Dua bulan berlalu setelah kejadian di bioskop waktu itu, aku belum bertemu dengan Ibu Mertuaku lagi. Karena dia masih saja marah dan menganggap bahwa aku mengenyampingkan kepentingan keluarga hanya demi kesenangan sendiri.
Salahku memang yang tidak bertanya pada Mas Rendi mengapa ia membatalkan rencana kita keluar, sebab aku yang sudah terlanjur kecewa selalu menjadi nomor dua.
Wajarkah jika aku cemburu terhadap Ibu mertuaku sendiri? Mau bagaimana lagi, aku memang merasa dinomorduakan. Dan disisi lain, Mas Rendi sendiri yang selalu bersikap abu-abu."Mas pulang," ucap Mas Rendi yang langsung menyadarkan lamunanku."Oh iya, Mas. Mas udah makan di rumah Ibu, kan? Soalnya aku gak masak lagi hari ini." Aku langsung berdiri menghampiri suamiku untuk membawa tas kerjanya seperti yang biasa aku lakukan."Iya, Mas udah makan. Kamu udah makan juga?""Udah," ucapku yang langsung segera berpaling.Jujur saja aku masih tidak sanggup jika harus bertatapan lama dengan suamiku. Perasaan bersalah yang aku rasakan akan semakin memuncak saja rasanya. Dan seolah hal itu mendorongku untuk berkata jujur tetapi logikaku selalu bilang, tidak! Rahasia itu harus aku simpan sampai mati!Saat aku hendak ke kamar, Mas Rendi menahan lenganku. Dan hal itu malah membuat aku kembali mengingat pria asing yang dua bulan ini memenuhi otakku. Sehingga aku selalu merasa tidak sanggup berhadapan dan bertatapan dengan Mas Rendi."Sayang, duduk dulu. Mas mau bicara."Mas Rendi menuntunku untuk duduk di sofa."Mas gak tau kamu kenapa akhir-akhir ini --"Obrolan pembuka dari Mas Rendi benar-benar membuatku takut. Pikiranku sudah tidak karuan, aku takut jika Mas Rendi menyadari perubahan sikapku dan berpikiran yang tidak-tidak."Kenapa, Mas? Aku gak apa-apa, lho.""Kamu coba temui Ibu dan minta maaf, kalian berdua itu wanita yang penting dihidup Mas. Mas gak enak kalau kalian saling diam. Jadi, karena kamu masih muda, tolong kamu yang maklumin Ibu. Turunkan ego kamu sedikit, dan minta maaflah."Rupanya aku sudah salah mengira. "Apa sih, Mas? Memang aku salah apa? Yang ngediemin aku kan Ibu sendiri. Padahal aku udah jelasin kenapa gak bisa bantu-bantu acara peringatan meninggalnya Ayah."Aku yang tadinya merasa takut dan gugup karena kesalahanku, malah dibuat emosi dengan Mas Rendi yang memintaku untuk minta maaf pada Ibu."Sayang ---""Sudahlah, Mas." Aku langsung masuk ke dalam kamar.***Beberapa bulan kemudian ...."Mas, kok uang bulanan makin kecil aja. Aku sampai pakai uang tabungan pendidikan anak kita lho, Mas. Karena uang yang Mas kasih itu kurang," keluhku yang sudah tak bisa lagi aku tahan-tahan.Uang dari Mas Rendi setiap bulannya semakin membuat dompet menjerit saja karena tidak pernah bertahan lama. Bukan karena boros, tetapi karena memang sedikit yang aku terima."Pakai dulu yang ada, sayang. Mau gimana lagi. Mas juga masih berusaha supaya ekonomi kita kaya dulu. Masih untung Mas nggak di PHK juga," jawab Mas Rendi membuatku kembali merasa iba karena merasa membebaninya. Namun aku juga tak tahu harus mengeluh pada siapa kalau bukan pada Suamiku sendiri."Ya udah. Sekarang Mas harus anter aku ke supermarket, setiap hari Jum'at selalu ada diskonan sampai 50 persen. Lumayan kalau buat perlengkapan mandi sama kebutuhan dapur," ajakku pada Mas Rendi dengan niat hati menghemat uang yang biasa aku pakai buat naik taksi online karena belanjaan juga cukup banyak."Nggak bisa, sayang. Mas mau antar Ibu ke toko bangunan. Rumah Ibu kan banyak yang bocor dan perlu direnovasi. Apalagi sekarang musim hujan, kasihan. Jadi sekarang mau pesan dulu bahan materialnya biar ikut pengiriman besok. Soalnya besok toko tutup jadi nggak bisa pesan," jawab Mas Rendi membuat hatiku remuk hancur.Aku mengangguk sambil tersenyum