"Tiana, dengarkan aku. Semua yang sudah terjadi tidak akan bisa dirubah. Kita kan sudah saling berjanji kalau ini hanya akan menjadi rahasia kita berdua saja. Aku akan menepatinya."Meskipun yang dikatakan oleh Pak Anggara benar, semua yang terjadi tidak akan bisa diubah lagi. Seperti itulah mengapa penyesalan datang terlambat."Lihat aku!"Pak Anggara melepaskan pelukannya dan membuatku menatap wajahnya."Kamu benar-benar menyesal dengan semua yang sudah terjadi diantara kita semalam?""Iya, aku sangat menyesalinya. Sangat-sangat menyesal saat aku mengingat Mas Rendi. Dia baik padaku, dan semua orang pasti mempunyai kekurangan, jadi tidak seharusnya aku mencari kekurangan yang ada pada Suamiku di orang lain. Aku saja akan sangat sakit hati dan kecewa jika Mas Rendi bermain bersama wanita lain di belakangku. Dan pasti Mas Rendi juga akan merasakan hal yang sama. Dia akan kecewa padaku," ucapku dengan tangis penuh penyesalan. Bahkan aku sampai tidak menyadari jika selimut yang kupegang
"Kita ngobrol di luar, Mbak. Biar gak ganggu Ibu.""Ishh, mengganggu saja. Ya sudah ayo!" Dengan wajah muram Mbak Dyan berjalan lebih dahulu dariku. Makin lama aku perhatikan sikapnya padaku semakin tidak mengenakan saja. Padahal dulu dia baik. Benar mendukung dan tidak mencampuri urusan rumah tanggaku. Namun, disaat dia kembali tinggal di kota ini, sampai akhirnya aku tahu bahwa dia sudah bercerai lagi, dia secara suka rela datang dengan alasan ingin menjenguk Ibu.Bohong namanya jika aku tidak berpikiran buruk yang mungkin saja Mbak Dyan memang mempunyai niat sesuatu pada rumah tanggaku dan Mas Rendi. Aku takut sekali.Kini, kami berdua duduk di bangku taman rumah sakit."Cepet, mau ngomong apa memangnya?""Semalam Mbak pulang ke rumah Mbak atau menginap lagi di sini?""Kamu ngajak bicara di luar cuman mau nanya itu?""Jawab saja dulu, Mbak. Karena ada hal lain lagi yang ingin aku tanyakan.""Iya, aku nginap di sini.""Terus kalau Mas Rendi gimana? Dia nginap di sini juga atau pula
"Mas nggak ngerti sama kamu, kamu ingin Mas prioritaskan disaat sekarang ini? Kamu sedang sehat, sedangkan Ibu lagi sakit. Jelas Mas harus prioritaskan Ibu dulu. Mohon pengertiannya sedikit saja," ucap Mas Rendi yang juga salah paham dengan maksudku. Aku bahkan tidak menyinggung Ibu sama sekali."Bukan tentang Ibu, Mas. Tapi masalah pekerjaan kamu. Aku tau kemarin kamu ada ketemu klien mendadak sekali, itu dari Mbak Dyan. Terus aku juga tau kamu sudah naik jabatan, itu juga dari Mbak Dyan. Aku rasa wajar jika aku mempertanyakan skala prioritas kamu, Mas. Aku atau Mbak Dyan?"Mas Rendi menggelengkan kepalanya, sambil sedikit tersenyum seolah merasa tidak habis pikir saja. "Sekarang kamu bawa-bawa Dyan sebagai alasan? Berapa kali mesti Mas kasih tau sama kamu, kamu juga tau sendiri Mas dan Dyan itu mantan suami istri. Kami berteman pun sekarang ini hanya untuk Ryo saja. Terus soal Mas yang bercerita sama Dyan, ya karena memang momennya Dyan sedang ada bersama Mas. Syukurlah kalau misaln
"Bi Wati pedes banget kata-katanya," ucapku dengan sedikit tertawa. "Mungkin karena khilaf juga bisa, kan? Atau ada hal lain yang membuat dia akhirnya memilih untuk berselingkuh. Kita kan nggak tau, Bi. Yang dilihat cuma orang yang berbuat salah dari covernya saja, sedangkan permasalahan dalam rumahnya tidak ada yang tau. Bahkan mungkin juga mungkin tidak peduli."Ya, aku sadar, secara tidak langsung aku seolah membela tindakan perselingkuhan. Sebab aku mengalaminya. Meski aku sendiri tidak sepenuhnya mengakui itu selingkuh, tetap saja pada dasarnya aku bermain di belakang suami. Dan alam bawah sadarku melakukan pembelaan bahwa yang aku lakukan tentu bukan tanpa alasan."Bibi ngomong pedes juga nggak bakal sebanding sama sakitnya di selingkuhin, Tia. Bibi juga kan korban selingkuhan suami Bibi yang pertama. Hanya karena dia punya banyak uang, jadinya bisa seenaknya. Seolah semua bisa dimaafkan kalau Bibi di kasih uang. Meski dimaafkan pun, bakal tetep membekas diingatan. Rasa kepercay
