Mbak Dyan terlihat diam sejenak, tampak wajah gugup yang tidak bisa ia disembunyikan dengan sempurna.Ah, payah sekali!Aku pikir Mbak Dyan akan menantangku dengan biasanya yang memang selalu berani. Namun ternyata ia malah menyembunyikan itu. Ternyata memang benar, hubungan Mas Rendi dan Mbak Dyan di belakangku itu benar-benar tidak boleh sampai aku tahu. Mereka tidak ingin disalahkan, mereka tidak ingin aku menjadi korban di sini.Sayangnya Mas Rendi dan Mbak Dyan tidak bisa bermain cantik. Firasatku yang belum ada bukti kuat, sudah terjawab dengan apa yang aku lihat semalam."Ya kalau bukan buat duduk, apa lagi? Ya itulah gunanya sofa," jawab Mbak Dyan sambil memalingkan wajahnya."Oh, soalnya aku kepikiran aja buat bikin adek untuk Ryo di kursi ini," ucapku sambil tertawa kecil. "Fantasi aku cukup liar sih, Mbak. Tapi sayangnya karena aku dan Mas Rendi tinggal lagi sama Ibu, jadinya aku nggak enak kalau bercumbu di ruang tamu. Takutnya yang punya rumah liat, kan nggak enak. Udah nu
"Tiana! Sopan kah kamu bicara seperti itu sama Ibu? Meskipun hanya Ibu mertua, tapi tetap menjadi orang tua kamu sendiri. Tega banget, ya!" ucap Mbak Dyan yang aku tahu niatnya ingin membela Ibu.Andai saja dulu saat pertama kali bertemu lagi dengan Mbak Dyan, aku rekam ucapannya yang bilang bahwa Ibu memang seriang mencampuri urusan rumah tangga, akan aku buat dia malu karena tidak hanya mempunyai satu muka. Sudah semakin jelas terlihat saja niatnya."Menurut Mbak Dyan, aku kurang sopan? Maaf kalau begitu. Aku memang tidak pernah merasa benar. Hal sekecil apa pun akan tetap bernilai salah. Aku permisi ke kamar. Selamat malam," ucapku langsung masuk ke dalam kamar.Sebenarnya aku belum puas jika hanya seperti itu saja. Rasanya belum aku keluarkan semua yang selama ini hanya bisa aku pendam sendiri saja selama menikah dengan Mas Rendi.Mungkin memang benar rasanya, wanita mempunyai uang sendiri saat berumah tangga itu memang harus. Suami hanyalah titipan dari Tuhan, jika bukan diambil
Esok harinya, pagi-pagi sekali aku membatu Bi Rini membereskan rumah, sementara ia menyiapkan sarapan sebelum kami berangkat ke pemakaman.Inilah yang aku maksudkan, hidup bersama, berbagi tugas rumah untuk dikerjakan bersama-sama. Bukan hanya sekedar tinggal bersama yang semua hal aku kerjakan sendiri saja, melayani semua orang yang tinggal di rumah. Bukan begitu, bahkan aku tidak mendapatkan gaji untuk semua yang aku kerjakan sendiri itu."Bi, Samsi itu yang anak juragan tanah di kampung sini, kan? Bukannya dia dari kecil sudah pindah ke kota? Kenapa sekarang tiba-tiba jadi rentenir?" tanyaku pada Bi Rini saat kami sedang sarapan.Aku berhasil mengingat pria bernama Samsi itu yang dulu sempat menjadi teman masa kecilku walau tidak berlangsung lama karena Samsi bersekolah di kota sejak SD."Ibunya sakit-sakitan sudah kira-kira 6 tahun yang lalu. Ayahnya menikah lagi sama kembang desa sebelah, seumuran dengan Samsi. Terus Ibunya meninggal 3 tahun yang lalu. Dan tak lama setelah Ibunya