miris. Ya, miris. Miris pada diriku sendiri. Seorang istri yang seolah terbuang."Jadi uang bulanan buat aku makin dikit, karena uangnya buat renovasi rumah Ibu?" tanyaku masih baik-baik tapi penuh dengan emosi di dalamnyaMas Rendi menganggukkan kepalanya lemah."Oh ya udah, silahkan, Mas. Aku bisa sendiri, kok. Masih sore ini."Aku pun langsung keluar dari rumah setelah berganti pakaian. Tak perlu pamit karena memang Mas Rendi sudah berangkat ke rumah Ibunya.Setelah selesai berbelanja di supermarket biasa, belanjaanku pun tak begitu banyak, hanya satu kantung besar saja. Rasanya malas sekali jika harus langsung pulang, karena Mas Rendi sudah dipastikan belum pulang kalau langit belum berubah menjadi gelap. Di rumah sendirian membuatku merasa kesepian. Aku sampai lupa terkahir kali disentuh oleh Mas Rendi itu kapan. Lucu memang rumah tanggaku ini.Akhirnya aku memutuskan untuk makan di mall supermarket itu saja. Biar sejenak aku melupakan permasalahan rumah tanggaku yang selalu itu-itu saja, mertua dan sekarang masalah uang.Disaat aku tengah makan, aku melihat seorang wanita yang tidak asing diingatanku. Ya, Mbak Dyan, mantan istri Suamiku.Tadinya aku ingin berpura-pura tidak melihatnya, hanya saja Mbak Dyan sudah melihatku terlebih dahulu dan bahkan sekarang dia berjalan ke arahku."Tiana, istri Mas Rendi, kan?" Aku tersenyum dan mengangguk. "Mbak Dyan. Apa kabar, Mbak?" tanyaku basa-basi."Baik. Boleh aku duduk?""Silakan, Mbak. Mbak bukannya di Surabaya, ya?""Aku udah pindah, ikut calon suami. Gimana kabar Mas Rendi? Kalian baik-baik aja, kan?"Aku berpikir sejenak untuk mencari jawaban, rasanya tidak mungkin jika aku menceritakan semua masalah keluargaku pada mantan istri Suamiku sendiri. Apalagi aku tidak tahu alasan mereka berdua mengapa bisa bercerai. Ditambah Ibu Mertuaku yang selalu membandingkan aku dengan Mbak Dyan."Baik, Mbak.""Ah, syukurlah kalau mereka udah tobat. Setidaknya kamu gak ngerasain penderitaan aku pas masih rumah tangga sama Mas Rendi yang masih disetir sama Ibunya. Belum lagi masalah-masalah lainnya," ucap Mbak Dyan tanpa aku bertanya.Namun dengan Mbak Dyan berkata demikian, aku berpikir mungkinkah perpisahan diantara mereka karena semua hal yang sedang aku alami juga?Tiba-tiba ponsel Mbak Dyan berbunyi bahkan sebelum aku memberikan responku terhadap apa yang dikatakan Mbak Dyan. "Ah sorry, Tiana. Aku harus segera pulang. Tapi sebelumnya aku cuman mau bilang, jangan dipaksakan kalau kamu sudah gak kuat menanggungnya. Pernikahan itu harus membawa kebahagiaan bukan malah penderitaan. Sakit secara fisik mungkin masih bisa diobati, tapi kalau sudah menyangkut masalah mental? Trauma taruhannya. Sayangi masa depan kamu," ucap Mbak Dyan, ia tersenyum dan pergi berlalu.Aku tidak mampu mengucapkan salam perpisahan sebelum Mbak Dyan pergi, karena aku terlalu tenggelam dalam ucapan dia yang seolah tengah membuka mataku, yang sengaja aku tutup hanya demi mempertahankan rumah tangga bersama Mas Rendi.Sejenak aku berpikir, apakah aku terlalu pemaaf atau sebenarnya aku terlalu naif? Diantara banyaknya masalah yang bisa aku jadikan alasan untuk perpisahan, aku lebih memilih bertahan hanya demi satu alasan. Hah ....Beberapa hari setelah bertemu dengan Mbak Dian, aku merasa penasaran tentang cerita masa lalu suamiku, yang padahal dari awal pertemuan kami, aku tidak bertanya apapun terkait mantan istrinya.Bukan cerita indah yang membuatku merasa penasaran, melainkan cerita yang sepertinya tidak jauh berbeda dari apa yang sedang aku alami sekarang di rumah tanggaku bersama Mas Rendi."Mas, ini kopinya," ucapku sambil menaruh kopi panas yang sudah aku buat untuk Suamiku setelah makan malam bersama tadi."Iya, terima kasih, Sayang.""Mas, boleh aku tanya sesuatu?""Iya boleh, tanya saja. Kenapa harus tanya gitu dulu? Biasanya langsung nanya.""Simpan dulu dong HP-nya," protesku."Iya apa?""Aku ketemu sama mantan istri Mas. Dan kami ngobrol sebentar. Terus ada hal yang membuat aku kepikiran. Kalau boleh tau, kalian berdua berpisah karena apa?"Brak!!Aku terkejut bukan kepalang, reaksi dari Mas Rendi sama sekali diluar ekspektasiku. Ini adalah kali pertamanya Mas Rendi terlihat marah."Mas?!""Mas p
