"Coba kamu periksa ke dokter, mana tau ada yang salah sama rahim kamu. Masa udah rumah tangga tiga tahun tapi belum juga punya anak," ucap Ibu Mertuaku yang katanya hanya sekedar mampir, padahal hal itulah yang selalu ia bahas ketika berkunjung ke rumah.
"Sudah kok, Bu. Dan kata dokter rahimku sehat. Siklus menstruasinya juga teratur. Aku juga sebisa mungkin menghindari stres walaupun selalu dihujani banyak pertanyaan 'kenapa belum hamil?'.""Jadi, kamu mau bilang Ibu bikin kamu stres?" Nada bicara Ibu Mertuaku terdengar tidak baik-baik saja."Aku tidak menuduh Ibu, apa memang Ibu merasa?""Ini nih, yang buat kamu susah hamil. Ngeyel jadi orang!"Ditengah perbincangan dengan Ibu Mertuaku yang terdengar semakin tidak baik, Suamiku malah asyik main game dengan ponselnya. Begitulah kebiasaannya setiap pulang kerja. Bukannya membelai istri, malah sibuk dengan game. Bagaimana bisa aku hamil kalau seperti ini?Aku menarik napas dalam-dalam. "Bu, coba deh Ibu tanya sama anak Ibu sendiri. Mungkin saja Mas Rendi yang bermasalah. Dokter juga nyaranin supaya kita diperiksa berdua, tapi Mas Rendi selalu nolak," ucapku akhirnya dengan berani.Selama ini aku diam bukan karena aku tidak punya nyali untuk membela diriku sendiri, hanya saja aku menghormati Ibu Mertuaku yang sudah menjadi Ibu kedua bagiku. Namun, aku sudah tidak tahan lagi jika pembahasan setiap hari hanya seputar anak saja."Kok kamu jadi nuduh suami kamu sendiri? Kamu lupa, Rendi sudah punya anak dari istrinya yang dulu. Kamu mau membela diri tapi menuduh Rendi yang bermasalah? Apakah kamu harus diperiksa kejiwaannya juga?""Bu, cukup, ya!" Aku sudah benar merasa hilang kesabaran. "Mas Rendi! Ngomong sesuatu dong!"Tanpa berpikir panjang, aku secara tidak sadar merebut ponsel Mas Rendi."Bu, udah. Malu sama tetangga. Ibu pulang aja udah mau malem juga," ucap Mas Rendi yang akhirnya bersuara disaat aktivitasnya aku hentikan secara paksa."Dasar, Menantu yang gak tau sopan santun!" ucap Ibu Mertuaku yang langsung keluar dari rumah untuk pulang.Setelah Ibu pulang, aku pikir Mas Rendi akan meminta maaf atas perbuatan Ibunya padaku. Namun, salah. Aku terlalu berharap saja dibela oleh Suamiku sendiri."Sayang, jangan begitulah sama Ibu. Kasihan. Wajar kalau Ibu minta cucu sama kita. Anak Ibu itu cuma Mas. Dan anak Mas kan ikut sama mantan istri Mas, jadi jarang main dan bertemu sama Ibu.""Aku cape aja, Mas. Selalu itu terus yang dibahas. Bukannya nanya kabar dulu, atau apalah. Ibu pikir aku nggak mau punya anak apa? Umur aku juga udah mau 28 tahun, jelas aku juga mau punya anak kaya orang lain. Makanya ayo kita periksa ke dokter sama-sama."Suamiku langsung memelukku. "Sabar, ya. Mas nggak pernah maksa kamu buat cepet hamil. Hidup bersama kamu saja Mas sudah sangat senang. Mas juga gak pernah minta kamu buat periksa ke dokter.""Ya kalau begitu, Mas bicara dong sama Ibu tadi.""Sttt! Udah pokoknya jangan dibahas lagi hal itu."Aku pun balas memeluk suamiku, karena aku orang yang mudah luluh.Jujur saja, aku adalah orang yang gampang bergairah. Selama pernikahan kami, akulah yang selalu meminta jatah terlebih dahulu."Mas ...."Aku mulai menciumi leher suamiku, untuk membangkitkan gairahnya."Sayang, Mas lagi cape banget hari ini. Besok lagi, ya."Lagi?Lagi-lagi aku ditolak!Malam kemarin karena pulang lembur. Sekarang karena capek."Tapi, Mas ...."Namun Mas Rendi benar-benar tidak mempedulikan keinginan sederhanaku itu. Ia masuk ke dalam kamar sambil membawa ponselnya yang aku rampas tadi dan meninggalkanku sendirian.Pada akhirnya, aku yang harus mengurusnya sendiri. Bermain dengan jariku sampai aku merasa puas. Selalu begini, kapan aku hamilnya?