"Iya, saya kenal.""Kamu makin cantik saja, Tiana. Kamu sudah menikah? Terakhir kali kita ketemu pas kita mau sekolah, kan? Aku pindah ke kota."Dengan tanpa wajah bersalah Samsi memujiku padahal di sebelahnya duduk istrinya yang mempunyai julukan sebagai kembang desa. Meskipun itu bisa aku anggap sebagai basa-basi, tetapi rasanya tidak pantas diucapkan di depan pasangan sendiri disaat sedang memuji orang lain apalagi lawan jenis. Terkadang lebih baik tidak beramah tamah dengan orang lain, jika itu hanya akan menyakiti pasangan sendiri.But, we never know. Setiap orang berbeda-beda, beda isi kepala tentu beda juga dengan pemikirannya. Hanya saja aku tetap menyayangkan itu sebab aku sendiri pernah mengalaminya. Semoga istri Samsi tidak sesensitif aku."Iya, betul. Saya sudah menikah dan menetap di Ibukota. Saya pulang untuk mengunjungi Bibi dan berkunjung ke makam Ayah dan Ibu.""Sayang sekali kamu sudah menikah.""Kalau begitu kami permisi. Terimakasih banyak."Aku segera mengakhiri o
"Perceraian itu bukan takdir, tetapi sebuah pilihan yang menentukan masa depan kamu nantinya. Ibaratnya sekarang kamu sedang berada di persimpangan jalan, ada dua jalan dihadapan kamu. Bertahan atau berpisah. Kamu harus memilih salah satu karena tidak bisa berbalik arah. Setiap jalan tentu ada resiko yang harus kamu terima, itu adalah pertanggungjawaban atas pilihan yang kamu ambil."Aku hanya diam dan menyimak. Pandangan dari Bibi benar-benar masuk di logikaku yang akhir-akhir ini memang sering terpikirkan untuk berpisah, tetapi aku bertahan hanya untuk mencari waktu yang tepat. Dan aku hanya ingin memastikan bahwa aku akan baik-baik saja di berpisah nanti, bukan malah sebaliknya yang akhirnya memberikan aku sebuah penyesalan. Sedangkan nantinya akan ada pihak yang merasa senang atas penderitaanku yang meratapi penyesalan dari perpisahan yang aku inginkan."Andai kalau aku tidak menikah dengan Mas Rendi, mungkin aku tidak akan mengalami hal yang sekarang aku alami kan, Bi?""Jangan
Aku tidak salah dengar, kan?Ah, mungkin saja Yoga ini sudah menganggap Ryo sebagai anaknya sendiri. Jadi, dia merasa rindu dan ingin bertemu. Sementara Mbak Dyan tidak mengizinkannya. Lagipula Yoga juga bukan Ayah kandung Ryo.Tapi tunggu, Mbak Dyan meninggalkan Yoga karena di PHK? Bukannya karena kasus KDRT? Jadi, mana yang benar?"Maaf, Mas Yoga. Saya tidak salah dengar, kan? Kalian berpisah karena Mas Yoga di PHK? Tapi yang saya tau, Mbak Dyan menerima KDRT. Jadi, mana yang harus saya percaya?""Sudah saya duga, Dyan pasti beralasan seperti itu. Saya kalau marah memang suka dengan nada tinggi, tapi saya bukan orang yang ringan tangan. Jadi mungkin Dyan alasan begitu. Padahal ekonomi kami memang tengah goyah, saya pikir Dyan akan bersabar tapi dia malah menggugat cerai dan kembali pada mantan suaminya."Dengan sengaja, aku memang tidak mengungkapkan siapa diriku. Aku hanya ingin mendengarkan dulu apa yang dikatakan oleh Yoga tentang Mbak Dyan dan rumah tangga mereka."Mas Yoga tau
Setelah Yoga pulang, aku juga langsung kembali ke rumah. Niatku untuk mencari cemilan mengganjal perut rasanya sudah cukup membuatku kenyang hanya dengan mendengar cerita dari Yoga tentang Mbak Dyan.Salah? Jelas saja salah.Aku juga tidak pernah membenarkan apa yang aku lakukan dibelakang Mas Rendi, apalagi Mbak Dyan yang sampai mempunyai anak hingga anak itu diakui anak dari Mas Rendi padahal bukan.Meski sebenarnya aku jangan terlalu mudah untuk percaya dengan cerita Yoga, tetapi semuanya terlalu related dengan apa yang aku alami juga.Sekarang aku sudah memegang kartu AS yang bisa aku gunakan untuk menentukan pilihanku yang sudah jelas akan menguntungkan untukku. Hanya aku sendiri belum memikirkan benar-benar resiko yang pastinya ada disetiap pilihan yang akan aku pilih.Sebenarnya hati kecilku ini merasa kasihan pada Mas Rendi, dia dulu diselingkuhi oleh Mbak Dyan. Dia mempunyai anak yang ia tahu anak kandungnya padahal bukan. Dan sekarang aku juga bermain di belakangnya.Namun a