"Lho? Kamu bukannya --?" Aku langsung teringat jika pria yang ada di hadapanku itu ternyata pria yang membantuku membayarkan belanjaanku tempo hari. Aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu lagi dengan pria itu. Mungkin memang sudah takdirnya aku bertemu lagi dengan dia, hanya saja aku kembali merasa dongkol sebab dia yang sudah menimbulkan kesalahpahaman tetapi dia juga tidak berusaha membantuku untuk meluruskan.Pria dihadapan aku langsung tersenyum seolah dia juga masih mengingat wajahku."Wanita di supermarket?""Jadi, kamu CEO di perusahaan ini?" "Benar, selamat datang di perusahaanku. Kamu berniat untuk melamar pekerjaan di sini, kan? Biarkan saya melihat CV-mu terlebih dahulu," pinta pria itu yang ternyata bernama Anggara saat aku melihat name tag di meja kerjanya.Sebenarnya aku masih merasa marah padanya, kalau saja aku tidak membutuhkan pekerjaan, mungkin aku sudah mengurungkan diri untuk bekerja di sana.Dia membaca CV-ku, sementara aku duduk di kursi yang ada di hadap
"Aku juga masak sayur, kok. Sayur bayam dan jagung buat Ibu. Tadi Ibu nyuruh aku buat cepetan masak, tapi malah nyuruh Mas Rendi buat beli diluar. Pengeluarannya kan jadi double," ucapku yang sakit hati dengan ulah Ibu Mertuaku, yang seolah sengaja selalu melakukan apapun untuk menguji kesabaranku di depan Mas Rendi."Memangnya Ibu lagi menyusui dibikinin sayur bayam? Ayam goreng buatan kamu juga selalu keras, sakit kalau dimakan sama Ibu yang giginya udah setua umur Ibu juga," ujar Ibu Mertuaku.Terdengar menyebalkan, bukan?Kelakuan Ibu Mertuaku memang sukses membuat aku gemas, geram dan tak tahan menahan emosi. Aku tahu, jika diumur Ibu yang sekarang, dia akan memasuki kembali fase kanak-kanak, tetapi ini rasanya lebih menyebalkan dari sekedar tingkah laku anak kecil."Udahlah, Sayang. Nggak apa-apa, kok. Sekali-kali juga. Kata dokter kan menjaga suasana hati Ibu, bisa turut mempercepat masa pemulihan, karena kita membahagiakan batin dan mentalnya," bela Mas Rendi terdengar seperti
"Jauh sebelum kamu menjadi sekretaris saya, saya memang selalu makan siang bersama sekretaris saya yang lama. Tapi dia sekarang sudah menikah dan resign," lanjut Pak Anggara seolah tidak ingin membuatku berpikir macam-macam."Oh begitu, Pak.""Kalau sedang diluar jam kantor, santai saja. Jangan terlalu formal. Kita juga sebelumnya kan sudah saling kenal."Mana bisa seperti itu, aku tetap akan menjaga profesionalitas aku dalam bekerja. Dan rasanya diantara kami berdua tidak begitu saling mengenal lebih jauh, sehingga tidak terlalu pantas jika bersikap informal walau diluar jam kantor."Ah, tidak, Pak. Saya hanya sebatas sekretaris Pak Anggara. Lebih dari itu, Pak Anggara pernah membantu saya. Tidak lebih lagi karena kita berdua tidak saling kenal juga.""Sepertinya kamu masih marah pada saya?" tanya Pak Anggara disertai dengan senyum tipis yang aku sendiri tidak tahu apa arti senyuman itu.Mengejekku?"Marah? Atas dasar apa saya harus marah sama Bapak?""Karena saya tidak membantu menj
