Home / Pernikahan / GAIRAH YANG TERTAHAN / BAB 6 Tak Tersentuh

Share

BAB 6 Tak Tersentuh

Author: Pritca Ruby
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Lho? Kamu bukannya --?"

Aku langsung teringat jika pria yang ada di hadapanku itu ternyata pria yang membantuku membayarkan belanjaanku tempo hari. Aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu lagi dengan pria itu. Mungkin memang sudah takdirnya aku bertemu lagi dengan dia, hanya saja aku kembali merasa dongkol sebab dia yang sudah menimbulkan kesalahpahaman tetapi dia juga tidak berusaha membantuku untuk meluruskan.

Pria dihadapan aku langsung tersenyum seolah dia juga masih mengingat wajahku.

"Wanita di supermarket?"

"Jadi, kamu CEO di perusahaan ini?"

"Benar, selamat datang di perusahaanku. Kamu berniat untuk melamar pekerjaan di sini, kan? Biarkan saya melihat CV-mu terlebih dahulu," pinta pria itu yang ternyata bernama Anggara saat aku melihat name tag di meja kerjanya.

Sebenarnya aku masih merasa marah padanya, kalau saja aku tidak membutuhkan pekerjaan, mungkin aku sudah mengurungkan diri untuk bekerja di sana.

Dia membaca CV-ku, sementara aku duduk di kursi yang ada di hadapannya. Besar sekali harapanku untuk bisa diterima bekerja, sebab dari banyaknya lowongan pekerjaan, hanya di perusahaan inilah yang tidak mempedulikan status pernikahan juga tidak ada batasan umur. Cukup dengan pengalaman juga pendidikan yang aku sendiri lumayan percaya diri dengan background pendidikanku juga pekerjaanku dulu.

"Apa kamu ingin sekali bekerja di sini?" tanya Anggara setelah selesai melihat CV-ku. Sesuai dengan apa yang ada di jadwal memang hari ini langsung interview.

"Benar, Pak."

"Apa kelebihanmu yang bisa saya pertimbangkan untuk bekerja di sini?"

"Saya memiliki pengalaman bekerja sebagai sekretaris di salah satu perusahaan yang sudah cukup maju. Saya sudah terbiasa meng-handle pekerjaan sekretaris yang memang sudah menjadi job desk saya dulu," jawabku dengan percaya diri.

"Di CV tertera bahwa kamu sudah sudah menikah? Lalu, bagaimana cara kamu membagi waktu antara pekerjaan dan tugas kamu sebagai seorang istri?"

"Saya bisa membagi waktu saya dengan baik, saya juga akan bekerja dengan profesional tanpa mencampuradukkan masalah rumah dan juga pekerjaan saya nanti."

"Itu memang sudah seharusnya. Kalau begitu, besok kamu sudah mulai bekerja dalam masa training selama 3 bulan."

Aku mengerutkan keningku, bukan apa-apa. Hanya saja aku merasa mengapa wawancara yang kulakukan begitu mudah dan cepat. Aku tidak perlu melalui berbagai tes dan besok sudah mulai masuk bekerja. Aku sampai bertanya dalam hatiku sendiri, 'Sehebat itukah aku? Aku bisa diterima dengan mudah di perusahaan besar dengan pengalaman kerjaku yang hanya 4 tahun, apalagi dengan persyaratan yang tidak mempermasalahkan perihal status perkawinan.

"Kamu siap bekerja besok? Atau kamu mau mengurungkan niat melamar di sini?" tanya Anggara memastikan sebab ia tersadar aku malah terdiam sambil terheran-heran.

"Si-siap, Pak." Aku langsung mengangguk, tak ada pilihan lain karena aku memang sedang membutuhkan pekerjaan. Siapa pula yang akan menyia-nyiakan kesempatan bisa bekerja di perusahaan besar dengan posisi yang memang sesuai dengan keahlian dan kesenanganku.

