Aku masih belum berani untuk menoleh. Saking parnonya karena film, aku malah sempat berpikir jika pria disampingku bukanlah manusia.
"Tenang saja aku bukan pria jahat."
Aku masih merasa aman karena adanya kamera tersembunyi di dalam teater. Sehingga aku kembali fokus saja pada film dilayar.
"Kamu datang sendiri?" bisik pria itu lagi.
Aku mengangguk saja, berharap ia tidak terus-menerus bertanya hal yang tidak penting.
"Mengapa sendiri?"
Lagi!
Aku menoleh dengan niat ingin menegurnya agar tidak terus mengajakku berbicara. "Ma---"
Aku malah diam membeku karena kini aku berhadapan dengannya dengan jarak yang cukup dekat, dekat, sangat dekat. Sontak aku langsung menjauhkan wajahku karena terkejut sekaligus takut.
"Sudah aku bilang, aku bukanlah orang jahat. Aku hanya ingin mengobrol saja."
"Aku sudah punya suami!"
"Memangnya kenapa? Apa ada aturannya kalau sudah bersuami tidak boleh mengobrol dengan orang lain?"
"Aku sedang fokus pada film!"
"Baiklah."
Setelahnya, aku pikir akan berhenti sampai disitu. Ternyata tidak, karena tiba-tiba saja tanganku dipegang.
"Mas, apa-apan, sih?" Aku menepis tangan pria itu.
"Benarkah kamu sudah bersuami? Mengapa tidak datang dengan suamimu?"
"Pertanyaan Anda sungguh tidak sopan, Mas!"
"Padahal niatku sangat baik, aku tidak bisa tega saat melihat seorang wanita duduk sendiri apalagi di bioskop. Apa kamu ada masalah dengan suamimu?" tanya pria itu yang tidak menggubris perasaanku yang sudah tidak nyaman dekat dengannya.
"Kalau Mas berbicara seperti itu pada wanita-wanita muda yang masih lajang, mungkin tidak masalah. Masalahnya saya sudah katakan kalau saya sudah menikah, jangan menggoda saya!"
"Menggoda?" Pria itu tampak tersenyum penuh arti.
Beberapa waktu berlalu, pria yang ada di sampingku tak lagi menggangguku lagi. Entah mengapa aku malah penasaran, aku melihat dengan ekor mata. Dan benar saja perasaan tak enak yang aku rasa karena pria itu terus melihat ke arahku alih-alih melihat layar besar di depan.
"Mas, tolong jangan buat saya tidak nyaman. Saya hanya ingin nonton film ini dengan tenang. Saya sudah bayar dua tiket, jadi saya tidak ingin rugi!"
Pria itu tersenyum, dengan tetap tak mengalihkan pandangannya. "Apa saya bilang tadi, tidak mungkin kamu datang sendiri. Jadi, suamimu tidak bisa datang karena pekerjaan atau ternyata ada wanita lain?"
Ah, sial! Kenapa aku harus keceplosan segala.
"Bukan urusan Anda!"
"Biar aku tebak, sepertinya bukan karena pekerjaan, tapi karena wanita lain. Benar? Dan wanita ketiga ini bukanlah wanita penggoda suami orang melainkan Ibu mertua kamu."
Mendengar kebenaran yang dikatakan pria itu, aku yang tadinya tidak ingin lagi memperpanjang urusan karena tidak penting, kini malah merasa penasaran mengapa dia bisa tahu. Atau mungkin hanya asal berucap saja?
Namun kasus yang sedang aku alami ini, bukanlah hal yang bisa dengan mudah ditebak oleh orang lain tanpa aku bercerita sendiri.
"Kenapa menatapku seperti itu? Apa yang aku katakan memang benar?"
"Ck!"
Akupun menganggap bahwa hal itu hanya sebuah kebetulan saja.
"Jika suamimu sayang padamu, dia akan memprioritaskan dirimu. Dan kalau Ibu mertuamu menghargaimu, dia akan mengerti jika anak laki-lakinya sudah bukan sepenuhnya milik dia lagi. Tidak ada laki-laki yang benar-benar sibuk dalam urusan pribadinya, hanya mungkin beda prioritas saja. Dari situ harusnya kamu tau, ada di nomor berapa urutan prioritas kamu sebagai seorang istri."
