"Aku juga masak sayur, kok. Sayur bayam dan jagung buat Ibu. Tadi Ibu nyuruh aku buat cepetan masak, tapi malah nyuruh Mas Rendi buat beli diluar. Pengeluarannya kan jadi double," ucapku yang sakit hati dengan ulah Ibu Mertuaku, yang seolah sengaja selalu melakukan apapun untuk menguji kesabaranku di depan Mas Rendi.
"Memangnya Ibu lagi menyusui dibikinin sayur bayam? Ayam goreng buatan kamu juga selalu keras, sakit kalau dimakan sama Ibu yang giginya udah setua umur Ibu juga," ujar Ibu Mertuaku.Terdengar menyebalkan, bukan?Kelakuan Ibu Mertuaku memang sukses membuat aku gemas, geram dan tak tahan menahan emosi. Aku tahu, jika diumur Ibu yang sekarang, dia akan memasuki kembali fase kanak-kanak, tetapi ini rasanya lebih menyebalkan dari sekedar tingkah laku anak kecil."Udahlah, Sayang. Nggak apa-apa, kok. Sekali-kali juga. Kata dokter kan menjaga suasana hati Ibu, bisa turut mempercepat masa pemulihan, karena kita membahagiakan batin dan mentalnya," bela Mas Rendi terdengar seperti bijaksana, tetapi itu nyatanya membuat hatiku terluka.'Terus suasana hatiku bagaimana?' batinku yang ingin sekali berteriak tepat di depan wajahnya.Namun aku juga tidak tega, sikap lembut Mas Rendi tidak bisa membuatku melakukan hal yang mungkin membuatnya sakit hati. Meski sebenarnya, semua rasa kesalku pada Ibu Mertuaku, aku curahkan semua pada Mas Rendi."Terserah Mas Rendi saja," ucapku tidak ingin terus bersitegang sementara Ibu Mertuaku selalu di atas angin karena Mas Rendi yang selalu menuruti apapun yang dikatakan oleh Ibunya.Kadang aku berpikir, aku akan sangat bahagia, aku akan sangat beruntung mendapatkan suami yang begitu sayang keluarga terutama Ibu. Namun nyatanya, hal itu malah membuatku bersaing dengan Ibu Mertuaku sendiri yang memang egonya tinggi dan seolah tidak mau berbagi perhatian dan kasih sayang dari Mas Rendi.Aku kembali ke dapur untuk makan masakan aku, sendiri!Usai makan dan membereskannya kembali, aku langsung masuk ke kamar, Mas Rendi pun sudah selesai mandi."Kata Ibu, kamu sudah mendapatkan pekerjaan Sayang? Ceritakan sama Mas bagaimana proses kamu kemarin?" tanya Mas Rendi sambil mendekat padaku yang tengah memakai night skincare rutin."Semuanya dimudahkan, aku udah langsung bisa bekerja besok."Mas Rendi memelukku dari belakang dan menatapku lewat pantulan cermin."Mas sebenarnya masih belum rela kamu bekerja lagi. Mas nggak rela kamu nantinya berinteraksi dengan banyak pria. Apalagi kamu sebagai seorang sekretaris yang nantinya akan selalu ikut sama bos kamu," ucap Mas Rendi dengan kekhawatirannya.Aku mengerti betul dengan yang ditakutkan oleh Mas Rendi. Sebab, baru saja aku tahu kalau penyebab berpisahnya Mas Rendi dengan istrinya terdahulu, karena perselingkuhan Mbak Dyan. Itulah mengapa Mas Rendi tidak pernah ingin lagi mengungkit masa lalu.Seketika saja aku juga langsung teringat kejadian di bioskop beberapa bulan yang lalu. Itu adalah tindakan terbodoh yang pernah aku lakukan di belakang Suamiku sendiri."Aku kerja, Mas. Bukan untuk berbuat macam-macam.""Ya, namanya juga takut, Sayang. Soalnya istri Mas kan cantik sekali," ucap Mas Rendi sambil meraih bibirku.Mas Rendi menggodaku, runtuh lah benteng pertahanan yang aku bangun untuk mendiamkan Mas Rendi karena drama tadi saat makan malam.Mas Rendi mengangkat tubuhku dan membaringkannya di atas ranjang. Seperti biasa, lampu utama dimatikan, tinggallah ruangan yang temaram menemani permainan panasku dan Mas Rendi.Itu adalah kali pertamanya aku kembali berhubungan badan dengan Mas Rendi semenjak berpindah ke rumah Ibu. Meski tidak pernah berlangsung lama, tetapi aku menikmatinya karena itu bersama suamiku sendiri. Hanya terkadang aku merasa harus menuntaskan