Aku merasa terkejut dengan respon Mas Rendi yang tidak sesuai dengan apa yang aku ekspektasikan. Sebab aku pikir Mas Rendi akan merasa senang jika aku kembali menjadi Ibu rumah tangga seperti apa yang ia inginkan dulu sebelum kami akhirnya menikah. Padahal saat aku izin kembali untuk bekerja lagi, Mas Rendi terasa setengah hati mengizinkanku, tetapi terpaksa karena keadaan yang mengharuskan.Namun sekarang, mengapa dia tidak setuju dengan keputusanku? Padahal Mas Rendi sudah naik jabatan. Bukankah itu artinya aku sudah tidak perlu lagi bekerja untuk membantu perekonomian keluarga kami?"Kenapa Mas nggak setuju? Bukannya dari awal juga Mas nggak mau aku bekerja? Aku kemarin memutuskan kerja lagi kan untuk membantu Mas. Tapi sekarang Mas kan udah naik jabatan.""Sayang, biaya pengobatan dan pemulihan Ibu itu tidak sedikit nominalnya. Kamu juga masih ingat kan dengan impian Mas agar kita segera kembali memiliki rumah? Jadi, ayo kita bekerja sama-sama.""Tapi, Mas. Aku udah nggak mau kerj
Ibu sangat menolak dengan kehadiranku untuk menemaninya. Ia malah mengatakan lebih baik ada Mbak Dyan dibandingkan denganku. Jangan tanya betapa sakitnya yang aku rasakan, karena itu sangatlah sakit."Aku tidak pernah membenci Ibu. Mana mungkin aku melakukan hal yang Ibu bilang. Aku hanya tidak suka ketika Ibu mencampuri urusanku dengan Mas Rendi, tetapi secara pribadi aku tidak membenci Ibu. Ibu sudah seperti Ibu kandung aku sendiri," ucapku masih mencoba untuk bersabar.Aku tidak lupa dengan niatku yang ingin memperbaikinya hubungan dengan Mertuaku sendiri. Sehingga meskipun begini jadinya, aku tetap harus berusaha. Tidak akan aku biarkan Mbak Dyan kembali hadir diantara keluarga kami."Tidak! Ibu tetap tidak mau dijaga sama kamu. Mendingan Ibu dijaga sama suster aja sampai Rendi pulang. Kamu keluar saja."Memang benar apa yang dikatakan oleh Mas Rendi, Ibu tidak mudah untuk diluluhkan. Sangat berat untukku. Entah perlu waktu berapa lama sampai akhirnya Ibu bisa menerimaku. Mana sek
Pak Anggara membawaku ke rooftop. Tidak aku sangka ternyata dia menyiapkan makan malam yang tidak biasa untukku. Rooftop saat malam yang dalam bayangan pasti sudah terbayang pasti gelap, dibuat menjadi tempat yang terasa romantis, sebab banyak lilin disetiap dekorasi.Aku dan Pak Anggara berjalan menuju meja makan yang berada di tengah-tengah spot."Kapan Bapak menyiapkan ini semua?" tanyaku yang tidak terpikirkan dan hampir melupakan jika Pak Anggara pasti bisa melakukan apa saja yang dia inginkan meski terkadang mustahil dalam pikiranku."Bisa kalau diluar jam kantor, jangan panggil aku Bapak? Aku bahkan belum menikah apalagi menjadi Bapak-bapak!" protes Pak Anggara yang terdengar seperti anak kecil sedang merajuk."Lalu? Angga? Gara?""Ingat, aku lebih tua darimu!""Terus maunya apa?""Panggil aku Mas, seperti panggilan kamu pada suami kamu.""Ahh, aku rasanya tidak akan terbiasa.""Bisa!""Baik, Mas. Begitu?""Nah, itu terdengar sangat baik di telingaku. Lihatlah ke sana," ucap Pa
Akhirnya aku dan Pak Anggara kini duduk berdua di dalam tenda sambil melihat bintang yang bertaburan di langit yang gelap. Lagi-lagi aku sampai lupa kapan menikmati pemandangan indah di langit saat malam hari. Rasanya aku sudah bosan terus mengatakan jika apa yang aku lakukan bersama Pak Anggara adalah kali pertamanya."Malam ini cukup banyak bintang di langit," ucap Pak Anggara disaat aku sedang menikmati pemandangan yang tak kalah indah dari city light."Memang bagaimana dengan hari-hari biasanya? Aku pikir sama saja.""Polusi Ibu kota membuat bintang tidak begitu banyak yang muncul. Tapi mungkin karena sekarang sudah masuk musim hujan, jadinya banyak bintang yang terlihat.""Memang itu mempengaruhi?""Mungkin, tadi aku hanya mengarang saja," ucap Pak Anggara sambil tersenyum dengan wajah yang seolah puas sudah menipuku sampai aku merasa percaya dengan bualannya."Ishh!!" Aku memukul lengannya pelan."Mm, kamu sudah mulai berani memukulku? Oke, sebuah perubahan yang baik. Lanjutkan,