*Flashback*Dua hari yang lalu, Mas Rendi pulang telat karena memang harus lembur. Ia mengambil lemburan mungkin hanya satu sampai dua kali saja dalam satu pekan, sehingga aku berdua saja dengan Ibu, karena Bi Wati sudah pulang ke rumahnya."Berapa gajimu dalam sebulan?" tanya Ibu Mertuaku yang memecah suara dari televisi.Biasanya aku memang selalu lebih lama menghabiskan waktu di dalam kamar, tetapi karena Mas Rendi belum pulang, jadi aku menunggunya di luar."Aku belum tau, Bu. Mungkin nggak jauh dari UMK kota ini," jawabku singkat karena memang aku belum tahu.Dasar pikirkan burukku memang cukup sulit untuk dijauhkan sehingga aku sampai berpikir Ibu akan meminta uang dari hasil keringatku juga. Sebenarnya memang tak apa, aku juga tidak akan perhitungan dengan suami atau bahkan dengan keluarga dari Suamiku sendiri."Kalau kamu sudah gajian nanti, ingat jangan digunain sendiri uangnya. Kalau mau meringankan beban suami jangan pelit-pelit dan perhitungan!"Belum genap satu bulan saja
"Oh ya, gaji besar dari saya harus kamu gunakan untuk dirimu sendiri," ucap Pak Anggara memotong pembicaraanku, sampai aku mengerutkan keningku tidak mengerti mengapa dia berkata seperti itu.Mengapa harus digunakan untukku saja? Seolah aku tidak boleh berbagi gajiku maksudnya?"Maksudnya, Pak?""Kamu ini sekretaris saya, perusahaan ini perusahaan yang besar. Hampir setiap hari saya akan bertemu dengan klien penting. Coba perhatikan penampilan kamu sendiri."Sontak aku langsung melihat diriku dengan apa yang aku pakai setiap harinya.Tubuku yang tidak berubah dari sebelum menikah sampai sekarang membuat aku tidak kesusahan saat mendapatkan pekerjaan lagi, sebab aku bisa memakai baju lamaku.Saat bekerja dulu, aku selalu mengutamakan penampilan karena tuntutan pekerjaan, sehingga baju-baju kerjaku cukup banyak, bahkan lebih banyak dibandingkan saat aku setelah menikah yang jarang sekali membeli baju.Namun karena aku terkahir bekerja sudah bertahun-tahun yang lalu, jelas saja pakaian ya
Aku tidak salah dengar, kan? Belanjaan tadi untukku? "Tapi, Pak? Saya pikir itu hadiah dari Bapak untuk seseorang," ucapku yang masih tidak percaya jika atasanku membelikan baju yang jelas tidak murah."Yang mencoba baju itu tadi siapa? Kamu, kan? Semuanya cocok di kamu. Jadi ambil saja.""Saya tidak bisa menerimanya, Pak.""Tapi ini perintah dari saya, kamu ini sekretaris saya, jadi sudah seharusnya kamu memakai pakaian yang cocok dan layak jika berdampingan dengan saya. Karena kamu akan ikut saya ke mana pun saya akan pergi.""Tapi, semuanya terlalu banyak, Pak. Saya ambil satu saja. Gaji saya satu bulan kemarin, sudah cukup untuk saya belikan baju, jika memang penampilan saya sekarang kurang enak dipandang. Saya akan membeli baju-baju yang baru. Tapi tidak semahal ini."Tentu saja aku merasa sangat terkejut jika harus menerima semua baju-baju yang tadi aku pakai. Sebab satu stelannya saja sudah jutaan bahkan bisa sampai belasan juta. Harga itu membuat aku sangat shock."Gajimu, si
"Mas, memangnya aku sejahat itu di mata kamu? Mas sendiri juga tau bagaimana sikap Ibu sama aku selama kita menikah. Tapi kenapa Mas bisa-bisanya nuduh aku kaya gitu?"Jelas saja aku tidak menyangka kata-kata seperti tadi bisa keluar dari mulut suamiku. Aku memang sering sakit hati oleh Ibu Mertuaku, tetapi aku juga tidak sejahat yang dibayangkan oleh Mas Rendi.Membunuh Ibu? Kalau bisa aku hanya ingin membunuh sikap Ibu yang selalu membenci aku. Bukan orangnya!"Terus sekarang apa yang terjadi? Hanya karena Ibu negur kamu lantaran kamu diantar oleh bos kamu kamu semarah itu sampai membentak Ibu? Bagus Ibu mengingatkan kamu, kalau kamu sudah mempunyai suami. Harus punya batasan dengan lawan jenis. Kamu Mas izinkan bekerja bukan berarti kamu bebas melakukan apa saja diluar sana tanpa kamu menjaga nama baik dan kehormatan kamu sendiri!" "Mas, memang apa yang aku lakukan diluar rumah? Aku hanya bekerja. Pikiran Ibu saja yang terlalu buruk sama aku. Aku bekerja untuk membantu mengurangi