Iyan membawa Kinan ke sebuah taman. Lelaki jangkung itu mengajak Kinan ke sebuah gazebo. Ketika mendengar pembicaraan Kinan tadi, Iyan lansung paham kemana arahnya, hingga memicu kekesalan adiknya. Dia juga bisa memahami kecemasan di wajah orang tuanya juga Miranti."Apa kabar?" tanya Iyan mencoba mencairkan suasana, setelah mereka duduk di gubuk beratapkan daun rumbia itu dengan kaki menjuntai."Baik, Mas. Maaf jika kedatanganku tiba-tiba. Aku hanya ingin kita menunaikan janji yang pernah terucap," sahut Kinan dengan percaya diri. "Janji? Bukannya kamu sendiri yang mengatakan kalau janji itu telah gugur?" sahut Iyan, lelaki bermata elang itu menoleh pada Kinan yang duduk di sebelahnya."Aku menyesal telah mengatakannya, Mas. Sekarang aku sadar jika Mas Iyan adalah yang terbaik, dan aku ingin mewujudkan janji itu." Gadis berlesung pipi itu membalas tatapan Iyan. "Terlambat, Kinan. Aku telah mengubur semuanya. Sekarang aku sudah menemukan seseorang yang akan menemani hari-hariku," sa
"Sementara pakai uangku dulu, nanti kalau rumahnya sudah laku, kamu bisa menggantinya," ucap Haris yang seperti sebuah angin segar untuk Sumi. Sebenarnya adik bungsu Santi itu ingin mengutarakan hal yang sama. Namun, dia tak punya keberanian untuk mengungkapkannya.Tak tanggung-tanggung, Haris juga membayar semua hutang mendiang Pak Marno. Dia juga diam-diam membayar hutang Santi di restoran, sebagai gantinya dia mengambil mobil yang harganya jauh lebih banyak dibandingkan hutang makan Santi yang cuma 20 juta.Haris dan Sumi sudah berada di rumah sakit, kini mereka tengah menunggu di depan ruang operasi. Sumi duduk berdekatan dengan Mina, orang lain yang sudah seperti keluarga sendiri. Selama ditinggal Sumi, Mina lah yang menunggu Santi."Sum, aku pergi dulu. Nanti kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku," ucap Haris sambil bangkit dari duduknya. Sumi tak menyahut hanya mengangguk mengiyakan.Selepas kepergian Haris, Sumi dan Mina mengobrol serius. "Bik, setelah Mbak Santi sembuh, Bib
Iyan menatap heran pada bundanya Alif yang hanya berdiri di depan kompor. Dari posisinya, wanita itu terlihat sedang kebingungan. Iyan sengaja tidak bersuara, dia memilih diam memperhatikan punggung ramping itu. "Andai sudah sah ...." Lelaki itu membatin, tanpa sadar bibirnya mengulas sebuah senyuman ketika membayangkan apa saja yang bisa dilakukan jika mereka sudah sah. Namun, itu tak berlangsung lama, Iyan segera tersadar, lelaki pemilik tubuh jangkung itu menggeleng, mengingat apa yang dipikirkannya. "Bunda ... Bundanya Alif ...?" sapanya dengan suara yang dibuat setenang mungkin.Ambar menoleh, wanita pemilik iris cokelat itu terjingkat melihat kehadiran Iyan. "Maaf, Abangnya Vina. Ternyata kopinya habis," sahutnya. Iyan semakin gemas ketika melihat Ambar menggigit bibir bawahnya setelah berucap."Jadi karena itu kamu lama di dapur?" tanya Iyan sambil melangkah mendekat. Ditariknya kursi meja makan, lalu mendudukinya."Iya, maaf." Lagi Ambar merasa malu karena menawarkan sesuatu y
"Terima kasih penjelasannya, Mbak," ucap Mina, siapapun pasti mengira kalau Mina adalah ibu dari Santi, termasuk perawat tersebut."Iya, sama-sama, Bu." Selepas kepergian perawat, Mina kembali termenung sambil menatap majikannya. "Sungguh, karma itu sangat kejam. Ini baru di dunia. Lalu seperti apa pembalasan di akhirat kelak?" gumamnya sambil bergidik ngeri.Santi yang mendengar gumaman Mina menjadi kesal, bisa-bisanya pembantunya itu berkata seperti itu. Secara kesadaran, Santi sudah mulai bisa mengingat hal terakhir yang terjadi padanya. Namun, perempuan itu masih belum bisa mengingat apa yang terjadi padanya hingga bisa berada di rumah sakit. Ingin sekali dia bertanya pada Mina. Namun, dia masih belum bisa bicara dengan jelas."Bagaimana dengan mobilku?" batin Santi cemas. Dia benar-benar khawatir dengan harta bendanya. Santi semakin gelisah saat teringat hutang bapaknya yang akan terus berbunga sebelum dilunasi. Karena jaminannya tak main-main, rumah yang selama ini dia impikan
