Tidak ingin membuat keributan malam-malam di rumah sakit, akhirnya aku memilih pulang saja. Mungkin memang Mas Rendi ingin aku bergelut dengan pikiranku yang tidak bisa dikontrol. Karena rasanya, tidak ada orang yang masih bisa berpikir positif jika ada di posisiku.'Apa ini hukuman dari Mas Rendi?' batinku berkecamuk sering langkah kakiku pelan mulai keluar dari rumah sakit.Bruk!!Aku tanpa sengaja menabrak seseorang saat hendak berbelok. Ya, aku sedang sangat tidak fokus. Benar-benar tidak fokus."Ma--maaf," ucapku sambil menundukkan kepala tanpa melihat siapa yang sudah aku tabrak tanpa sengaja."Tiana?"Suara yang sudah akrab terdengar di kupingku, Pak Anggara. Aku sontak langsung melihatnya, dan ternyata memang benar. Aku mengerutkan kening, merasa heran mengapa Pak Anggara masih belum pulang."Pak Anggara belum pulang?" tanyaku penasaran. Padahal sudah cukup lama kami berdua sampai."Saya membeli obat di apotek," jawabnya sambil memperlihatkan kantong berisi obat, yang entah ob
Rupanya aku sudah salah menduga, aku pikir tempat yang dikatakan oleh Pak Anggara itu klub malam, sebab semasa aku masih gadis teman seusiaku menghilangkan stres dengan pergi ke klub dan juga pesta minum. Lagi-lagi aku memang salah menilai bosku ini.Aku masuk ke dalam sebuah tempat yang di dalamnya seperti game zone, atau memang benar namanya begitu. Namun aku tidak melihat satu orang pun kecuali kami berdua. Aku dan Pak Anggara."Pak, kenapa Bapak membawa saya ke tempat seperti ini?" tanyaku heran."Saya bukan peminum, jadi saya tidak bisa merealisasikan pikiran burukmu yang berpikir jika saya akan mengajak kamu ke night club."Aku terdiam sambil sedikit melirik pada Pak Anggara yang berdiri di sampingku. Bisa-bisanya dia membaca pikiranku yang memang berpikiran seperti itu."Inilah tempat yang bisa membantu untuk menghilangkan stres. Kamu tidak perlu malu untuk memainkan semua permainan yang ada di sini. Mainan yang ada di sini tidak hanya diperuntukkan bagi anak-anak saja. Kita seb
Aku langsung menjauhkan diriku dari Pak Anggara saat Pak Anggara mengatakan seperti itu seolah mendukung kebenaran akan pemikiranku tentang pria yang ada di bioskop waktu itu adalah orang yang sama, yaitu Pak Anggara."Kenapa?" tanya Pak Anggara kembali karena aku belum mengatakan apa-apa selain berekspresi seolah masih tak percaya."Apa Pak Anggara itu ....""Saya kenapa?""Tadi kenapa Pak Anggara bertanya saya deja vu atau tidak? Atas dasar apa Pak Anggara bertanya seperti itu? Seolah-olah kita pernah bertemu sebelum saya bekerja di perusahaan Bapak.""Kita memang pernah bertemu, kan?" tanya Pak Anggara dengan mengangkat sebelah alisnya."Selain di supermarket. Pernah, kan?""Mmm ...." Pak Anggara tampak sedang berpikir. "Di mana lagi? Apa di bioskop?" tanyanya dengan senyum dan tatapan yang penuh arti.Sontak kedua mataku membola, rupanya memang benar apa yang aku pikirkan. Asumsiku tidak salah jika Pak Anggara memang pria misterius yang menonton film di bioskop bersamaku.Dan kini
Aku rasanya seperti mimpi saja. Aku merasa sedang bermain film dengan skenario yang seolah sudah tersusun rapi oleh sang penulis. Setiap pertemuanku dengan Pak Anggara ternyata bukanlah sebuah kebetulan, semua telah direncanakan entah bagaimana caranya. Untuk bertanya saja, aku tidak ingin.Namun memang aku penasaran dengan alasan dibalik Pak Anggara melakukan ini semua, terlebih hanya untukku? Seorang aku?"Kalau begitu, coba jawab pertanyaan dari saya. Kapan Pak Anggara merasa tertarik pada saya sampai Bapak melakukan semuanya agar terkesan kebetulan? Saya butuh penjelasan yang logis."Tentu saja aku menuntut sebuah penjelasan dari Pak Anggara. Sebab kehadiran dia benar-benar selalu diwaktu yang tepat disaat aku memang butuh bantuan, dan tak bisa mengandalkan Suamiku sendiri."Aku akan menjawab semua rasa penasaranmu, tapi tentu saja tidak cuma-cuma.""Saya tidak bisa memberikan imbalan. Tapi kalau perlu, Bapak boleh ambil lagi barang dan juga kelebihan dari gaji saya selama satu bu
