Beberapa hari setelah bertemu dengan Mbak Dian, aku merasa penasaran tentang cerita masa lalu suamiku, yang padahal dari awal pertemuan kami, aku tidak bertanya apapun terkait mantan istrinya.
Bukan cerita indah yang membuatku merasa penasaran, melainkan cerita yang sepertinya tidak jauh berbeda dari apa yang sedang aku alami sekarang di rumah tanggaku bersama Mas Rendi."Mas, ini kopinya," ucapku sambil menaruh kopi panas yang sudah aku buat untuk Suamiku setelah makan malam bersama tadi."Iya, terima kasih, Sayang.""Mas, boleh aku tanya sesuatu?""Iya boleh, tanya saja. Kenapa harus tanya gitu dulu? Biasanya langsung nanya.""Simpan dulu dong HP-nya," protesku."Iya apa?""Aku ketemu sama mantan istri Mas. Dan kami ngobrol sebentar. Terus ada hal yang membuat aku kepikiran. Kalau boleh tau, kalian berdua berpisah karena apa?"Brak!!Aku terkejut bukan kepalang, reaksi dari Mas Rendi sama sekali diluar ekspektasiku. Ini adalah kali pertamanya Mas Rendi terlihat marah."Mas?!""Mas paling nggak suka diungkit soal masa lalu. Emang apa pentingnya sampai kamu harus tau alasan perceraian Mas sama mantan istri Mas?""A--aku cuman mau tau aja, Mas. Kenapa Mas marah banget kaya gini? Kalau Mas nggak mau jawab juga tinggal bilang baik-baik, aku bakalan mengerti.""Sudahlah!!"Mas Rendi langsung keluar dari rumah bahkan kopi yang baru aku buatkan tidak ia sentuh sama sekali.Satu bulan berlalu setelah kejadian itu, Mas Rendi sudah mulai kembali hangat padaku. Cukup lama ia mengabaikanku dan akupun mencoba untuk terus meminta maaf dan akhirnya Mas Rendi luluh meski rasa penasaranku belum terbayarkan.Setelah selesai memasak, aku langsung mandi dan bersantai sambil menunggu Mas Rendi pulang.Tring!Aku mengerutkan kening, sudah jam pulang tetapi Mas Rendi malah meneleponku alih-alih muncul batang hidungnya."Hallo, Mas? Kamu pulang sekarang atau lembur?""Aku lagi di rumah sakit.""Apa?" Aku terkejut dan panik karena takut terjadi sesuatu pada suamiku. "Mas kenapa?""Mas nggak apa-apa. Ibu kecelakaan, kamu ke sini, ya."Tanpa berlama-lama aku langsung ke rumah sakit.Rupanya Ibu mertuaku mengalami kecelakaan tunggal. "Jadi bagaimana kondisi Ibu saya, Dok?" tanya Mas Rendi saat dokter sudah keluar dari ruangan.Kami berdua menyimak apa yang dijelaskan oleh Dokter dengan sangat rinci, mengenai kondisi, tindakan yang harus dilakukan, pengobatan serta biaya yang harus dikeluarkan. Tak lupa juga dengan rekomendasi rumah sakit yang memang menjadi rujukan untuk pengobatan Ibu Mertuaku.Keesokan harinya, aku sudah menyiapkan segala keperluan untuk keberangkatan Mas Rendi dan Ibu ke Singapura. Sejujurnya aku merasa tidak setuju jika pengobatan Ibu sampai harus keluar negeri, padahal Dokter merekomendasikan beberapa rumah sakit terbaik di Indonesia, tetapi aku tidak berani untuk mengatakannya. Aku masih sadar akan situasi dan tidak ingin memancing keributan.Ibu Mertuaku harus menjalani operasi dan pemulihan di Singapura selama satu pekan. Itu berarti Mas Rendi mengambil cuti kerja selama itu pula.Tak berhenti sampai disitu, pasca operasi pun harus tetap melakukan terapi jalan selama 10 bulan. Tentu saja uang yang dikeluarkan tidak sedikit. Uang