Aku tidak salah dengar, kan? Belanjaan tadi untukku? "Tapi, Pak? Saya pikir itu hadiah dari Bapak untuk seseorang," ucapku yang masih tidak percaya jika atasanku membelikan baju yang jelas tidak murah."Yang mencoba baju itu tadi siapa? Kamu, kan? Semuanya cocok di kamu. Jadi ambil saja.""Saya tidak bisa menerimanya, Pak.""Tapi ini perintah dari saya, kamu ini sekretaris saya, jadi sudah seharusnya kamu memakai pakaian yang cocok dan layak jika berdampingan dengan saya. Karena kamu akan ikut saya ke mana pun saya akan pergi.""Tapi, semuanya terlalu banyak, Pak. Saya ambil satu saja. Gaji saya satu bulan kemarin, sudah cukup untuk saya belikan baju, jika memang penampilan saya sekarang kurang enak dipandang. Saya akan membeli baju-baju yang baru. Tapi tidak semahal ini."Tentu saja aku merasa sangat terkejut jika harus menerima semua baju-baju yang tadi aku pakai. Sebab satu stelannya saja sudah jutaan bahkan bisa sampai belasan juta. Harga itu membuat aku sangat shock."Gajimu, si
"Mas, memangnya aku sejahat itu di mata kamu? Mas sendiri juga tau bagaimana sikap Ibu sama aku selama kita menikah. Tapi kenapa Mas bisa-bisanya nuduh aku kaya gitu?"Jelas saja aku tidak menyangka kata-kata seperti tadi bisa keluar dari mulut suamiku. Aku memang sering sakit hati oleh Ibu Mertuaku, tetapi aku juga tidak sejahat yang dibayangkan oleh Mas Rendi.Membunuh Ibu? Kalau bisa aku hanya ingin membunuh sikap Ibu yang selalu membenci aku. Bukan orangnya!"Terus sekarang apa yang terjadi? Hanya karena Ibu negur kamu lantaran kamu diantar oleh bos kamu kamu semarah itu sampai membentak Ibu? Bagus Ibu mengingatkan kamu, kalau kamu sudah mempunyai suami. Harus punya batasan dengan lawan jenis. Kamu Mas izinkan bekerja bukan berarti kamu bebas melakukan apa saja diluar sana tanpa kamu menjaga nama baik dan kehormatan kamu sendiri!" "Mas, memang apa yang aku lakukan diluar rumah? Aku hanya bekerja. Pikiran Ibu saja yang terlalu buruk sama aku. Aku bekerja untuk membantu mengurangi
Pertemuan dengan klien asal Bali cukup memakan waktu, sehingga pukul 5 sore yang seharusnya sudah kembali ke kantor untuk bersiap pulang malah baru akan berangkat ke lapangan golf. Sudah dipastikan akan selesai sampai malam.Aku tidak berani untuk menanyakan pada Pak Anggara perihal jam pulang kerjaku, sebab sekarang aku sudah selesai mengganti pakaian olahraga untuk menemani Pak Anggara bermain golf bersama kliennya. Aku dan sekretaris dari klien Pak Anggara, sama-sama saling mendampingi bos kami masing-masing."Maaf, Mbak. Biasanya mereka selesai golf sampai pukul berapa?" tanyaku pada sekretaris klien Pak Anggara, aku rasa dia sudah tahu karena seperti apa yang dikatakan oleh Pak Anggara jika dirinya memang sudah terbiasa langsung bermain golf jika sudah bertemu dengan kliennya yang satu itu."Biasanya pukul 8 malam, Mbak. Lalu dilanjut makan malam, karaoke dan juga minum-minum. Apalagi sekarang hari Jum'at, besoknya sudah libur akhir pekan.""Ah, begitu. Terimakasih, Mbak."Aku ba
Tidak ingin membuat keributan malam-malam di rumah sakit, akhirnya aku memilih pulang saja. Mungkin memang Mas Rendi ingin aku bergelut dengan pikiranku yang tidak bisa dikontrol. Karena rasanya, tidak ada orang yang masih bisa berpikir positif jika ada di posisiku.'Apa ini hukuman dari Mas Rendi?' batinku berkecamuk sering langkah kakiku pelan mulai keluar dari rumah sakit.Bruk!!Aku tanpa sengaja menabrak seseorang saat hendak berbelok. Ya, aku sedang sangat tidak fokus. Benar-benar tidak fokus."Ma--maaf," ucapku sambil menundukkan kepala tanpa melihat siapa yang sudah aku tabrak tanpa sengaja."Tiana?"Suara yang sudah akrab terdengar di kupingku, Pak Anggara. Aku sontak langsung melihatnya, dan ternyata memang benar. Aku mengerutkan kening, merasa heran mengapa Pak Anggara masih belum pulang."Pak Anggara belum pulang?" tanyaku penasaran. Padahal sudah cukup lama kami berdua sampai."Saya membeli obat di apotek," jawabnya sambil memperlihatkan kantong berisi obat, yang entah ob
