Selang beberapa saat setelah Mbak Dyan keluar, aku pun langung keluar setelah merasa perasaanku baik-baik saja. Semakin jelas Mbak Dyan yang seolah menantangku, semakin aku merasa yakin bahwa ada sesuatu hal dibalik kedekatan antara mereka berdua di belakangku.Yang ada dalam pikiranku sekarang adalah aku ingin mengetahui isi dan pemikiran Mas Rendi. Jika kembali bersama Mbak Dyan itu kebahagian buat dia, mengapa ia tak melepaskan aku dulu? Kenapa lebih senang bermain belakang.Apa Mas Rendi berpikiran sama denganku? Dia tidak ingin menjadi pihak yang bersalah karena melakukan pengkhianatan di belakang?Jika terus seperti ini, maka hubungan rumah tanggaku bersama Mas Rendi seperti sebuah cangkang yang kosong tanpa pemilik. Sebab aku dan Mas Rendi sebagai penghuninya sudah sama-sama meninggalkan cangkang itu. Namun sama-sama enggan untuk menghancurkannya.Sangat konyol memang.Saat aku keluar dari toilet, aku berjalan keluar tetapi tidak menemukan Mas Rendi, Pak Anggara bahkan Mbak Dya
"Kenapa pipimu merah? Haruskah kita bermain di mobil sebentar?" Pak Anggara sukses membuat aku benar-benar malu. Entah bagaimana dengan warna pipiku yang sudah terasa panas, mungkin seperti kepiting rebus saja."Aku mau tau dulu jawaban kenapa kamu mau ke US? Seminggu? Sepuluh hari itu lama. Berarti ada hal penting di sana?" tanyaku yang langsung mengalihkan pembicaraan.Sekarang rasanya aku tidak ingin cepat-cepat untuk keluar dari mobil. Mendengar Pak Anggara akan pergi keluar negeri membuat aku merasa cukup sedih. Seperti aku seolah akan ditinggalkan oleh orang yang begitu dekat denganku bahkan dibandingkan dengan Suamiku sendiri."Jika aku mengatakannya, apa kita akan melakukannya di mobil?" tanya Pak Anggara sambil tersenyum menatapku penuh arti.Andai saja kami berdua tidak berada di depan rumah Ibu, rasanya aku tidak masalah. Aku memang merindukan sentuhan Pak Anggara, merindukan bagaimana dia membuatku merasa senang lewat permainan dan skill yang dia punya."Ini di depan ruma
Angin malam rasanya semakin menelusup masuk ke dalam sum-sum tulangku. Semakin malam, semakin tajam dinginnya. Entah kapan terakhir kali aku merasakan udara malam Ibukota bisa sedingin ini, padahal biasanya siang dan malam tidak begitu jauh berbeda. Lain hal di kampung orang tuaku dulu.Ah, aku jadi rindu Ibu dan juga Ayah. Sudah lama aku tidak berkunjung ke makamnya. Sepertinya aku sudah menjadi anak yang durhaka. Terakhir kali rasanya itu dua tahun yang lalu. Satu tahun setelah pernikahanku dengan Mas Rendi.Ternyata aku benar-benar tidak pernah di ajak ke mana-mana selama menjadi istri Mas Rendi. Bak terkurung dalam sangkar. Padahal yang aku pikirkan menjadi Ibu rumah tangga itu bukan yang sepenuhnya terus di rumah tanpa tahu dunia luar. Tanpa mengunjungi tempat rekreasi dan wisata dikala Mas Rendi libur bekerja.Apakah aku sudah menyia-nyiakan waktu tiga tahunku saat menikah dengan Mas Rendi? Dan dalam satu bulan terakhir, banyak pengalaman dan tempat baru yang aku kunjungi, hanya
Namun ternyata bertambahnya skill yang aku punya justru malah membuat Mas Rendi bertambah cepat mencapai puncaknya, padahal aku baru saja melakukan pemanasan.Dan jika itu sudah terjadi, maka berakhir pula permainan kami. Ya, seperti itulah memang biasanya. Tidak pernah lama dan tidak pernah lebih dari satu kali saja."Sudah, Sayang. Mas mau tidur lagi. Ini juga hari Sabtu. Kamu bangunkan Mas jam 7 saja."Mas Rendi menarik selimutnya dan kembali tidur, apalagi setelah bermain denganku, ia pasti akan tertidur dengan cepat meski aku yang paling lelah.Aku kembali memakai bajuku satu persatu, ingin rasanya kembali merebahkan diri, tetapi aku melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah 6 pagi. Sudah saatnya aku untuk segera keluar dari kamar dan menyiapkan sarapan.Ternyata Mbak Dyan dan Ryo sudah tidak ada di depan televisi tetapi bekas mereka tidur semalam belum dibereskan. Aku juga melihat kamar Ibu sudah terbuka dan dia juga tidak ada di dalam.'Mereka bertiga kayanya jala