Setelah beberapa saat kemudian, kami sampai di sebuah apartemen. Aku pikir, aku akan di bawa ke rumahnya, ternyata ke apartemennya. Ah, sayang sekali memang karena aku penasaran dengan rumah pria misterius yang mau denganku dan juga sangat royal padaku."Ayo turun."Kami berjalan masuk setelah memarkirkan mobil di parkiran basemen apartemen itu. Pak Anggara menekan angka 20 di lift, yang itu artinya apartemen miliknya pasti ada di lantai itu."Memangnya kamu tinggal di apartemen? Bukan di rumah pribadi?""Aku tinggal di mana pun bisa selagi itu punyaku. Aku lebih suka tinggal sendiri.""Jadi, kamu tidak tinggal dengan orang tuamu?""Memangnya kamu ingin aku bawa ke rumah orang tuaku dengan menginap bersama di sana? Bagaimana kalau mereka menganggap kamu adalah calon istriku. Tidak apa?"Aku langsung menggelengkan kepala. "Ya, memang lebih baik di sini saja."Aku langsung berjalan ke dalam apartemen Pak Anggara setelah dipersilahkan untuk masuk. Apartemen yang sangat luas jika hanya un
"Jangan sia-siakan kebahagiaan yang ada di depan mata, Tiana. Kamu akan menyesal jika hubungan kita berakhir disaat suami kamu berhubungan dengan mantan istrinya. Jika dia tidak bisa membahagiakan kamu, aku siap."Setelah mengatakan itu, Pak Anggara langsung mencumbuiku. Aku yang memendam rasa kecewa pada Mas Rendi, tanpa berpikir lama langsung mengimbangi apa yang dilakukan Pak Anggara padaku. Aku tidak ingin egois, tidak hanya ingin jadi pihak yang dipuaskan, tetapi aku juga akan memuaskannya.Malam itu berlangsung sangat panas. Dingin AC saja rasanya tidak mampu untuk menahan keringat yang terus mengucur bak sedang mandi dibawah shower saja.Malam itu adalah kali pertamanya, aku dan Pak Anggara satu ranjang berdua. Rasanya lebih leluasa daripada saat melakukannya di sofa tempo hari. Aku beberapa kali mencapai puncak dalam beberapa gaya yang kami coba. Aku benar-benar mendapatkan hal yang tidak aku dapatkan dari Suamiku sendiri. Bahkan jika aku sedang menginginkan belaiannya, aku s
"Mas Rendi, ternyata aku ketemu sama Mas di sini. Sama anak Mas sama mantan istri Mas juga," sapaku pada Mas Rendi yang membawa makanan dan minuman yang dia pesan, sengaja sekali aku tidak menyebut nama Mbak Dyan, karena memang aku tidak ingin menyebutnya. "Aku pikir Mas cuma main berdua aja sama Ryo, soalnya tadi Mas nggak bilang bakal sama ...." Aku menoleh pada Mbak Dyan tanpa senyum, aku hanya memberikan muka datarku padanya. "Mbak Dyan."Semakin lama, gelagat Mbak Dyan memang semakin jelas kalau dia ingin kembali pada Mas Rendi. Alasan yang tak bisa ditolak, tentu saja akan membawa-bawa nama Ryo. Hingga aku ragu, keinginan Ryo bertemu dan bermain keluar dengan Mas Rendi itu benar-benar keinginan Ryo atau hanya akal-akalan Mbak Dyan saja.Rasanya aku ingin sekali bertanya pada Mbak Dyan dari hati ke hati sebagai sesama wanita, tetapi mengingat apa yang pernah terjadi di rumah sakit saja membuat aku malas untuk mengobrol dengannya."Iya, Sayang. Ryo mau Mamanya ikut juga, katanya ka
"Kamu penasaran dengan perasaan suami kamu sekarang seperti apa sama kamu?""Maksudnya apa, sih? Aku gak ngerti.""Bagaimana jika kita tes, dia masih memiliki perasaan cemburu atau sama sekali tidak."Mengetes perasaan Mas Rendi? Terdengar konyol, tetapi aku juga penasaran apa maksudnya, sekaligus aku juga ingin tahu apakah Mas Rendi masih bisa cemburu padaku.Jika dipikir-pikir, sudah lama juga aku tidak pernah merasakan Mas Rendi protektif padaku. Padahal dari semenjak memutuskan untuk menikah, Mas Rendi tidak mengizinkan aku bekerja dan berhubungan dengan teman laki-lakiku. Dan sekarang aku merasa berbeda karena kehadiran Mbak Dyan, sehingga aku merasa perlu untuk memastikannya."Caranya?""Kita berciuman sekarang.""Apa? Nggak, jangan aneh-aneh. Kalau Mas Rendi ngeliat ke belakang gimana?" tanyaku yang terkejut dengan ide Pak Anggara.Meskipun kanan dan kiri kami memakai sekat, sehingga aku dan Pak Anggara memiliki privasi, tetapi aku tetap akan merasa tidak tenang. Takut sewaktu-