatnya sekilas, lagi dan lagi pandangan mereka bertaut. Sebenarnya Ambar juga merasakan hal yang sama gugup luar biasa. "Silakan, Abangnya Vina. Maaf, jika keinginanku agak a
"Ada apa, Dek?""Kinan ndak nyahut, Bang.""Kinan! Kinan! Buka pintunya, Kinan!"Karena masih belum ada jawaban, Iyan pun mulai mendobrak pintu. Namun, setelah dobrakan kedua terdengar anak kunci yang diputar. Suami-istri itu saling berpandangan, kemudian perlahan melangkah mundur. Pintu kamar terbuka, Iyan dan Ambar sama-sama terperanjat melihat pemandangan yang tersaji di depan mata."Lebih baik aku mati, aku sudah tidak kuat ...." Tubuh berlumuran darah itu ambruk tetapi masih bisa ditahan oleh Iyan, sehingga tak sampai tersungkur."Ya Allah, Kinan!" seru Ambar bersamaan dengan Iyan."Ambil kunci mobil. Kita ke rumah sakit!"Keduanya bergegas ke depan menuju mobil, kemudian dengan kecepatan tinggi Iyan membelah jalanan yang tidak terlalu padat.**Semua keluarga kembali dan langsung ke rumah sakit di mana Kinan dirawat. Begitu juga dengan Miranti dan Bowo, keduanya langsung berangkat setelah mendapatkan kabar. Diiringi isak tangis, Miranti berkali-kali meminta maaf pada Farida kar
Malam sudah larut ketika mobil yang dikendarai Iyan sampai di kediamannya. Selama perjalanan, kedua pasutri itu membicarakan banyak hal, bercanda dan tertawa. Sementara Kinan memilih untuk memejamkan matanya, wanita bertubuh agak berisi itu berpura-pura tidur untuk meredam gejolak amarah karena cemburu, hingga dia benar-benar terlelap, walaupun tak nyenyak. Iyan meminta Ambar untuk membangunkan Kinan. Sementara dia membuka pintu."Mbak Kinan, bangun. Sudah sampai rumah," ucap Ambar dengan suara pelan sambil mengguncang pundak wanita pemilik wajah manis itu. Kinan mengerjap, setelah kesadaran pulih, tanpa bicara dia keluar dari mobil dan berlalu begitu saja meninggalkan Ambar yang masih berdiri mematung di samping mobil."Terima kasih, Mas," ucap Kinan saat dia sampai di depan Iyan yang berdiri di samping pintu, Iyan hanya tersenyum dan itu membuat Kinan melanjutkan langkahnya dengan pelan. Wanita yang tengah hamil muda itu semakin kesal ketika Iyan melangkah ke arah istrinya.Kinan se
"Ya udah kalau terserah abang. Kamu nggak boleh protes ya." Akhirnya dia berucap. Ambar yang mendengarnya hanya menghedikkan bahu sebagai jawaban.Wanita pemilik bulu mata lentik itu mengerutkan keningnya setelah mobil yang dikendarai suaminya hanya berpindah tempat parkir."Hotel?" tanyanya sambil mengamati sekitar."Iya, katanya terserah aku. Aku kan mau makan itu," goda Iyan sambil menaik turunkan kedua alisnya."Abang ...." Ambar benar-benar tak menyangka suaminya bisa berpikir ke situ."Udah dua malam loh, Dek. Kamu tak tahu bagaimana rasanya jadi aku." Saat mengatakannya Iyan memasang muka memelas hingga membuat Ambar gemas."Tapi ... tapi kenapa mesti di hotel? Aku ndak bawa surat nikah loh," sanggah Ambar cepat."Tenang," sahut Iyan sambil mengeluarkan buku tipis dari laci mobil."Abang, ish ...." Ambar semakin salah tingkah dibuatnya."Yuk! Ayo ... apa mau tak gendong?" ancam Iyan karena Ambar tak kunjung beranjak dari tempat duduknya. Bundanya Alif itu mengalah, dengan langk
