"Mas, tenang dulu. Aku akan jelaskan apa yang terjadi. Tapi nggak diluar kaya gini. Ayo kita masuk ke dalam dulu," ucapku dengan tenang saat mendengar Mas Rendi memanggil namaku lirih.
"Jangan mau percaya sama istri kamu, Ren. Kamu itu udah diperdaya sama dia. Sama Ibu aja udah berani ngelawan. Pasti dia juga akan ngelawan kamu. Sekarang aja udah berani masukin laki-laki ke dalam rumah disaat kamu gak ada. Udah jelas dia wanita gak bener. Gak heran kalau dia jadi susah untuk hamil. Tuhan lebih tau kalau istri kamu belum pantas jadi seorang Ibu."
Ucapan Ibu Mertuaku yang sengaja mengompori Mas Rendi, sudah sangat keterlaluan. Apalagi saat itu ada orang asing yang mendengar hinaan yang ditujukan untukku. Dan kesalnya, pria asing itu terus diam saja. Menyimak tanpa sedikitpun ingin membantu menjelaskan kesalahpahaman.
"Bu, mending Ibu diam dulu. Jangan memperunyam masalah ini. Ini hanya kesalahpahaman yang harus aku luruskan saja."
"Haduh, lagu lama. Alasan klasik orang yang ketauan selingkuh itu, ya gitu, 'salah paham'. Nih denger ya, Tiana. Dari awal Ibu gak setuju Rendi nikah sama kamu. Masih lebih baik mantan istri Rendi. Firasat Ibu emang gak pernah salah, kalau Rendi ternyata malah nikahin wanita gak bener. Emang bener kata orang-orang, kalau nikahin wanita mantan sekretaris itu, begini resikonya. Kegatelan!"
Aku mengepalkan kedua tanganku dengan keras seiring hinaan dan cacian dari Ibu Mertuaku yang semakin tidak berperasaan saja.
Adanya Mas Rendi sebagai suami pun, sama sekali tidak berguna untukku. Aku tetap terhinakan dan itu sangat memalukan, apalagi dihadapan orang asing. Bahkan beberapa tetangga dekat terlihat mulai keluar dari rumah mereka karena suara Ibu yang cukup nyaring saat lontaran demi lontaran kata-kata tidak pantas itu untukku terucap.
"Bu, cukup!"
"Bener-bener istri yang gak tau malu. Abis selingkuh, malah bentak Ibu. Lihat, Ren! Ini akibat kamu selalu memanjakan istri kamu. Jadinya kurang ajar, udah salah bukannya minta maaf malah cari alasan."
Ya Tuhan, kalau saja aku sudah merasa habis kesabaran, mungkin aku sudah merobek mulut Mertuaku.
Aku? Kejam seperti monster? Tapi Ibu Mertuaku lah yang sudah membentukku menjadi monster yang selalu berpikir untuk bisa menghancurkannya. Hebat sekali mentalku dibuat hancur, selalu dipermalukan seakan aku beban dan sesuatu yang membuat malu nama baik keluarga.
"Mas! Ayo masuk ke dalam dulu!"
Aku langsung saja menarik tangan suamiku untuk masuk ke dalam rumah. Setidaknya agar Ibu mertuaku juga masuk, sehingga aku memiliki kesempatan untuk menceritakan semuanya.
Dan sialnya, sampai disaat aku masuk ke dalam rumah pun, pria yang mengantarkanku pulang hingga terjadi kesalahpahaman sama sekali tidak berniat untuk membantuku menjelaskan duduk perkaranya. Seolah dia malah menikmati tuduhan perselingkuhan itu memang terjadi.
Ketika kami bertiga sudah masuk ke dalam rumah. Mas Rendi dan Ibu masih diam saja. Dan tentunya akulah yang akan memulai pembicaraan.
"Mas tadi itu ---"
Aku pun bercerita semuanya, dari awal sampai akhir. Tidak ada yang aku kurangi dan tidak ada yang aku tambahkan. Semua kejadian yang benar terjadi aku ceritakan semua di depan suami dan juga Ibu Mertuaku.
"Anak SMP juga bisa kalau cuma mengarang cerita seperti itu. Ibu udah hafal sekali tabiat menantu macam istri kamu, Ren. Makin hari makin berani saja," ucap Ibu mertua yang tentu saja tengah memberikan pengaruh buruknya pada suamiku.
Mas Rendi menghela napas panjang. "Masuk ke kamar! Mas mau antar Ibu pulang dulu. Baru kita bicarakan berdua."
