"Kenapa kita pergi dari sini, Bunda? Om Baik marah sama kita?" tanya Alif ketika mereka berdua tengah berada di kamar untuk mengemas beberapa pakaian miliknya."Ndak, Kak. Kita perginya hanya sebentar kok. Setelah itu akan kembali ke sini lagi," sahut Ambar tanpa menoleh, wanita yang suka dengan warna gelap itu tengah sibuk memasukkan pakaian ke dalam rangsel."Bunda, Alif sedih ...." Bocah lelaki itu tiba-tiba berkata dengan suara parau. Ambar yang mendengarnya pun menghentikan kegiatannya, wanita pemilik tinggi 159 cm itu menoleh, dia menautkan kedua alisnya ketika mendapati sang putra bermuram durja."Ada apa, Kak? Coba cerita sama Bunda, Kakak Alif sedih kenapa?" tanya Ambar setelah dia sudah duduk di sisi Alif."Alif sedih kalau berpisah dengan semuanya yang ada di sini, Bunda. Alif takut mereka semua pergi seperti Ayah." Alif menjeda kalimatnya, bocah yang badannya mulai tinggi itu menghela napas. "Bunda ... Alif janji gak nakal lagi, biar ndak ditinggal lagi," imbuhnya sambil m
Sampai malam menjelang, ponsel Santi tak bisa dihubungi oleh Sumi. Sebenarnya Sumi tak begitu khawatir karena kakaknya itu sudah terbiasa pergi dalam beberapa hari. Yang membuatnya resah adalah kedatangan beberapa lelaki sore tadi. Mereka adalah penagih hutang almarhum bapaknya. Dalam kebingungan, Sumi menghubungi Siti dan Suji. Namun, dia harus menelan kekecewaan setelah nomor yang dituju sedang tidak aktif.Dalam kepanikan, Sumi teringat dengan ATM yang dibawanya. Gadis itu pun meminta izin pada penagih hutang untuk menunggunya sebentar. Sumi meminta Mina dan seorang satpam untuk menemani 'tamunya' tersebut. Sumi bergegas turun dari ojek online yang dipesannya, tanpa basa-basi, gadis itu menyerahkan sejumlah uang pada sang penagih. "Ini masih kurang ya, Neng. Ini hanya untuk membayar bunganya. Kemarin hutang Pak Marno beserta bunganya ada 75 juta, sehari tidak bayar sudah menjadi 80 juta. Nengnya paham?" tanyanya dengan lembut pada Sumi."Hah? Sehari bunganya lima juta?!" Tanpa sad
Farida menghentikan kegiatannya setelah mendengar seseorang mengucapkan salam. Wanita yang sedang mencuci piring itu membersihkan tangannya lalu mengelap sekedarnya kemudian bergegas melangkah keluar."Assalamualaikum ...." Lagi seseorang mengucapkan salam seolah tidak sabar untuk segera dibukakan pintu."Wa'alaikumussalam," balas Farida sedikit keras, agar seseorang yang di balik pintu mengetahui kalau salamnya sudah dibalas."Mbak Miranti, apa kabar?" sambut Farida setelah pintu terbuka. "Alhamdulillah, baik, Da," sahut Miranti–sepupu jauh Farida. Miranti tak sendiri dia datang bersama dengan Kinan–putrinya."Aduh ... surprise sekali ini," ucap Farida sambil menyambut uluran tangan Kinan untuk salim. "Ayo masuk dulu," ajak Farida sambil mengelus kepala gadis berambut lurus tersebut. "Kinan udah besar ya ... dan semakin cantik, masyaallah ...," puji Farida tulus. Kemudian dia membuka pintu sedikit lebar, lalu mempersilahkan kedua tamunya masuk lebih dulu."Maaf ya, Da. Kami datang t