sesuatu yang tak bisa dituntaskan oleh Suamiku.Keesokan harinya, aku bangun pagi sekali untuk menyiapkan sarapan. Aku tidak ingin terlambat untuk hari pertamaku masuk kerja. Hari ini adalah hari di mana aku menjadi seorang istri juga bisa dikatakan sebagai wanita karir, bukan? Aku hanya berharap aku akan nyaman di tempat kerjaku nanti."Mas, aku pamit berangkat duluan, ya. Aku sudah siapkan sarapan buat Mas dan Ibu di meja makan.""Iya, Sayang. Semangat untuk hari pertama kerja. Maaf tidak bisa mengantar kamu, karena arah tempat kerja kita kan berbeda.""Nggak apa-apa, Mas. Tolong bilang sama Ibu aku sudah berangkat, aku nggak mau ganggu tidurnya."Mas Rendi mengangguk dan aku langsung keluar sebab ojek online yang aku pesan sudah sampai.Setibanya di kantor, aku langsung saja naik ke lantar di mana ruangan CEO berada untuk mengetahui job desc-ku apa saja di hari ini juga hari-hari selanjutnya.Karena Pak Anggara belum sampai, akhirnya aku duduk menunggu di mejaku saja. Sambil melihat berkas-berkas yang tersusun di rak belakang meja.Tak lama kemudian terdengar langkah kaki, aku bersiap untuk menyapa sebab aku tahu jika itu adalah bosku. Aku begitu yakin karena memang di lantai itu hanya ada ruangan Pak Anggara dengan berbagai ruangan pribadinya yang lain."Selamat pagi, Pak," sapaku beramah-tamah."Ikuti saya," titah Pak Anggara yang masuk ke dalam ruangan dan meminta aku untuk masuk juga.Setelah ada di dalam ruangan, aku sedikit merasa gugup. Meskipun sudah memiliki pengalaman bertahun-tahun, tetapi ketika memulai kembali hal yang sudah lama tidak dilakukan rasanya tetap mendebarkan."Karena tiga bulan ke depan masih masa training, jadi kamu belum bisa meng-handle seluruh pekerjaan sebagai sekretaris saya. Semua schedule saya, sudah diurus oleh Hans. Kamu perhatikan saja cara dia bekerja. Kalau ada masalah atau hal yang ingin kamu tanyakan seputar pekerjaan, kamu langsung tanyakan pada Hans."Aku mengangguk mengerti dengan instruksi dari Pak Anggara. "Baik, Pak.""Untuk sekarang, kamu buatkan saya kopi. Besok kamu harus pastikan kopi sudah ada di meja saya.""Siap, Pak."Berjam-jam kemudian, waktu istirahat sudah tiba. Akhirnya aku sudah merasa sedikit lega. Aku memang hanya sebatas memperhatikan dan mengikuti Pak Anggara juga Pak Hans saat ada rapat internal, tetapi itu memang cukup melelahkan."Kamu makan siang dengan saya," ucap Pak Anggara mengajakku makan siang diluar.Rezeki memang tidak baik jika ditolak.Setelah sampai di restoran yang tidak jauh dari kantor, aku mulai merasa tidak nyaman, sebab Pak Anggara hanya mengajak makan siang berdua saja. Padahal aku pikir, Pak Hans pun akan ikut serta. Aku hanya menenangkan diriku sendiri, bahwa makan siang ini hanya sebatas profesional bekerja. Statusku sebagai istri orang di pekerjaan seperti ini, ternyata malah membuat aku selalu mengingat Mas Rendi dan merasa bersalah."Pak, kita makan siang hanya berdua saja? Saya pikir Pak Hans juga akan ikut makan bersama," ucapku memulai pembicaraan sambil menunggu makanan yang sudah dipesan datang."Iya, kenapa? Kamu tidak suka makan siang bersama saya?""Jauh sebelum kamu menjadi sekretaris saya, saya memang selalu makan siang bersama sekretaris saya yang lama. Tapi dia sekarang sudah menikah dan resign," lanjut Pak Anggara seolah tidak ingin membuatku berpikir macam-macam."Oh begitu, Pak.""Kalau sedang diluar jam kantor, santai saja. Jangan terlalu formal. Kita juga sebelumnya kan sudah saling kenal."Mana bisa seperti itu, aku tetap akan menjaga profesionalitas aku dalam bekerja. Dan rasanya diantara kami berdua tidak begitu saling mengenal lebih jauh, sehingga tidak terlalu pantas jika bersikap informal walau diluar jam kantor."Ah, tidak, Pak. Saya hanya sebatas sekretaris Pak Anggara. Lebih dari itu, Pak Anggara pernah membantu saya. Tidak lebih lagi karena kita berdua tidak saling kenal juga.""Sepertinya kamu masih marah pada saya?" tanya Pak Anggara disertai dengan senyum tipis yang aku sendiri tidak tahu apa arti senyuman itu.Mengejekku?"Marah? Atas dasar apa saya harus marah sama Bapak?""Karena saya tidak membantu menj