***Sebagai seorang Ibu rumah tangga, terkadang bosan juga hampir setiap hari di rumah apalagi aku belum mempunyai anak yang harus aku jaga.Kadang aku berpikir lebih baik stres karena pekerjaan tetapi tetap menghasilkan uang. Daripada stres di rumah, uang pun menunggu pemberian dari suami ketika gajian.Sekarang jadwalku untuk belanja bulanan. Ya, aku berangkat sendiri. Tidak pernah mengandalkan Suamiku yang selalu ogah-ogahan jika aku memintanya untuk antar ke supermarket. Suamiku terlalu gila pekerjaan, sekalinya pulang lupa istri karena sibuk bermain game.Waktunya aku mengantre di kasir, memang bukan akhir pekan tetapi cukup ramai karena aku belanja sore hari dimana bertepatan dengan jam pulang kantor.Sekarang tiba untuk menghitung berapa total belanjaanku yang hanya satu troli kecil saja. Sebagai seorang istri, aku sudah pandai me-manage uang. Walaupun belum punya anak, tetapi aku selalu menyisihkan penghasilan Suamiku untuk dana pendidikan anak kami nanti."Totalnya jadi 564.300 rupiah, Mbak."Aku yang sedari tadi tengah sibuk mencari dompet, mulai merasa panas dingin setelah kasir itu selesai men-scan barang belanjaanku.Astaga! Di mana dompetku? Apa aku lupa membawanya?Saat berangkat ke supermarket, aku memesan ojek online dan membayar lewat e-wallet, sehingga aku tidak menyadari kalau aku lupa membawa dompet. Dan sayangnya saldo e-wallet-ku kurang dari nominal yang disebutkan oleh kasir. Sedangkan m-banking ada di ponsel Mas Rendi."Mbak? Total belanjaannya 564.300 rupiah. Kalau tidak ada cash, bisa scan barcode.""Mbak, maaf. Sepertinya dompet saya tertinggal. E-wallet saya juga tidak cukup saldo. Boleh saya telepon suami saya dulu?" tanyaku berharap Mbak kasir itu mengiyakan dan aku akan meminta Mas Rendi untuk top up saldo e-wallet-ku saja."Cepat, Mbak. Antrean panjang."Aku segera menelpon Mas Rendi dengan gugup karena orang-orang di belakang melihatku.Beberapa kali, Mas Rendi tetap tidak menjawab."Mbak biar saya yang bayar," ucap seseorang yang memberikan blackcard pada kasir. Sontak membuatku menoleh."Tidak usah, Mas.""Kamu tidak lihat antrean di belakang? Saya hanya meminjamkannya, nanti kamu harus kembalikan uang saya," ucapnya.Meski sedikit malu, tetapi setidaknya pria yang ada di belakangku telah menyelamatkanku.Aku pun menunggu dia setelah beres dengan belanjaannya. "Mas, karena suami saya masih belum bisa dihubungi, boleh saya minta nomor rekening dan nomor ponselnya. Saya akan pastikan bayar setelah saya sampai ke rumah.""Kamu tidak akan kabur?"Dengan cepat aku menggelengkan kepala. "Tidak, Mas.""Saya butuh jaminan.""Tapi saya tidak membawa barang berharga, saya juga tidak bawa kartu pengenal.""Kalau begitu, saya antar ke rumah. Dan kamu bisa langsung membayarnya.""Ke