Aku kaget bukan main saat Mbak Dyan bersuara. Dari kejauhan, aku sama sekali tidak menyadari jika Mbak Dyan tengah duduk di depan rumah. Seperti hantu saja rasanya."Mbak Dyan dari kapan di luar?" tanyaku yang langsung bersikap serius. Senyumku tadi langsung hilang dalam sekejap. Mbak Dyan benar-benar menghancurkan kesenanganku, kebahagiaanku bahkan rumah tanggaku."Kalau ditanya itu harusnya di jawab dulu, bukan balik nanya." "Habis cari makan. Kenapa?""Kan aku bilang aku sudah masak untuk kita semua. Kenapa kamu makan diluar, sih? Kenapa? Nggak mau makan masakan aku?"Aku mengerutkan keningku. Aku heran pada Mbak Dyan yang marah hanya karena hal itu saja. Rasanya seperti mustahil saja karena itu tidak mungkin. Bahkan tadinya aku merasa Mbak Dyan akan senang karena aku berlama-lama diluar, jadi membuat dia bisa berduaan dengan Mas Rendi tetapi nyatanya dia malah menungguku diluar? Sungguh diluar dugaan dan malah membuatku curiga ada sesuatu dibalik kebaikannya."Memang kenapa kalau
Terlihat sekali wajah panik Mbak Dyan yang tidak bisa ia sembunyikan. Namun aku suka sekali melihat ekspresi itu, aku senang jika Mbak Dyan merasa terintimidasi olehku yang sebenarnya sudah tahu hal yang ia sembunyikan. Hanya saja aku mengulur waktu untuk menyiksa perasaannya. Memang tidak cukup rasanya untuk membayar pengkhianatan yang mereka lakukan, tetapi jika aku harus hancur, mari kita hancur bersama-sama."Apa, Tiana?""Aku meminta bantuan Pak Anggara dalam kasus Mbak Dyan. Dia punya pengacara terbaik yang bisa membela Mbak Dyan. Mbak Dyan merasa terganggu dengan Yoga yang terus mendatangi Mbak Dyan, kan? Sekalian kasus kan saja dengan KDRT yang pernah dia lakukan. Mbak Dyan pasti punya bukti visum, kan?"Ah, karanganku bagus sekali, kan?Padahal waktu di dalam mobil aku melepaskan gairahku yang tertahan, perasaan sesak yang mendesak nafasku tak bisa lancar mensuplai oksigen. Segala kesedihan dan kekecewaan sudah aku lepaskan disaat yang bersamaan saat aku melepaskan seluruh p
"Ada main? Maksudnya aku selingkuh dengan bosku sendiri?" Aku langsung menatap Mas Rendi. "Mas lihatlah, istrimu dituduh berselingkuh dengan atasannya sendiri. Mas Rendi terima itu? Aku sama Pak Anggara sebatas profesional bekerja. Mas Rendi kenal aku orangnya bagaimana, kan? Lagian bukan sekali ini saja Pak Anggara mau membantuku. Aku dan Mas Rendi juga sudah mengenal dia sebelum aku bekerja jadi sekretarisnya. Iya kan, Mas? Kalau Mbak nggak tau apa-apa lebih baik diam!""Betul itu, Dyan. Tiana nggak mungkin kaya gitu. Aku kenal dia dan aku tau betul bagaimana sikapnya. Sekarang sudah larut malam. Lebih baik kita sudahi saja obrolan ini. Dan kamu Dyan, coba pikirkan lagi apa yang sudah disarankan oleh Tiana. Karena itu sama sekali tidak buruk. Apalagi demi keamanan anak kita. Itulah yang utama."Akhirnya, Mas Rendi sepenuhnya memihakku. Aku memang jangan terlalu diam ketika diinjak-injak, buktinya keberanianku ini membuat Mas Rendi percaya dan mau berpihak padaku.Esok harinya, Mbak
Apa yang aku lakukan tentu saja mengundang banyak pasang mata yang menatapku. Ah, bodoh sekali! Apa yang sudah aku lakukan. Tidak pernah aku melakukan hal spontan seperti sekarang ini."Itu, itu sekretarisnya Pak Anggara," ucap wanita ketiga dengan suara pelan tetapi masih bisa aku dengar karena cafeteria jadi hening karena ulahku sendiri."Astaga!""Beneran?"Tanpa berkata apa-apa, bahkan aku juga tidak menoleh ke belakang, tetapi aku langsung mengambil makananku karena aku sudah tidak bisa lagi memasukan makanan ke dalam mulutku. Padahal aku baru saja makan beberapa suap.Sepanjang jalan menuju ke mejaku kembali, pikirkanku kini terganggu dengan seorang wanita yang bernama Evelyn yang baru saja wisuda di US, dan dihadiri oleh Pak Anggara.Pantas saja memang, Pak Anggara mengatakan bahwa itu bukan perjalanan bisnis, melainkan urusan pribadinya. Hanya aku tidak menyangka jika itu menyangkut wanita lain yang katanya calon tunangannya. Padahal Pak Anggara selalu bilang tidak ada wanita