Untuk sejenak kami bertiga saling diam saat pertanyaan itu aku lontarkan. Pertanyaan yang sebenarnya bisa dengan mudah dibantah oleh Mbak Dyan, tetapi sekarang Mbak Dyan seolah membisu. Ia menatap lekat ke arahku. Seolah-olah dia sudah bisa menebak jika aku tahu akan sesuatu. Apalagi Mbak Dyan tahu jika tadi mantan suaminya menemuiku untuk bertanya keberadaannya."Tiana, omongan kamu kok ngelantur?" ucap Ibu dengan nada yang cukup tinggi seolah ia tengah pasang badan untuk Mbak Dyan. Ya, aku sendiri memang menyadari jika apa yang aku katakan akan terdengar tidak sopan dan hal itu pasti akan menyinggung perasaan Mbak Dyan. Namun pada kenyataannya Mbak Dyan malah terdiam. Padahal ia adalah orang yang gampang meledak emosinya sama seperti Ibu."Bu, udah. Aku nggak apa-apa, kok. Ibu masuk ke dalam aja duluan. Aku mau ngomong sebentar sama Tiana berdua."Ibu mengangguk, lalu ia masuk ke dalam rumah.Sekarang, hanya ada aku dan Mbak Dyan berdua di depan rumah. Suasana malam semakin dingin
Semua orang tanpa terkecuali pasti memiliki sebuah luka. Luka yang tidak kasat mata, hanya sang pemilik luka lah yang bisa merasakannya.Sembuh atau tidaknya tidak bisa dipastikan secara nyata, sebab tergantung sang pemilik luka itulah akan berbicara berdasarkan fakta atau malah menyembunyikannya agar terlihat baik-baik saja.Meski pada akhirnya luka yang tidak terlihat itu bisa sembuh, tapi memorinya akan selalu tertanam dalam ingatan. Semakin mencoba untuk dilupakan, maka akan semakin tenggelam dalam kesakitan.Hanya diri sendirilah yang mampu menyembuhkan dan memastikan luka itu tidak bersarang lama dalam hidupnya.Masa lalu akan tetap menjadi masa lalu, sejauh apapun mengejarnya tak akan bisa kembali apalagi hanya untuk menyesali apa yang sudah terjadi dimasa sekarang.Luka dimasa lalu yang dibiarkan, biasanya akan menjalar menjadi sebuah dendam. Sebuah titik balik yang berniat untuk melupakan, malah meluap menjadi emosi yang harus terbalaskan.Ketidakadilan adalah hal yang pasti
POV Anggara"Kania ...." Setelah istriku mengatakan semua isi hatinya di depan makam Kania, kini giliranku yang harus aku utarakan juga apa yang ada dalam hatiku ini."Sudah lama rasanya sejak hari di mana kita terakhir bertemu dalam keadaan hubungan kita yang tidak baik-baik saja. Itu adalah hal yang paling aku sesalkan. Aku kira aku tau semua tentangmu, tentang cerita senang dan sedihmu. Ternyata aku tidak sedalam itu mengetahui hidupmu. Entah apa lagi yang harus aku sesalkan karena semua itu tidak akan membuat waktu berputar kembali sehingga kamu mungkin masih hidup dan bersamaku sekarang."Pertama kalinya, aku mengutarakan apa yang ada di dalam hatiku, penyesalan yang aku rasakan terhadap kematian Kania yang tidak aku sadari apa yang terjadi pada Kania sebelumnya."Selama ini aku sama sekali tidak melupakanmu. Aku melanjutkan hidup karena aku selalu mengingatmu. Aku bawa dendam kematianmu dengan menghancurkan hidup orang yang menjadi alasan kamu mengakhiri hidupmu."Sekejap aku me