Sepanjang perjalanan Kinan tak henti-hentinya bercerita, walaupun tak ada tanggapan yang berarti dari Iyan. Sementara Ambar masih sibuk dengan ponselnya. Kali ini bundanya Alif itu tengah berbalas pesan dengan Vina. [Hai, Mbakku. Lagi ngapain?] tanya Vina dalam pesannya.Ambar mengambil foto lalu mengirimkan pada Vina [Lagi nganterin bumil periksa] balasnya.Vina mengirimkan emoticon mata terbelalak, menandakan kalau dia tengah terkejut. [Baru kemarin dia periksa loh. Wah nggak bener ini] balasnya yang diakhiri dengan emoticon marah.[Biarin aja kita ikuti saja permainannya. Rencana kalina mau nginep berapa hari?] Ambar mengalihkan pembicaraan.[Terus Abang bagaimana? Apa dia nggak nolak gitu?] tanya Vina lagi, gadis itu sungguh penasaran campur geram pada Kinan.[Udah, tapi mo gimana lagi, di rumah cuma ada kita kan] terkirim dan langsung centang biru. Vina sedang mengetik."Dek Ambarku, seru banget main ponselnya, sampai senyam-senyum sendiri." Iyan yang sudah penasaran dengan sika
Kedua insan yang tengah kasmaran itu meredam gejolak yang tadinya berkorbar. "Aku akan melihatnya," ucap Ambar dengan suara serak dan napas tersengal."Aku saja," cegah Iyan yang juga tengah mengatur napasnya."Jangan, Bang. Itu pasti Kinan. Bair aku aja. Abang mandi dulu gih, sebentar lagi Magrib," ujar Ambar sambil melangkah menuju pintu."Ada apa, Mbak Kinan?" tanya Ambar setelah pintu terbuka."Maaf, Mbak Ambar. Mas Iyan-nya ada? Aku mau bicara dengannya." Tanpa rasa segan Kinan mencari lelaki yang jelas-jelas sudah beristri."Katakan saja, nanti aku sampaikan padanya," sahut Ambar cepat."Aku lebih enak ngomong sama Mas Iyan langsung." Kinan masih bersikeras dengan keinginannya."Ada apa, Dek?" tanya Iyan yang baru saja keluar dari kamar mandi. Melihat Iyan yang tengah mengacak rambutnya yang basah, Kinan menjadi kesal, wanita yang tengah hamil muda itu cemburu."Nanti habis Magrib, Mas Iyan antar aku periksa ke bidan ya? Sebenarnya balum waktunya balik, tapi badanku rasanya kura
"Maaf, Tante. Aku ndak bisa ikut, tadi aku sudah bilang sama Mas Iyan?" Ucapan Kinan mengejutkan semua orang yang sudah bersiap-siap untuk pergi. Mereka semua menoleh pada wanita berparas ayu tersebut.Vina yang sudah bersiap mengangkat ransel, kembali meletakkannya. "Bagaimana bisa, Kinan. Alif aja ikut kami, harusnya kamu ngerti dong." Vina sudah tidak tahan lagi. Adik ipar Ambar itu semakin kesal menghadapi keras kepalanya Kinan."Aku sungguh kurang enak badan, Vin. Kamu tahu, bahkan hanya mendengar kata 'naik mobil' perutku sudah mual," sanggah Kinan."Omong kosong!" umpat Vina yang sudah tidak tahan lagi dengan sandiwara Kinan."Vina ...." Sebenarnya Farida mengerti mengapa putrinya bersikap seperti itu, setelah semua bekerjasama memberi waktu pada Iyan dan Ambar, Kinan malah merusaknya. "Dia hanya berpura-pura, Bu," tukas Vina. Namun, wanita yang melahirkannya itu tak begitu menghiraukan. "Sudahlah, jika Kinan tak mau ikut, nggak usah dipaksa. Ayo sekarang kita ke depan, kasih