rumah?""Iya, dengan begitu kamu tidak akan kabur.""Tapi, sepertinya itu merepotkan," ucapku yang keberatan jika harus mengajaknya ke rumahku."Saya bukan berniat mengantarkan kamu pulang, tapi menjemput uang saya."Aku tidak punya pilihan lain, selain mengiyakannya. Aku juga tidak mau jika harus berhutang pada orang lain.Sepanjang perjalanan, kami saling diam saja. Karena memang tidak ada topik obrolan yang perlu kami bahas."Ini rumahmu?" tanya pria itu saat mobil berhenti tepat di depan rumah."Iya, betul. Mas tunggu sebentar di sini, saya ke dalam ambil dompet," ucapku sambil membuka pintu mobil."Kamu tidak menyuruhku untuk menunggu di dalam?" tanya pria itu membuatku merasa curiga saja jika dia bukan orang baik-baik."Suami saya belum pulang kerja, Mas. Saya tidak bisa asal memasukkan orang ke dalam rumah. Mohon maaf ya, Mas."Saat aku keluar dari kamar, ternyata pria yang aku suruh untuk menunggu di mobil, malah sudah duduk di ruang tamuku. Membuatku takut dan was-was."Mas kenapa masuk ke dalam tanpa seizin saya? Saya kan sudah bilang Mas tunggu di mobil, karena saya pasti akan membayarnya. Ini ...."Aku menyerahkan uangku untuk menggantikan uangnya. Aku genapkan saja jadi 600 ribu, hitung-hitung sebagai rasa terima kasih."Oke, saya terima uangnya." Pria itu bangkit. Bukannya keluar dari rumah, ia malah berjalan mendekati foto pernikahanku dengan suami yang aku cetak dengan ukuran besar dan aku pajang di ruang tamu."Ini foto pernikahanmu dengan suami?" tanya pria itu benar-benar melenceng dari tujuan dia ke sini.Meskipun itu basa-basi yang tidak terlalu mengganggu, tetapi bagiku rasanya sedikit tidak sopan saja karena pria itu dengan lancang masuk ke dalam."Betul. Mas sebaiknya pulang, sekali lagi saya ucapkan terima kasih.""Sepertinya saya diusir secara halus. Baiklah, saya permisi."Disaat pria itu hendak keluar, ternyata suamiku pun pulang bersama dengan Ibu Mertuaku.Habis sudah! Mereka pasti akan salah paham padaku karena pria ini keluar dari rumah disaat tidak ada orang."Apa-apaan ini, Tiana?" Nada bicara Ibu Mertuaku terdengar tidak baik-baik saja. "Keterlaluan! Suami sibuk kerja, eh ini istri tidak tahu malu malah masukin laki-laki ke rumah. Gak tahu malu!""Tiana ....""Mas, tenang dulu. Aku akan jelaskan apa yang terjadi. Tapi nggak diluar kaya gini. Ayo kita masuk ke dalam dulu," ucapku dengan tenang saat mendengar Mas Rendi memanggil namaku lirih."Jangan mau percaya sama istri kamu, Ren. Kamu itu udah diperdaya sama dia. Sama Ibu aja udah berani ngelawan. Pasti dia juga akan ngelawan kamu. Sekarang aja udah berani masukin laki-laki ke dalam rumah disaat kamu gak ada. Udah jelas dia wanita gak bener. Gak heran kalau dia jadi susah untuk hamil. Tuhan lebih tau kalau istri kamu belum pantas jadi seorang Ibu." Ucapan Ibu Mertuaku yang sengaja mengompori Mas Rendi, sudah sangat keterlaluan. Apalagi saat itu ada orang asing yang mendengar hinaan yang ditujukan untukku. Dan kesalnya, pria asing itu terus diam saja. Menyimak tanpa sedikitpun ingin membantu menjelaskan kesalahpahaman."Bu, mending Ibu diam dulu. Jangan memperunyam masalah ini. Ini hanya kesalahpahaman yang harus aku luruskan saja.""Haduh, lagu lama. Alasan klasik orang yang ketauan sel
