"Hallo, Tiana," sapa Pak Anggara tersenyum ramah padaku juga pada Mas Rendi. Wajahnya seolah tanpa berdosa padahal semalam dia sudah melakukan hal yang kurang ajar padaku. Aku seolah dilecehkan dan terasa amat rendah, karena bisa-bisanya aku diajak bermain di belakang Suamiku oleh atasanku sendiri."Dia ini yang waktu itu nolong aku di supermarket pas uangnya ketinggalan di rumah," jawabku pada Mas Rendi, aku bahkan mengabaikan sapaan dari Pak Anggara."Oh, pantas saja rasanya kaya gak asing wajahnya, cuman Mas nggak inget siapa," ucap Mas Rendi. "Saya secara pribadi belum mengucapkan terimakasih karena Mas sudah membantu istri saya."Mas Rendi memang ramah, ia bahkan mengatakan itu atas inisiatifnya sendiri. Meski waktu itu menimbulkan kesalahpahaman apalagi dengan ucapan Ibu yang memperkeruh suasana, untung saja Mas Rendi selalu percaya padaku, meski sulit untuk membelaku apalagi di depan Ibu.Itulah, tak ada alasan aku untuk mengkhianati dan bermain di belakang Mas Rendi. Perihal
Aku langsung terdiam, karena memang seluruh mata jadi tertuju padaku. Aku bukanlah orang yang suka menjadi pusat perhatian, itu sangat membuatku merasa tidak nyaman.Aku segera menghabiskan makananku tanpa menghiraukan Pak Anggara yang terlihat kesenangan sendiri saat ditinggalkan berdua oleh Suamiku."Kamu tidak berniat untuk menghindar dariku, kan?" tanya Pak Anggara."Bukankah sebuah ranting yang mengganggu perjalanan itu harus disingkirkan? Jika dipaksakan terus melaju, tidak hanya kendaraanku yang berkemungkinan akan mengalami kerusakan walau hanya tergores, tetapi ranting sudah dipastikan akan hancur. Begitulah kiranya jika Pak Anggara masih bulat ingin menjadi orang ketiga dalam rumah tanggaku."Pak Anggara tersenyum tipis. "Pandai sekali kamu mengumpamakan sesuatu. Tapi aku bukan sebuah ranting. Anggaplah aku ini polisi tidur. Terciptanya polisi tidur bukan untuk mengganggu perjalananmu, melainkan memberi peringatan agar kamu tidak melaju dengan ugal-ugalan. Kamu mau melindas
Aku lebih memilih menangkan diriku, aku memang khawatir akan keadaan Ibu Mertuaku, tetapi aku lebih mengkhawatirkan perasaan dan kejiwaanku sendiri.Ujian Rumah tangga macam apa ini? Mengapa aku merasa diserang berbagai sisi tanpa ampun dan tanpa jeda.Dalam tiga tahun berturut-turut, aku terus dituntut untuk melahirkan seorang anak, tak jarang kata-kata yang tidak pantas keluar dari mulut Ibu Mertuaku yang padahal kami sama-sama perempuan. Tuduhan bahwa aku mandul pun, rasanya sudah tersebar di kompleks perumahanku karena Ibu.Sekarang, beberapa bulan ekonomi rumah tanggaku yang diuji ditambah kemalangan menimpa Ibu Mertuaku. Sampai akhirnya harus merelakan rumah dan mobil di jual, hingga aku memutuskan untuk bekerja kembali.Lalu, tiba-tiba kehadiran Mbak Dyan mengusik tak hanya pikiranku tetapi juga perasaanku. Aku akui bahwa aku sudah kalah oleh Mbak Dyan dalam dua hal, disenangi oleh Ibu mertua dan tentu saja yang sudah bisa memberikan keturunan untuk Mas Rendi.Meskipun Mas Rend
Golden hour!Ya, aku tahu melodi dari piano itu adalah golden hour. Tenang sekali rasanya mendengar alunan piano ditengah suasana Villa yang sepi tetapi menenangkan. Meskipun terlihat seperti bangunan peninggalan Belanda, tak menyeramkan sama sekali.Aku tidak menyangka Pak Anggara ternyata pandai memainkan piano. Aku hanya berdiri memperhatikan dari jarak yang tidak begitu dekat, juga tidak terlalu jauh. Aku menikmati musiknya sampai permainan berhenti.Pak Anggara langsung melihat ke arahku yang tanpa sadar tengah tersenyum tipis sambil membayangkan jika kehidupanku bak di istana kerajaan, apalagi dress yang aku pakai cukup mendukung halusinasiku."Bagaimana?" tanya Pak Anggara yang jelas sedang ingin mengetahui pendapatku, mungkin tentang permainan pianonya."Bagus. Ternyata Pak Anggara pandai bermain piano. Saya cukup tenang saat mendengarnya," jawabku yang percaya diri jika yang ditanyakan oleh Pak Anggara itu memang tentang permainan pianonya.Dan nyatanya salah!Pak Anggara ban