Meski aku tidak menoleh sama sekali, tapi semua yang diucapkan oleh pria itu, jelas terdengar olehku. Bahkan aku mengerti betul maksud dari apa yang dia katakan.
Aku yang sudah tiga tahun lebih, menjadi Ibu rumah tangga yang tidak banyak bergaul dengan orang lain, yang otomatis aku tidak punya tempat untuk berbagi, tiba-tiba merasakan hal lain. Hal yang selama ini aku butuhkan, yaitu tempat berbagi keluh kesah atas apa yang aku rasakan. Terutama sakit hati karena Ibu Mertuaku, juga kekesalanku pada suami yang tidak pernah ada dipihakku, dan pada kebodohanku yang selalu menganggap peristiwa yang terjadi menjadi sebagai angin yang akan segera berlalu.
"Terima kasih sebelumnya, tapi kamu tidak harus mengurusi rumah tangga orang lain."
"Terima kasih? Apakah itu artinya kamu membenarkan tebakanku?"
Aku meliriknya dengan tatapan tajam tanpa mengatakan apa-apa lagi.
"Kamu tau one night stand?"
"Jangan macam-macam ya, Mas!"
Karena aku sudah benar-benar merasa tidak nyaman, akhirnya aku bangkit untuk keluar dari teater walaupun film belum selesai. Tidak lagi kupikirkan sayangnya uang yang sudah keluar percuma untuk dua orang, ditambah aku yang bahkan tidak begitu menikmati film yang disuguhkan sampai akhir cerita.
Namun dengan cepat tanganku ditahan oleh pria itu. "Memang kamu sekuat apa? Bisa bertahan dihubungan yang tidak membuat kamu bahagia? Jika alasanmu bertahan hanya karena tidak ingin sendiri disaat tidak punya keluarga lagi, sebaiknya berpisahlah."
Aku memicingkan mataku, mencoba menatap lekat pria yang ada dihadapanku yang bahkan aku belum melihat dengan jelas seperti apa rupanya karena masih tertutup sebagian dengan topi.
"Kamu tidak tau apa-apa! Yang kamu katakan semua hanyalah opini saja. Itu semua omong kosong!"
Aku langsung bangun dan berniat untuk segera pergi. Namun tiba-tiba saja tangan kekar itu kembali menarik tanganku hingga aku berhadapan dengan dia. Dengan posisi seperti itu, aku merasa itulah kesempatanku untuk melihat siapakah pria yang seolah tahu kehidupan rumah tanggaku.
Cup!!
Sebuah kecupan mendarat tepat dibibirku.
"Jika kamu penasaran siapa aku, datanglah padaku. Akan aku pastikan kebahagiaanmu," ucap pria itu dengan pelan tanpa mengizinkan wajahnya terlihat olehku.
"Siapa kamu sebenarnya?" tanyaku yang sudah kehilangan kesabaran karena rasa penasaran.
Aku mengangkat satu tanganku mencoba untuk membuka topi yang menutupi sebagian wajahnya, ditambah dengan pencahayaan di dalam teater yang sangat minim sehingga tidak terlihat jelas.
Namun, pria itu menahan tanganku. Dan sebelah tangannya menarik tubuhku masuk ke dalam pelukan. "Datanglah padaku. Aku akan ungkapkan siapa diriku."
Aku mencoba memberontak, tetapi tubuh kekarnya tidak bisa aku kalahkan. Dia terlalu dominan.
"Jangan macam-macam!" ucapku menggeram sambil memukul-mukul dadanya.
Dan pria itu malah mendekatkan wajahnya, membuat wajahku terdorong tetapi keadaan itu malah membuat tubuhku semakin masuk dalam kungkungan badan kekarnya.