tabungan untuk pendidikan anak, sudah ludes. Bahkan Mas Rendi harus menjual rumah kami berdua, sehingga kini aku tinggal bersama di rumah Ibu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi sampai mencegah Mas Rendi menjual rumah demi pengobatan Ibu, sebab jika bukan Mas Rendi yang bertanggung jawab, siapa lagi? Aku hanya bisa membantu menjaga Ibu dikala Mas Rendi bekerja."Bawa apa itu, Mas?" tanyaku pada Mas Rendi yang baru pulang."Ini buah-buahan untuk Ibu. Tolong kamu kupasin, ya."Semakin hari keuangan kami berdua semakin pas-pasan saja. Bahkan aku sudah tidak bisa lagi menyisihkan uang untuk aku tabung.Kupingku juga rasanya sudah makin kebal saja dengan semua omongan Ibu yang pastinya masih membuatku sakit hati. Entah masalah keturunan apalagi masalah keuangan."Mas, kayanya aku mau kerja lagi.""Kerja lagi? Kenapa?""Mas tanya kenapa? Apa aku perlu jelaskan?""Maafkan, Mas. Tapi kamu sendiri tau kan kalau Ibu butuh diutamakan sebelum kamu? Ibu perlu terapi untuk pemulihannya. Belum lagi --""Maka dari itu, aku mau nyoba nyari kerjaan. Aku nggak mau nambah beban buat kamu. Udah dua bulan ini aku sama sekali nggak megang uang.""Tapi, nanti yang jaga Ibu siapa, sayang?""Jangan khawatirkan soal Ibu."Tiba-tiba saja terdengar suara Ibu Mertuaku keluar dari rumah dengan kursi rodanya. Meski dengan keadaan yang belum sehat total, juga dengan bicara yang masih terbata, tetapi kebenciannya padaku masih sangat membara dimatanya."Ada Bu Ningsih, tetangga Ibu yang bisa jagain Ibu sampai kamu pulang, Nak. Izinkan saja istri kamu buat cari kerjaan lagi. Biar dia juga merasakan lelahnya cari uang kalau sudah berumah tangga. Biar bisa bersyukur. Lagian di rumah juga dia gak pernah bener-bener ngurus Ibu!""Iya, Bu. Udah Ibu ke dalam lagi, ya. Udara malam nggak baik untuk Ibu. Sayang, soal keinginan kamu Mas setuju. Kalau kamu mau bekerja, Mas dukung sepenuhnya. Mas ke dalam dulu, kasihan Ibu."Sudah dua Minggu berlalu, aku masih menunggu panggilan dari beberapa perusahaan yang aku lamar. Hanya saja belum ada kabar.Sampai akhirnya, karena aku bosan di rumah. Ibu Mertuaku juga sudah ada yang jaga, aku mau jalan-jalan sore ke taman komplek. Aku melewati rumahku yang sudah di jual dan kini masih kosong. Ingin rasanya kembali tinggal di sana.Saat aku memperhatikan rumah lamaku, aku melihat ada sesuatu yang menarik tertempel di kaca rumah. Aku mendekat, ternyata sebuah selebaran."Hah? Lowongan pekerjaan?"Aku cukup merasa senang melihat selebaran itu, entah bagaimana bisa aku yang sedang membutuhkan banyak informasi lowongan pekerjaan, tiba-tiba menemukan yang aku butuhkan.Aku membaca selebaran itu, rupanya lowongan untuk seorang sekretaris yang sudah berpengalaman. Membaca sampai disitu saja aku merasa sudah ada peluang besar. Namun, terkadang aku selalu merasa tidak percaya diri sebab statusku yang sudah menikah.Lalu aku membacanya lagi sampai tuntas, status pernikahan tidak menjadi hambatan. Karena yang diutamakan adalah pengalaman.Tanpa pikir panjang, aku membawa selebaran itu dan pulang. Aku sama sekali tidak menghiraukan Ibu Mertuaku dan langsung masuk ke kamar untuk menyiapkan lamaran, sebab walk interview