Setelah Yoga pulang, aku juga langsung kembali ke rumah. Niatku untuk mencari cemilan mengganjal perut rasanya sudah cukup membuatku kenyang hanya dengan mendengar cerita dari Yoga tentang Mbak Dyan.Salah? Jelas saja salah.Aku juga tidak pernah membenarkan apa yang aku lakukan dibelakang Mas Rendi, apalagi Mbak Dyan yang sampai mempunyai anak hingga anak itu diakui anak dari Mas Rendi padahal bukan.Meski sebenarnya aku jangan terlalu mudah untuk percaya dengan cerita Yoga, tetapi semuanya terlalu related dengan apa yang aku alami juga.Sekarang aku sudah memegang kartu AS yang bisa aku gunakan untuk menentukan pilihanku yang sudah jelas akan menguntungkan untukku. Hanya aku sendiri belum memikirkan benar-benar resiko yang pastinya ada disetiap pilihan yang akan aku pilih.Sebenarnya hati kecilku ini merasa kasihan pada Mas Rendi, dia dulu diselingkuhi oleh Mbak Dyan. Dia mempunyai anak yang ia tahu anak kandungnya padahal bukan. Dan sekarang aku juga bermain di belakangnya.Namun a
Untuk sejenak kami bertiga saling diam saat pertanyaan itu aku lontarkan. Pertanyaan yang sebenarnya bisa dengan mudah dibantah oleh Mbak Dyan, tetapi sekarang Mbak Dyan seolah membisu. Ia menatap lekat ke arahku. Seolah-olah dia sudah bisa menebak jika aku tahu akan sesuatu. Apalagi Mbak Dyan tahu jika tadi mantan suaminya menemuiku untuk bertanya keberadaannya."Tiana, omongan kamu kok ngelantur?" ucap Ibu dengan nada yang cukup tinggi seolah ia tengah pasang badan untuk Mbak Dyan. Ya, aku sendiri memang menyadari jika apa yang aku katakan akan terdengar tidak sopan dan hal itu pasti akan menyinggung perasaan Mbak Dyan. Namun pada kenyataannya Mbak Dyan malah terdiam. Padahal ia adalah orang yang gampang meledak emosinya sama seperti Ibu."Bu, udah. Aku nggak apa-apa, kok. Ibu masuk ke dalam aja duluan. Aku mau ngomong sebentar sama Tiana berdua."Ibu mengangguk, lalu ia masuk ke dalam rumah.Sekarang, hanya ada aku dan Mbak Dyan berdua di depan rumah. Suasana malam semakin dingin
"Ya, jawab aja. Itu bukan pertanyaan konyol, kok.""Mana ada seorang Ayah yang nggak sayang sama anaknya. Jelas Mas sayang sama Ryo.""Kalau misalkan Ryo ternyata bukan anak kandung Mas bagaimana?"Mas Rendi terdiam dan malah menatapku. "Kamu kenapa sih, Sayang? Sewaktu Mas tinggal ke luar kota, apa ada masalah di rumah? Kalau begitu kita bicarakan di rumah aja. Mas udah cape, Mas ingin rebahan.""Cuman nanya aja sih, Mas. Soalnya mantan suami Mbak Dyan yang namanya Yoga itu datang ke rumah nyari Mbak Dyan. Untungnya Mbak Dyan sama Ibu lagi nggak ada. Dan aku yang nemuin dia.""Apa?! Kok bisa dia tau Dyan tinggal di rumah Ibu? Ini bahaya buat Dyan sama Ryo. Mas takut dia berbuat kasar apalagi sama Ryo.""Aku mau tanya deh, Mas. Emang beneran Mbak Dyan sama mantan suaminya pisah itu karena kasus KDRT? Mas liat Mbak Dyan ada luka-luka ditubuhnya? Paling tidak saat pengajuan cerai, Mbak Dyan melakukan visum, kan?""Memang kamu gak percaya kalau Dyan nggak mengalami itu?""Bukan nggak per
"Apa aku harus cerita sekarang?""Ya, aku ingin mendengarnya sekarang, aku sudah lama tidak mendengar suaramu." Pak Anggara menyandarkan diri ke jok mobil dan membawa tubuhku masuk dalam pelukannya."Tidak banyak yang aku lakukan, hanya rutinitas biasa yang selalu aku lakukan saat aku belum kerja lagi. Hanya saja ada hal yang sebelumnya tidak aku lakukan, aku lakukan di libur panjangku.""Apa itu?""Aku pulang ke kampung halaman, untuk mengunjungi makam Ayah dan Ibu, aku merasa jadi anak yang durhaka karena tahun terakhir aku ke sana itu dua tahun yang lalu. Terus juga aku bisa berleha-leha dirumah walau cuma dua hari, tapi aku rasanya bebas sekali, tanpa memasak dua kali sehari, tanpa beres-beres rumah pula," ucapku menceritakan dengan perasaan senang. Seolah aku ingin membagikan kesenangan itu pada Pak Anggara juga."Kamu bahagia dengan itu?"Aku mengangguk. "Aku bahagia saat melakukan hal-hal sederhana. Terus bagaimana sama kamu? Apa aja yang kamu lakuin di US?""Mm, itu masih jad