Setelah sesi wawancara, aku tidak langsung untuk pulang ke rumah Ibu Mertuaku. Aku malah berdiam diri sebentar dan duduk di depan teras rumahku dengan Mas Rendi yang sudah di jual. Betapa rindunya aku dengan rumah ini.

Beberapa saat kemudian, aku memutuskan untuk pulang saja karena sudah lewat tengah hari. Aku juga melewatkan makan siangku.

Niat ingin masuk ke rumah lewat pintu samping untuk menghindar dari Ibu Mertuaku, tetapi ternyata Ibu sedang ada di teras bersama Bi Wati, tetangga yang dibayar untuk menjaga Ibu. Ya, karena memang Ibu Mertuaku tidak ingin dijaga olehku. Meski membuat pengeluaran menjadi lebih besar karena membayar orang, disisi lain aku juga setuju sebab daripada aku harus terus membatin selama menjaga Ibu, akan lebih baik jika aku bekerja saja.

"Aku pulang," ucapku berbasa-basi.

"Gimana? Dapet kerjaannya?" tanya Ibu dengan nada mengejekku seolah aku akan kesusahan mencari pekerjaan seperti pikiranku yang sempat pesimis.

"Aku udah keterima kerja kok, Bu. Besok udah mulai masuk hari pertama."

"Di mana? Jadi pelayan rumah makan?"

"Di perusahaan cukup besar, Bu. Jadi sekretaris lagi."

Ibu Mertuaku menyunggingkan bibirnya dengan tatapan meragukanku. "Masa sih? Jangan bohong, jangan gengsi sama Ibu. Lagian perusahaan mana yang mau nerima sekretaris yang udah berumur, belum lagi udah nikah, meskipun belum punya anak jadi badannya belum melebar."

Sakit?

Jangan tanya lagi!

"Gak apa-apa kalau Ibu nggak percaya. Yang terpenting aku sudah mendapatkan pekerjaan sesuai yang aku harapkan. Tuhan mempermudah semuanya."

"Inget, ya. Meskipun kamu bekerja, kamu jangan sampai lupa sama kewajiban kamu sebagai istri. Jangan sampai anakku tidak kamu urus. Ingat, kamu menumpang di sini jadi jangan merasa menjadi Nyonya. Kamu juga harus urus rumah."

Padahal Ibu yang selalu mengurus Mas Rendi, mulai dari makan bahkan sampai berbelanja baju yang dipakai dia bekerja atau sekedar baju santai. Tapi sekarang malah melimpahkan semua padaku, seolah ingin melihatku sibuk dengan segala pekerjaan rumah dan juga pekerjaanku di kantor nanti.

Andai saja Mertuaku baik, aku juga akan suka rela mengurusnya tanpa mengomel dan menggerutu dalam hati. Aku hanya manusia biasa! Bisa emosi dan bisa juga sakit hati.

"Ibu tenang saja."

"Ya sudah masuk. Masak dulu, bentar lagi Rendi bakalan pulang. Jangan sampai dia pulang, makanan belum tersaji di meja makan."

"Memangnya hari ini Mas Rendi gak lembur, Bu?" tanyaku yang biasanya aku tahu bahwa Mas Rendi selalu lembur untuk mendapatkan uang tambahan. Sehingga selalu pulang ketika sudah gelap.

"Ibu yang suruh Rendi buat nggak lembur lagi mulai hari ini. Apalagi sekarang kamu sudah kerja, jadi Rendi nggak perlu kerja dari pagi sampai gelap. Kasihan dia selalu kurang tidur."

Mendengar itu, aku merasa sedikit tak rela. Meskipun yang aku lakukan memang untuk meringankan beban Mas Rendi yang harus menafkahiku, menafkahi dan membayar biaya pemulihan Ibunya sendiri.

"Oh, begitu." Aku mengangguk dan langsung masuk ke dalam rumah untuk segera memasak.