Pada akhirnya pria itu bisa meraih bibirku dan kami berciuman walau aku merasa terpaksa, tetapi paksaan dan penolakan dariku seolah berjalan seirama. Hingga tak sadar, aku semakin melemah, menyerah dan pasrah. Sesuatu yang sudah lama tidak aku dapatkan dari Suamiku, malah aku merasakan sensasi lain bersama pria asing.
Beberapa menit berlalu, alam bawah sadarku mengembalikan kesadaranku sepenuhnya. Aku membuka mata lalu mendorong pria yang lengah dan tak lagi memelukku dengan erat.
Tanpa berlama-lama, aku segera berlari keluar. Rasa penasaran terhadap siapa sosok pria itu tergantikan dengan rasa bersalah saat aku teringat Suamiku di rumah.
Sesampainya di rumah, perasaan bersalah malah semakin menyelimutiku. Aku tidak mungkin menceritakan semuanya, tetapi aku juga tidak ingin membohongi Suamiku sendiri atas kesalahan yang sudah aku perbuat.
"Kamu baru pulang, sayang?"
Tiba-tiba saja aku mendengar suara Mas Rendi saat hendak membuka pintu rumah.
"Ah, Mas! Ngagetin aja. Iya aku baru pulang. Ka--kamu sendiri baru pulang dari rumah Ibu?"
"Iya, soalnya tadi dibantu tetangga juga. Jadi pekerjaannya cepet selesai."
"Memangnya ada acara apa sih, Mas?" tanyaku yang memang tidak tahu karena tadi aku langsung berangkat begitu saja saking kesalnya.
"Peringatan meninggalnya Ayah. Makanya aku gak bisa nolak tadi."
"Astaga aku sampai lupa, Mas. Pasti Ibu marah sama aku karena gak bantu-bantu tadi."
"Nggak, Mas udah jelasin sama Ibu."
"Bohong. Mana mungkin Mas ada dipihak aku kalau di depan Ibu."
"Loh kok kamu gitu sama Mas? Mending kita masuk terus kamu ceritain gimana tadi di bioskop," pinta Mas Rendi sembari membuka pintu dan masuk ke dalam rumah.
Aku malah dibuat bingung dengan perasaan bersalah yang semakin menjadi-jadi.
'Apa kali ini aku benar-benar bisa dikatakan berselingkuh setelah apa yang terjadi di bioskop tadi?' batinku.
Dua bulan berlalu setelah kejadian di bioskop waktu itu, aku belum bertemu dengan Ibu Mertuaku lagi. Karena dia masih saja marah dan menganggap bahwa aku mengenyampingkan kepentingan keluarga hanya demi kesenangan sendiri.Salahku memang yang tidak bertanya pada Mas Rendi mengapa ia membatalkan rencana kita keluar, sebab aku yang sudah terlanjur kecewa selalu menjadi nomor dua.Wajarkah jika aku cemburu terhadap Ibu mertuaku sendiri? Mau bagaimana lagi, aku memang merasa dinomorduakan. Dan disisi lain, Mas Rendi sendiri yang selalu bersikap abu-abu."Mas pulang," ucap Mas Rendi yang langsung menyadarkan lamunanku."Oh iya, Mas. Mas udah makan di rumah Ibu, kan? Soalnya aku gak masak lagi hari ini." Aku langsung berdiri menghampiri suamiku untuk membawa tas kerjanya seperti yang biasa aku lakukan."Iya, Mas udah makan. Kamu udah makan juga?""Udah," ucapku yang langsung segera berpaling.Jujur saja aku masih tidak sanggup jika harus bertatapan lama dengan suamiku. Perasaan bersalah yan