Siti hanya bisa menangis mendengar kabar tentang kakaknya. Saat ini dirinya sama menderitanya. Hidupnya memang bergelimang harta. Namun, dia tak bisa ke mana-mana, Siti layaknya burung yang berada di sangkar emas, karena sang 'pemilik' tak mengizinkan dia pergi ke mana-mana. Siti memang dijadikan 'peliharaan' oleh seorang bos, bahkan hal itu telah diketahui oleh sang istri yang sudah tak mampu lagi mengimbangi permainan suaminya di ranjang.Sedangkan Suji sama sekali tak bisa dihubungi, adik lelaki Santi itu menghilang tanpa jejak, tak ada kabar sama sekali semenjak kematian sang bapak. Kini tinggal Sumi dan Mina yang mendampingi Santi di rumah sakit, sementara pihak kepolisian seolah enggan mengusut kasus yang menimpa Santi.Dalam kekalutan, Sumi menghubungi Haris, meminta bantuan pada sang pengacara sekaligus teman dekat kakaknya. Karena hanya Haris, lelaki yang sering datang ke rumahnya untuk menemui sang kakak.Selang beberapa saat, Haris pun datang. Pengacara itu seolah tak perca
Dalam sebuah kamar, Sumi meringkuk sambil merintih. Adik bungsu Santi itu merasakan nyeri ditubuh bagian bawahnya setelah menyerahkan mahkotanya pada Haris. Gadis yang tak lagi perawan itu hanya bisa menangis dalam diam. Dia memang pernah berkeinginan untuk menjadi wanita simpanan seperti kakak-kakaknya, tetapi tidak secepat ini, gadis 19 tahun itu belum siap. Sungguh pengorbanan yang sangat luar biasa untuk seorang saudara. Sementara Haris sudah terlelap dengan peluh di wajah dan sekujur tubuhnya.Di sebuah ruangan, beberapa perawat tengah membicarakan Santi, pasein dengan luka bakar yang cukup serius. Mereka menduga-duga menurut versi masing-masing. "Mungkin pelakunya itu mantan suaminya, kayak kasus yang dulu itu, pernah viral kan? Ingat nggak?" ucap seseorang setelah menggigit gorengan yang sudah dingin."Bisa jadi." Gadis dengan tubuh gemoy menimpali sambil menatap temannya yang sedang ngemil gorengan. "Enak banget ya jadi kamu, makan banyak pun tak jadi daging," gumamnya sambil
Di dalam kamar utama rumah tersebut, Farida sedang berdiskusi dengan Handoko. Orang tua Iyan itu memikirkan cara agar pernikahan Iyan dan Ambar tetap berjalan sesuai rencana. Farida merasa tidak nyaman dengan sikap Kinan yang kekanak-kanakan juga egois itu."Bagaimana kalau akad nikahnya dilakukan di apartemen saja, Pak? Aku khawatir Ambar marah dan tak mau menikah dengan Iyan.""Sabar dulu, Bu. Kita tunggu Iyan pulang. Nanti kita bicarakan dengannya. Apa benar dia telah berjanji pada Kinan.""Pak, janji itu diucapkan ketika dia masih kecil, mereka sedang bermain, Pak. Bapak bicara seperti itu seolah mendukung keinginan Kinan. Itu terjadi beberapa tahun yang lalu, Pak. Bagaimana Bapak bisa berkata seperti itu?""Jangan emosi dulu, Bu. Masalah kalau dihadapi dengan hati yang marah tak kan menemukan jalan keluar yang baik. Percayalah sama Bapak. Sudah, kamu tenang dulu. Aku mau telpon Vina, mau tanya sekarang mereka di mana?"Belum juga Handoko menekan nomor anaknya, ponselnya terlebih
Iyan membawa Kinan ke sebuah taman. Lelaki jangkung itu mengajak Kinan ke sebuah gazebo. Ketika mendengar pembicaraan Kinan tadi, Iyan lansung paham kemana arahnya, hingga memicu kekesalan adiknya. Dia juga bisa memahami kecemasan di wajah orang tuanya juga Miranti."Apa kabar?" tanya Iyan mencoba mencairkan suasana, setelah mereka duduk di gubuk beratapkan daun rumbia itu dengan kaki menjuntai."Baik, Mas. Maaf jika kedatanganku tiba-tiba. Aku hanya ingin kita menunaikan janji yang pernah terucap," sahut Kinan dengan percaya diri. "Janji? Bukannya kamu sendiri yang mengatakan kalau janji itu telah gugur?" sahut Iyan, lelaki bermata elang itu menoleh pada Kinan yang duduk di sebelahnya."Aku menyesal telah mengatakannya, Mas. Sekarang aku sadar jika Mas Iyan adalah yang terbaik, dan aku ingin mewujudkan janji itu." Gadis berlesung pipi itu membalas tatapan Iyan. "Terlambat, Kinan. Aku telah mengubur semuanya. Sekarang aku sudah menemukan seseorang yang akan menemani hari-hariku," sa
