Setelah beberapa saat kemudian, kami sampai di sebuah apartemen. Aku pikir, aku akan di bawa ke rumahnya, ternyata ke apartemennya. Ah, sayang sekali memang karena aku penasaran dengan rumah pria misterius yang mau denganku dan juga sangat royal padaku."Ayo turun."Kami berjalan masuk setelah memarkirkan mobil di parkiran basemen apartemen itu. Pak Anggara menekan angka 20 di lift, yang itu artinya apartemen miliknya pasti ada di lantai itu."Memangnya kamu tinggal di apartemen? Bukan di rumah pribadi?""Aku tinggal di mana pun bisa selagi itu punyaku. Aku lebih suka tinggal sendiri.""Jadi, kamu tidak tinggal dengan orang tuamu?""Memangnya kamu ingin aku bawa ke rumah orang tuaku dengan menginap bersama di sana? Bagaimana kalau mereka menganggap kamu adalah calon istriku. Tidak apa?"Aku langsung menggelengkan kepala. "Ya, memang lebih baik di sini saja."Aku langsung berjalan ke dalam apartemen Pak Anggara setelah dipersilahkan untuk masuk. Apartemen yang sangat luas jika hanya un
"Jangan sia-siakan kebahagiaan yang ada di depan mata, Tiana. Kamu akan menyesal jika hubungan kita berakhir disaat suami kamu berhubungan dengan mantan istrinya. Jika dia tidak bisa membahagiakan kamu, aku siap."Setelah mengatakan itu, Pak Anggara langsung mencumbuiku. Aku yang memendam rasa kecewa pada Mas Rendi, tanpa berpikir lama langsung mengimbangi apa yang dilakukan Pak Anggara padaku. Aku tidak ingin egois, tidak hanya ingin jadi pihak yang dipuaskan, tetapi aku juga akan memuaskannya.Malam itu berlangsung sangat panas. Dingin AC saja rasanya tidak mampu untuk menahan keringat yang terus mengucur bak sedang mandi dibawah shower saja.Malam itu adalah kali pertamanya, aku dan Pak Anggara satu ranjang berdua. Rasanya lebih leluasa daripada saat melakukannya di sofa tempo hari. Aku beberapa kali mencapai puncak dalam beberapa gaya yang kami coba. Aku benar-benar mendapatkan hal yang tidak aku dapatkan dari Suamiku sendiri. Bahkan jika aku sedang menginginkan belaiannya, aku s
"Mas Rendi, ternyata aku ketemu sama Mas di sini. Sama anak Mas sama mantan istri Mas juga," sapaku pada Mas Rendi yang membawa makanan dan minuman yang dia pesan, sengaja sekali aku tidak menyebut nama Mbak Dyan, karena memang aku tidak ingin menyebutnya. "Aku pikir Mas cuma main berdua aja sama Ryo, soalnya tadi Mas nggak bilang bakal sama ...." Aku menoleh pada Mbak Dyan tanpa senyum, aku hanya memberikan muka datarku padanya. "Mbak Dyan."Semakin lama, gelagat Mbak Dyan memang semakin jelas kalau dia ingin kembali pada Mas Rendi. Alasan yang tak bisa ditolak, tentu saja akan membawa-bawa nama Ryo. Hingga aku ragu, keinginan Ryo bertemu dan bermain keluar dengan Mas Rendi itu benar-benar keinginan Ryo atau hanya akal-akalan Mbak Dyan saja.Rasanya aku ingin sekali bertanya pada Mbak Dyan dari hati ke hati sebagai sesama wanita, tetapi mengingat apa yang pernah terjadi di rumah sakit saja membuat aku malas untuk mengobrol dengannya."Iya, Sayang. Ryo mau Mamanya ikut juga, katanya ka
"Kamu penasaran dengan perasaan suami kamu sekarang seperti apa sama kamu?""Maksudnya apa, sih? Aku gak ngerti.""Bagaimana jika kita tes, dia masih memiliki perasaan cemburu atau sama sekali tidak."Mengetes perasaan Mas Rendi? Terdengar konyol, tetapi aku juga penasaran apa maksudnya, sekaligus aku juga ingin tahu apakah Mas Rendi masih bisa cemburu padaku.Jika dipikir-pikir, sudah lama juga aku tidak pernah merasakan Mas Rendi protektif padaku. Padahal dari semenjak memutuskan untuk menikah, Mas Rendi tidak mengizinkan aku bekerja dan berhubungan dengan teman laki-lakiku. Dan sekarang aku merasa berbeda karena kehadiran Mbak Dyan, sehingga aku merasa perlu untuk memastikannya."Caranya?""Kita berciuman sekarang.""Apa? Nggak, jangan aneh-aneh. Kalau Mas Rendi ngeliat ke belakang gimana?" tanyaku yang terkejut dengan ide Pak Anggara.Meskipun kanan dan kiri kami memakai sekat, sehingga aku dan Pak Anggara memiliki privasi, tetapi aku tetap akan merasa tidak tenang. Takut sewaktu-