Sekitar satu jam kemudian, makanan sudah tersaji di meja makan. Jam di dinding pun sudah menunjukkan pukul 5 sore. Mas Rendi pasti sudah dekat dan aku segera mandi.

Setelah selesai mandi, benar saja Mas Rendi sudah pulang.

"Sudah pulang, Mas?" tanyaku melihat Mas Rendi dan Ibu tengah makan di ruang televisi. Padahal tadi aku lihat di meja makan, makanan yang sudah masak masih utuh tertutup tudung saji.

"Makan, sayang."

"Mas makan sama apa? Aku sudah masak di meja makan. Ada ayam goreng kesukaan Mas," ucapku cukup bergetar karena sakit hati melihat makananku sama sekali tidak tersentuh.

"Ibu tadi telpon katanya mau makan sama yang berkuah. Jadi Mas beli soto betawi, ini Mas sisakan untuk kamu."

Menetes sudah bulir embun di pelupuk mataku.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Yeyet Faranova
lagi lagi deh.... emang mertua yg satu ini beda dari yg lain ya...
goodnovel comment avatar
Andreani
cerita nya seru
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • GAIRAH YANG TERTAHAN   BAB 7 Makan Siang Berdua

    "Aku juga masak sayur, kok. Sayur bayam dan jagung buat Ibu. Tadi Ibu nyuruh aku buat cepetan masak, tapi malah nyuruh Mas Rendi buat beli diluar. Pengeluarannya kan jadi double," ucapku yang sakit hati dengan ulah Ibu Mertuaku, yang seolah sengaja selalu melakukan apapun untuk menguji kesabaranku di depan Mas Rendi."Memangnya Ibu lagi menyusui dibikinin sayur bayam? Ayam goreng buatan kamu juga selalu keras, sakit kalau dimakan sama Ibu yang giginya udah setua umur Ibu juga," ujar Ibu Mertuaku.Terdengar menyebalkan, bukan?Kelakuan Ibu Mertuaku memang sukses membuat aku gemas, geram dan tak tahan menahan emosi. Aku tahu, jika diumur Ibu yang sekarang, dia akan memasuki kembali fase kanak-kanak, tetapi ini rasanya lebih menyebalkan dari sekedar tingkah laku anak kecil."Udahlah, Sayang. Nggak apa-apa, kok. Sekali-kali juga. Kata dokter kan menjaga suasana hati Ibu, bisa turut mempercepat masa pemulihan, karena kita membahagiakan batin dan mentalnya," bela Mas Rendi terdengar seperti

  • GAIRAH YANG TERTAHAN   BAB 8 Kali Pertama

    "Jauh sebelum kamu menjadi sekretaris saya, saya memang selalu makan siang bersama sekretaris saya yang lama. Tapi dia sekarang sudah menikah dan resign," lanjut Pak Anggara seolah tidak ingin membuatku berpikir macam-macam."Oh begitu, Pak.""Kalau sedang diluar jam kantor, santai saja. Jangan terlalu formal. Kita juga sebelumnya kan sudah saling kenal."Mana bisa seperti itu, aku tetap akan menjaga profesionalitas aku dalam bekerja. Dan rasanya diantara kami berdua tidak begitu saling mengenal lebih jauh, sehingga tidak terlalu pantas jika bersikap informal walau diluar jam kantor."Ah, tidak, Pak. Saya hanya sebatas sekretaris Pak Anggara. Lebih dari itu, Pak Anggara pernah membantu saya. Tidak lebih lagi karena kita berdua tidak saling kenal juga.""Sepertinya kamu masih marah pada saya?" tanya Pak Anggara disertai dengan senyum tipis yang aku sendiri tidak tahu apa arti senyuman itu.Mengejekku?"Marah? Atas dasar apa saya harus marah sama Bapak?""Karena saya tidak membantu menj