dilaksanakan sampai esok hari.Esok harinya aku berangkat dengan begitu bersemangat. Tadinya aku ingin diantarkan oleh Mas Rendi, hanya saja bertepatan dengan jadwal kontrol Ibu yang tentunya Mas Rendi akan lebih mementingkan Ibu.Perusahaan yang akan aku lamar cukup besar. Sempat merasa kurang percaya diri tetapi aku sangat ingin kembali bekerja."Mbak, permisi. Saya mau ngelamar pekerjaan. Di selebaran yang saya lihat, hari ini ada walk interview," ucapku bertanya pada resepsionis."Ditunggu sebentar, Mbak."Resepsionis itu langsung menelepon yang entah siapa akupun tidak tahu. Akhirnya aku dipersilahkan naik ke lantai 30 untuk menemui kepala HRD.Setelah berjalan mencari ruangan, akhirnya akupun menemukan ruangan kepala HRD itu. Anehnya, tanpa banyak berbasa-basi, aku langsung di ajak untuk ke lantai paling atas di gedung ini. Katanya yang akan mewawancaraiku adalah CEO-nya sendiri.Jelas saja aku merasa keringat dingin. Meski sempat berpikir aneh, tetapi HRD itu menjelaskan jika CEO di perusahaan itu cukup selektif dalam mencari sekretaris, jadi harus ia sendirilah yang menyeleksinya.Tokk, tokk, tokk ....Kami berdua masuk ke ruangan yang cukup luas, malah sangat luas bagiku yang dulu bekerja di perusahaan kelas menengah."Pak, ini saya bawakan pelamar. Saya tinggal, permisi."Lalu, aku ditinggal begitu saja di ruangan bersama CEO yang belum aku lihat jelas wajahnya sebab ia tengah melihat ke arah luar.Saat berbalik, wajah itu tampak tidak asing untukku. Dan dia tersenyum seolah memang mengenalku."Lho? Kamu bukannya --?" Aku langsung teringat jika pria yang ada di hadapanku itu ternyata pria yang membantuku membayarkan belanjaanku tempo hari. Aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu lagi dengan pria itu. Mungkin memang sudah takdirnya aku bertemu lagi dengan dia, hanya saja aku kembali merasa dongkol sebab dia yang sudah menimbulkan kesalahpahaman tetapi dia juga tidak berusaha membantuku untuk meluruskan.Pria dihadapan aku langsung tersenyum seolah dia juga masih mengingat wajahku."Wanita di supermarket?""Jadi, kamu CEO di perusahaan ini?" "Benar, selamat datang di perusahaanku. Kamu berniat untuk melamar pekerjaan di sini, kan? Biarkan saya melihat CV-mu terlebih dahulu," pinta pria itu yang ternyata bernama Anggara saat aku melihat name tag di meja kerjanya.Sebenarnya aku masih merasa marah padanya, kalau saja aku tidak membutuhkan pekerjaan, mungkin aku sudah mengurungkan diri untuk bekerja di sana.Dia membaca CV-ku, sementara aku duduk di kursi yang ada di hadap
"Aku juga masak sayur, kok. Sayur bayam dan jagung buat Ibu. Tadi Ibu nyuruh aku buat cepetan masak, tapi malah nyuruh Mas Rendi buat beli diluar. Pengeluarannya kan jadi double," ucapku yang sakit hati dengan ulah Ibu Mertuaku, yang seolah sengaja selalu melakukan apapun untuk menguji kesabaranku di depan Mas Rendi."Memangnya Ibu lagi menyusui dibikinin sayur bayam? Ayam goreng buatan kamu juga selalu keras, sakit kalau dimakan sama Ibu yang giginya udah setua umur Ibu juga," ujar Ibu Mertuaku.Terdengar menyebalkan, bukan?Kelakuan Ibu Mertuaku memang sukses membuat aku gemas, geram dan tak tahan menahan emosi. Aku tahu, jika diumur Ibu yang sekarang, dia akan memasuki kembali fase kanak-kanak, tetapi ini rasanya lebih menyebalkan dari sekedar tingkah laku anak kecil."Udahlah, Sayang. Nggak apa-apa, kok. Sekali-kali juga. Kata dokter kan menjaga suasana hati Ibu, bisa turut mempercepat masa pemulihan, karena kita membahagiakan batin dan mentalnya," bela Mas Rendi terdengar seperti