"Mas, Ibu kan bisa pulang sendiri. Cuma di kompleks sebelah aja."
"Nurut sama Mas! Ayo, Bu. Aku antar Ibu pulang dulu."
Setelah suami dan Ibu mertuaku pergi, aku benar-benar kehabisan kata-kata, kehabisan tenaga pula untuk membela diriku. Tidak ada tanggapan apa-apa dari Mas Rendi dari awal sampai tadi sekalipun. Datar begitu saja.
Salahkah aku sebagai seorang istri yang hanya ingin dibela di depan mertuaku?
Aku bukan meminta Mas Rendi menjadi anak durhaka, tetapi setidaknya aku ingin Mas Rendi menunjukkan bela dia terhadap istrinya yang selalu tertindas oleh Ibunya sendiri. Karena aku yakin, Mas Rendi juga merasa jika sikap Ibu padaku selalu saja keterlaluan dan menyakitkan hati.
Tak lama kemudian, Mas Rendi pulang.
"Sayang mau istirahat sekarang?" tanya Mas Rendi yang membuatku merasa tidak habis pikir.
Padahal perkara tadi saja, belum bisa dikatakan tuntas bagiku. Hatiku masih sangat sakit dengan tuduhan Ibu, tetapi Mas Rendi bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa.
"Mas? Serius kamu tanya itu? Kamu gak mau bahas lagi masalah tadi?" tanyaku sambil berdiri.
"Mas percaya, kok. Kamu bukan wanita seperti yang dituduhkan oleh Ibu."
"Terus kenapa Mas diam saja tadi? Harusnya Mas belain aku di depan Ibu, bukan diam saja dan malah nyuruh Ibu pulang."
"Udahlah, sayang. Gak perlu dibesar-besarkan. Mas juga yakin Ibu nggak bermaksud nuduh kamu yang nggak-nggak. Wajar saja reaksi Ibu kaya tadi, karena syok aja ada pria asing keluar dari rumah kita," ucap suamiku yang malah membela dan mewajarkan apa yang Ibu perbuat padaku.
"Aku nggak ngerti sama jalan pikiran kamu, Mas. Kamu dari tadi diam saja nggak ngebela aku sama sekali. Padahal pas kita lagi berdua seperti ini, kamu percaya sama aku. Kenapa sih, Mas? Kenapa kamu selalu kaya gini? Kenapa kamu begitu takut sama Ibu dan selalu ngorbanin perasaan aku? Padahal aku sudah ngalah, kamu selalu antar Ibu ke mana-mana walaupun kamu pulang kerja sore. Sedangkan aku? Aku belanja ke supermarket saja sendirian, nelepon kamu berkali-kali pun kamu nggak ada respon. Dan ujung-ujungnya seperti ini? Kamu emang pria baik, anak yang penurut sama orang tua, penyayang Ibu, tapi kamu keterlaluan dan jahat sama istri kamu sendiri!"
Tak terasa aku menumpahkan air mataku yang sudah tidak terbendung lagi. Aku terlalu banyak membatin saat bersama suamiku yang tidak pernah ada untukku. Baik waktu dan juga perhatiannya.
Selalu saja Ibunya yang menjadi nomor satu. Bukan aku tak suka mendapatkan suami yang sayang keluarganya, tetapi ini sangat tidak adil.
Apa gunanya suami kalau sudah begini? Kebutuhan batinku tak pernah terpenuhi, kebutuhan lahirku pun dibatasi karena suamiku menafkahi Ibunya pula setelah Ayah Mertuaku meninggal. Sabar macam mana lagi yang harus aku lakukan?
"Sayang, memang apa bedanya? Lebih penting Mas percaya sama kamu, apapun yang kamu lakukan. Dari pada Mas curiga tetapi pura-pura membela kamu. Itu tidak baik. Yang terpenting Mas sayang sama kamu," ucap Mas Rendi sambil mengecup keningku.
Hah .... Kadang lelah sama diri sendiri, mudah marah, mudah tersinggung, tetapi juga mudah untuk diluluhkan. Tidak perlu sebuah rayuan, tidak perlu gombalan, hanya sebatas pelukan dan kecupan saja hatiku sudah meleleh. Mas Rendi memang selalu memenangkan hatiku.
Walau bagaimanapun, memang aku sangat mencintai suamiku. Dia yang tidak pernah marah dari awal menikah sampai sekarang.
Mungkin memang benar, tidak ada rumah tangga yang benar-benar sempurna. Pasti akan ada kekurangan sebagai ujiannya.
