*Flashback*Dua hari yang lalu, Mas Rendi pulang telat karena memang harus lembur. Ia mengambil lemburan mungkin hanya satu sampai dua kali saja dalam satu pekan, sehingga aku berdua saja dengan Ibu, karena Bi Wati sudah pulang ke rumahnya."Berapa gajimu dalam sebulan?" tanya Ibu Mertuaku yang memecah suara dari televisi.Biasanya aku memang selalu lebih lama menghabiskan waktu di dalam kamar, tetapi karena Mas Rendi belum pulang, jadi aku menunggunya di luar."Aku belum tau, Bu. Mungkin nggak jauh dari UMK kota ini," jawabku singkat karena memang aku belum tahu.Dasar pikirkan burukku memang cukup sulit untuk dijauhkan sehingga aku sampai berpikir Ibu akan meminta uang dari hasil keringatku juga. Sebenarnya memang tak apa, aku juga tidak akan perhitungan dengan suami atau bahkan dengan keluarga dari Suamiku sendiri."Kalau kamu sudah gajian nanti, ingat jangan digunain sendiri uangnya. Kalau mau meringankan beban suami jangan pelit-pelit dan perhitungan!"Belum genap satu bulan saja
"Oh ya, gaji besar dari saya harus kamu gunakan untuk dirimu sendiri," ucap Pak Anggara memotong pembicaraanku, sampai aku mengerutkan keningku tidak mengerti mengapa dia berkata seperti itu.Mengapa harus digunakan untukku saja? Seolah aku tidak boleh berbagi gajiku maksudnya?"Maksudnya, Pak?""Kamu ini sekretaris saya, perusahaan ini perusahaan yang besar. Hampir setiap hari saya akan bertemu dengan klien penting. Coba perhatikan penampilan kamu sendiri."Sontak aku langsung melihat diriku dengan apa yang aku pakai setiap harinya.Tubuku yang tidak berubah dari sebelum menikah sampai sekarang membuat aku tidak kesusahan saat mendapatkan pekerjaan lagi, sebab aku bisa memakai baju lamaku.Saat bekerja dulu, aku selalu mengutamakan penampilan karena tuntutan pekerjaan, sehingga baju-baju kerjaku cukup banyak, bahkan lebih banyak dibandingkan saat aku setelah menikah yang jarang sekali membeli baju.Namun karena aku terkahir bekerja sudah bertahun-tahun yang lalu, jelas saja pakaian ya
Aku tidak salah dengar, kan? Belanjaan tadi untukku? "Tapi, Pak? Saya pikir itu hadiah dari Bapak untuk seseorang," ucapku yang masih tidak percaya jika atasanku membelikan baju yang jelas tidak murah."Yang mencoba baju itu tadi siapa? Kamu, kan? Semuanya cocok di kamu. Jadi ambil saja.""Saya tidak bisa menerimanya, Pak.""Tapi ini perintah dari saya, kamu ini sekretaris saya, jadi sudah seharusnya kamu memakai pakaian yang cocok dan layak jika berdampingan dengan saya. Karena kamu akan ikut saya ke mana pun saya akan pergi.""Tapi, semuanya terlalu banyak, Pak. Saya ambil satu saja. Gaji saya satu bulan kemarin, sudah cukup untuk saya belikan baju, jika memang penampilan saya sekarang kurang enak dipandang. Saya akan membeli baju-baju yang baru. Tapi tidak semahal ini."Tentu saja aku merasa sangat terkejut jika harus menerima semua baju-baju yang tadi aku pakai. Sebab satu stelannya saja sudah jutaan bahkan bisa sampai belasan juta. Harga itu membuat aku sangat shock."Gajimu, si
"Mas, memangnya aku sejahat itu di mata kamu? Mas sendiri juga tau bagaimana sikap Ibu sama aku selama kita menikah. Tapi kenapa Mas bisa-bisanya nuduh aku kaya gitu?"Jelas saja aku tidak menyangka kata-kata seperti tadi bisa keluar dari mulut suamiku. Aku memang sering sakit hati oleh Ibu Mertuaku, tetapi aku juga tidak sejahat yang dibayangkan oleh Mas Rendi.Membunuh Ibu? Kalau bisa aku hanya ingin membunuh sikap Ibu yang selalu membenci aku. Bukan orangnya!"Terus sekarang apa yang terjadi? Hanya karena Ibu negur kamu lantaran kamu diantar oleh bos kamu kamu semarah itu sampai membentak Ibu? Bagus Ibu mengingatkan kamu, kalau kamu sudah mempunyai suami. Harus punya batasan dengan lawan jenis. Kamu Mas izinkan bekerja bukan berarti kamu bebas melakukan apa saja diluar sana tanpa kamu menjaga nama baik dan kehormatan kamu sendiri!" "Mas, memang apa yang aku lakukan diluar rumah? Aku hanya bekerja. Pikiran Ibu saja yang terlalu buruk sama aku. Aku bekerja untuk membantu mengurangi