Aku masih belum berani untuk menoleh. Saking parnonya karena film, aku malah sempat berpikir jika pria disampingku bukanlah manusia."Tenang saja aku bukan pria jahat."Aku masih merasa aman karena adanya kamera tersembunyi di dalam teater. Sehingga aku kembali fokus saja pada film dilayar."Kamu datang sendiri?" bisik pria itu lagi.Aku mengangguk saja, berharap ia tidak terus-menerus bertanya hal yang tidak penting."Mengapa sendiri?" Lagi!Aku menoleh dengan niat ingin menegurnya agar tidak terus mengajakku berbicara. "Ma---" Aku malah diam membeku karena kini aku berhadapan dengannya dengan jarak yang cukup dekat, dekat, sangat dekat. Sontak aku langsung menjauhkan wajahku karena terkejut sekaligus takut."Sudah aku bilang, aku bukanlah orang jahat. Aku hanya ingin mengobrol saja.""Aku sudah punya suami!""Memangnya kenapa? Apa ada aturannya kalau sudah bersuami tidak boleh mengobrol dengan orang lain?""Aku sedang fokus pada film!""Baiklah."Setelahnya, aku pikir akan berhent
Dua bulan berlalu setelah kejadian di bioskop waktu itu, aku belum bertemu dengan Ibu Mertuaku lagi. Karena dia masih saja marah dan menganggap bahwa aku mengenyampingkan kepentingan keluarga hanya demi kesenangan sendiri.Salahku memang yang tidak bertanya pada Mas Rendi mengapa ia membatalkan rencana kita keluar, sebab aku yang sudah terlanjur kecewa selalu menjadi nomor dua.Wajarkah jika aku cemburu terhadap Ibu mertuaku sendiri? Mau bagaimana lagi, aku memang merasa dinomorduakan. Dan disisi lain, Mas Rendi sendiri yang selalu bersikap abu-abu."Mas pulang," ucap Mas Rendi yang langsung menyadarkan lamunanku."Oh iya, Mas. Mas udah makan di rumah Ibu, kan? Soalnya aku gak masak lagi hari ini." Aku langsung berdiri menghampiri suamiku untuk membawa tas kerjanya seperti yang biasa aku lakukan."Iya, Mas udah makan. Kamu udah makan juga?""Udah," ucapku yang langsung segera berpaling.Jujur saja aku masih tidak sanggup jika harus bertatapan lama dengan suamiku. Perasaan bersalah yan
Beberapa hari setelah bertemu dengan Mbak Dian, aku merasa penasaran tentang cerita masa lalu suamiku, yang padahal dari awal pertemuan kami, aku tidak bertanya apapun terkait mantan istrinya.Bukan cerita indah yang membuatku merasa penasaran, melainkan cerita yang sepertinya tidak jauh berbeda dari apa yang sedang aku alami sekarang di rumah tanggaku bersama Mas Rendi."Mas, ini kopinya," ucapku sambil menaruh kopi panas yang sudah aku buat untuk Suamiku setelah makan malam bersama tadi."Iya, terima kasih, Sayang.""Mas, boleh aku tanya sesuatu?""Iya boleh, tanya saja. Kenapa harus tanya gitu dulu? Biasanya langsung nanya.""Simpan dulu dong HP-nya," protesku."Iya apa?""Aku ketemu sama mantan istri Mas. Dan kami ngobrol sebentar. Terus ada hal yang membuat aku kepikiran. Kalau boleh tau, kalian berdua berpisah karena apa?"Brak!!Aku terkejut bukan kepalang, reaksi dari Mas Rendi sama sekali diluar ekspektasiku. Ini adalah kali pertamanya Mas Rendi terlihat marah."Mas?!""Mas p