"Ada yang bisa kubantu?" tanyanya membuat Ambar berjingkat. Setelah bisa menguasai keterkejutannya Ambar pun membalas ucapan suaminya. "Ndak usah .... " Bundanya Alif itu menjeda kalimatnya, wanita itu bingung harus memanggil Iyan dengan sebutan apa."Kenapa diam?" tanya Iyan dengan suara rendah. Lelaki itu semakin mendekat dan itu semakin membuat Ambar gugup."Em ....""Bingung mau manggil aku dengan sebutan apa?" tanya Iyan, tatapannya semakin fokus pada sang istri.Ambar tersenyum kemudian mengangguk. "Susah kah?" tanya Iyan lagi. Karena merasa didesak akhirnya Ambar memberanikan diri mengangkat wajahnya."Sebenarnya ndak susah, cuma canggung aja. Tiba-tiba saja kita sudah menikah," balasnya. Tatapan mereka bertemu, keduanya seoalah enggan mengalihkannya, Iyan dan Ambar saling jatuh cinta."Senyamannya kamu, kalau aku ... Em, boleh nggak kalau aku manggilnya 'Dek'?" Akhirnya kalimat sakti itu keluar juga dari bibir lelaki jangkung tersebut. "Bunda ....!" Seruan Alif membuat mer
"Ada apa? Siapa yang meninggal, Sumi?" tanya Haris dengan suara serak, khas orang bangun tidur. Di KTP-nya, lelaki itu beragama Islam, walaupun kenyataan dia jarang atau hampir tidak pernah melakukan perintah Tuhannya. Namun, dia tahu dan paham untuk apa kalimat yang diucapkan Sumi tadi. Walaupun sebenarnya kalimat itu tak hanya untuk berita kematian, karena sejatinya disaat kita tengah mengalami hal buruk dan kesialan, kita bisa juga mengucapkannya."Aku-aku ... mau ke rumah sakit sekarang," balas Sumi. Wanita itu memungut ponselnya yang tergeletak di lantai tanpa menjawab pertanyaan lelaki yang masih bergulung selimut itu. Setelah mengamati dan memastikan jika benda pintar miliknya itu baik-baik saja, Sumi pun meletakkannya kembali di meja, kemudian dengan langkah tergesa dia menuju ke kamar mandi. Setelah bayangan Sumi tak lagi terlihat, dengan malas Haris bangkit dari tidurnya, kemudian duduk di tepi ranjang lalu membuat gerakan peregangan otot. Sumi yang baru saja keluar dari ka
Sementara di dalam kamar, Iyan dan Ambar tak bisa berbuat lebih, mereka hanya berbaring di sisi kiri dan kanan Alif sambil saling menatap, untuk saat ini bocah lelaki itu yang menguasai ranjang. "Maaf ...," ucap Ambar dengan suara yang hampir tak terdengar. "Ok," sahut Iyan tanpa suara, lelaki itu hanya menggerakkan bibirnya kemudian tersenyum. Setelah cukup lama saling pandang, Iyan memberanikan diri, tangan kanannya terulur lalu membelai rambut hitam milik Ambar. Bundanya Alif itu tersipu malu, tetapi dia begitu menikmatinya, hingga keduanya sama-sama terlelap.Pagi adalah waktu yang sibuk bagi setiap ibu rumah tangga, begitu juga dengan Ambar. Setelah selesai melaksanakan kewajiban dua rekaat, bundanya Alif itu langsung menyibukkan diri di dapur. Sementara para lelaki penghuni rumah itu masih belum kembali dari musolah. Aroma kopi dan teh melati yang menguar di seluruh ruangan membuat Vina keluar dari kamarnya dan melangkah ke dapur."Ih, pengantin baru rajin amat," godanya pada