"Mas ...." Aku menatap penuh arti pada suamiku.
"Jangan sekarang ya, sayang."
"Kenapa lagi?"
"Mas sudah pesankan tiket nonton bioskop besok. Udah lama kita gak nonton. Mau?"
Mas Rendi lagi-lagi menolak ajakanku. Entah kapan terakhir kali kami bercinta. Aku sudah merindukannya, tapi seolah hal itu adalah hal yang sulit diberikan oleh Mas Rendi setahun terakhir ini.
Keesokan harinya, aku sudah bersiap untuk berangkat ke bioskop. Aku keluar dari kamar sebelah yang kujadikan sebagai walk in closet sebelum kami mempunyai keturunan.
"Loh, Mas kok belum siap-siap?"
"Maaf, sayang. Ibu ---"
"Oke cukup, Mas. Aku pergi sendiri saja."
Tanpa berlama-lama aku segera pergi dari rumah. Aku bahkan tidak bertanya alasan apalagi yang membuat Mas Rendi akan menghabiskan waktu akhir pekannya bersama Ibunya, lagi dan lagi dibanding denganku.
Aku membatin, hanya berharap film yang aku pilih banyak pula yang menontonnya. Lalu aku berpapasan dengan seorang pria yang baru keluar dari toilet, dan tak sengaja aku menyenggolnya.
"Maaf," ucapku sambil menundukkan kepalaku.
Dan pria itu berlalu begitu saja.
'Wangi ini?' batinku yang sembari mengingat aroma yang rasanya tidak asing. Dan aku yakin ini berasal dari pria yang berpapasan denganku.
Kini, aku pun sudah masuk ke dalam teater. Aku memilih kursi di row E, tidak terlalu atas juga tidak terlalu bawah. Aku memang memilih view yang bagus saat melihat filmnya.
Dan ternyata baru ada satu orang saja di sana. Satu row denganku hanya saja selisih dua kursi kosong yang memisahkan kami berdua. Aku tidak bisa begitu jelas melihat wajahnya, karena dia memakai topi hitam juga terus menunduk sambil memainkan poselnya. Namun yang jelas pria itu adalah pria yang tak sengaja aku senggol saat di depan toilet tadi. Aku masih sangat hafal pakaian yang ia kenakan, serba hitam hari ujung kepala sampai ujung kaki.
Aroma mint pun kembali menyeruak masuk ke dalam rongga penciumanku. Membuatku terus berpikir, jika wangi itu memang tidak asing. Hanya aku tidak bisa mengingatnya.
Setelah iklan yang kurang lebih hampir setengah jam, lampu teater dimatikan pertanda film akan segera diputar. Dan mataku masih saja tertuju pada arah pintu masuk, sama sekali tidak ada yang datang lagi, sehingga hanya aku dan pria itu di dalam teater.
Aku mencoba bersikap tenang, toh aku tahu di dalam teater ada CCTV, dan aku akan aman-aman saja.
Selama film berlangsung, rasa takut karena aku seorang diri malah hilang, tergantikan dengan rasa takut alur film yang sedang aku tonton.
'Ah, horor macam apa ini?! Aku lebih baik nonton hantu daripada pembunuhan sadis kaya gini,' batinku sambil menutup wajah dengan tangan.
Durasi film yang aku tonton, sekitar dua jam. Dan baru saja setengah jalan, tetapi sudah menegangkan dari awal. Sampai aku tidak menyadari jika pria yang tadinya selisih dua kursi dariku, kini tepat ada di sampingku.
"Boleh aku duduk disampingmu?" bisik pria itu membuatku terkejut dan merinding tak karuan.