"Jauh sebelum kamu menjadi sekretaris saya, saya memang selalu makan siang bersama sekretaris saya yang lama. Tapi dia sekarang sudah menikah dan resign," lanjut Pak Anggara seolah tidak ingin membuatku berpikir macam-macam."Oh begitu, Pak.""Kalau sedang diluar jam kantor, santai saja. Jangan terlalu formal. Kita juga sebelumnya kan sudah saling kenal."Mana bisa seperti itu, aku tetap akan menjaga profesionalitas aku dalam bekerja. Dan rasanya diantara kami berdua tidak begitu saling mengenal lebih jauh, sehingga tidak terlalu pantas jika bersikap informal walau diluar jam kantor."Ah, tidak, Pak. Saya hanya sebatas sekretaris Pak Anggara. Lebih dari itu, Pak Anggara pernah membantu saya. Tidak lebih lagi karena kita berdua tidak saling kenal juga.""Sepertinya kamu masih marah pada saya?" tanya Pak Anggara disertai dengan senyum tipis yang aku sendiri tidak tahu apa arti senyuman itu.Mengejekku?"Marah? Atas dasar apa saya harus marah sama Bapak?""Karena saya tidak membantu menj
*Flashback*Dua hari yang lalu, Mas Rendi pulang telat karena memang harus lembur. Ia mengambil lemburan mungkin hanya satu sampai dua kali saja dalam satu pekan, sehingga aku berdua saja dengan Ibu, karena Bi Wati sudah pulang ke rumahnya."Berapa gajimu dalam sebulan?" tanya Ibu Mertuaku yang memecah suara dari televisi.Biasanya aku memang selalu lebih lama menghabiskan waktu di dalam kamar, tetapi karena Mas Rendi belum pulang, jadi aku menunggunya di luar."Aku belum tau, Bu. Mungkin nggak jauh dari UMK kota ini," jawabku singkat karena memang aku belum tahu.Dasar pikirkan burukku memang cukup sulit untuk dijauhkan sehingga aku sampai berpikir Ibu akan meminta uang dari hasil keringatku juga. Sebenarnya memang tak apa, aku juga tidak akan perhitungan dengan suami atau bahkan dengan keluarga dari Suamiku sendiri."Kalau kamu sudah gajian nanti, ingat jangan digunain sendiri uangnya. Kalau mau meringankan beban suami jangan pelit-pelit dan perhitungan!"Belum genap satu bulan saja
"Oh ya, gaji besar dari saya harus kamu gunakan untuk dirimu sendiri," ucap Pak Anggara memotong pembicaraanku, sampai aku mengerutkan keningku tidak mengerti mengapa dia berkata seperti itu.Mengapa harus digunakan untukku saja? Seolah aku tidak boleh berbagi gajiku maksudnya?"Maksudnya, Pak?""Kamu ini sekretaris saya, perusahaan ini perusahaan yang besar. Hampir setiap hari saya akan bertemu dengan klien penting. Coba perhatikan penampilan kamu sendiri."Sontak aku langsung melihat diriku dengan apa yang aku pakai setiap harinya.Tubuku yang tidak berubah dari sebelum menikah sampai sekarang membuat aku tidak kesusahan saat mendapatkan pekerjaan lagi, sebab aku bisa memakai baju lamaku.Saat bekerja dulu, aku selalu mengutamakan penampilan karena tuntutan pekerjaan, sehingga baju-baju kerjaku cukup banyak, bahkan lebih banyak dibandingkan saat aku setelah menikah yang jarang sekali membeli baju.Namun karena aku terkahir bekerja sudah bertahun-tahun yang lalu, jelas saja pakaian ya