"Lho? Kamu bukannya --?" Aku langsung teringat jika pria yang ada di hadapanku itu ternyata pria yang membantuku membayarkan belanjaanku tempo hari. Aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu lagi dengan pria itu. Mungkin memang sudah takdirnya aku bertemu lagi dengan dia, hanya saja aku kembali merasa dongkol sebab dia yang sudah menimbulkan kesalahpahaman tetapi dia juga tidak berusaha membantuku untuk meluruskan.Pria dihadapan aku langsung tersenyum seolah dia juga masih mengingat wajahku."Wanita di supermarket?""Jadi, kamu CEO di perusahaan ini?" "Benar, selamat datang di perusahaanku. Kamu berniat untuk melamar pekerjaan di sini, kan? Biarkan saya melihat CV-mu terlebih dahulu," pinta pria itu yang ternyata bernama Anggara saat aku melihat name tag di meja kerjanya.Sebenarnya aku masih merasa marah padanya, kalau saja aku tidak membutuhkan pekerjaan, mungkin aku sudah mengurungkan diri untuk bekerja di sana.Dia membaca CV-ku, sementara aku duduk di kursi yang ada di hadap
"Aku juga masak sayur, kok. Sayur bayam dan jagung buat Ibu. Tadi Ibu nyuruh aku buat cepetan masak, tapi malah nyuruh Mas Rendi buat beli diluar. Pengeluarannya kan jadi double," ucapku yang sakit hati dengan ulah Ibu Mertuaku, yang seolah sengaja selalu melakukan apapun untuk menguji kesabaranku di depan Mas Rendi."Memangnya Ibu lagi menyusui dibikinin sayur bayam? Ayam goreng buatan kamu juga selalu keras, sakit kalau dimakan sama Ibu yang giginya udah setua umur Ibu juga," ujar Ibu Mertuaku.Terdengar menyebalkan, bukan?Kelakuan Ibu Mertuaku memang sukses membuat aku gemas, geram dan tak tahan menahan emosi. Aku tahu, jika diumur Ibu yang sekarang, dia akan memasuki kembali fase kanak-kanak, tetapi ini rasanya lebih menyebalkan dari sekedar tingkah laku anak kecil."Udahlah, Sayang. Nggak apa-apa, kok. Sekali-kali juga. Kata dokter kan menjaga suasana hati Ibu, bisa turut mempercepat masa pemulihan, karena kita membahagiakan batin dan mentalnya," bela Mas Rendi terdengar seperti
"Jauh sebelum kamu menjadi sekretaris saya, saya memang selalu makan siang bersama sekretaris saya yang lama. Tapi dia sekarang sudah menikah dan resign," lanjut Pak Anggara seolah tidak ingin membuatku berpikir macam-macam."Oh begitu, Pak.""Kalau sedang diluar jam kantor, santai saja. Jangan terlalu formal. Kita juga sebelumnya kan sudah saling kenal."Mana bisa seperti itu, aku tetap akan menjaga profesionalitas aku dalam bekerja. Dan rasanya diantara kami berdua tidak begitu saling mengenal lebih jauh, sehingga tidak terlalu pantas jika bersikap informal walau diluar jam kantor."Ah, tidak, Pak. Saya hanya sebatas sekretaris Pak Anggara. Lebih dari itu, Pak Anggara pernah membantu saya. Tidak lebih lagi karena kita berdua tidak saling kenal juga.""Sepertinya kamu masih marah pada saya?" tanya Pak Anggara disertai dengan senyum tipis yang aku sendiri tidak tahu apa arti senyuman itu.Mengejekku?"Marah? Atas dasar apa saya harus marah sama Bapak?""Karena saya tidak membantu menj
