Semua orang tanpa terkecuali pasti memiliki sebuah luka. Luka yang tidak kasat mata, hanya sang pemilik luka lah yang bisa merasakannya.Sembuh atau tidaknya tidak bisa dipastikan secara nyata, sebab tergantung sang pemilik luka itulah akan berbicara berdasarkan fakta atau malah menyembunyikannya agar terlihat baik-baik saja.Meski pada akhirnya luka yang tidak terlihat itu bisa sembuh, tapi memorinya akan selalu tertanam dalam ingatan. Semakin mencoba untuk dilupakan, maka akan semakin tenggelam dalam kesakitan.Hanya diri sendirilah yang mampu menyembuhkan dan memastikan luka itu tidak bersarang lama dalam hidupnya.Masa lalu akan tetap menjadi masa lalu, sejauh apapun mengejarnya tak akan bisa kembali apalagi hanya untuk menyesali apa yang sudah terjadi dimasa sekarang.Luka dimasa lalu yang dibiarkan, biasanya akan menjalar menjadi sebuah dendam. Sebuah titik balik yang berniat untuk melupakan, malah meluap menjadi emosi yang harus terbalaskan.Ketidakadilan adalah hal yang pasti
"Coba kamu periksa ke dokter, mana tau ada yang salah sama rahim kamu. Masa udah rumah tangga tiga tahun tapi belum juga punya anak," ucap Ibu Mertuaku yang katanya hanya sekedar mampir, padahal hal itulah yang selalu ia bahas ketika berkunjung ke rumah."Sudah kok, Bu. Dan kata dokter rahimku sehat. Siklus menstruasinya juga teratur. Aku juga sebisa mungkin menghindari stres walaupun selalu dihujani banyak pertanyaan 'kenapa belum hamil?'." "Jadi, kamu mau bilang Ibu bikin kamu stres?" Nada bicara Ibu Mertuaku terdengar tidak baik-baik saja."Aku tidak menuduh Ibu, apa memang Ibu merasa?""Ini nih, yang buat kamu susah hamil. Ngeyel jadi orang!"Ditengah perbincangan dengan Ibu Mertuaku yang terdengar semakin tidak baik, Suamiku malah asyik main game dengan ponselnya. Begitulah kebiasaannya setiap pulang kerja. Bukannya membelai istri, malah sibuk dengan game. Bagaimana bisa aku hamil kalau seperti ini?Aku menarik napas dalam-dalam. "Bu, coba deh Ibu tanya sama anak Ibu sendiri. Mun
"Mas, tenang dulu. Aku akan jelaskan apa yang terjadi. Tapi nggak diluar kaya gini. Ayo kita masuk ke dalam dulu," ucapku dengan tenang saat mendengar Mas Rendi memanggil namaku lirih."Jangan mau percaya sama istri kamu, Ren. Kamu itu udah diperdaya sama dia. Sama Ibu aja udah berani ngelawan. Pasti dia juga akan ngelawan kamu. Sekarang aja udah berani masukin laki-laki ke dalam rumah disaat kamu gak ada. Udah jelas dia wanita gak bener. Gak heran kalau dia jadi susah untuk hamil. Tuhan lebih tau kalau istri kamu belum pantas jadi seorang Ibu." Ucapan Ibu Mertuaku yang sengaja mengompori Mas Rendi, sudah sangat keterlaluan. Apalagi saat itu ada orang asing yang mendengar hinaan yang ditujukan untukku. Dan kesalnya, pria asing itu terus diam saja. Menyimak tanpa sedikitpun ingin membantu menjelaskan kesalahpahaman."Bu, mending Ibu diam dulu. Jangan memperunyam masalah ini. Ini hanya kesalahpahaman yang harus aku luruskan saja.""Haduh, lagu lama. Alasan klasik orang yang ketauan sel
Aku masih belum berani untuk menoleh. Saking parnonya karena film, aku malah sempat berpikir jika pria disampingku bukanlah manusia."Tenang saja aku bukan pria jahat."Aku masih merasa aman karena adanya kamera tersembunyi di dalam teater. Sehingga aku kembali fokus saja pada film dilayar."Kamu datang sendiri?" bisik pria itu lagi.Aku mengangguk saja, berharap ia tidak terus-menerus bertanya hal yang tidak penting."Mengapa sendiri?" Lagi!Aku menoleh dengan niat ingin menegurnya agar tidak terus mengajakku berbicara. "Ma---" Aku malah diam membeku karena kini aku berhadapan dengannya dengan jarak yang cukup dekat, dekat, sangat dekat. Sontak aku langsung menjauhkan wajahku karena terkejut sekaligus takut."Sudah aku bilang, aku bukanlah orang jahat. Aku hanya ingin mengobrol saja.""Aku sudah punya suami!""Memangnya kenapa? Apa ada aturannya kalau sudah bersuami tidak boleh mengobrol dengan orang lain?""Aku sedang fokus pada film!""Baiklah."Setelahnya, aku pikir akan berhent