Beberapa hari setelah bertemu dengan Mbak Dian, aku merasa penasaran tentang cerita masa lalu suamiku, yang padahal dari awal pertemuan kami, aku tidak bertanya apapun terkait mantan istrinya.Bukan cerita indah yang membuatku merasa penasaran, melainkan cerita yang sepertinya tidak jauh berbeda dari apa yang sedang aku alami sekarang di rumah tanggaku bersama Mas Rendi."Mas, ini kopinya," ucapku sambil menaruh kopi panas yang sudah aku buat untuk Suamiku setelah makan malam bersama tadi."Iya, terima kasih, Sayang.""Mas, boleh aku tanya sesuatu?""Iya boleh, tanya saja. Kenapa harus tanya gitu dulu? Biasanya langsung nanya.""Simpan dulu dong HP-nya," protesku."Iya apa?""Aku ketemu sama mantan istri Mas. Dan kami ngobrol sebentar. Terus ada hal yang membuat aku kepikiran. Kalau boleh tau, kalian berdua berpisah karena apa?"Brak!!Aku terkejut bukan kepalang, reaksi dari Mas Rendi sama sekali diluar ekspektasiku. Ini adalah kali pertamanya Mas Rendi terlihat marah."Mas?!""Mas p
"Lho? Kamu bukannya --?" Aku langsung teringat jika pria yang ada di hadapanku itu ternyata pria yang membantuku membayarkan belanjaanku tempo hari. Aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu lagi dengan pria itu. Mungkin memang sudah takdirnya aku bertemu lagi dengan dia, hanya saja aku kembali merasa dongkol sebab dia yang sudah menimbulkan kesalahpahaman tetapi dia juga tidak berusaha membantuku untuk meluruskan.Pria dihadapan aku langsung tersenyum seolah dia juga masih mengingat wajahku."Wanita di supermarket?""Jadi, kamu CEO di perusahaan ini?" "Benar, selamat datang di perusahaanku. Kamu berniat untuk melamar pekerjaan di sini, kan? Biarkan saya melihat CV-mu terlebih dahulu," pinta pria itu yang ternyata bernama Anggara saat aku melihat name tag di meja kerjanya.Sebenarnya aku masih merasa marah padanya, kalau saja aku tidak membutuhkan pekerjaan, mungkin aku sudah mengurungkan diri untuk bekerja di sana.Dia membaca CV-ku, sementara aku duduk di kursi yang ada di hadap
"Aku juga masak sayur, kok. Sayur bayam dan jagung buat Ibu. Tadi Ibu nyuruh aku buat cepetan masak, tapi malah nyuruh Mas Rendi buat beli diluar. Pengeluarannya kan jadi double," ucapku yang sakit hati dengan ulah Ibu Mertuaku, yang seolah sengaja selalu melakukan apapun untuk menguji kesabaranku di depan Mas Rendi."Memangnya Ibu lagi menyusui dibikinin sayur bayam? Ayam goreng buatan kamu juga selalu keras, sakit kalau dimakan sama Ibu yang giginya udah setua umur Ibu juga," ujar Ibu Mertuaku.Terdengar menyebalkan, bukan?Kelakuan Ibu Mertuaku memang sukses membuat aku gemas, geram dan tak tahan menahan emosi. Aku tahu, jika diumur Ibu yang sekarang, dia akan memasuki kembali fase kanak-kanak, tetapi ini rasanya lebih menyebalkan dari sekedar tingkah laku anak kecil."Udahlah, Sayang. Nggak apa-apa, kok. Sekali-kali juga. Kata dokter kan menjaga suasana hati Ibu, bisa turut mempercepat masa pemulihan, karena kita membahagiakan batin dan mentalnya," bela Mas Rendi terdengar seperti
"Jauh sebelum kamu menjadi sekretaris saya, saya memang selalu makan siang bersama sekretaris saya yang lama. Tapi dia sekarang sudah menikah dan resign," lanjut Pak Anggara seolah tidak ingin membuatku berpikir macam-macam."Oh begitu, Pak.""Kalau sedang diluar jam kantor, santai saja. Jangan terlalu formal. Kita juga sebelumnya kan sudah saling kenal."Mana bisa seperti itu, aku tetap akan menjaga profesionalitas aku dalam bekerja. Dan rasanya diantara kami berdua tidak begitu saling mengenal lebih jauh, sehingga tidak terlalu pantas jika bersikap informal walau diluar jam kantor."Ah, tidak, Pak. Saya hanya sebatas sekretaris Pak Anggara. Lebih dari itu, Pak Anggara pernah membantu saya. Tidak lebih lagi karena kita berdua tidak saling kenal juga.""Sepertinya kamu masih marah pada saya?" tanya Pak Anggara disertai dengan senyum tipis yang aku sendiri tidak tahu apa arti senyuman itu.Mengejekku?"Marah? Atas dasar apa saya harus marah sama Bapak?""Karena saya tidak membantu menj
