"Lho? Kamu bukannya --?"
Aku langsung teringat jika pria yang ada di hadapanku itu ternyata pria yang membantuku membayarkan belanjaanku tempo hari. Aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu lagi dengan pria itu. Mungkin memang sudah takdirnya aku bertemu lagi dengan dia, hanya saja aku kembali merasa dongkol sebab dia yang sudah menimbulkan kesalahpahaman tetapi dia juga tidak berusaha membantuku untuk meluruskan.Pria dihadapan aku langsung tersenyum seolah dia juga masih mengingat wajahku."Wanita di supermarket?""Jadi, kamu CEO di perusahaan ini?""Benar, selamat datang di perusahaanku. Kamu berniat untuk melamar pekerjaan di sini, kan? Biarkan saya melihat CV-mu terlebih dahulu," pinta pria itu yang ternyata bernama Anggara saat aku melihat name tag di meja kerjanya.Sebenarnya aku masih merasa marah padanya, kalau saja aku tidak membutuhkan pekerjaan, mungkin aku sudah mengurungkan diri untuk bekerja di sana.Dia membaca CV-ku, sementara aku duduk di kursi yang ada di hadapannya. Besar sekali harapanku untuk bisa diterima bekerja, sebab dari banyaknya lowongan pekerjaan, hanya di perusahaan inilah yang tidak mempedulikan status pernikahan juga tidak ada batasan umur. Cukup dengan pengalaman juga pendidikan yang aku sendiri lumayan percaya diri dengan background pendidikanku juga pekerjaanku dulu."Apa kamu ingin sekali bekerja di sini?" tanya Anggara setelah selesai melihat CV-ku. Sesuai dengan apa yang ada di jadwal memang hari ini langsung interview."Benar, Pak.""Apa kelebihanmu yang bisa saya pertimbangkan untuk bekerja di sini?""Saya memiliki pengalaman bekerja sebagai sekretaris di salah satu perusahaan yang sudah cukup maju. Saya sudah terbiasa meng-handle pekerjaan sekretaris yang memang sudah menjadi job desk saya dulu," jawabku dengan percaya diri."Di CV tertera bahwa kamu sudah sudah menikah? Lalu, bagaimana cara kamu membagi waktu antara pekerjaan dan tugas kamu sebagai seorang istri?""Saya bisa membagi waktu saya dengan baik, saya juga akan bekerja dengan profesional tanpa mencampuradukkan masalah rumah dan juga pekerjaan saya nanti.""Itu memang sudah seharusnya. Kalau begitu, besok kamu sudah mulai bekerja dalam masa training selama 3 bulan."Aku mengerutkan keningku, bukan apa-apa. Hanya saja aku merasa mengapa wawancara yang kulakukan begitu mudah dan cepat. Aku tidak perlu melalui berbagai tes dan besok sudah mulai masuk bekerja. Aku sampai bertanya dalam hatiku sendiri, 'Sehebat itukah aku? Aku bisa diterima dengan mudah di perusahaan besar dengan pengalaman kerjaku yang hanya 4 tahun, apalagi dengan persyaratan yang tidak mempermasalahkan perihal status perkawinan."Kamu siap bekerja besok? Atau kamu mau mengurungkan niat melamar di sini?" tanya Anggara memastikan sebab ia tersadar aku malah terdiam sambil terheran-heran."Si-siap, Pak." Aku langsung mengangguk, tak ada pilihan lain karena aku memang sedang membutuhkan pekerjaan. Siapa pula yang akan menyia-nyiakan kesempatan bisa bekerja di perusahaan besar dengan posisi yang memang sesuai dengan keahlian dan kesenanganku.Setelah sesi wawancara, aku tidak langsung untuk pulang ke rumah Ibu Mertuaku. Aku malah berdiam diri sebentar dan duduk di depan teras rumahku dengan Mas Rendi yang sudah di jual. Betapa rindunya aku dengan rumah ini.Beberapa saat kemudian, aku memutuskan untuk pulang saja karena sudah lewat tengah hari. Aku juga melewatkan makan siangku.Niat ingin masuk ke rumah lewat pintu samping untuk menghindar dari Ibu Mertuaku, tetapi ternyata Ibu sedang ada di teras bersama Bi Wati, tetangga yang dibayar untuk menjaga Ibu. Ya, karena memang Ibu Mertuaku tidak ingin dijaga olehku. Meski membuat pengeluaran menjadi lebih besar