Dua bulan berlalu setelah kejadian di bioskop waktu itu, aku belum bertemu dengan Ibu Mertuaku lagi. Karena dia masih saja marah dan menganggap bahwa aku mengenyampingkan kepentingan keluarga hanya demi kesenangan sendiri.Salahku memang yang tidak bertanya pada Mas Rendi mengapa ia membatalkan rencana kita keluar, sebab aku yang sudah terlanjur kecewa selalu menjadi nomor dua.Wajarkah jika aku cemburu terhadap Ibu mertuaku sendiri? Mau bagaimana lagi, aku memang merasa dinomorduakan. Dan disisi lain, Mas Rendi sendiri yang selalu bersikap abu-abu."Mas pulang," ucap Mas Rendi yang langsung menyadarkan lamunanku."Oh iya, Mas. Mas udah makan di rumah Ibu, kan? Soalnya aku gak masak lagi hari ini." Aku langsung berdiri menghampiri suamiku untuk membawa tas kerjanya seperti yang biasa aku lakukan."Iya, Mas udah makan. Kamu udah makan juga?""Udah," ucapku yang langsung segera berpaling.Jujur saja aku masih tidak sanggup jika harus bertatapan lama dengan suamiku. Perasaan bersalah yan
Beberapa hari setelah bertemu dengan Mbak Dian, aku merasa penasaran tentang cerita masa lalu suamiku, yang padahal dari awal pertemuan kami, aku tidak bertanya apapun terkait mantan istrinya.Bukan cerita indah yang membuatku merasa penasaran, melainkan cerita yang sepertinya tidak jauh berbeda dari apa yang sedang aku alami sekarang di rumah tanggaku bersama Mas Rendi."Mas, ini kopinya," ucapku sambil menaruh kopi panas yang sudah aku buat untuk Suamiku setelah makan malam bersama tadi."Iya, terima kasih, Sayang.""Mas, boleh aku tanya sesuatu?""Iya boleh, tanya saja. Kenapa harus tanya gitu dulu? Biasanya langsung nanya.""Simpan dulu dong HP-nya," protesku."Iya apa?""Aku ketemu sama mantan istri Mas. Dan kami ngobrol sebentar. Terus ada hal yang membuat aku kepikiran. Kalau boleh tau, kalian berdua berpisah karena apa?"Brak!!Aku terkejut bukan kepalang, reaksi dari Mas Rendi sama sekali diluar ekspektasiku. Ini adalah kali pertamanya Mas Rendi terlihat marah."Mas?!""Mas p
"Lho? Kamu bukannya --?" Aku langsung teringat jika pria yang ada di hadapanku itu ternyata pria yang membantuku membayarkan belanjaanku tempo hari. Aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu lagi dengan pria itu. Mungkin memang sudah takdirnya aku bertemu lagi dengan dia, hanya saja aku kembali merasa dongkol sebab dia yang sudah menimbulkan kesalahpahaman tetapi dia juga tidak berusaha membantuku untuk meluruskan.Pria dihadapan aku langsung tersenyum seolah dia juga masih mengingat wajahku."Wanita di supermarket?""Jadi, kamu CEO di perusahaan ini?" "Benar, selamat datang di perusahaanku. Kamu berniat untuk melamar pekerjaan di sini, kan? Biarkan saya melihat CV-mu terlebih dahulu," pinta pria itu yang ternyata bernama Anggara saat aku melihat name tag di meja kerjanya.Sebenarnya aku masih merasa marah padanya, kalau saja aku tidak membutuhkan pekerjaan, mungkin aku sudah mengurungkan diri untuk bekerja di sana.Dia membaca CV-ku, sementara aku duduk di kursi yang ada di hadap
"Aku juga masak sayur, kok. Sayur bayam dan jagung buat Ibu. Tadi Ibu nyuruh aku buat cepetan masak, tapi malah nyuruh Mas Rendi buat beli diluar. Pengeluarannya kan jadi double," ucapku yang sakit hati dengan ulah Ibu Mertuaku, yang seolah sengaja selalu melakukan apapun untuk menguji kesabaranku di depan Mas Rendi."Memangnya Ibu lagi menyusui dibikinin sayur bayam? Ayam goreng buatan kamu juga selalu keras, sakit kalau dimakan sama Ibu yang giginya udah setua umur Ibu juga," ujar Ibu Mertuaku.Terdengar menyebalkan, bukan?Kelakuan Ibu Mertuaku memang sukses membuat aku gemas, geram dan tak tahan menahan emosi. Aku tahu, jika diumur Ibu yang sekarang, dia akan memasuki kembali fase kanak-kanak, tetapi ini rasanya lebih menyebalkan dari sekedar tingkah laku anak kecil."Udahlah, Sayang. Nggak apa-apa, kok. Sekali-kali juga. Kata dokter kan menjaga suasana hati Ibu, bisa turut mempercepat masa pemulihan, karena kita membahagiakan batin dan mentalnya," bela Mas Rendi terdengar seperti