"Sementara pakai uangku dulu, nanti kalau rumahnya sudah laku, kamu bisa menggantinya," ucap Haris yang seperti sebuah angin segar untuk Sumi. Sebenarnya adik bungsu Santi itu ingin mengutarakan hal yang sama. Namun, dia tak punya keberanian untuk mengungkapkannya.Tak tanggung-tanggung, Haris juga membayar semua hutang mendiang Pak Marno. Dia juga diam-diam membayar hutang Santi di restoran, sebagai gantinya dia mengambil mobil yang harganya jauh lebih banyak dibandingkan hutang makan Santi yang cuma 20 juta.Haris dan Sumi sudah berada di rumah sakit, kini mereka tengah menunggu di depan ruang operasi. Sumi duduk berdekatan dengan Mina, orang lain yang sudah seperti keluarga sendiri. Selama ditinggal Sumi, Mina lah yang menunggu Santi."Sum, aku pergi dulu. Nanti kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku," ucap Haris sambil bangkit dari duduknya. Sumi tak menyahut hanya mengangguk mengiyakan.Selepas kepergian Haris, Sumi dan Mina mengobrol serius. "Bik, setelah Mbak Santi sembuh, Bib
"Ada apa, Dek?""Kinan ndak nyahut, Bang.""Kinan! Kinan! Buka pintunya, Kinan!"Karena masih belum ada jawaban, Iyan pun mulai mendobrak pintu. Namun, setelah dobrakan kedua terdengar anak kunci yang diputar. Suami-istri itu saling berpandangan, kemudian perlahan melangkah mundur. Pintu kamar terbuka, Iyan dan Ambar sama-sama terperanjat melihat pemandangan yang tersaji di depan mata."Lebih baik aku mati, aku sudah tidak kuat ...." Tubuh berlumuran darah itu ambruk tetapi masih bisa ditahan oleh Iyan, sehingga tak sampai tersungkur."Ya Allah, Kinan!" seru Ambar bersamaan dengan Iyan."Ambil kunci mobil. Kita ke rumah sakit!"Keduanya bergegas ke depan menuju mobil, kemudian dengan kecepatan tinggi Iyan membelah jalanan yang tidak terlalu padat.**Semua keluarga kembali dan langsung ke rumah sakit di mana Kinan dirawat. Begitu juga dengan Miranti dan Bowo, keduanya langsung berangkat setelah mendapatkan kabar. Diiringi isak tangis, Miranti berkali-kali meminta maaf pada Farida kar
Malam sudah larut ketika mobil yang dikendarai Iyan sampai di kediamannya. Selama perjalanan, kedua pasutri itu membicarakan banyak hal, bercanda dan tertawa. Sementara Kinan memilih untuk memejamkan matanya, wanita bertubuh agak berisi itu berpura-pura tidur untuk meredam gejolak amarah karena cemburu, hingga dia benar-benar terlelap, walaupun tak nyenyak. Iyan meminta Ambar untuk membangunkan Kinan. Sementara dia membuka pintu."Mbak Kinan, bangun. Sudah sampai rumah," ucap Ambar dengan suara pelan sambil mengguncang pundak wanita pemilik wajah manis itu. Kinan mengerjap, setelah kesadaran pulih, tanpa bicara dia keluar dari mobil dan berlalu begitu saja meninggalkan Ambar yang masih berdiri mematung di samping mobil."Terima kasih, Mas," ucap Kinan saat dia sampai di depan Iyan yang berdiri di samping pintu, Iyan hanya tersenyum dan itu membuat Kinan melanjutkan langkahnya dengan pelan. Wanita yang tengah hamil muda itu semakin kesal ketika Iyan melangkah ke arah istrinya.Kinan se