"Mas?! Kok kamu nggak nungguin aku? Kan aku udah bilang kita sarapan bareng. Kenapa malah sama Mbak Dyan?" ucapku yang tidak baik-baik saja melihat Mas Rendi sarapan bersama Mbak Dyan berdua di meja makan."Mas lapar, Sayang. Semalam nggak sempat makan juga. Kamu juga mandinya lama, jadi Mas duluan aja," jawab Mas Rendi yang sudah hampir menghabiskan semua makanan yang ada di piringnya."Aku juga kebetulan udah selesai nyuapin Ryo, makanya langsung makan juga. Masakan kamu enak, Tiana. Lebih enak dari Abang nasgor yang suka jualan di pinggir jalan," ucap Mbak Dyan yang entah memujiku atau malah tengah mengejekku."Terserah deh, Mas."Aku berlalu untuk masuk ke dalam kamar."Ya ampun, Tiana. Masalah kaya gitu aja dibesar-besarkan. Memang kamu nggak bisa makan sendiri? Masa suami udah lapar harus nunggu kamu selesai mandi dulu? Makin lama tingkah kamu makin diluar nalar. Jangan hanya karena sekarang kamu udah bisa cari uang sendiri, jadi kamu makin seenaknya sama suami," ujar Ibu Mertua
"Maaf banget ya, Tiana. Soalnya Ryo masih mau makan. Jadi telurnya dihabiskan terus nasi gorengnya jadi tinggal sisa sedikit. Kamu bisa kan masak lagi?" tanya Mbak Dyan dengan memasang wajah yang tidak bersalah. Seolah meminta maaf tetapi ekspresinya tidak menunjukan rasa penyesalan sama sekali."Lain kali jangan begitu, Mbak. Aku masak dicukupkan bahkan sudah aku lebihkan untuk lima orang yang ada di rumah ini. Kalau Ryo masih lapar, harusnya Mbak masak lagi. Mbak udah tau aku belum makan," jawabku yang tidak ingin mewajarkan dan memaafkan apa yang sudah dilakukan oleh Mbak Dyan dengan tanpa rasa bersalah.Sekaligus aku juga ingin menunjukan padanya jika aku bukan wanita yang lemah. Bukan wanita yang tidak bisa mengatakan ketidaksukaannya. Aku ingin membuat diriku tidak terlihat lemah agar tidak seenaknya bisa diinjak."Ya elah, Tiana. Namanya juga anak-anak. Wajar Ryo masih mau makan, dia masih dalam masa pertumbuhan. Kamu nggak bakal ngerasain karena kamu belum punya anak.""Justru
Tubuhku terasa membeku saat langkah kakiku terhenti secara otomatis. Perlahan aku tempelkan telingaku pada pintu kamar dengan niat ingin mendengar lebih jelas lagi.Ya, memang tidak salah lagi!Aku mendengar suara napas yang memburu, seperti orang yang terengah-engah ketika berolahraga. Tepatnya berolahraga malam. Apalagi kalau bukan aktivitas seksual.Umurku sudah 28 tahun, tidak mungkin jika aku tidak tahu suara apa yang sedang aku dengar sekarang ini. Bahkan aku sudah menggigit lidahku sendiri hanya untuk memastikan jika aku tidak sedang bermimpi dalam tidurku.Tubuhku seketika saja terasa gemetar. Kalau bukan Mas Rendi dan Mbak Dyan, lalu siapa lagi? Karena sudah pasti mereka berdua.Aku masih mencoba menyangkal. Sehingga kini aku mengambil kursi meja riasku, aku akan melihat dan memastikan langsung lewat celah ventilasi pintu kamar.Perlahan aku naik, memastikan aku benar-benar melihat dengan jelas apa yang terjadi diluar kamar.Dan ....Boom!!!Benar saja, aku melihat Mbak Dyan
"Ya, maaf, Mas. Aku kesiangan. Soalnya aku kan nggak kerja lagi libur. Perasaan ini masih weekend aja," jawabku dengan tenang sembari mengulur waktu agar Mas Rendi tetap merasa panik."Kamu nggak biasanya loh kesiangan kaya gini. Mau kerja atau nggak kan kamu selalu bangun sebelum jam 5. Padahal kamu kemarin ikut aku packing barang, kenapa kamu lupa Mas mau keluar kota?"Mas Rendi masih panik dan masih tidak terima jika aku bangun terlambat sampai tidak bisa membangunkan dirinya untuk bersiap berangkat. Bahkan aku juga dengan sengaja tidak membuatkan sarapan, baik untuk Mas Rendi atau pun buat semua yang ada di rumah ini termasuk diriku sendiri. Aku mempunyai uang sendiri yang bisa aku gunakan untuk mencari makan yang enak diluar tanpa harus memikirkan orang rumah makan dengan apa."Ya aku juga manusia, Mas. Masa nggak boleh kesiangan sih? Lagian Mas semalam tidur jam berapa memangnya? Kok bisa keliatan masih ngantuk kaya kurang tidur gitu? Jam berapa Mas masuk ke kamar?" tanyaku hany