"Hay, Kania. Perkenalkan aku Tiana, aku adalah istri Mas Anggara, cinta pertama kamu. Senang bisa tau cerita kamu dari suamiku sendiri. Semoga kamu bisa beristirahat tenang di sana. Sungguh, kamu jatuh cinta pada pria yang tepat. Aku merasa keberuntungan yang harusnya kamu miliki, kini menjadi milikku. Aku berharap kamu bahagia atas kebahagiaan aku dan Mas Anggara saat ini. Sekarang kami sudah mempunyai tiga anak, dua anak kembar dan bungsu yang masih bayi. Nanti jika mereka sudah besar, akan aku ceritakan bagaimana ayahnya mencintai kamu begitu hebat dan tulus. Terimakasih sudah menyemangati Mas Anggara disaat ia merasa ada dititik terendah dalam hidupnya, sehingga dia bisa sehebat sekarang ini. Aku akan mencintai Mas Anggara dan menjaga anak-anak kami selamanya."Aku mengutarakan isi hatiku disaat kami sudah menaburkan bunga dan berdoa untuk Kania. Tidak ada lagi rasanya cemburu, sedih atau bahkan sakit hati. Aku sudah benar-benar ikhlas dengan kenyataan dari cerita Mas Anggara.Tid
Bulan madu setelah memiliki anak, tadinya aku berpikir itu hanya buang-buang waktu dan bentuk keegoisan orang tua yang tega meninggalkan anak-anak hanya demi kesenangan berdua, padahal bulan madu berdua itu bisa digantikan dengan liburan bersama keluarga, sehingga anak-anak bisa ikut merasakan bahagia yang sama seperti orang tuanya. Namun ada hal yang aku sadari setelah aku merasakannya sendiri. Setelah menjadi seorang istri, prioritasku berpindah pada suami. Aku belajar memasak masakan yang disukai suami, mengingat makanan apa yang tidak ia sukai, menjaga bentuk badan agar suami tetap cinta, menjaga dan membersihkan rumah agar tetap bersih sehingga ketika suami pulang kerja dia bisa nyaman beristirahat, memastikan pakaian suami bersih ketika akan dipakai bekerja, memastikan dia makan sehat meskipun diluar rumah. Sampai kepentinganku sendiri tergeser dari prioritas yang tadinya selalu utama. Lalu, lahirlah sang buah hati. Bertambah pula yang harus diprioritaskan selain diri sendi
Pagi indah aku benar-benar menyarap suamiku sendiri. Bercinta dipagi hari ternyata lebih fresh, mungkin energi kita masih utuh karena belum melakukan aktivitas apa-apa. Ini adalah honeymoon kedua yang berhasil. Selain aku mendapatkan kenikmatanku kembali, aku mendapatkan ketenangan setelah berhati-hati menyimpan rasa kecewa karena sulit untuk menerima realita. Di villa itu, aku dan Mas Anggara seperti mengadakan pesta bercinta saja. Rasanya malu melihat kelakuan diri sendiri, seperti orang yang kehausan dan lama tidak mendapatkan air. Mungkin itu yang akan dikatakan oleh rahimku jika dia bisa berbicara. Mempunyai suami tapi aku malah kekeringan. Sering cemburuan, mudah marah, mudah tersinggung, ternyata sentuhan suami lah obatnya. Kesabaran suami yang menjadi vitamin tambahan. Untunglah dia tidak berpikiran untuk membayar jasa wanita diluar sana, yang bahkan pasti ada saja yang menjajakan diri dengan suka rela alias gratis. Aku malu sekali jika mengingat semua yang telah terjad
Bagaimana ada istri seperti aku sekarang ini. Rasanya aku tidak pandai bersyukur sekali, semua yang aku inginkan sudah aku dapatkan di pernikahan kedua ini, tetapi aku tidak memperhatikan suamiku sendiri. Padahal dialah sumber yang membuat aku bisa mendapatkan apa yang selama ini menjadi keinginanku.Mas Anggara tidak pernah menuntut apa-apa, selalu memberikan yang terbaik untukku dan tentu juga untuk anak-anak. Namun aku tidak memperhatikan kebutuhan biologisnya. Padahal itu bukan hal yang besar dan mahal untuk aku berikan karena pastinya aku juga akan merasakan kenikmatannya.Aku baru tersadar kenapa beberapa kali Mas Anggara menyarankan agar kami mencari pengasuh bayi, karena dia juga butuh perhatian dariku, dia butuh aku untuk mengurusnya. Aku saja yang kurang peka dan tidak pernah bertanya."Maafkan aku, Mas. Aku akan lebih memperhatikanmu disamping kesibukanku mengurus anak-anak. Dan sepertinya aku akan menerima tawaran untuk mencari pengasuh bayi saja. Aku tidak akan egois dan