Selang beberapa saat setelah Mbak Dyan keluar, aku pun langung keluar setelah merasa perasaanku baik-baik saja. Semakin jelas Mbak Dyan yang seolah menantangku, semakin aku merasa yakin bahwa ada sesuatu hal dibalik kedekatan antara mereka berdua di belakangku.Yang ada dalam pikiranku sekarang adalah aku ingin mengetahui isi dan pemikiran Mas Rendi. Jika kembali bersama Mbak Dyan itu kebahagian buat dia, mengapa ia tak melepaskan aku dulu? Kenapa lebih senang bermain belakang.Apa Mas Rendi berpikiran sama denganku? Dia tidak ingin menjadi pihak yang bersalah karena melakukan pengkhianatan di belakang?Jika terus seperti ini, maka hubungan rumah tanggaku bersama Mas Rendi seperti sebuah cangkang yang kosong tanpa pemilik. Sebab aku dan Mas Rendi sebagai penghuninya sudah sama-sama meninggalkan cangkang itu. Namun sama-sama enggan untuk menghancurkannya.Sangat konyol memang.Saat aku keluar dari toilet, aku berjalan keluar tetapi tidak menemukan Mas Rendi, Pak Anggara bahkan Mbak Dya
"Kenapa pipimu merah? Haruskah kita bermain di mobil sebentar?" Pak Anggara sukses membuat aku benar-benar malu. Entah bagaimana dengan warna pipiku yang sudah terasa panas, mungkin seperti kepiting rebus saja."Aku mau tau dulu jawaban kenapa kamu mau ke US? Seminggu? Sepuluh hari itu lama. Berarti ada hal penting di sana?" tanyaku yang langsung mengalihkan pembicaraan.Sekarang rasanya aku tidak ingin cepat-cepat untuk keluar dari mobil. Mendengar Pak Anggara akan pergi keluar negeri membuat aku merasa cukup sedih. Seperti aku seolah akan ditinggalkan oleh orang yang begitu dekat denganku bahkan dibandingkan dengan Suamiku sendiri."Jika aku mengatakannya, apa kita akan melakukannya di mobil?" tanya Pak Anggara sambil tersenyum menatapku penuh arti.Andai saja kami berdua tidak berada di depan rumah Ibu, rasanya aku tidak masalah. Aku memang merindukan sentuhan Pak Anggara, merindukan bagaimana dia membuatku merasa senang lewat permainan dan skill yang dia punya."Ini di depan ruma
Angin malam rasanya semakin menelusup masuk ke dalam sum-sum tulangku. Semakin malam, semakin tajam dinginnya. Entah kapan terakhir kali aku merasakan udara malam Ibukota bisa sedingin ini, padahal biasanya siang dan malam tidak begitu jauh berbeda. Lain hal di kampung orang tuaku dulu.Ah, aku jadi rindu Ibu dan juga Ayah. Sudah lama aku tidak berkunjung ke makamnya. Sepertinya aku sudah menjadi anak yang durhaka. Terakhir kali rasanya itu dua tahun yang lalu. Satu tahun setelah pernikahanku dengan Mas Rendi.Ternyata aku benar-benar tidak pernah di ajak ke mana-mana selama menjadi istri Mas Rendi. Bak terkurung dalam sangkar. Padahal yang aku pikirkan menjadi Ibu rumah tangga itu bukan yang sepenuhnya terus di rumah tanpa tahu dunia luar. Tanpa mengunjungi tempat rekreasi dan wisata dikala Mas Rendi libur bekerja.Apakah aku sudah menyia-nyiakan waktu tiga tahunku saat menikah dengan Mas Rendi? Dan dalam satu bulan terakhir, banyak pengalaman dan tempat baru yang aku kunjungi, hanya
Namun ternyata bertambahnya skill yang aku punya justru malah membuat Mas Rendi bertambah cepat mencapai puncaknya, padahal aku baru saja melakukan pemanasan.Dan jika itu sudah terjadi, maka berakhir pula permainan kami. Ya, seperti itulah memang biasanya. Tidak pernah lama dan tidak pernah lebih dari satu kali saja."Sudah, Sayang. Mas mau tidur lagi. Ini juga hari Sabtu. Kamu bangunkan Mas jam 7 saja."Mas Rendi menarik selimutnya dan kembali tidur, apalagi setelah bermain denganku, ia pasti akan tertidur dengan cepat meski aku yang paling lelah.Aku kembali memakai bajuku satu persatu, ingin rasanya kembali merebahkan diri, tetapi aku melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah 6 pagi. Sudah saatnya aku untuk segera keluar dari kamar dan menyiapkan sarapan.Ternyata Mbak Dyan dan Ryo sudah tidak ada di depan televisi tetapi bekas mereka tidur semalam belum dibereskan. Aku juga melihat kamar Ibu sudah terbuka dan dia juga tidak ada di dalam.'Mereka bertiga kayanya jala