*Flashback*Dua hari yang lalu, Mas Rendi pulang telat karena memang harus lembur. Ia mengambil lemburan mungkin hanya satu sampai dua kali saja dalam satu pekan, sehingga aku berdua saja dengan Ibu, karena Bi Wati sudah pulang ke rumahnya."Berapa gajimu dalam sebulan?" tanya Ibu Mertuaku yang memecah suara dari televisi.Biasanya aku memang selalu lebih lama menghabiskan waktu di dalam kamar, tetapi karena Mas Rendi belum pulang, jadi aku menunggunya di luar."Aku belum tau, Bu. Mungkin nggak jauh dari UMK kota ini," jawabku singkat karena memang aku belum tahu.Dasar pikirkan burukku memang cukup sulit untuk dijauhkan sehingga aku sampai berpikir Ibu akan meminta uang dari hasil keringatku juga. Sebenarnya memang tak apa, aku juga tidak akan perhitungan dengan suami atau bahkan dengan keluarga dari Suamiku sendiri."Kalau kamu sudah gajian nanti, ingat jangan digunain sendiri uangnya. Kalau mau meringankan beban suami jangan pelit-pelit dan perhitungan!"Belum genap satu bulan saja
Semua orang tanpa terkecuali pasti memiliki sebuah luka. Luka yang tidak kasat mata, hanya sang pemilik luka lah yang bisa merasakannya.Sembuh atau tidaknya tidak bisa dipastikan secara nyata, sebab tergantung sang pemilik luka itulah akan berbicara berdasarkan fakta atau malah menyembunyikannya agar terlihat baik-baik saja.Meski pada akhirnya luka yang tidak terlihat itu bisa sembuh, tapi memorinya akan selalu tertanam dalam ingatan. Semakin mencoba untuk dilupakan, maka akan semakin tenggelam dalam kesakitan.Hanya diri sendirilah yang mampu menyembuhkan dan memastikan luka itu tidak bersarang lama dalam hidupnya.Masa lalu akan tetap menjadi masa lalu, sejauh apapun mengejarnya tak akan bisa kembali apalagi hanya untuk menyesali apa yang sudah terjadi dimasa sekarang.Luka dimasa lalu yang dibiarkan, biasanya akan menjalar menjadi sebuah dendam. Sebuah titik balik yang berniat untuk melupakan, malah meluap menjadi emosi yang harus terbalaskan.Ketidakadilan adalah hal yang pasti
POV Anggara"Kania ...." Setelah istriku mengatakan semua isi hatinya di depan makam Kania, kini giliranku yang harus aku utarakan juga apa yang ada dalam hatiku ini."Sudah lama rasanya sejak hari di mana kita terakhir bertemu dalam keadaan hubungan kita yang tidak baik-baik saja. Itu adalah hal yang paling aku sesalkan. Aku kira aku tau semua tentangmu, tentang cerita senang dan sedihmu. Ternyata aku tidak sedalam itu mengetahui hidupmu. Entah apa lagi yang harus aku sesalkan karena semua itu tidak akan membuat waktu berputar kembali sehingga kamu mungkin masih hidup dan bersamaku sekarang."Pertama kalinya, aku mengutarakan apa yang ada di dalam hatiku, penyesalan yang aku rasakan terhadap kematian Kania yang tidak aku sadari apa yang terjadi pada Kania sebelumnya."Selama ini aku sama sekali tidak melupakanmu. Aku melanjutkan hidup karena aku selalu mengingatmu. Aku bawa dendam kematianmu dengan menghancurkan hidup orang yang menjadi alasan kamu mengakhiri hidupmu."Sekejap aku me
"Hay, Kania. Perkenalkan aku Tiana, aku adalah istri Mas Anggara, cinta pertama kamu. Senang bisa tau cerita kamu dari suamiku sendiri. Semoga kamu bisa beristirahat tenang di sana. Sungguh, kamu jatuh cinta pada pria yang tepat. Aku merasa keberuntungan yang harusnya kamu miliki, kini menjadi milikku. Aku berharap kamu bahagia atas kebahagiaan aku dan Mas Anggara saat ini. Sekarang kami sudah mempunyai tiga anak, dua anak kembar dan bungsu yang masih bayi. Nanti jika mereka sudah besar, akan aku ceritakan bagaimana ayahnya mencintai kamu begitu hebat dan tulus. Terimakasih sudah menyemangati Mas Anggara disaat ia merasa ada dititik terendah dalam hidupnya, sehingga dia bisa sehebat sekarang ini. Aku akan mencintai Mas Anggara dan menjaga anak-anak kami selamanya."Aku mengutarakan isi hatiku disaat kami sudah menaburkan bunga dan berdoa untuk Kania. Tidak ada lagi rasanya cemburu, sedih atau bahkan sakit hati. Aku sudah benar-benar ikhlas dengan kenyataan dari cerita Mas Anggara.Tid