Aku masih belum berani untuk menoleh. Saking parnonya karena film, aku malah sempat berpikir jika pria disampingku bukanlah manusia."Tenang saja aku bukan pria jahat."Aku masih merasa aman karena adanya kamera tersembunyi di dalam teater. Sehingga aku kembali fokus saja pada film dilayar."Kamu datang sendiri?" bisik pria itu lagi.Aku mengangguk saja, berharap ia tidak terus-menerus bertanya hal yang tidak penting."Mengapa sendiri?" Lagi!Aku menoleh dengan niat ingin menegurnya agar tidak terus mengajakku berbicara. "Ma---" Aku malah diam membeku karena kini aku berhadapan dengannya dengan jarak yang cukup dekat, dekat, sangat dekat. Sontak aku langsung menjauhkan wajahku karena terkejut sekaligus takut."Sudah aku bilang, aku bukanlah orang jahat. Aku hanya ingin mengobrol saja.""Aku sudah punya suami!""Memangnya kenapa? Apa ada aturannya kalau sudah bersuami tidak boleh mengobrol dengan orang lain?""Aku sedang fokus pada film!""Baiklah."Setelahnya, aku pikir akan berhent
Dua bulan berlalu setelah kejadian di bioskop waktu itu, aku belum bertemu dengan Ibu Mertuaku lagi. Karena dia masih saja marah dan menganggap bahwa aku mengenyampingkan kepentingan keluarga hanya demi kesenangan sendiri.Salahku memang yang tidak bertanya pada Mas Rendi mengapa ia membatalkan rencana kita keluar, sebab aku yang sudah terlanjur kecewa selalu menjadi nomor dua.Wajarkah jika aku cemburu terhadap Ibu mertuaku sendiri? Mau bagaimana lagi, aku memang merasa dinomorduakan. Dan disisi lain, Mas Rendi sendiri yang selalu bersikap abu-abu."Mas pulang," ucap Mas Rendi yang langsung menyadarkan lamunanku."Oh iya, Mas. Mas udah makan di rumah Ibu, kan? Soalnya aku gak masak lagi hari ini." Aku langsung berdiri menghampiri suamiku untuk membawa tas kerjanya seperti yang biasa aku lakukan."Iya, Mas udah makan. Kamu udah makan juga?""Udah," ucapku yang langsung segera berpaling.Jujur saja aku masih tidak sanggup jika harus bertatapan lama dengan suamiku. Perasaan bersalah yan
Beberapa hari setelah bertemu dengan Mbak Dian, aku merasa penasaran tentang cerita masa lalu suamiku, yang padahal dari awal pertemuan kami, aku tidak bertanya apapun terkait mantan istrinya.Bukan cerita indah yang membuatku merasa penasaran, melainkan cerita yang sepertinya tidak jauh berbeda dari apa yang sedang aku alami sekarang di rumah tanggaku bersama Mas Rendi."Mas, ini kopinya," ucapku sambil menaruh kopi panas yang sudah aku buat untuk Suamiku setelah makan malam bersama tadi."Iya, terima kasih, Sayang.""Mas, boleh aku tanya sesuatu?""Iya boleh, tanya saja. Kenapa harus tanya gitu dulu? Biasanya langsung nanya.""Simpan dulu dong HP-nya," protesku."Iya apa?""Aku ketemu sama mantan istri Mas. Dan kami ngobrol sebentar. Terus ada hal yang membuat aku kepikiran. Kalau boleh tau, kalian berdua berpisah karena apa?"Brak!!Aku terkejut bukan kepalang, reaksi dari Mas Rendi sama sekali diluar ekspektasiku. Ini adalah kali pertamanya Mas Rendi terlihat marah."Mas?!""Mas p
"Lho? Kamu bukannya --?" Aku langsung teringat jika pria yang ada di hadapanku itu ternyata pria yang membantuku membayarkan belanjaanku tempo hari. Aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu lagi dengan pria itu. Mungkin memang sudah takdirnya aku bertemu lagi dengan dia, hanya saja aku kembali merasa dongkol sebab dia yang sudah menimbulkan kesalahpahaman tetapi dia juga tidak berusaha membantuku untuk meluruskan.Pria dihadapan aku langsung tersenyum seolah dia juga masih mengingat wajahku."Wanita di supermarket?""Jadi, kamu CEO di perusahaan ini?" "Benar, selamat datang di perusahaanku. Kamu berniat untuk melamar pekerjaan di sini, kan? Biarkan saya melihat CV-mu terlebih dahulu," pinta pria itu yang ternyata bernama Anggara saat aku melihat name tag di meja kerjanya.Sebenarnya aku masih merasa marah padanya, kalau saja aku tidak membutuhkan pekerjaan, mungkin aku sudah mengurungkan diri untuk bekerja di sana.Dia membaca CV-ku, sementara aku duduk di kursi yang ada di hadap