  • GAIRAH YANG TERTAHAN   BAB 9 Bonus Suka Hati

    *Flashback*Dua hari yang lalu, Mas Rendi pulang telat karena memang harus lembur. Ia mengambil lemburan mungkin hanya satu sampai dua kali saja dalam satu pekan, sehingga aku berdua saja dengan Ibu, karena Bi Wati sudah pulang ke rumahnya."Berapa gajimu dalam sebulan?" tanya Ibu Mertuaku yang memecah suara dari televisi.Biasanya aku memang selalu lebih lama menghabiskan waktu di dalam kamar, tetapi karena Mas Rendi belum pulang, jadi aku menunggunya di luar."Aku belum tau, Bu. Mungkin nggak jauh dari UMK kota ini," jawabku singkat karena memang aku belum tahu.Dasar pikirkan burukku memang cukup sulit untuk dijauhkan sehingga aku sampai berpikir Ibu akan meminta uang dari hasil keringatku juga. Sebenarnya memang tak apa, aku juga tidak akan perhitungan dengan suami atau bahkan dengan keluarga dari Suamiku sendiri."Kalau kamu sudah gajian nanti, ingat jangan digunain sendiri uangnya. Kalau mau meringankan beban suami jangan pelit-pelit dan perhitungan!"Belum genap satu bulan saja

  • GAIRAH YANG TERTAHAN   BAB 10 Semua Untukku

    "Oh ya, gaji besar dari saya harus kamu gunakan untuk dirimu sendiri," ucap Pak Anggara memotong pembicaraanku, sampai aku mengerutkan keningku tidak mengerti mengapa dia berkata seperti itu.Mengapa harus digunakan untukku saja? Seolah aku tidak boleh berbagi gajiku maksudnya?"Maksudnya, Pak?""Kamu ini sekretaris saya, perusahaan ini perusahaan yang besar. Hampir setiap hari saya akan bertemu dengan klien penting. Coba perhatikan penampilan kamu sendiri."Sontak aku langsung melihat diriku dengan apa yang aku pakai setiap harinya.Tubuku yang tidak berubah dari sebelum menikah sampai sekarang membuat aku tidak kesusahan saat mendapatkan pekerjaan lagi, sebab aku bisa memakai baju lamaku.Saat bekerja dulu, aku selalu mengutamakan penampilan karena tuntutan pekerjaan, sehingga baju-baju kerjaku cukup banyak, bahkan lebih banyak dibandingkan saat aku setelah menikah yang jarang sekali membeli baju.Namun karena aku terkahir bekerja sudah bertahun-tahun yang lalu, jelas saja pakaian ya

  • GAIRAH YANG TERTAHAN   BAB 11 Bersitegang

    Aku tidak salah dengar, kan? Belanjaan tadi untukku? "Tapi, Pak? Saya pikir itu hadiah dari Bapak untuk seseorang," ucapku yang masih tidak percaya jika atasanku membelikan baju yang jelas tidak murah."Yang mencoba baju itu tadi siapa? Kamu, kan? Semuanya cocok di kamu. Jadi ambil saja.""Saya tidak bisa menerimanya, Pak.""Tapi ini perintah dari saya, kamu ini sekretaris saya, jadi sudah seharusnya kamu memakai pakaian yang cocok dan layak jika berdampingan dengan saya. Karena kamu akan ikut saya ke mana pun saya akan pergi.""Tapi, semuanya terlalu banyak, Pak. Saya ambil satu saja. Gaji saya satu bulan kemarin, sudah cukup untuk saya belikan baju, jika memang penampilan saya sekarang kurang enak dipandang. Saya akan membeli baju-baju yang baru. Tapi tidak semahal ini."Tentu saja aku merasa sangat terkejut jika harus menerima semua baju-baju yang tadi aku pakai. Sebab satu stelannya saja sudah jutaan bahkan bisa sampai belasan juta. Harga itu membuat aku sangat shock."Gajimu, si