Pertemuan dengan klien asal Bali cukup memakan waktu, sehingga pukul 5 sore yang seharusnya sudah kembali ke kantor untuk bersiap pulang malah baru akan berangkat ke lapangan golf. Sudah dipastikan akan selesai sampai malam.Aku tidak berani untuk menanyakan pada Pak Anggara perihal jam pulang kerjaku, sebab sekarang aku sudah selesai mengganti pakaian olahraga untuk menemani Pak Anggara bermain golf bersama kliennya. Aku dan sekretaris dari klien Pak Anggara, sama-sama saling mendampingi bos kami masing-masing."Maaf, Mbak. Biasanya mereka selesai golf sampai pukul berapa?" tanyaku pada sekretaris klien Pak Anggara, aku rasa dia sudah tahu karena seperti apa yang dikatakan oleh Pak Anggara jika dirinya memang sudah terbiasa langsung bermain golf jika sudah bertemu dengan kliennya yang satu itu."Biasanya pukul 8 malam, Mbak. Lalu dilanjut makan malam, karaoke dan juga minum-minum. Apalagi sekarang hari Jum'at, besoknya sudah libur akhir pekan.""Ah, begitu. Terimakasih, Mbak."Aku ba
Tidak ingin membuat keributan malam-malam di rumah sakit, akhirnya aku memilih pulang saja. Mungkin memang Mas Rendi ingin aku bergelut dengan pikiranku yang tidak bisa dikontrol. Karena rasanya, tidak ada orang yang masih bisa berpikir positif jika ada di posisiku.'Apa ini hukuman dari Mas Rendi?' batinku berkecamuk sering langkah kakiku pelan mulai keluar dari rumah sakit.Bruk!!Aku tanpa sengaja menabrak seseorang saat hendak berbelok. Ya, aku sedang sangat tidak fokus. Benar-benar tidak fokus."Ma--maaf," ucapku sambil menundukkan kepala tanpa melihat siapa yang sudah aku tabrak tanpa sengaja."Tiana?"Suara yang sudah akrab terdengar di kupingku, Pak Anggara. Aku sontak langsung melihatnya, dan ternyata memang benar. Aku mengerutkan kening, merasa heran mengapa Pak Anggara masih belum pulang."Pak Anggara belum pulang?" tanyaku penasaran. Padahal sudah cukup lama kami berdua sampai."Saya membeli obat di apotek," jawabnya sambil memperlihatkan kantong berisi obat, yang entah ob
Rupanya aku sudah salah menduga, aku pikir tempat yang dikatakan oleh Pak Anggara itu klub malam, sebab semasa aku masih gadis teman seusiaku menghilangkan stres dengan pergi ke klub dan juga pesta minum. Lagi-lagi aku memang salah menilai bosku ini.Aku masuk ke dalam sebuah tempat yang di dalamnya seperti game zone, atau memang benar namanya begitu. Namun aku tidak melihat satu orang pun kecuali kami berdua. Aku dan Pak Anggara."Pak, kenapa Bapak membawa saya ke tempat seperti ini?" tanyaku heran."Saya bukan peminum, jadi saya tidak bisa merealisasikan pikiran burukmu yang berpikir jika saya akan mengajak kamu ke night club."Aku terdiam sambil sedikit melirik pada Pak Anggara yang berdiri di sampingku. Bisa-bisanya dia membaca pikiranku yang memang berpikiran seperti itu."Inilah tempat yang bisa membantu untuk menghilangkan stres. Kamu tidak perlu malu untuk memainkan semua permainan yang ada di sini. Mainan yang ada di sini tidak hanya diperuntukkan bagi anak-anak saja. Kita seb
Aku langsung menjauhkan diriku dari Pak Anggara saat Pak Anggara mengatakan seperti itu seolah mendukung kebenaran akan pemikiranku tentang pria yang ada di bioskop waktu itu adalah orang yang sama, yaitu Pak Anggara."Kenapa?" tanya Pak Anggara kembali karena aku belum mengatakan apa-apa selain berekspresi seolah masih tak percaya."Apa Pak Anggara itu ....""Saya kenapa?""Tadi kenapa Pak Anggara bertanya saya deja vu atau tidak? Atas dasar apa Pak Anggara bertanya seperti itu? Seolah-olah kita pernah bertemu sebelum saya bekerja di perusahaan Bapak.""Kita memang pernah bertemu, kan?" tanya Pak Anggara dengan mengangkat sebelah alisnya."Selain di supermarket. Pernah, kan?""Mmm ...." Pak Anggara tampak sedang berpikir. "Di mana lagi? Apa di bioskop?" tanyanya dengan senyum dan tatapan yang penuh arti.Sontak kedua mataku membola, rupanya memang benar apa yang aku pikirkan. Asumsiku tidak salah jika Pak Anggara memang pria misterius yang menonton film di bioskop bersamaku.Dan kini