karena membayar orang, disisi lain aku juga setuju sebab daripada aku harus terus membatin selama menjaga Ibu, akan lebih baik jika aku bekerja saja."Aku pulang," ucapku berbasa-basi."Gimana? Dapet kerjaannya?" tanya Ibu dengan nada mengejekku seolah aku akan kesusahan mencari pekerjaan seperti pikiranku yang sempat pesimis."Aku udah keterima kerja kok, Bu. Besok udah mulai masuk hari pertama.""Di mana? Jadi pelayan rumah makan?""Di perusahaan cukup besar, Bu. Jadi sekretaris lagi."Ibu Mertuaku menyunggingkan bibirnya dengan tatapan meragukanku. "Masa sih? Jangan bohong, jangan gengsi sama Ibu. Lagian perusahaan mana yang mau nerima sekretaris yang udah berumur, belum lagi udah nikah, meskipun belum punya anak jadi badannya belum melebar."Sakit?Jangan tanya lagi!"Gak apa-apa kalau Ibu nggak percaya. Yang terpenting aku sudah mendapatkan pekerjaan sesuai yang aku harapkan. Tuhan mempermudah semuanya.""Inget, ya. Meskipun kamu bekerja, kamu jangan sampai lupa sama kewajiban kamu sebagai istri. Jangan sampai anakku tidak kamu urus. Ingat, kamu menumpang di sini jadi jangan merasa menjadi Nyonya. Kamu juga harus urus rumah."Padahal Ibu yang selalu mengurus Mas Rendi, mulai dari makan bahkan sampai berbelanja baju yang dipakai dia bekerja atau sekedar baju santai. Tapi sekarang malah melimpahkan semua padaku, seolah ingin melihatku sibuk dengan segala pekerjaan rumah dan juga pekerjaanku di kantor nanti.Andai saja Mertuaku baik, aku juga akan suka rela mengurusnya tanpa mengomel dan menggerutu dalam hati. Aku hanya manusia biasa! Bisa emosi dan bisa juga sakit hati."Ibu tenang saja.""Ya sudah masuk. Masak dulu, bentar lagi Rendi bakalan pulang. Jangan sampai dia pulang, makanan belum tersaji di meja makan.""Memangnya hari ini Mas Rendi gak lembur, Bu?" tanyaku yang biasanya aku tahu bahwa Mas Rendi selalu lembur untuk mendapatkan uang tambahan. Sehingga selalu pulang ketika sudah gelap."Ibu yang suruh Rendi buat nggak lembur lagi mulai hari ini. Apalagi sekarang kamu sudah kerja, jadi Rendi nggak perlu kerja dari pagi sampai gelap. Kasihan dia selalu kurang tidur."Mendengar itu, aku merasa sedikit tak rela. Meskipun yang aku lakukan memang untuk meringankan beban Mas Rendi yang harus menafkahiku, menafkahi dan membayar biaya pemulihan Ibunya sendiri."Oh, begitu." Aku mengangguk dan langsung masuk ke dalam rumah untuk segera memasak.Sekitar satu jam kemudian, makanan sudah tersaji di meja makan. Jam di dinding pun sudah menunjukkan pukul 5 sore. Mas Rendi pasti sudah dekat dan aku segera mandi.Setelah selesai mandi, benar saja Mas Rendi sudah pulang."Sudah pulang, Mas?" tanyaku melihat Mas Rendi dan Ibu tengah makan di ruang televisi. Padahal tadi aku lihat di meja makan, makanan yang sudah masak masih utuh tertutup tudung saji."Makan, sayang.""Mas makan sama apa? Aku sudah masak di meja makan. Ada ayam goreng kesukaan Mas," ucapku cukup bergetar karena sakit hati melihat makananku sama sekali tidak tersentuh."Ibu tadi telpon katanya mau makan sama yang berkuah. Jadi Mas beli soto betawi, ini Mas sisakan untuk kamu."Menetes sudah bulir embun di pelupuk mataku."Aku juga masak sayur, kok. Sayur bayam dan jagung buat Ibu. Tadi Ibu nyuruh aku buat cepetan masak, tapi malah nyuruh Mas Rendi buat beli diluar. Pengeluarannya kan jadi double," ucapku yang sakit hati dengan ulah Ibu Mertuaku, yang seolah sengaja selalu melakukan apapun untuk menguji kesabaranku di depan Mas Rendi."Memangnya Ibu lagi menyusui dibikinin sayur bayam? Ayam goreng buatan kamu juga selalu keras, sakit kalau dimakan sama Ibu yang giginya udah setua umur Ibu juga," ujar Ibu Mertuaku.Terdengar menyebalkan, bukan?Kelakuan Ibu Mertuaku memang sukses membuat aku gemas, geram dan tak tahan menahan emosi. Aku tahu, jika diumur Ibu yang sekarang, dia akan memasuki kembali fase kanak-kanak, tetapi ini rasanya lebih menyebalkan dari sekedar tingkah laku anak kecil."Udahlah, Sayang. Nggak apa-apa, kok. Sekali-kali juga. Kata dokter kan menjaga suasana hati Ibu, bisa turut mempercepat masa pemulihan, karena kita membahagiakan batin dan mentalnya," bela Mas Rendi terdengar seperti