"Dari yang kamu ceritakan, saya sangat paham. Sekarang, apa yang ingin kamu lakukan, saya akan dukung penuh asalkan saya bisa membawa Ryo bersama saya."Aku mengangguk. "Semoga rencana kita berhasil. Aku akan terus menghubungi kamu nantinya.""Baik, saya akan menunggu langkah selanjutnya. Sekarang aku cukup banyak waktu luang karena aku memilih untuk menjadi Freelancer untuk saat ini, karena itu peluang yang ada di depan mata, sambil mencari pekerjaan tetap yang lain. Bagaimana dengan kamu? Bukannya kamu bilang, kamu sangat bergantung pada suami kamu itu, jika kamu pisah dengannya bagaimana?"Aku berpikir sejenak. Awalnya sudah aku pikirkan matang-matang karena hubunganku dengan Pak Anggara kian dekat, sehingga aku begitu percaya diri jika lepas dari Mas Rendi, aku bisa bersama dengannya. Mengingat perjuangan dia untukku tidak main-main. Memberikan perhatian, kasih sayang, uang bahkan juga permainan di atas ranjang, berkali-kali juga Pak Anggara membahas agar aku meninggalkan Mas Rend
"Bu, aku juga perempuan. Harusnya Ibu juga pikirkan perasaan aku. Coba Ibu bayangkan jika Ibu ada di posisi aku, apa Ibu rela berbagi suami dengan wanita lain?" Aku langsung menoleh pada Mas Rendi. "Mas, kamu nggak setuju, kan?""Mas juga awalnya keberatan ---""Awalnya? Terus memangnya sekarang udah nggak keberatan lagi? Mas setuju menikahi Mbak Dyan?""Mungkin ini yang terbaik, Tiana. Mas mau menjaga Ryo, tetapi kalau hanya Ryo yang tinggal di sini, dia juga pasti gak mau kalau tanpa Dyan. Kamu tau sendiri, dia sulit akrab sama kamu."Aku menggelengkan kepalaku. Tidak aku sangka Mbak Dyan meminta hal itu. Aku pikir Mbak Dyan akan menunggu sampai kami berpisah agar menjadi satu-satunya, tetapi dia malah rela menjadi yang kedua.Ah, ya. Mbak Dyan mau jadi yang kedua karena dia tahu dia pasti yang akan diutamakan dibandingkan dengan aku yang menjadi istri pertama. Mbak Dyan benar-benar licik. Ingin aku ungkapkan sekarang jika anak yang dilahirkan Mbak Dyan itu bukan anak Mas Rendi, tet
"Belum aku pikirkan aku akan tinggal di mana. Tetapi yang jelas, aku tidak ingin mengontrak rumah," ucapku dengan kata lain ingin dibelikan rumah oleh Mas Rendi. Tentu saja atas namaku sendiri. Seseorang yang bermain licik denganku, bukankah aku juga harus melakukan hal itu agar permainan bisa dianggap adil."Maksudnya kamu minta rumah sama Rendi?!"Aku tersenyum tipis. Ternyata aku cukup merindukan nada-nada tinggi saat Ibu Mertuaku emosi. Sakit atau tidak memang tidak mempengaruhi kualitas emosi Ibu yang tidak pernah bisa berbicara baik-baik denganku."Ya itu juga kan untuk tempat tinggal Mas Rendi sama aku. Dulu juga kita punya rumah sebelum di jual untuk biaya rumah sakit Ibu. Dan rumah itu dibeli dengan uang pesangon aku juga saat resign dari kerjaan. Gak apa-apa kan Mas kalau aku minta rumah, Mas kan juga udah janji kita bakalan beli rumah lagi.""Uang Mas belum cukup untuk beli rumah.""Kalau begitu, masalah rumah kita bicarakan berdua saja nanti. Yang jelas aku mengizinkan kal
Dari mobilnya saja aku sudah tahu itu siapa. Siapa lagi kalau bukan Pak Anggara. Entah kenapa, tiba-tiba aku malas untuk bertemu dengannya. Namun lagi-lagi aku tersadar jika aku memang bukan siapa-siapa dan tidak berhak untuk menanyakan dan meminta penjelasan tentang siapa wanita bernama Evelyn itu. Apalagi sekarang aku sudah bekerja sama dengan Yoga, dan Mbak Dyan sudah menentukan pilihannya sendiri tanpa memilih dan mempertimbangkan pilihan dariku. Sehingga mungkin saja aku sudah tidak akan membutuhkan bantuan dari Pak Anggara lagi.Mungkin seperti inilah akhir dari kisah diam-diam antara aku dengan dia yang tidak akan aku perpanjang lagi. Aku akan mencoba untuk seprofesional mungkin karena aku masih butuh pekerjaan aku yang sekarang ini. Paling tidak sampai aku tahu akan seperti apa ke depannya karena tidak akan selamanya aku menjadi sekretaris."Kenapa malah melamun? Ayo masuk!" ucap Pak Anggara menyadarkan lamunanku padahal dari tadi kaca mobil diturunkan."Saya berangkat sendir