  • GAIRAH YANG TERTAHAN   BAB 12 Profesionalitas

    "Mas, memangnya aku sejahat itu di mata kamu? Mas sendiri juga tau bagaimana sikap Ibu sama aku selama kita menikah. Tapi kenapa Mas bisa-bisanya nuduh aku kaya gitu?"Jelas saja aku tidak menyangka kata-kata seperti tadi bisa keluar dari mulut suamiku. Aku memang sering sakit hati oleh Ibu Mertuaku, tetapi aku juga tidak sejahat yang dibayangkan oleh Mas Rendi.Membunuh Ibu? Kalau bisa aku hanya ingin membunuh sikap Ibu yang selalu membenci aku. Bukan orangnya!"Terus sekarang apa yang terjadi? Hanya karena Ibu negur kamu lantaran kamu diantar oleh bos kamu kamu semarah itu sampai membentak Ibu? Bagus Ibu mengingatkan kamu, kalau kamu sudah mempunyai suami. Harus punya batasan dengan lawan jenis. Kamu Mas izinkan bekerja bukan berarti kamu bebas melakukan apa saja diluar sana tanpa kamu menjaga nama baik dan kehormatan kamu sendiri!" "Mas, memang apa yang aku lakukan diluar rumah? Aku hanya bekerja. Pikiran Ibu saja yang terlalu buruk sama aku. Aku bekerja untuk membantu mengurangi

  • GAIRAH YANG TERTAHAN   BAB 13 Pelepas Hormon Endorfin

    Pertemuan dengan klien asal Bali cukup memakan waktu, sehingga pukul 5 sore yang seharusnya sudah kembali ke kantor untuk bersiap pulang malah baru akan berangkat ke lapangan golf. Sudah dipastikan akan selesai sampai malam.Aku tidak berani untuk menanyakan pada Pak Anggara perihal jam pulang kerjaku, sebab sekarang aku sudah selesai mengganti pakaian olahraga untuk menemani Pak Anggara bermain golf bersama kliennya. Aku dan sekretaris dari klien Pak Anggara, sama-sama saling mendampingi bos kami masing-masing."Maaf, Mbak. Biasanya mereka selesai golf sampai pukul berapa?" tanyaku pada sekretaris klien Pak Anggara, aku rasa dia sudah tahu karena seperti apa yang dikatakan oleh Pak Anggara jika dirinya memang sudah terbiasa langsung bermain golf jika sudah bertemu dengan kliennya yang satu itu."Biasanya pukul 8 malam, Mbak. Lalu dilanjut makan malam, karaoke dan juga minum-minum. Apalagi sekarang hari Jum'at, besoknya sudah libur akhir pekan.""Ah, begitu. Terimakasih, Mbak."Aku ba

  • GAIRAH YANG TERTAHAN   BAB 14 Tempat Apakah Itu?

    Tidak ingin membuat keributan malam-malam di rumah sakit, akhirnya aku memilih pulang saja. Mungkin memang Mas Rendi ingin aku bergelut dengan pikiranku yang tidak bisa dikontrol. Karena rasanya, tidak ada orang yang masih bisa berpikir positif jika ada di posisiku.'Apa ini hukuman dari Mas Rendi?' batinku berkecamuk sering langkah kakiku pelan mulai keluar dari rumah sakit.Bruk!!Aku tanpa sengaja menabrak seseorang saat hendak berbelok. Ya, aku sedang sangat tidak fokus. Benar-benar tidak fokus."Ma--maaf," ucapku sambil menundukkan kepala tanpa melihat siapa yang sudah aku tabrak tanpa sengaja."Tiana?"Suara yang sudah akrab terdengar di kupingku, Pak Anggara. Aku sontak langsung melihatnya, dan ternyata memang benar. Aku mengerutkan kening, merasa heran mengapa Pak Anggara masih belum pulang."Pak Anggara belum pulang?" tanyaku penasaran. Padahal sudah cukup lama kami berdua sampai."Saya membeli obat di apotek," jawabnya sambil memperlihatkan kantong berisi obat, yang entah ob