Bulan madu setelah memiliki anak, tadinya aku berpikir itu hanya buang-buang waktu dan bentuk keegoisan orang tua yang tega meninggalkan anak-anak hanya demi kesenangan berdua, padahal bulan madu berdua itu bisa digantikan dengan liburan bersama keluarga, sehingga anak-anak bisa ikut merasakan bahagia yang sama seperti orang tuanya. Namun ada hal yang aku sadari setelah aku merasakannya sendiri. Setelah menjadi seorang istri, prioritasku berpindah pada suami. Aku belajar memasak masakan yang disukai suami, mengingat makanan apa yang tidak ia sukai, menjaga bentuk badan agar suami tetap cinta, menjaga dan membersihkan rumah agar tetap bersih sehingga ketika suami pulang kerja dia bisa nyaman beristirahat, memastikan pakaian suami bersih ketika akan dipakai bekerja, memastikan dia makan sehat meskipun diluar rumah. Sampai kepentinganku sendiri tergeser dari prioritas yang tadinya selalu utama. Lalu, lahirlah sang buah hati. Bertambah pula yang harus diprioritaskan selain diri sendi
Pagi indah aku benar-benar menyarap suamiku sendiri. Bercinta dipagi hari ternyata lebih fresh, mungkin energi kita masih utuh karena belum melakukan aktivitas apa-apa. Ini adalah honeymoon kedua yang berhasil. Selain aku mendapatkan kenikmatanku kembali, aku mendapatkan ketenangan setelah berhati-hati menyimpan rasa kecewa karena sulit untuk menerima realita. Di villa itu, aku dan Mas Anggara seperti mengadakan pesta bercinta saja. Rasanya malu melihat kelakuan diri sendiri, seperti orang yang kehausan dan lama tidak mendapatkan air. Mungkin itu yang akan dikatakan oleh rahimku jika dia bisa berbicara. Mempunyai suami tapi aku malah kekeringan. Sering cemburuan, mudah marah, mudah tersinggung, ternyata sentuhan suami lah obatnya. Kesabaran suami yang menjadi vitamin tambahan. Untunglah dia tidak berpikiran untuk membayar jasa wanita diluar sana, yang bahkan pasti ada saja yang menjajakan diri dengan suka rela alias gratis. Aku malu sekali jika mengingat semua yang telah terjad
Bagaimana ada istri seperti aku sekarang ini. Rasanya aku tidak pandai bersyukur sekali, semua yang aku inginkan sudah aku dapatkan di pernikahan kedua ini, tetapi aku tidak memperhatikan suamiku sendiri. Padahal dialah sumber yang membuat aku bisa mendapatkan apa yang selama ini menjadi keinginanku.Mas Anggara tidak pernah menuntut apa-apa, selalu memberikan yang terbaik untukku dan tentu juga untuk anak-anak. Namun aku tidak memperhatikan kebutuhan biologisnya. Padahal itu bukan hal yang besar dan mahal untuk aku berikan karena pastinya aku juga akan merasakan kenikmatannya.Aku baru tersadar kenapa beberapa kali Mas Anggara menyarankan agar kami mencari pengasuh bayi, karena dia juga butuh perhatian dariku, dia butuh aku untuk mengurusnya. Aku saja yang kurang peka dan tidak pernah bertanya."Maafkan aku, Mas. Aku akan lebih memperhatikanmu disamping kesibukanku mengurus anak-anak. Dan sepertinya aku akan menerima tawaran untuk mencari pengasuh bayi saja. Aku tidak akan egois dan