"Duduk dulu, biar kita ngobrolnya enak. Kamu juga jangan marah-marah, ini rumah sakit nggak enak sama yang lain," ucap Mas Rendi yang memintaku untuk duduk di kursi sebelum menjelaskan apa-apa.Kami berdua pun duduk."Apa?""Tadi Mas mau antar Dyan untuk pulang ke rumahnya, buat bawa baju buat dia sama Ryo juga. Sekalian beli sarapan. Tapi, di depan rumahnya sudah ada mantan suaminya. Dyan ketakutan karena perceraian mereka juga salah satu pemicunya itu ada tindakan KDRT. Jadi, Mas ajak ke rumah aja, sekalian Mas mandi sama ganti baju. Karena Dyan nggak mungkin pake baju Ibu, jadi Mas berikan saja salah satu baju kamu. Mas liat ada paper bag di atas lemari, makanya Mas berikan salah satu saja. Kamu nggak marah, kan?"Teriris rasanya perasaanku mendengar penjelasan dari Mas Rendi. Bisa-bisanya dia membawa mantan istrinya itu ke dalam rumah yang tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Bagaimana bisa aku berpikir positif jika sudah seperti ini kejadiannya? "Kenapa?" Tubuhku terasa panas, mu
Kehadiranku yang seolah tidak dipedulikan oleh Ibu, akhirnya aku memilih untuk duduk di sofa di susul oleh Mas Rendi yang membiarkan Ibu mengobrol dengan Mbak Dyan dan juga Ryo.Pertemuan tidak sengajaku dengan Mbak Dyan berbulan-bulan lalu, seolah bertolak belakang dengan yang aku alami sekarang. Aku bahkan masih ingat dulu Mbak Dyan seolah mengatakan jika Ibu adalah alasan utama mereka bercerai karena sering ikut mencampuri urusan rumah tangganya dengan Mas Rendi, aku masih ingat bagaimana ekspresi kebencian Mbak Dyan saat menceritakan perihal Ibunya Mas Rendi, tetapi sekarang dia terlihat begitu perhatian sekali sampai rela menginap untuk menunggu Ibu sadarkan diri.Aku tidak bermaksud untuk berpikiran negatif, tetapi aku juga tidak bisa mencegah perasaan tak enak hati disaat Mbak Dyan yang statusnya sudah menjadi seorang mantan, malah kembali lagi ke kehidupan rumah tanggaku bersama Mas Rendi."Sayang, kenapa tatapannya begitu?" tanya Mas Rendi yang sepertinya sadar dengan tatapan
"Hallo, Tiana," sapa Pak Anggara tersenyum ramah padaku juga pada Mas Rendi. Wajahnya seolah tanpa berdosa padahal semalam dia sudah melakukan hal yang kurang ajar padaku. Aku seolah dilecehkan dan terasa amat rendah, karena bisa-bisanya aku diajak bermain di belakang Suamiku oleh atasanku sendiri."Dia ini yang waktu itu nolong aku di supermarket pas uangnya ketinggalan di rumah," jawabku pada Mas Rendi, aku bahkan mengabaikan sapaan dari Pak Anggara."Oh, pantas saja rasanya kaya gak asing wajahnya, cuman Mas nggak inget siapa," ucap Mas Rendi. "Saya secara pribadi belum mengucapkan terimakasih karena Mas sudah membantu istri saya."Mas Rendi memang ramah, ia bahkan mengatakan itu atas inisiatifnya sendiri. Meski waktu itu menimbulkan kesalahpahaman apalagi dengan ucapan Ibu yang memperkeruh suasana, untung saja Mas Rendi selalu percaya padaku, meski sulit untuk membelaku apalagi di depan Ibu.Itulah, tak ada alasan aku untuk mengkhianati dan bermain di belakang Mas Rendi. Perihal
Aku langsung terdiam, karena memang seluruh mata jadi tertuju padaku. Aku bukanlah orang yang suka menjadi pusat perhatian, itu sangat membuatku merasa tidak nyaman.Aku segera menghabiskan makananku tanpa menghiraukan Pak Anggara yang terlihat kesenangan sendiri saat ditinggalkan berdua oleh Suamiku."Kamu tidak berniat untuk menghindar dariku, kan?" tanya Pak Anggara."Bukankah sebuah ranting yang mengganggu perjalanan itu harus disingkirkan? Jika dipaksakan terus melaju, tidak hanya kendaraanku yang berkemungkinan akan mengalami kerusakan walau hanya tergores, tetapi ranting sudah dipastikan akan hancur. Begitulah kiranya jika Pak Anggara masih bulat ingin menjadi orang ketiga dalam rumah tanggaku."Pak Anggara tersenyum tipis. "Pandai sekali kamu mengumpamakan sesuatu. Tapi aku bukan sebuah ranting. Anggaplah aku ini polisi tidur. Terciptanya polisi tidur bukan untuk mengganggu perjalananmu, melainkan memberi peringatan agar kamu tidak melaju dengan ugal-ugalan. Kamu mau melindas