Latest chapter

  • GAIRAH YANG TERTAHAN   BAB 181 S2 Extra Part

    Semua orang tanpa terkecuali pasti memiliki sebuah luka. Luka yang tidak kasat mata, hanya sang pemilik luka lah yang bisa merasakannya.Sembuh atau tidaknya tidak bisa dipastikan secara nyata, sebab tergantung sang pemilik luka itulah akan berbicara berdasarkan fakta atau malah menyembunyikannya agar terlihat baik-baik saja.Meski pada akhirnya luka yang tidak terlihat itu bisa sembuh, tapi memorinya akan selalu tertanam dalam ingatan. Semakin mencoba untuk dilupakan, maka akan semakin tenggelam dalam kesakitan.Hanya diri sendirilah yang mampu menyembuhkan dan memastikan luka itu tidak bersarang lama dalam hidupnya.Masa lalu akan tetap menjadi masa lalu, sejauh apapun mengejarnya tak akan bisa kembali apalagi hanya untuk menyesali apa yang sudah terjadi dimasa sekarang.Luka dimasa lalu yang dibiarkan, biasanya akan menjalar menjadi sebuah dendam. Sebuah titik balik yang berniat untuk melupakan, malah meluap menjadi emosi yang harus terbalaskan.Ketidakadilan adalah hal yang pasti

  • GAIRAH YANG TERTAHAN   BAB 180 S2 Anggara

    POV Anggara"Kania ...." Setelah istriku mengatakan semua isi hatinya di depan makam Kania, kini giliranku yang harus aku utarakan juga apa yang ada dalam hatiku ini."Sudah lama rasanya sejak hari di mana kita terakhir bertemu dalam keadaan hubungan kita yang tidak baik-baik saja. Itu adalah hal yang paling aku sesalkan. Aku kira aku tau semua tentangmu, tentang cerita senang dan sedihmu. Ternyata aku tidak sedalam itu mengetahui hidupmu. Entah apa lagi yang harus aku sesalkan karena semua itu tidak akan membuat waktu berputar kembali sehingga kamu mungkin masih hidup dan bersamaku sekarang."Pertama kalinya, aku mengutarakan apa yang ada di dalam hatiku, penyesalan yang aku rasakan terhadap kematian Kania yang tidak aku sadari apa yang terjadi pada Kania sebelumnya."Selama ini aku sama sekali tidak melupakanmu. Aku melanjutkan hidup karena aku selalu mengingatmu. Aku bawa dendam kematianmu dengan menghancurkan hidup orang yang menjadi alasan kamu mengakhiri hidupmu."Sekejap aku me

  • GAIRAH YANG TERTAHAN   BAB 179 S2 Tiana

    "Hay, Kania. Perkenalkan aku Tiana, aku adalah istri Mas Anggara, cinta pertama kamu. Senang bisa tau cerita kamu dari suamiku sendiri. Semoga kamu bisa beristirahat tenang di sana. Sungguh, kamu jatuh cinta pada pria yang tepat. Aku merasa keberuntungan yang harusnya kamu miliki, kini menjadi milikku. Aku berharap kamu bahagia atas kebahagiaan aku dan Mas Anggara saat ini. Sekarang kami sudah mempunyai tiga anak, dua anak kembar dan bungsu yang masih bayi. Nanti jika mereka sudah besar, akan aku ceritakan bagaimana ayahnya mencintai kamu begitu hebat dan tulus. Terimakasih sudah menyemangati Mas Anggara disaat ia merasa ada dititik terendah dalam hidupnya, sehingga dia bisa sehebat sekarang ini. Aku akan mencintai Mas Anggara dan menjaga anak-anak kami selamanya."Aku mengutarakan isi hatiku disaat kami sudah menaburkan bunga dan berdoa untuk Kania. Tidak ada lagi rasanya cemburu, sedih atau bahkan sakit hati. Aku sudah benar-benar ikhlas dengan kenyataan dari cerita Mas Anggara.Tid