"Tidak," jawabku sambil menggelengkan kepala. "Sepertinya ada satu hal yang baru aku sadari sekarang, Mas.""Apa itu?""Setelah memiliki anak, fokusku hanya pada mereka saja. Kamu tidak aku perhatikan bahkan aku mengabaikan diriku sendiri. Baru aku sadari ternyata kamu malah semakin tampan meskipun sudah mempunyai tiga anak, usia kamu beberapa tahun lagi akan memasuki kepala empat. Kamu masih sangat sehat, bugar, berkharisma seperti aktor-aktor Hollywood yang semakin matang usia malah semakin menarik mata."Mas Anggara tersenyum tipis. "Kamu memujiku terlalu berlebihan, Sayang. Tidak seperti itu. Biasa saja seperti lelaki pada umumnya."Aku menggelengkan kepala dengan tegas. "Beda! Kamu sangat berbeda. Aku tidak memuji kamu secara berlebihan tapi memang faktanya begitu. Aku hanya membicarakan apa adanya yang aku lihat.""Kalau memang begitu, kenapa kamu tampak sedih sekarang? Bukannya memiliki suami yang tampan itu akan membuat kamu bangga?""Yang ada aku malah insecure, Mas. Kalau ki
Senja perlahan bergantian dengan langit yang menggelap. Tidak ada lagi pemandangan yang bisa aku lihat dari atas sini kecuali perlahan digantikan dengan lampu-lampu kota yang satu persatu mulai dinyalakan. Aku hanya bisa menunggu karena waktu yang akan menjawab bagaimana selanjutnya. Apa yang bisa aku lakukan jika dia mengatakan sebuah janji selain aku menunggu dan merasakan sendiri bagaimana dia membuktikan itu semua. Sehingga tidak ada jawaban lain selain aku tetap bertahan untuk melihat janji yang dia ucapkan, bisa dia buktikan.Aku mencintai suamiku terlepas dari apapun masa lalunya, rahasianya juga alasan awal bagaimana dia mendekatiku hingga akhirnya sungguh menikahiku.Aku harus melapangkan dada, meluaskan rasa sabarku, melihat ke masa depan dan merasakan apa yang masa sekarang terjadi. Bukankah selama ini rumah tangga kami baik-baik saja?Itulah yang sudah seharusnya aku lakukan. Tidak ada manusia yang tanpa pernah melakukan sebuah kesalahan dimasa lalu. Semua manusia adalah
Mas Anggara selalu bisa memberikanku jawaban yang masuk diakal. Tidak mengada-ada seperti mencari pembenaran untuk dirinya, tetapi memang seolah faktanya seperti apa yang dia katakan."Coba bilang padaku, apa yang harus aku lakukan sekarang?"Aku menggelengkan kepala."Papa saja menyadari jika hubungan kita tidak baik-baik saja makanya dia menyuruh kita untuk menghabiskan waktu berdua tanpa anak-anak. Jangan sampai sepulang kita dari sini, kamu tetap menjaga jarak dariku. Kita ini suami istri.""Aku tau. Aku juga tidak mau seperti ini, Mas. Tidak ada seorang pun yang mau rumah tangganya diuji, kalau bisa itu juga. Tapi cerita kamu itu membuat hatiku sakit, kecewa. Jadi banyak sekali hal yang aku pikirkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi yang aku hubungkan dengan cerita kamu. Aku sudah punya trauma di pernikahanku dulu, dan aku masih tidak percaya kita begini jadinya. Apa ini karma untukku?"Tiba-tiba saja langsung terpikirkan hal itu dalam benakku. Memang sama sekali tidak