Rupanya aku sudah salah menduga, aku pikir tempat yang dikatakan oleh Pak Anggara itu klub malam, sebab semasa aku masih gadis teman seusiaku menghilangkan stres dengan pergi ke klub dan juga pesta minum. Lagi-lagi aku memang salah menilai bosku ini.Aku masuk ke dalam sebuah tempat yang di dalamnya seperti game zone, atau memang benar namanya begitu. Namun aku tidak melihat satu orang pun kecuali kami berdua. Aku dan Pak Anggara."Pak, kenapa Bapak membawa saya ke tempat seperti ini?" tanyaku heran."Saya bukan peminum, jadi saya tidak bisa merealisasikan pikiran burukmu yang berpikir jika saya akan mengajak kamu ke night club."Aku terdiam sambil sedikit melirik pada Pak Anggara yang berdiri di sampingku. Bisa-bisanya dia membaca pikiranku yang memang berpikiran seperti itu."Inilah tempat yang bisa membantu untuk menghilangkan stres. Kamu tidak perlu malu untuk memainkan semua permainan yang ada di sini. Mainan yang ada di sini tidak hanya diperuntukkan bagi anak-anak saja. Kita seb
Aku langsung menjauhkan diriku dari Pak Anggara saat Pak Anggara mengatakan seperti itu seolah mendukung kebenaran akan pemikiranku tentang pria yang ada di bioskop waktu itu adalah orang yang sama, yaitu Pak Anggara."Kenapa?" tanya Pak Anggara kembali karena aku belum mengatakan apa-apa selain berekspresi seolah masih tak percaya."Apa Pak Anggara itu ....""Saya kenapa?""Tadi kenapa Pak Anggara bertanya saya deja vu atau tidak? Atas dasar apa Pak Anggara bertanya seperti itu? Seolah-olah kita pernah bertemu sebelum saya bekerja di perusahaan Bapak.""Kita memang pernah bertemu, kan?" tanya Pak Anggara dengan mengangkat sebelah alisnya."Selain di supermarket. Pernah, kan?""Mmm ...." Pak Anggara tampak sedang berpikir. "Di mana lagi? Apa di bioskop?" tanyanya dengan senyum dan tatapan yang penuh arti.Sontak kedua mataku membola, rupanya memang benar apa yang aku pikirkan. Asumsiku tidak salah jika Pak Anggara memang pria misterius yang menonton film di bioskop bersamaku.Dan kini
Aku rasanya seperti mimpi saja. Aku merasa sedang bermain film dengan skenario yang seolah sudah tersusun rapi oleh sang penulis. Setiap pertemuanku dengan Pak Anggara ternyata bukanlah sebuah kebetulan, semua telah direncanakan entah bagaimana caranya. Untuk bertanya saja, aku tidak ingin.Namun memang aku penasaran dengan alasan dibalik Pak Anggara melakukan ini semua, terlebih hanya untukku? Seorang aku?"Kalau begitu, coba jawab pertanyaan dari saya. Kapan Pak Anggara merasa tertarik pada saya sampai Bapak melakukan semuanya agar terkesan kebetulan? Saya butuh penjelasan yang logis."Tentu saja aku menuntut sebuah penjelasan dari Pak Anggara. Sebab kehadiran dia benar-benar selalu diwaktu yang tepat disaat aku memang butuh bantuan, dan tak bisa mengandalkan Suamiku sendiri."Aku akan menjawab semua rasa penasaranmu, tapi tentu saja tidak cuma-cuma.""Saya tidak bisa memberikan imbalan. Tapi kalau perlu, Bapak boleh ambil lagi barang dan juga kelebihan dari gaji saya selama satu bu
"Duduk dulu, biar kita ngobrolnya enak. Kamu juga jangan marah-marah, ini rumah sakit nggak enak sama yang lain," ucap Mas Rendi yang memintaku untuk duduk di kursi sebelum menjelaskan apa-apa.Kami berdua pun duduk."Apa?""Tadi Mas mau antar Dyan untuk pulang ke rumahnya, buat bawa baju buat dia sama Ryo juga. Sekalian beli sarapan. Tapi, di depan rumahnya sudah ada mantan suaminya. Dyan ketakutan karena perceraian mereka juga salah satu pemicunya itu ada tindakan KDRT. Jadi, Mas ajak ke rumah aja, sekalian Mas mandi sama ganti baju. Karena Dyan nggak mungkin pake baju Ibu, jadi Mas berikan saja salah satu baju kamu. Mas liat ada paper bag di atas lemari, makanya Mas berikan salah satu saja. Kamu nggak marah, kan?"Teriris rasanya perasaanku mendengar penjelasan dari Mas Rendi. Bisa-bisanya dia membawa mantan istrinya itu ke dalam rumah yang tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Bagaimana bisa aku berpikir positif jika sudah seperti ini kejadiannya? "Kenapa?" Tubuhku terasa panas, mu