  • GAIRAH YANG TERTAHAN   BAB 178 S2 Saling Berkorban

    Bulan madu setelah memiliki anak, tadinya aku berpikir itu hanya buang-buang waktu dan bentuk keegoisan orang tua yang tega meninggalkan anak-anak hanya demi kesenangan berdua, padahal bulan madu berdua itu bisa digantikan dengan liburan bersama keluarga, sehingga anak-anak bisa ikut merasakan bahagia yang sama seperti orang tuanya. Namun ada hal yang aku sadari setelah aku merasakannya sendiri. Setelah menjadi seorang istri, prioritasku berpindah pada suami. Aku belajar memasak masakan yang disukai suami, mengingat makanan apa yang tidak ia sukai, menjaga bentuk badan agar suami tetap cinta, menjaga dan membersihkan rumah agar tetap bersih sehingga ketika suami pulang kerja dia bisa nyaman beristirahat, memastikan pakaian suami bersih ketika akan dipakai bekerja, memastikan dia makan sehat meskipun diluar rumah. Sampai kepentinganku sendiri tergeser dari prioritas yang tadinya selalu utama. Lalu, lahirlah sang buah hati. Bertambah pula yang harus diprioritaskan selain diri sendi

  • GAIRAH YANG TERTAHAN   BAB 177 S2 Tidak Tertahan

    Pagi indah aku benar-benar menyarap suamiku sendiri. Bercinta dipagi hari ternyata lebih fresh, mungkin energi kita masih utuh karena belum melakukan aktivitas apa-apa. Ini adalah honeymoon kedua yang berhasil. Selain aku mendapatkan kenikmatanku kembali, aku mendapatkan ketenangan setelah berhati-hati menyimpan rasa kecewa karena sulit untuk menerima realita. Di villa itu, aku dan Mas Anggara seperti mengadakan pesta bercinta saja. Rasanya malu melihat kelakuan diri sendiri, seperti orang yang kehausan dan lama tidak mendapatkan air. Mungkin itu yang akan dikatakan oleh rahimku jika dia bisa berbicara. Mempunyai suami tapi aku malah kekeringan. Sering cemburuan, mudah marah, mudah tersinggung, ternyata sentuhan suami lah obatnya. Kesabaran suami yang menjadi vitamin tambahan. Untunglah dia tidak berpikiran untuk membayar jasa wanita diluar sana, yang bahkan pasti ada saja yang menjajakan diri dengan suka rela alias gratis. Aku malu sekali jika mengingat semua yang telah terjad

  • GAIRAH YANG TERTAHAN   BAB 176 S2 Bulan Madu Kedua

    Bagaimana ada istri seperti aku sekarang ini. Rasanya aku tidak pandai bersyukur sekali, semua yang aku inginkan sudah aku dapatkan di pernikahan kedua ini, tetapi aku tidak memperhatikan suamiku sendiri. Padahal dialah sumber yang membuat aku bisa mendapatkan apa yang selama ini menjadi keinginanku.Mas Anggara tidak pernah menuntut apa-apa, selalu memberikan yang terbaik untukku dan tentu juga untuk anak-anak. Namun aku tidak memperhatikan kebutuhan biologisnya. Padahal itu bukan hal yang besar dan mahal untuk aku berikan karena pastinya aku juga akan merasakan kenikmatannya.Aku baru tersadar kenapa beberapa kali Mas Anggara menyarankan agar kami mencari pengasuh bayi, karena dia juga butuh perhatian dariku, dia butuh aku untuk mengurusnya. Aku saja yang kurang peka dan tidak pernah bertanya."Maafkan aku, Mas. Aku akan lebih memperhatikanmu disamping kesibukanku mengurus anak-anak. Dan sepertinya aku akan menerima tawaran untuk mencari pengasuh bayi saja. Aku tidak akan egois dan