Aku merasa terkejut dengan respon Mas Rendi yang tidak sesuai dengan apa yang aku ekspektasikan. Sebab aku pikir Mas Rendi akan merasa senang jika aku kembali menjadi Ibu rumah tangga seperti apa yang ia inginkan dulu sebelum kami akhirnya menikah. Padahal saat aku izin kembali untuk bekerja lagi, Mas Rendi terasa setengah hati mengizinkanku, tetapi terpaksa karena keadaan yang mengharuskan.Namun sekarang, mengapa dia tidak setuju dengan keputusanku? Padahal Mas Rendi sudah naik jabatan. Bukankah itu artinya aku sudah tidak perlu lagi bekerja untuk membantu perekonomian keluarga kami?"Kenapa Mas nggak setuju? Bukannya dari awal juga Mas nggak mau aku bekerja? Aku kemarin memutuskan kerja lagi kan untuk membantu Mas. Tapi sekarang Mas kan udah naik jabatan.""Sayang, biaya pengobatan dan pemulihan Ibu itu tidak sedikit nominalnya. Kamu juga masih ingat kan dengan impian Mas agar kita segera kembali memiliki rumah? Jadi, ayo kita bekerja sama-sama.""Tapi, Mas. Aku udah nggak mau kerj
Ibu sangat menolak dengan kehadiranku untuk menemaninya. Ia malah mengatakan lebih baik ada Mbak Dyan dibandingkan denganku. Jangan tanya betapa sakitnya yang aku rasakan, karena itu sangatlah sakit."Aku tidak pernah membenci Ibu. Mana mungkin aku melakukan hal yang Ibu bilang. Aku hanya tidak suka ketika Ibu mencampuri urusanku dengan Mas Rendi, tetapi secara pribadi aku tidak membenci Ibu. Ibu sudah seperti Ibu kandung aku sendiri," ucapku masih mencoba untuk bersabar.Aku tidak lupa dengan niatku yang ingin memperbaikinya hubungan dengan Mertuaku sendiri. Sehingga meskipun begini jadinya, aku tetap harus berusaha. Tidak akan aku biarkan Mbak Dyan kembali hadir diantara keluarga kami."Tidak! Ibu tetap tidak mau dijaga sama kamu. Mendingan Ibu dijaga sama suster aja sampai Rendi pulang. Kamu keluar saja."Memang benar apa yang dikatakan oleh Mas Rendi, Ibu tidak mudah untuk diluluhkan. Sangat berat untukku. Entah perlu waktu berapa lama sampai akhirnya Ibu bisa menerimaku. Mana sek
Pak Anggara membawaku ke rooftop. Tidak aku sangka ternyata dia menyiapkan makan malam yang tidak biasa untukku. Rooftop saat malam yang dalam bayangan pasti sudah terbayang pasti gelap, dibuat menjadi tempat yang terasa romantis, sebab banyak lilin disetiap dekorasi.Aku dan Pak Anggara berjalan menuju meja makan yang berada di tengah-tengah spot."Kapan Bapak menyiapkan ini semua?" tanyaku yang tidak terpikirkan dan hampir melupakan jika Pak Anggara pasti bisa melakukan apa saja yang dia inginkan meski terkadang mustahil dalam pikiranku."Bisa kalau diluar jam kantor, jangan panggil aku Bapak? Aku bahkan belum menikah apalagi menjadi Bapak-bapak!" protes Pak Anggara yang terdengar seperti anak kecil sedang merajuk."Lalu? Angga? Gara?""Ingat, aku lebih tua darimu!""Terus maunya apa?""Panggil aku Mas, seperti panggilan kamu pada suami kamu.""Ahh, aku rasanya tidak akan terbiasa.""Bisa!""Baik, Mas. Begitu?""Nah, itu terdengar sangat baik di telingaku. Lihatlah ke sana," ucap Pa
Akhirnya aku dan Pak Anggara kini duduk berdua di dalam tenda sambil melihat bintang yang bertaburan di langit yang gelap. Lagi-lagi aku sampai lupa kapan menikmati pemandangan indah di langit saat malam hari. Rasanya aku sudah bosan terus mengatakan jika apa yang aku lakukan bersama Pak Anggara adalah kali pertamanya."Malam ini cukup banyak bintang di langit," ucap Pak Anggara disaat aku sedang menikmati pemandangan yang tak kalah indah dari city light."Memang bagaimana dengan hari-hari biasanya? Aku pikir sama saja.""Polusi Ibu kota membuat bintang tidak begitu banyak yang muncul. Tapi mungkin karena sekarang sudah masuk musim hujan, jadinya banyak bintang yang terlihat.""Memang itu mempengaruhi?""Mungkin, tadi aku hanya mengarang saja," ucap Pak Anggara sambil tersenyum dengan wajah yang seolah puas sudah menipuku sampai aku merasa percaya dengan bualannya."Ishh!!" Aku memukul lengannya pelan."Mm, kamu sudah mulai berani memukulku? Oke, sebuah perubahan yang baik. Lanjutkan,