Aku cukup merasa tercengang melihat banyak makanan tertata dengan rapi di atas meja makan padahal kita hanya makan untuk berdua saja."Semua makanan ini Pak Anggara yang buat?" tanyaku yang terkejut sekaligus merasa tidak percaya juga jika semua hidangan di atas meja dibuat oleh Pak Anggara sendiri."Memang kamu melihat ada orang lain di sini?""Makanan sebanyak ini tidak mungkin habis jika berdua saja.""Aku tidak tau makanan apa yang kamu sukai, sebenarnya bisa saja aku mencari tau hal itu dengan mudah. Hanya saja untuk hal-hal yang menyangkut dirimu pribadi, aku ingin tau langsung dari kamu. Jadi, silakan Nona memilih makanan apa yang akan dimakan. Biar sisanya aku berikan pada penjaga Villa dan keluarganya yang tinggal tak jauh dari sini."Aku sampai berpikir sejenak, kapan terakhir kali aku makan makanan yang dibuat oleh orang lain. Oleh Ibu saja itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Sementara Mas Rendi, tidak pernah sekalipun menyentuh perabotan dapur. Jangankan untuk memasak maka
Sepersekian detik aku merasa lengah. Dan kami kembali tenggelam dalam ciuman kali ketiga terjadi tanpa aku sangka-sangka.Namun sekarang aku diam, tidak menolak. Tubuhku sepenuhnya merespon dengan suka rela tanpa adanya paksaan seperti waktu itu. Aku menyadari kesalahan yang kubuat di belakang Suamiku. Hanya saja untuk kali ini, aku merasa perasaan yang nyaman dan aman.Perhatian dan semua yang ia lakukan dengan membawaku ke tempat ini untuk melihat senja yang indah, seolah hutang bagiku. Sehingga aku membayarnya dengan kerelaan ciuman kami di malam ini.Derasnya hujan di luar, seolah seirama dengan desiran sesuatu yang aku rasakan tanpa bisa aku utarakan dengan kata-kata. Ciuman kami bukan hanya sekedar kecupan bibir saja. Aku sudah seluruhnya mengikuti ritme lidahnya yang mencoba masuk ke dalam mulutku.Oh, tidak! Aku semakin menikmati ciuman ini dengan Pak Anggara.Otakku terus saja mengingatkanku jika hal yang terjadi adalah sebuah kesalahan yang sudah seharusnya segera dihentika
Lagi-lagi aku malah tanpa sadar mengatakan masalah rumah tanggaku, terutama masalah ranjangku bersama Mas Rendi. Namun memang mau bagaimana lagi karena itulah kenyataannya. Dan aku merasa cukup terkejut saat Pak Anggara bilang akan menggantikan tugas Mas Rendi.Sebelum hal yang jauh itu berlanjut, aku malah terpikirkan kejadian malam ini mungkin akan terulang kembali diwaktu selanjutnya.Tanpa banyak obrolan lagi, Pak Anggara memulai langkah selanjutnya setelah tubuh kita berdua sama-sama polos. Pemanasan yang sudah amat panas, membuat malam ini menjadi sangat menggairahkan. Batinku secara tidak sadar terus membandingkan Pak Anggara dengan Mas Rendi. Sungguh jauh berbeda. Apalagi dari segi teknik dan juga ukurannya.Hingga disaat Pak Anggara mencoba untuk memasukiku, sungguh itu sakit sekali. Rasanya macam malam pertama dulu bersama Mas Rendi. Padahal aku merasa sudah sangat basah saat pemanasan tadi, yang seharusnya tak akan terasa begitu sakit.Namun aku salah, entah mungkin ukuran
"Tiana, dengarkan aku. Semua yang sudah terjadi tidak akan bisa dirubah. Kita kan sudah saling berjanji kalau ini hanya akan menjadi rahasia kita berdua saja. Aku akan menepatinya."Meskipun yang dikatakan oleh Pak Anggara benar, semua yang terjadi tidak akan bisa diubah lagi. Seperti itulah mengapa penyesalan datang terlambat."Lihat aku!"Pak Anggara melepaskan pelukannya dan membuatku menatap wajahnya."Kamu benar-benar menyesal dengan semua yang sudah terjadi diantara kita semalam?""Iya, aku sangat menyesalinya. Sangat-sangat menyesal saat aku mengingat Mas Rendi. Dia baik padaku, dan semua orang pasti mempunyai kekurangan, jadi tidak seharusnya aku mencari kekurangan yang ada pada Suamiku di orang lain. Aku saja akan sangat sakit hati dan kecewa jika Mas Rendi bermain bersama wanita lain di belakangku. Dan pasti Mas Rendi juga akan merasakan hal yang sama. Dia akan kecewa padaku," ucapku dengan tangis penuh penyesalan. Bahkan aku sampai tidak menyadari jika selimut yang kupegang