"Jauh sebelum kamu menjadi sekretaris saya, saya memang selalu makan siang bersama sekretaris saya yang lama. Tapi dia sekarang sudah menikah dan resign," lanjut Pak Anggara seolah tidak ingin membuatku berpikir macam-macam."Oh begitu, Pak.""Kalau sedang diluar jam kantor, santai saja. Jangan terlalu formal. Kita juga sebelumnya kan sudah saling kenal."Mana bisa seperti itu, aku tetap akan menjaga profesionalitas aku dalam bekerja. Dan rasanya diantara kami berdua tidak begitu saling mengenal lebih jauh, sehingga tidak terlalu pantas jika bersikap informal walau diluar jam kantor."Ah, tidak, Pak. Saya hanya sebatas sekretaris Pak Anggara. Lebih dari itu, Pak Anggara pernah membantu saya. Tidak lebih lagi karena kita berdua tidak saling kenal juga.""Sepertinya kamu masih marah pada saya?" tanya Pak Anggara disertai dengan senyum tipis yang aku sendiri tidak tahu apa arti senyuman itu.Mengejekku?"Marah? Atas dasar apa saya harus marah sama Bapak?""Karena saya tidak membantu menj
*Flashback*Dua hari yang lalu, Mas Rendi pulang telat karena memang harus lembur. Ia mengambil lemburan mungkin hanya satu sampai dua kali saja dalam satu pekan, sehingga aku berdua saja dengan Ibu, karena Bi Wati sudah pulang ke rumahnya."Berapa gajimu dalam sebulan?" tanya Ibu Mertuaku yang memecah suara dari televisi.Biasanya aku memang selalu lebih lama menghabiskan waktu di dalam kamar, tetapi karena Mas Rendi belum pulang, jadi aku menunggunya di luar."Aku belum tau, Bu. Mungkin nggak jauh dari UMK kota ini," jawabku singkat karena memang aku belum tahu.Dasar pikirkan burukku memang cukup sulit untuk dijauhkan sehingga aku sampai berpikir Ibu akan meminta uang dari hasil keringatku juga. Sebenarnya memang tak apa, aku juga tidak akan perhitungan dengan suami atau bahkan dengan keluarga dari Suamiku sendiri."Kalau kamu sudah gajian nanti, ingat jangan digunain sendiri uangnya. Kalau mau meringankan beban suami jangan pelit-pelit dan perhitungan!"Belum genap satu bulan saja
"Oh ya, gaji besar dari saya harus kamu gunakan untuk dirimu sendiri," ucap Pak Anggara memotong pembicaraanku, sampai aku mengerutkan keningku tidak mengerti mengapa dia berkata seperti itu.Mengapa harus digunakan untukku saja? Seolah aku tidak boleh berbagi gajiku maksudnya?"Maksudnya, Pak?""Kamu ini sekretaris saya, perusahaan ini perusahaan yang besar. Hampir setiap hari saya akan bertemu dengan klien penting. Coba perhatikan penampilan kamu sendiri."Sontak aku langsung melihat diriku dengan apa yang aku pakai setiap harinya.Tubuku yang tidak berubah dari sebelum menikah sampai sekarang membuat aku tidak kesusahan saat mendapatkan pekerjaan lagi, sebab aku bisa memakai baju lamaku.Saat bekerja dulu, aku selalu mengutamakan penampilan karena tuntutan pekerjaan, sehingga baju-baju kerjaku cukup banyak, bahkan lebih banyak dibandingkan saat aku setelah menikah yang jarang sekali membeli baju.Namun karena aku terkahir bekerja sudah bertahun-tahun yang lalu, jelas saja pakaian ya