Aku tidak salah dengar, kan? Belanjaan tadi untukku? "Tapi, Pak? Saya pikir itu hadiah dari Bapak untuk seseorang," ucapku yang masih tidak percaya jika atasanku membelikan baju yang jelas tidak murah."Yang mencoba baju itu tadi siapa? Kamu, kan? Semuanya cocok di kamu. Jadi ambil saja.""Saya tidak bisa menerimanya, Pak.""Tapi ini perintah dari saya, kamu ini sekretaris saya, jadi sudah seharusnya kamu memakai pakaian yang cocok dan layak jika berdampingan dengan saya. Karena kamu akan ikut saya ke mana pun saya akan pergi.""Tapi, semuanya terlalu banyak, Pak. Saya ambil satu saja. Gaji saya satu bulan kemarin, sudah cukup untuk saya belikan baju, jika memang penampilan saya sekarang kurang enak dipandang. Saya akan membeli baju-baju yang baru. Tapi tidak semahal ini."Tentu saja aku merasa sangat terkejut jika harus menerima semua baju-baju yang tadi aku pakai. Sebab satu stelannya saja sudah jutaan bahkan bisa sampai belasan juta. Harga itu membuat aku sangat shock."Gajimu, si
"Mas, memangnya aku sejahat itu di mata kamu? Mas sendiri juga tau bagaimana sikap Ibu sama aku selama kita menikah. Tapi kenapa Mas bisa-bisanya nuduh aku kaya gitu?"Jelas saja aku tidak menyangka kata-kata seperti tadi bisa keluar dari mulut suamiku. Aku memang sering sakit hati oleh Ibu Mertuaku, tetapi aku juga tidak sejahat yang dibayangkan oleh Mas Rendi.Membunuh Ibu? Kalau bisa aku hanya ingin membunuh sikap Ibu yang selalu membenci aku. Bukan orangnya!"Terus sekarang apa yang terjadi? Hanya karena Ibu negur kamu lantaran kamu diantar oleh bos kamu kamu semarah itu sampai membentak Ibu? Bagus Ibu mengingatkan kamu, kalau kamu sudah mempunyai suami. Harus punya batasan dengan lawan jenis. Kamu Mas izinkan bekerja bukan berarti kamu bebas melakukan apa saja diluar sana tanpa kamu menjaga nama baik dan kehormatan kamu sendiri!" "Mas, memang apa yang aku lakukan diluar rumah? Aku hanya bekerja. Pikiran Ibu saja yang terlalu buruk sama aku. Aku bekerja untuk membantu mengurangi
Pertemuan dengan klien asal Bali cukup memakan waktu, sehingga pukul 5 sore yang seharusnya sudah kembali ke kantor untuk bersiap pulang malah baru akan berangkat ke lapangan golf. Sudah dipastikan akan selesai sampai malam.Aku tidak berani untuk menanyakan pada Pak Anggara perihal jam pulang kerjaku, sebab sekarang aku sudah selesai mengganti pakaian olahraga untuk menemani Pak Anggara bermain golf bersama kliennya. Aku dan sekretaris dari klien Pak Anggara, sama-sama saling mendampingi bos kami masing-masing."Maaf, Mbak. Biasanya mereka selesai golf sampai pukul berapa?" tanyaku pada sekretaris klien Pak Anggara, aku rasa dia sudah tahu karena seperti apa yang dikatakan oleh Pak Anggara jika dirinya memang sudah terbiasa langsung bermain golf jika sudah bertemu dengan kliennya yang satu itu."Biasanya pukul 8 malam, Mbak. Lalu dilanjut makan malam, karaoke dan juga minum-minum. Apalagi sekarang hari Jum'at, besoknya sudah libur akhir pekan.""Ah, begitu. Terimakasih, Mbak."Aku ba