  • GAIRAH YANG TERTAHAN   BAB 175 S2 Kebutuhan yang Terlupakan

    "Tidak," jawabku sambil menggelengkan kepala. "Sepertinya ada satu hal yang baru aku sadari sekarang, Mas.""Apa itu?""Setelah memiliki anak, fokusku hanya pada mereka saja. Kamu tidak aku perhatikan bahkan aku mengabaikan diriku sendiri. Baru aku sadari ternyata kamu malah semakin tampan meskipun sudah mempunyai tiga anak, usia kamu beberapa tahun lagi akan memasuki kepala empat. Kamu masih sangat sehat, bugar, berkharisma seperti aktor-aktor Hollywood yang semakin matang usia malah semakin menarik mata."Mas Anggara tersenyum tipis. "Kamu memujiku terlalu berlebihan, Sayang. Tidak seperti itu. Biasa saja seperti lelaki pada umumnya."Aku menggelengkan kepala dengan tegas. "Beda! Kamu sangat berbeda. Aku tidak memuji kamu secara berlebihan tapi memang faktanya begitu. Aku hanya membicarakan apa adanya yang aku lihat.""Kalau memang begitu, kenapa kamu tampak sedih sekarang? Bukannya memiliki suami yang tampan itu akan membuat kamu bangga?""Yang ada aku malah insecure, Mas. Kalau ki

  • GAIRAH YANG TERTAHAN   BAB 174 S2 Malam Berdua

    Senja perlahan bergantian dengan langit yang menggelap. Tidak ada lagi pemandangan yang bisa aku lihat dari atas sini kecuali perlahan digantikan dengan lampu-lampu kota yang satu persatu mulai dinyalakan. Aku hanya bisa menunggu karena waktu yang akan menjawab bagaimana selanjutnya. Apa yang bisa aku lakukan jika dia mengatakan sebuah janji selain aku menunggu dan merasakan sendiri bagaimana dia membuktikan itu semua. Sehingga tidak ada jawaban lain selain aku tetap bertahan untuk melihat janji yang dia ucapkan, bisa dia buktikan.Aku mencintai suamiku terlepas dari apapun masa lalunya, rahasianya juga alasan awal bagaimana dia mendekatiku hingga akhirnya sungguh menikahiku.Aku harus melapangkan dada, meluaskan rasa sabarku, melihat ke masa depan dan merasakan apa yang masa sekarang terjadi. Bukankah selama ini rumah tangga kami baik-baik saja?Itulah yang sudah seharusnya aku lakukan. Tidak ada manusia yang tanpa pernah melakukan sebuah kesalahan dimasa lalu. Semua manusia adalah

  • GAIRAH YANG TERTAHAN   BAB 173 S2 Bukti bukan Janji

    Mas Anggara selalu bisa memberikanku jawaban yang masuk diakal. Tidak mengada-ada seperti mencari pembenaran untuk dirinya, tetapi memang seolah faktanya seperti apa yang dia katakan."Coba bilang padaku, apa yang harus aku lakukan sekarang?"Aku menggelengkan kepala."Papa saja menyadari jika hubungan kita tidak baik-baik saja makanya dia menyuruh kita untuk menghabiskan waktu berdua tanpa anak-anak. Jangan sampai sepulang kita dari sini, kamu tetap menjaga jarak dariku. Kita ini suami istri.""Aku tau. Aku juga tidak mau seperti ini, Mas. Tidak ada seorang pun yang mau rumah tangganya diuji, kalau bisa itu juga. Tapi cerita kamu itu membuat hatiku sakit, kecewa. Jadi banyak sekali hal yang aku pikirkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi yang aku hubungkan dengan cerita kamu. Aku sudah punya trauma di pernikahanku dulu, dan aku masih tidak percaya kita begini jadinya. Apa ini karma untukku?"Tiba-tiba saja langsung terpikirkan hal itu dalam benakku. Memang sama sekali tidak

DMCA.com Protection Status