*Flashback*Dua hari yang lalu, Mas Rendi pulang telat karena memang harus lembur. Ia mengambil lemburan mungkin hanya satu sampai dua kali saja dalam satu pekan, sehingga aku berdua saja dengan Ibu, karena Bi Wati sudah pulang ke rumahnya."Berapa gajimu dalam sebulan?" tanya Ibu Mertuaku yang memecah suara dari televisi.Biasanya aku memang selalu lebih lama menghabiskan waktu di dalam kamar, tetapi karena Mas Rendi belum pulang, jadi aku menunggunya di luar."Aku belum tau, Bu. Mungkin nggak jauh dari UMK kota ini," jawabku singkat karena memang aku belum tahu.Dasar pikirkan burukku memang cukup sulit untuk dijauhkan sehingga aku sampai berpikir Ibu akan meminta uang dari hasil keringatku juga. Sebenarnya memang tak apa, aku juga tidak akan perhitungan dengan suami atau bahkan dengan keluarga dari Suamiku sendiri."Kalau kamu sudah gajian nanti, ingat jangan digunain sendiri uangnya. Kalau mau meringankan beban suami jangan pelit-pelit dan perhitungan!"Belum genap satu bulan saja
"Oh ya, gaji besar dari saya harus kamu gunakan untuk dirimu sendiri," ucap Pak Anggara memotong pembicaraanku, sampai aku mengerutkan keningku tidak mengerti mengapa dia berkata seperti itu.Mengapa harus digunakan untukku saja? Seolah aku tidak boleh berbagi gajiku maksudnya?"Maksudnya, Pak?""Kamu ini sekretaris saya, perusahaan ini perusahaan yang besar. Hampir setiap hari saya akan bertemu dengan klien penting. Coba perhatikan penampilan kamu sendiri."Sontak aku langsung melihat diriku dengan apa yang aku pakai setiap harinya.Tubuku yang tidak berubah dari sebelum menikah sampai sekarang membuat aku tidak kesusahan saat mendapatkan pekerjaan lagi, sebab aku bisa memakai baju lamaku.Saat bekerja dulu, aku selalu mengutamakan penampilan karena tuntutan pekerjaan, sehingga baju-baju kerjaku cukup banyak, bahkan lebih banyak dibandingkan saat aku setelah menikah yang jarang sekali membeli baju.Namun karena aku terkahir bekerja sudah bertahun-tahun yang lalu, jelas saja pakaian ya
Aku tidak salah dengar, kan? Belanjaan tadi untukku? "Tapi, Pak? Saya pikir itu hadiah dari Bapak untuk seseorang," ucapku yang masih tidak percaya jika atasanku membelikan baju yang jelas tidak murah."Yang mencoba baju itu tadi siapa? Kamu, kan? Semuanya cocok di kamu. Jadi ambil saja.""Saya tidak bisa menerimanya, Pak.""Tapi ini perintah dari saya, kamu ini sekretaris saya, jadi sudah seharusnya kamu memakai pakaian yang cocok dan layak jika berdampingan dengan saya. Karena kamu akan ikut saya ke mana pun saya akan pergi.""Tapi, semuanya terlalu banyak, Pak. Saya ambil satu saja. Gaji saya satu bulan kemarin, sudah cukup untuk saya belikan baju, jika memang penampilan saya sekarang kurang enak dipandang. Saya akan membeli baju-baju yang baru. Tapi tidak semahal ini."Tentu saja aku merasa sangat terkejut jika harus menerima semua baju-baju yang tadi aku pakai. Sebab satu stelannya saja sudah jutaan bahkan bisa sampai belasan juta. Harga itu membuat aku sangat shock."Gajimu, si