*Flashback*Dua hari yang lalu, Mas Rendi pulang telat karena memang harus lembur. Ia mengambil lemburan mungkin hanya satu sampai dua kali saja dalam satu pekan, sehingga aku berdua saja dengan Ibu, karena Bi Wati sudah pulang ke rumahnya."Berapa gajimu dalam sebulan?" tanya Ibu Mertuaku yang memecah suara dari televisi.Biasanya aku memang selalu lebih lama menghabiskan waktu di dalam kamar, tetapi karena Mas Rendi belum pulang, jadi aku menunggunya di luar."Aku belum tau, Bu. Mungkin nggak jauh dari UMK kota ini," jawabku singkat karena memang aku belum tahu.Dasar pikirkan burukku memang cukup sulit untuk dijauhkan sehingga aku sampai berpikir Ibu akan meminta uang dari hasil keringatku juga. Sebenarnya memang tak apa, aku juga tidak akan perhitungan dengan suami atau bahkan dengan keluarga dari Suamiku sendiri."Kalau kamu sudah gajian nanti, ingat jangan digunain sendiri uangnya. Kalau mau meringankan beban suami jangan pelit-pelit dan perhitungan!"Belum genap satu bulan saja
"Oh ya, gaji besar dari saya harus kamu gunakan untuk dirimu sendiri," ucap Pak Anggara memotong pembicaraanku, sampai aku mengerutkan keningku tidak mengerti mengapa dia berkata seperti itu.Mengapa harus digunakan untukku saja? Seolah aku tidak boleh berbagi gajiku maksudnya?"Maksudnya, Pak?""Kamu ini sekretaris saya, perusahaan ini perusahaan yang besar. Hampir setiap hari saya akan bertemu dengan klien penting. Coba perhatikan penampilan kamu sendiri."Sontak aku langsung melihat diriku dengan apa yang aku pakai setiap harinya.Tubuku yang tidak berubah dari sebelum menikah sampai sekarang membuat aku tidak kesusahan saat mendapatkan pekerjaan lagi, sebab aku bisa memakai baju lamaku.Saat bekerja dulu, aku selalu mengutamakan penampilan karena tuntutan pekerjaan, sehingga baju-baju kerjaku cukup banyak, bahkan lebih banyak dibandingkan saat aku setelah menikah yang jarang sekali membeli baju.Namun karena aku terkahir bekerja sudah bertahun-tahun yang lalu, jelas saja pakaian ya
Aku tidak salah dengar, kan? Belanjaan tadi untukku? "Tapi, Pak? Saya pikir itu hadiah dari Bapak untuk seseorang," ucapku yang masih tidak percaya jika atasanku membelikan baju yang jelas tidak murah."Yang mencoba baju itu tadi siapa? Kamu, kan? Semuanya cocok di kamu. Jadi ambil saja.""Saya tidak bisa menerimanya, Pak.""Tapi ini perintah dari saya, kamu ini sekretaris saya, jadi sudah seharusnya kamu memakai pakaian yang cocok dan layak jika berdampingan dengan saya. Karena kamu akan ikut saya ke mana pun saya akan pergi.""Tapi, semuanya terlalu banyak, Pak. Saya ambil satu saja. Gaji saya satu bulan kemarin, sudah cukup untuk saya belikan baju, jika memang penampilan saya sekarang kurang enak dipandang. Saya akan membeli baju-baju yang baru. Tapi tidak semahal ini."Tentu saja aku merasa sangat terkejut jika harus menerima semua baju-baju yang tadi aku pakai. Sebab satu stelannya saja sudah jutaan bahkan bisa sampai belasan juta. Harga itu membuat aku sangat shock."Gajimu, si