"Ya udah kalau terserah abang. Kamu nggak boleh protes ya." Akhirnya dia berucap. Ambar yang mendengarnya hanya menghedikkan bahu sebagai jawaban.Wanita pemilik bulu mata lentik itu mengerutkan keningnya setelah mobil yang dikendarai suaminya hanya berpindah tempat parkir."Hotel?" tanyanya sambil mengamati sekitar."Iya, katanya terserah aku. Aku kan mau makan itu," goda Iyan sambil menaik turunkan kedua alisnya."Abang ...." Ambar benar-benar tak menyangka suaminya bisa berpikir ke situ."Udah dua malam loh, Dek. Kamu tak tahu bagaimana rasanya jadi aku." Saat mengatakannya Iyan memasang muka memelas hingga membuat Ambar gemas."Tapi ... tapi kenapa mesti di hotel? Aku ndak bawa surat nikah loh," sanggah Ambar cepat."Tenang," sahut Iyan sambil mengeluarkan buku tipis dari laci mobil."Abang, ish ...." Ambar semakin salah tingkah dibuatnya."Yuk! Ayo ... apa mau tak gendong?" ancam Iyan karena Ambar tak kunjung beranjak dari tempat duduknya. Bundanya Alif itu mengalah, dengan langk
Sepanjang perjalanan Kinan tak henti-hentinya bercerita, walaupun tak ada tanggapan yang berarti dari Iyan. Sementara Ambar masih sibuk dengan ponselnya. Kali ini bundanya Alif itu tengah berbalas pesan dengan Vina. [Hai, Mbakku. Lagi ngapain?] tanya Vina dalam pesannya.Ambar mengambil foto lalu mengirimkan pada Vina [Lagi nganterin bumil periksa] balasnya.Vina mengirimkan emoticon mata terbelalak, menandakan kalau dia tengah terkejut. [Baru kemarin dia periksa loh. Wah nggak bener ini] balasnya yang diakhiri dengan emoticon marah.[Biarin aja kita ikuti saja permainannya. Rencana kalina mau nginep berapa hari?] Ambar mengalihkan pembicaraan.[Terus Abang bagaimana? Apa dia nggak nolak gitu?] tanya Vina lagi, gadis itu sungguh penasaran campur geram pada Kinan.[Udah, tapi mo gimana lagi, di rumah cuma ada kita kan] terkirim dan langsung centang biru. Vina sedang mengetik."Dek Ambarku, seru banget main ponselnya, sampai senyam-senyum sendiri." Iyan yang sudah penasaran dengan sika
Kedua insan yang tengah kasmaran itu meredam gejolak yang tadinya berkorbar. "Aku akan melihatnya," ucap Ambar dengan suara serak dan napas tersengal."Aku saja," cegah Iyan yang juga tengah mengatur napasnya."Jangan, Bang. Itu pasti Kinan. Bair aku aja. Abang mandi dulu gih, sebentar lagi Magrib," ujar Ambar sambil melangkah menuju pintu."Ada apa, Mbak Kinan?" tanya Ambar setelah pintu terbuka."Maaf, Mbak Ambar. Mas Iyan-nya ada? Aku mau bicara dengannya." Tanpa rasa segan Kinan mencari lelaki yang jelas-jelas sudah beristri."Katakan saja, nanti aku sampaikan padanya," sahut Ambar cepat."Aku lebih enak ngomong sama Mas Iyan langsung." Kinan masih bersikeras dengan keinginannya."Ada apa, Dek?" tanya Iyan yang baru saja keluar dari kamar mandi. Melihat Iyan yang tengah mengacak rambutnya yang basah, Kinan menjadi kesal, wanita yang tengah hamil muda itu cemburu."Nanti habis Magrib, Mas Iyan antar aku periksa ke bidan ya? Sebenarnya balum waktunya balik, tapi badanku rasanya kura
"Maaf, Tante. Aku ndak bisa ikut, tadi aku sudah bilang sama Mas Iyan?" Ucapan Kinan mengejutkan semua orang yang sudah bersiap-siap untuk pergi. Mereka semua menoleh pada wanita berparas ayu tersebut.Vina yang sudah bersiap mengangkat ransel, kembali meletakkannya. "Bagaimana bisa, Kinan. Alif aja ikut kami, harusnya kamu ngerti dong." Vina sudah tidak tahan lagi. Adik ipar Ambar itu semakin kesal menghadapi keras kepalanya Kinan."Aku sungguh kurang enak badan, Vin. Kamu tahu, bahkan hanya mendengar kata 'naik mobil' perutku sudah mual," sanggah Kinan."Omong kosong!" umpat Vina yang sudah tidak tahan lagi dengan sandiwara Kinan."Vina ...." Sebenarnya Farida mengerti mengapa putrinya bersikap seperti itu, setelah semua bekerjasama memberi waktu pada Iyan dan Ambar, Kinan malah merusaknya. "Dia hanya berpura-pura, Bu," tukas Vina. Namun, wanita yang melahirkannya itu tak begitu menghiraukan. "Sudahlah, jika Kinan tak mau ikut, nggak usah dipaksa. Ayo sekarang kita ke depan, kasih