Aku kaget bukan main saat Mbak Dyan bersuara. Dari kejauhan, aku sama sekali tidak menyadari jika Mbak Dyan tengah duduk di depan rumah. Seperti hantu saja rasanya."Mbak Dyan dari kapan di luar?" tanyaku yang langsung bersikap serius. Senyumku tadi langsung hilang dalam sekejap. Mbak Dyan benar-benar menghancurkan kesenanganku, kebahagiaanku bahkan rumah tanggaku."Kalau ditanya itu harusnya di jawab dulu, bukan balik nanya." "Habis cari makan. Kenapa?""Kan aku bilang aku sudah masak untuk kita semua. Kenapa kamu makan diluar, sih? Kenapa? Nggak mau makan masakan aku?"Aku mengerutkan keningku. Aku heran pada Mbak Dyan yang marah hanya karena hal itu saja. Rasanya seperti mustahil saja karena itu tidak mungkin. Bahkan tadinya aku merasa Mbak Dyan akan senang karena aku berlama-lama diluar, jadi membuat dia bisa berduaan dengan Mas Rendi tetapi nyatanya dia malah menungguku diluar? Sungguh diluar dugaan dan malah membuatku curiga ada sesuatu dibalik kebaikannya."Memang kenapa kalau
Terlihat sekali wajah panik Mbak Dyan yang tidak bisa ia sembunyikan. Namun aku suka sekali melihat ekspresi itu, aku senang jika Mbak Dyan merasa terintimidasi olehku yang sebenarnya sudah tahu hal yang ia sembunyikan. Hanya saja aku mengulur waktu untuk menyiksa perasaannya. Memang tidak cukup rasanya untuk membayar pengkhianatan yang mereka lakukan, tetapi jika aku harus hancur, mari kita hancur bersama-sama."Apa, Tiana?""Aku meminta bantuan Pak Anggara dalam kasus Mbak Dyan. Dia punya pengacara terbaik yang bisa membela Mbak Dyan. Mbak Dyan merasa terganggu dengan Yoga yang terus mendatangi Mbak Dyan, kan? Sekalian kasus kan saja dengan KDRT yang pernah dia lakukan. Mbak Dyan pasti punya bukti visum, kan?"Ah, karanganku bagus sekali, kan?Padahal waktu di dalam mobil aku melepaskan gairahku yang tertahan, perasaan sesak yang mendesak nafasku tak bisa lancar mensuplai oksigen. Segala kesedihan dan kekecewaan sudah aku lepaskan disaat yang bersamaan saat aku melepaskan seluruh p
"Ada main? Maksudnya aku selingkuh dengan bosku sendiri?" Aku langsung menatap Mas Rendi. "Mas lihatlah, istrimu dituduh berselingkuh dengan atasannya sendiri. Mas Rendi terima itu? Aku sama Pak Anggara sebatas profesional bekerja. Mas Rendi kenal aku orangnya bagaimana, kan? Lagian bukan sekali ini saja Pak Anggara mau membantuku. Aku dan Mas Rendi juga sudah mengenal dia sebelum aku bekerja jadi sekretarisnya. Iya kan, Mas? Kalau Mbak nggak tau apa-apa lebih baik diam!""Betul itu, Dyan. Tiana nggak mungkin kaya gitu. Aku kenal dia dan aku tau betul bagaimana sikapnya. Sekarang sudah larut malam. Lebih baik kita sudahi saja obrolan ini. Dan kamu Dyan, coba pikirkan lagi apa yang sudah disarankan oleh Tiana. Karena itu sama sekali tidak buruk. Apalagi demi keamanan anak kita. Itulah yang utama."Akhirnya, Mas Rendi sepenuhnya memihakku. Aku memang jangan terlalu diam ketika diinjak-injak, buktinya keberanianku ini membuat Mas Rendi percaya dan mau berpihak padaku.Esok harinya, Mbak
Apa yang aku lakukan tentu saja mengundang banyak pasang mata yang menatapku. Ah, bodoh sekali! Apa yang sudah aku lakukan. Tidak pernah aku melakukan hal spontan seperti sekarang ini."Itu, itu sekretarisnya Pak Anggara," ucap wanita ketiga dengan suara pelan tetapi masih bisa aku dengar karena cafeteria jadi hening karena ulahku sendiri."Astaga!""Beneran?"Tanpa berkata apa-apa, bahkan aku juga tidak menoleh ke belakang, tetapi aku langsung mengambil makananku karena aku sudah tidak bisa lagi memasukan makanan ke dalam mulutku. Padahal aku baru saja makan beberapa suap.Sepanjang jalan menuju ke mejaku kembali, pikirkanku kini terganggu dengan seorang wanita yang bernama Evelyn yang baru saja wisuda di US, dan dihadiri oleh Pak Anggara.Pantas saja memang, Pak Anggara mengatakan bahwa itu bukan perjalanan bisnis, melainkan urusan pribadinya. Hanya aku tidak menyangka jika itu menyangkut wanita lain yang katanya calon tunangannya. Padahal Pak Anggara selalu bilang tidak ada wanita