Aku tidak salah dengar, kan? Belanjaan tadi untukku? "Tapi, Pak? Saya pikir itu hadiah dari Bapak untuk seseorang," ucapku yang masih tidak percaya jika atasanku membelikan baju yang jelas tidak murah."Yang mencoba baju itu tadi siapa? Kamu, kan? Semuanya cocok di kamu. Jadi ambil saja.""Saya tidak bisa menerimanya, Pak.""Tapi ini perintah dari saya, kamu ini sekretaris saya, jadi sudah seharusnya kamu memakai pakaian yang cocok dan layak jika berdampingan dengan saya. Karena kamu akan ikut saya ke mana pun saya akan pergi.""Tapi, semuanya terlalu banyak, Pak. Saya ambil satu saja. Gaji saya satu bulan kemarin, sudah cukup untuk saya belikan baju, jika memang penampilan saya sekarang kurang enak dipandang. Saya akan membeli baju-baju yang baru. Tapi tidak semahal ini."Tentu saja aku merasa sangat terkejut jika harus menerima semua baju-baju yang tadi aku pakai. Sebab satu stelannya saja sudah jutaan bahkan bisa sampai belasan juta. Harga itu membuat aku sangat shock."Gajimu, si
"Mas, memangnya aku sejahat itu di mata kamu? Mas sendiri juga tau bagaimana sikap Ibu sama aku selama kita menikah. Tapi kenapa Mas bisa-bisanya nuduh aku kaya gitu?"Jelas saja aku tidak menyangka kata-kata seperti tadi bisa keluar dari mulut suamiku. Aku memang sering sakit hati oleh Ibu Mertuaku, tetapi aku juga tidak sejahat yang dibayangkan oleh Mas Rendi.Membunuh Ibu? Kalau bisa aku hanya ingin membunuh sikap Ibu yang selalu membenci aku. Bukan orangnya!"Terus sekarang apa yang terjadi? Hanya karena Ibu negur kamu lantaran kamu diantar oleh bos kamu kamu semarah itu sampai membentak Ibu? Bagus Ibu mengingatkan kamu, kalau kamu sudah mempunyai suami. Harus punya batasan dengan lawan jenis. Kamu Mas izinkan bekerja bukan berarti kamu bebas melakukan apa saja diluar sana tanpa kamu menjaga nama baik dan kehormatan kamu sendiri!" "Mas, memang apa yang aku lakukan diluar rumah? Aku hanya bekerja. Pikiran Ibu saja yang terlalu buruk sama aku. Aku bekerja untuk membantu mengurangi
Pertemuan dengan klien asal Bali cukup memakan waktu, sehingga pukul 5 sore yang seharusnya sudah kembali ke kantor untuk bersiap pulang malah baru akan berangkat ke lapangan golf. Sudah dipastikan akan selesai sampai malam.Aku tidak berani untuk menanyakan pada Pak Anggara perihal jam pulang kerjaku, sebab sekarang aku sudah selesai mengganti pakaian olahraga untuk menemani Pak Anggara bermain golf bersama kliennya. Aku dan sekretaris dari klien Pak Anggara, sama-sama saling mendampingi bos kami masing-masing."Maaf, Mbak. Biasanya mereka selesai golf sampai pukul berapa?" tanyaku pada sekretaris klien Pak Anggara, aku rasa dia sudah tahu karena seperti apa yang dikatakan oleh Pak Anggara jika dirinya memang sudah terbiasa langsung bermain golf jika sudah bertemu dengan kliennya yang satu itu."Biasanya pukul 8 malam, Mbak. Lalu dilanjut makan malam, karaoke dan juga minum-minum. Apalagi sekarang hari Jum'at, besoknya sudah libur akhir pekan.""Ah, begitu. Terimakasih, Mbak."Aku ba
Tidak ingin membuat keributan malam-malam di rumah sakit, akhirnya aku memilih pulang saja. Mungkin memang Mas Rendi ingin aku bergelut dengan pikiranku yang tidak bisa dikontrol. Karena rasanya, tidak ada orang yang masih bisa berpikir positif jika ada di posisiku.'Apa ini hukuman dari Mas Rendi?' batinku berkecamuk sering langkah kakiku pelan mulai keluar dari rumah sakit.Bruk!!Aku tanpa sengaja menabrak seseorang saat hendak berbelok. Ya, aku sedang sangat tidak fokus. Benar-benar tidak fokus."Ma--maaf," ucapku sambil menundukkan kepala tanpa melihat siapa yang sudah aku tabrak tanpa sengaja."Tiana?"Suara yang sudah akrab terdengar di kupingku, Pak Anggara. Aku sontak langsung melihatnya, dan ternyata memang benar. Aku mengerutkan kening, merasa heran mengapa Pak Anggara masih belum pulang."Pak Anggara belum pulang?" tanyaku penasaran. Padahal sudah cukup lama kami berdua sampai."Saya membeli obat di apotek," jawabnya sambil memperlihatkan kantong berisi obat, yang entah ob