"Aku juga masak sayur, kok. Sayur bayam dan jagung buat Ibu. Tadi Ibu nyuruh aku buat cepetan masak, tapi malah nyuruh Mas Rendi buat beli diluar. Pengeluarannya kan jadi double," ucapku yang sakit hati dengan ulah Ibu Mertuaku, yang seolah sengaja selalu melakukan apapun untuk menguji kesabaranku di depan Mas Rendi."Memangnya Ibu lagi menyusui dibikinin sayur bayam? Ayam goreng buatan kamu juga selalu keras, sakit kalau dimakan sama Ibu yang giginya udah setua umur Ibu juga," ujar Ibu Mertuaku.Terdengar menyebalkan, bukan?Kelakuan Ibu Mertuaku memang sukses membuat aku gemas, geram dan tak tahan menahan emosi. Aku tahu, jika diumur Ibu yang sekarang, dia akan memasuki kembali fase kanak-kanak, tetapi ini rasanya lebih menyebalkan dari sekedar tingkah laku anak kecil."Udahlah, Sayang. Nggak apa-apa, kok. Sekali-kali juga. Kata dokter kan menjaga suasana hati Ibu, bisa turut mempercepat masa pemulihan, karena kita membahagiakan batin dan mentalnya," bela Mas Rendi terdengar seperti
"Jauh sebelum kamu menjadi sekretaris saya, saya memang selalu makan siang bersama sekretaris saya yang lama. Tapi dia sekarang sudah menikah dan resign," lanjut Pak Anggara seolah tidak ingin membuatku berpikir macam-macam."Oh begitu, Pak.""Kalau sedang diluar jam kantor, santai saja. Jangan terlalu formal. Kita juga sebelumnya kan sudah saling kenal."Mana bisa seperti itu, aku tetap akan menjaga profesionalitas aku dalam bekerja. Dan rasanya diantara kami berdua tidak begitu saling mengenal lebih jauh, sehingga tidak terlalu pantas jika bersikap informal walau diluar jam kantor."Ah, tidak, Pak. Saya hanya sebatas sekretaris Pak Anggara. Lebih dari itu, Pak Anggara pernah membantu saya. Tidak lebih lagi karena kita berdua tidak saling kenal juga.""Sepertinya kamu masih marah pada saya?" tanya Pak Anggara disertai dengan senyum tipis yang aku sendiri tidak tahu apa arti senyuman itu.Mengejekku?"Marah? Atas dasar apa saya harus marah sama Bapak?""Karena saya tidak membantu menj
*Flashback*Dua hari yang lalu, Mas Rendi pulang telat karena memang harus lembur. Ia mengambil lemburan mungkin hanya satu sampai dua kali saja dalam satu pekan, sehingga aku berdua saja dengan Ibu, karena Bi Wati sudah pulang ke rumahnya."Berapa gajimu dalam sebulan?" tanya Ibu Mertuaku yang memecah suara dari televisi.Biasanya aku memang selalu lebih lama menghabiskan waktu di dalam kamar, tetapi karena Mas Rendi belum pulang, jadi aku menunggunya di luar."Aku belum tau, Bu. Mungkin nggak jauh dari UMK kota ini," jawabku singkat karena memang aku belum tahu.Dasar pikirkan burukku memang cukup sulit untuk dijauhkan sehingga aku sampai berpikir Ibu akan meminta uang dari hasil keringatku juga. Sebenarnya memang tak apa, aku juga tidak akan perhitungan dengan suami atau bahkan dengan keluarga dari Suamiku sendiri."Kalau kamu sudah gajian nanti, ingat jangan digunain sendiri uangnya. Kalau mau meringankan beban suami jangan pelit-pelit dan perhitungan!"Belum genap satu bulan saja
"Oh ya, gaji besar dari saya harus kamu gunakan untuk dirimu sendiri," ucap Pak Anggara memotong pembicaraanku, sampai aku mengerutkan keningku tidak mengerti mengapa dia berkata seperti itu.Mengapa harus digunakan untukku saja? Seolah aku tidak boleh berbagi gajiku maksudnya?"Maksudnya, Pak?""Kamu ini sekretaris saya, perusahaan ini perusahaan yang besar. Hampir setiap hari saya akan bertemu dengan klien penting. Coba perhatikan penampilan kamu sendiri."Sontak aku langsung melihat diriku dengan apa yang aku pakai setiap harinya.Tubuku yang tidak berubah dari sebelum menikah sampai sekarang membuat aku tidak kesusahan saat mendapatkan pekerjaan lagi, sebab aku bisa memakai baju lamaku.Saat bekerja dulu, aku selalu mengutamakan penampilan karena tuntutan pekerjaan, sehingga baju-baju kerjaku cukup banyak, bahkan lebih banyak dibandingkan saat aku setelah menikah yang jarang sekali membeli baju.Namun karena aku terkahir bekerja sudah bertahun-tahun yang lalu, jelas saja pakaian ya