"Mas, memangnya aku sejahat itu di mata kamu? Mas sendiri juga tau bagaimana sikap Ibu sama aku selama kita menikah. Tapi kenapa Mas bisa-bisanya nuduh aku kaya gitu?"Jelas saja aku tidak menyangka kata-kata seperti tadi bisa keluar dari mulut suamiku. Aku memang sering sakit hati oleh Ibu Mertuaku, tetapi aku juga tidak sejahat yang dibayangkan oleh Mas Rendi.Membunuh Ibu? Kalau bisa aku hanya ingin membunuh sikap Ibu yang selalu membenci aku. Bukan orangnya!"Terus sekarang apa yang terjadi? Hanya karena Ibu negur kamu lantaran kamu diantar oleh bos kamu kamu semarah itu sampai membentak Ibu? Bagus Ibu mengingatkan kamu, kalau kamu sudah mempunyai suami. Harus punya batasan dengan lawan jenis. Kamu Mas izinkan bekerja bukan berarti kamu bebas melakukan apa saja diluar sana tanpa kamu menjaga nama baik dan kehormatan kamu sendiri!" "Mas, memang apa yang aku lakukan diluar rumah? Aku hanya bekerja. Pikiran Ibu saja yang terlalu buruk sama aku. Aku bekerja untuk membantu mengurangi
Pertemuan dengan klien asal Bali cukup memakan waktu, sehingga pukul 5 sore yang seharusnya sudah kembali ke kantor untuk bersiap pulang malah baru akan berangkat ke lapangan golf. Sudah dipastikan akan selesai sampai malam.Aku tidak berani untuk menanyakan pada Pak Anggara perihal jam pulang kerjaku, sebab sekarang aku sudah selesai mengganti pakaian olahraga untuk menemani Pak Anggara bermain golf bersama kliennya. Aku dan sekretaris dari klien Pak Anggara, sama-sama saling mendampingi bos kami masing-masing."Maaf, Mbak. Biasanya mereka selesai golf sampai pukul berapa?" tanyaku pada sekretaris klien Pak Anggara, aku rasa dia sudah tahu karena seperti apa yang dikatakan oleh Pak Anggara jika dirinya memang sudah terbiasa langsung bermain golf jika sudah bertemu dengan kliennya yang satu itu."Biasanya pukul 8 malam, Mbak. Lalu dilanjut makan malam, karaoke dan juga minum-minum. Apalagi sekarang hari Jum'at, besoknya sudah libur akhir pekan.""Ah, begitu. Terimakasih, Mbak."Aku ba
Tidak ingin membuat keributan malam-malam di rumah sakit, akhirnya aku memilih pulang saja. Mungkin memang Mas Rendi ingin aku bergelut dengan pikiranku yang tidak bisa dikontrol. Karena rasanya, tidak ada orang yang masih bisa berpikir positif jika ada di posisiku.'Apa ini hukuman dari Mas Rendi?' batinku berkecamuk sering langkah kakiku pelan mulai keluar dari rumah sakit.Bruk!!Aku tanpa sengaja menabrak seseorang saat hendak berbelok. Ya, aku sedang sangat tidak fokus. Benar-benar tidak fokus."Ma--maaf," ucapku sambil menundukkan kepala tanpa melihat siapa yang sudah aku tabrak tanpa sengaja."Tiana?"Suara yang sudah akrab terdengar di kupingku, Pak Anggara. Aku sontak langsung melihatnya, dan ternyata memang benar. Aku mengerutkan kening, merasa heran mengapa Pak Anggara masih belum pulang."Pak Anggara belum pulang?" tanyaku penasaran. Padahal sudah cukup lama kami berdua sampai."Saya membeli obat di apotek," jawabnya sambil memperlihatkan kantong berisi obat, yang entah ob
Rupanya aku sudah salah menduga, aku pikir tempat yang dikatakan oleh Pak Anggara itu klub malam, sebab semasa aku masih gadis teman seusiaku menghilangkan stres dengan pergi ke klub dan juga pesta minum. Lagi-lagi aku memang salah menilai bosku ini.Aku masuk ke dalam sebuah tempat yang di dalamnya seperti game zone, atau memang benar namanya begitu. Namun aku tidak melihat satu orang pun kecuali kami berdua. Aku dan Pak Anggara."Pak, kenapa Bapak membawa saya ke tempat seperti ini?" tanyaku heran."Saya bukan peminum, jadi saya tidak bisa merealisasikan pikiran burukmu yang berpikir jika saya akan mengajak kamu ke night club."Aku terdiam sambil sedikit melirik pada Pak Anggara yang berdiri di sampingku. Bisa-bisanya dia membaca pikiranku yang memang berpikiran seperti itu."Inilah tempat yang bisa membantu untuk menghilangkan stres. Kamu tidak perlu malu untuk memainkan semua permainan yang ada di sini. Mainan yang ada di sini tidak hanya diperuntukkan bagi anak-anak saja. Kita seb