"Tidak," jawabku sambil menggelengkan kepala. "Sepertinya ada satu hal yang baru aku sadari sekarang, Mas.""Apa itu?""Setelah memiliki anak, fokusku hanya pada mereka saja. Kamu tidak aku perhatikan bahkan aku mengabaikan diriku sendiri. Baru aku sadari ternyata kamu malah semakin tampan meskipun sudah mempunyai tiga anak, usia kamu beberapa tahun lagi akan memasuki kepala empat. Kamu masih sangat sehat, bugar, berkharisma seperti aktor-aktor Hollywood yang semakin matang usia malah semakin menarik mata."Mas Anggara tersenyum tipis. "Kamu memujiku terlalu berlebihan, Sayang. Tidak seperti itu. Biasa saja seperti lelaki pada umumnya."Aku menggelengkan kepala dengan tegas. "Beda! Kamu sangat berbeda. Aku tidak memuji kamu secara berlebihan tapi memang faktanya begitu. Aku hanya membicarakan apa adanya yang aku lihat.""Kalau memang begitu, kenapa kamu tampak sedih sekarang? Bukannya memiliki suami yang tampan itu akan membuat kamu bangga?""Yang ada aku malah insecure, Mas. Kalau ki
Senja perlahan bergantian dengan langit yang menggelap. Tidak ada lagi pemandangan yang bisa aku lihat dari atas sini kecuali perlahan digantikan dengan lampu-lampu kota yang satu persatu mulai dinyalakan. Aku hanya bisa menunggu karena waktu yang akan menjawab bagaimana selanjutnya. Apa yang bisa aku lakukan jika dia mengatakan sebuah janji selain aku menunggu dan merasakan sendiri bagaimana dia membuktikan itu semua. Sehingga tidak ada jawaban lain selain aku tetap bertahan untuk melihat janji yang dia ucapkan, bisa dia buktikan.Aku mencintai suamiku terlepas dari apapun masa lalunya, rahasianya juga alasan awal bagaimana dia mendekatiku hingga akhirnya sungguh menikahiku.Aku harus melapangkan dada, meluaskan rasa sabarku, melihat ke masa depan dan merasakan apa yang masa sekarang terjadi. Bukankah selama ini rumah tangga kami baik-baik saja?Itulah yang sudah seharusnya aku lakukan. Tidak ada manusia yang tanpa pernah melakukan sebuah kesalahan dimasa lalu. Semua manusia adalah
Mas Anggara selalu bisa memberikanku jawaban yang masuk diakal. Tidak mengada-ada seperti mencari pembenaran untuk dirinya, tetapi memang seolah faktanya seperti apa yang dia katakan."Coba bilang padaku, apa yang harus aku lakukan sekarang?"Aku menggelengkan kepala."Papa saja menyadari jika hubungan kita tidak baik-baik saja makanya dia menyuruh kita untuk menghabiskan waktu berdua tanpa anak-anak. Jangan sampai sepulang kita dari sini, kamu tetap menjaga jarak dariku. Kita ini suami istri.""Aku tau. Aku juga tidak mau seperti ini, Mas. Tidak ada seorang pun yang mau rumah tangganya diuji, kalau bisa itu juga. Tapi cerita kamu itu membuat hatiku sakit, kecewa. Jadi banyak sekali hal yang aku pikirkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi yang aku hubungkan dengan cerita kamu. Aku sudah punya trauma di pernikahanku dulu, dan aku masih tidak percaya kita begini jadinya. Apa ini karma untukku?"Tiba-tiba saja langsung terpikirkan hal itu dalam benakku. Memang sama sekali tidak