"Ada yang bisa kubantu?" tanyanya membuat Ambar berjingkat. Setelah bisa menguasai keterkejutannya Ambar pun membalas ucapan suaminya. "Ndak usah .... " Bundanya Alif itu menjeda kalimatnya, wanita itu bingung harus memanggil Iyan dengan sebutan apa."Kenapa diam?" tanya Iyan dengan suara rendah. Lelaki itu semakin mendekat dan itu semakin membuat Ambar gugup."Em ....""Bingung mau manggil aku dengan sebutan apa?" tanya Iyan, tatapannya semakin fokus pada sang istri.Ambar tersenyum kemudian mengangguk. "Susah kah?" tanya Iyan lagi. Karena merasa didesak akhirnya Ambar memberanikan diri mengangkat wajahnya."Sebenarnya ndak susah, cuma canggung aja. Tiba-tiba saja kita sudah menikah," balasnya. Tatapan mereka bertemu, keduanya seoalah enggan mengalihkannya, Iyan dan Ambar saling jatuh cinta."Senyamannya kamu, kalau aku ... Em, boleh nggak kalau aku manggilnya 'Dek'?" Akhirnya kalimat sakti itu keluar juga dari bibir lelaki jangkung tersebut. "Bunda ....!" Seruan Alif membuat mer
"Ada apa? Siapa yang meninggal, Sumi?" tanya Haris dengan suara serak, khas orang bangun tidur. Di KTP-nya, lelaki itu beragama Islam, walaupun kenyataan dia jarang atau hampir tidak pernah melakukan perintah Tuhannya. Namun, dia tahu dan paham untuk apa kalimat yang diucapkan Sumi tadi. Walaupun sebenarnya kalimat itu tak hanya untuk berita kematian, karena sejatinya disaat kita tengah mengalami hal buruk dan kesialan, kita bisa juga mengucapkannya."Aku-aku ... mau ke rumah sakit sekarang," balas Sumi. Wanita itu memungut ponselnya yang tergeletak di lantai tanpa menjawab pertanyaan lelaki yang masih bergulung selimut itu. Setelah mengamati dan memastikan jika benda pintar miliknya itu baik-baik saja, Sumi pun meletakkannya kembali di meja, kemudian dengan langkah tergesa dia menuju ke kamar mandi. Setelah bayangan Sumi tak lagi terlihat, dengan malas Haris bangkit dari tidurnya, kemudian duduk di tepi ranjang lalu membuat gerakan peregangan otot. Sumi yang baru saja keluar dari ka
Sementara di dalam kamar, Iyan dan Ambar tak bisa berbuat lebih, mereka hanya berbaring di sisi kiri dan kanan Alif sambil saling menatap, untuk saat ini bocah lelaki itu yang menguasai ranjang. "Maaf ...," ucap Ambar dengan suara yang hampir tak terdengar. "Ok," sahut Iyan tanpa suara, lelaki itu hanya menggerakkan bibirnya kemudian tersenyum. Setelah cukup lama saling pandang, Iyan memberanikan diri, tangan kanannya terulur lalu membelai rambut hitam milik Ambar. Bundanya Alif itu tersipu malu, tetapi dia begitu menikmatinya, hingga keduanya sama-sama terlelap.Pagi adalah waktu yang sibuk bagi setiap ibu rumah tangga, begitu juga dengan Ambar. Setelah selesai melaksanakan kewajiban dua rekaat, bundanya Alif itu langsung menyibukkan diri di dapur. Sementara para lelaki penghuni rumah itu masih belum kembali dari musolah. Aroma kopi dan teh melati yang menguar di seluruh ruangan membuat Vina keluar dari kamarnya dan melangkah ke dapur."Ih, pengantin baru rajin amat," godanya pada