Lorong rumah sakit itu terlihat ramai dangan lalu lalang orang. Berbagai ekspresi nampak dari raut wajah-wajah itu. Ada yang terlihat lelah, kesakitan dan sedih, hanya anak-anak kecil yang bisa tertawa lepas di sepanjang lorong tempat Vina dan keluarganya duduk di sebuah bangku panjang dari besi. Semua terlihat tegang, sementara Miranti masih menangis tersedu sejak dari rumah."Apa yang terjadi?" tanya Iyan yang baru saja sampai, napasnya ngos-ngosan karena terlalu tergesa-gesa. "Kinan ... dia mencoba bunuh diri dengan mengiris pergelangan tangannya," sahut Vina. Gadis itu menatap lekat pada abangnya."Ini semua gara-gara kamu, Yan! Andai kamu tidak mengingkari janji, pasti semua ini tak kan terjadi!" Dengan emosional Miranti mencecar lelaki bermata elang itu.Handoko memegang tangan istrinya ketika wanita itu hendak membalas ucapan Miranti, lelaki itu mengisyaratkan agar wanita yang sangat dicintainya itu diam sama seperti yang dilakukan putranya, lelaki jangkung itu tak membela dir
Sejak kesadarannya Miranti menangis tak kunjung henti, dia begitu terpukul dengan apa yang menimpa putrinya, rasa kecewa dan malu kini menjadi satu.Setelah mendapatkan perawatan, malam harinya Kinan sudah diperbolehkan pulang. dan semenjak sadar Miranti belum mengajaknya bicara. Wanita baya itu terlalu kecewa dengan putri yang sangat dibanggakan dan disayanginya.Sesampainya di rumah, Vina memapah Kinan ke kamar belakang, keduanya melangkah tanpa sepatah kata. Vina pun tak ingin banyak bertanya. Biar itu menjadi urusan Kinan."Istirahatlah dulu," ucap Vina setelah mereka sudah berada di dalam kamar. Adiknya Iyan itu tak tega melihat kondisi Kinan yang sangat lemah apalagi sejak tadi Kinan didiamkan oleh ibunya, tentu itu sangat menyakitkan. Di saat seperti ini, orang yang seharusnya memberi dukungan mala bersikap cuek."Bagaimana ini, Da?" tanya Miranti sambil terisak. Wanita yang biasanya terlihat tegas itu nampak tak berdaya. Mereka saat ini tengah duduk di ruang tengah."Bagaimana
Rahayu menatap heran pada Kinan ketika pintu terbuka dengan sempurna. Mata senjanya langsung bisa melihat ada yang tak beres dengan wanita yang berdiri sangat dekat dengan calon suami Ambar itu."Assalamualaikum, Bu," ucap Iyan, lelaki jangkung itu memperlihatkan giginya yang rapi dan putih, setelah mendapat balasan salam, Iyan segera menunduk dan meraih tangan Rahayu kemudian menciumnya dengan takzim. Melihat ekspresi keheranan dari sorot mata senja Rahayu, Iyan langsung sadar dan memperkenalkan wanita yang bersamanya. "Ini Kinan, Bu. Saudara jauhku," imbuhnya.Rahayu tersenyum mendengar penuturan Iyan. "Vina ndak ikut, Yan?" tanyanya setelah menunggu uluran tangan Kinan yang tak kunjung dilakukan wanita muda itu, bahkan sedari tadi wanita itu kebanyakan menunduk."Tidak, Bu. Dia lagi sibuk di rumah, persiapan untuk acara besok."Rahayu mempersilahkan Iyan dan Kinan masuk, keduanya beriringan menuju sofa sedangkan Rahayu melangkah di belakang mereka. "Bagaimana keadaan Alif?" tanya I
"Sumi, apa semua baik-baik saja? Rumahku?" tanya Santi tiba-tiba. "Rumah itu masih menjadi milikku kan?" imbuhnya sambil melangkah mendekati adiknya."Rumahnya sudah dijual, Mbak," sahut Sumi takut-takut. Saat ini Santi terlihat seperti seorang monster, sorot matanya tajam dengan bekas luka dan tubuhnya, benar-benar menakutkan. "Bagaimanapun mungkin kamu bisa melakukannya? Kamu tidak berhak melakukan itu Sumi!" bentaknya."Mbak, semua itu kulakukan demi kamu! Kamu terluka parah dan butuh biaya untuk semua ini! Lalu ...." Sumi mendekati kakaknya. "Kakak ingat dengan orang-orang yang selalu datang untuk menagih hutang bapak? Mereka meminta untuk segera dibayar, Kak. Kalau tidak, rumah akan beralih menjadi milik mereka. Lalu, hutang kakak di kafe itu, dari mana aku punya uang untuk membayarnya kalau tidak menjual rumah, Kak?!" Sumi ikut emosi melihat kemarahan kakaknya, perhatiannya selama ini ternyata tidak berarti sama sekali bagi Santi. "Untung Om Haris mau membantu mencarikan pembel