Esok harinya, pagi-pagi sekali aku membatu Bi Rini membereskan rumah, sementara ia menyiapkan sarapan sebelum kami berangkat ke pemakaman.Inilah yang aku maksudkan, hidup bersama, berbagi tugas rumah untuk dikerjakan bersama-sama. Bukan hanya sekedar tinggal bersama yang semua hal aku kerjakan sendiri saja, melayani semua orang yang tinggal di rumah. Bukan begitu, bahkan aku tidak mendapatkan gaji untuk semua yang aku kerjakan sendiri itu."Bi, Samsi itu yang anak juragan tanah di kampung sini, kan? Bukannya dia dari kecil sudah pindah ke kota? Kenapa sekarang tiba-tiba jadi rentenir?" tanyaku pada Bi Rini saat kami sedang sarapan.Aku berhasil mengingat pria bernama Samsi itu yang dulu sempat menjadi teman masa kecilku walau tidak berlangsung lama karena Samsi bersekolah di kota sejak SD."Ibunya sakit-sakitan sudah kira-kira 6 tahun yang lalu. Ayahnya menikah lagi sama kembang desa sebelah, seumuran dengan Samsi. Terus Ibunya meninggal 3 tahun yang lalu. Dan tak lama setelah Ibunya
"Iya, saya kenal.""Kamu makin cantik saja, Tiana. Kamu sudah menikah? Terakhir kali kita ketemu pas kita mau sekolah, kan? Aku pindah ke kota."Dengan tanpa wajah bersalah Samsi memujiku padahal di sebelahnya duduk istrinya yang mempunyai julukan sebagai kembang desa. Meskipun itu bisa aku anggap sebagai basa-basi, tetapi rasanya tidak pantas diucapkan di depan pasangan sendiri disaat sedang memuji orang lain apalagi lawan jenis. Terkadang lebih baik tidak beramah tamah dengan orang lain, jika itu hanya akan menyakiti pasangan sendiri.But, we never know. Setiap orang berbeda-beda, beda isi kepala tentu beda juga dengan pemikirannya. Hanya saja aku tetap menyayangkan itu sebab aku sendiri pernah mengalaminya. Semoga istri Samsi tidak sesensitif aku."Iya, betul. Saya sudah menikah dan menetap di Ibukota. Saya pulang untuk mengunjungi Bibi dan berkunjung ke makam Ayah dan Ibu.""Sayang sekali kamu sudah menikah.""Kalau begitu kami permisi. Terimakasih banyak."Aku segera mengakhiri o
"Perceraian itu bukan takdir, tetapi sebuah pilihan yang menentukan masa depan kamu nantinya. Ibaratnya sekarang kamu sedang berada di persimpangan jalan, ada dua jalan dihadapan kamu. Bertahan atau berpisah. Kamu harus memilih salah satu karena tidak bisa berbalik arah. Setiap jalan tentu ada resiko yang harus kamu terima, itu adalah pertanggungjawaban atas pilihan yang kamu ambil."Aku hanya diam dan menyimak. Pandangan dari Bibi benar-benar masuk di logikaku yang akhir-akhir ini memang sering terpikirkan untuk berpisah, tetapi aku bertahan hanya untuk mencari waktu yang tepat. Dan aku hanya ingin memastikan bahwa aku akan baik-baik saja di berpisah nanti, bukan malah sebaliknya yang akhirnya memberikan aku sebuah penyesalan. Sedangkan nantinya akan ada pihak yang merasa senang atas penderitaanku yang meratapi penyesalan dari perpisahan yang aku inginkan."Andai kalau aku tidak menikah dengan Mas Rendi, mungkin aku tidak akan mengalami hal yang sekarang aku alami kan, Bi?""Jangan
Aku tidak salah dengar, kan?Ah, mungkin saja Yoga ini sudah menganggap Ryo sebagai anaknya sendiri. Jadi, dia merasa rindu dan ingin bertemu. Sementara Mbak Dyan tidak mengizinkannya. Lagipula Yoga juga bukan Ayah kandung Ryo.Tapi tunggu, Mbak Dyan meninggalkan Yoga karena di PHK? Bukannya karena kasus KDRT? Jadi, mana yang benar?"Maaf, Mas Yoga. Saya tidak salah dengar, kan? Kalian berpisah karena Mas Yoga di PHK? Tapi yang saya tau, Mbak Dyan menerima KDRT. Jadi, mana yang harus saya percaya?""Sudah saya duga, Dyan pasti beralasan seperti itu. Saya kalau marah memang suka dengan nada tinggi, tapi saya bukan orang yang ringan tangan. Jadi mungkin Dyan alasan begitu. Padahal ekonomi kami memang tengah goyah, saya pikir Dyan akan bersabar tapi dia malah menggugat cerai dan kembali pada mantan suaminya."Dengan sengaja, aku memang tidak mengungkapkan siapa diriku. Aku hanya ingin mendengarkan dulu apa yang dikatakan oleh Yoga tentang Mbak Dyan dan rumah tangga mereka."Mas Yoga tau
Setelah Yoga pulang, aku juga langsung kembali ke rumah. Niatku untuk mencari cemilan mengganjal perut rasanya sudah cukup membuatku kenyang hanya dengan mendengar cerita dari Yoga tentang Mbak Dyan.Salah? Jelas saja salah.Aku juga tidak pernah membenarkan apa yang aku lakukan dibelakang Mas Rendi, apalagi Mbak Dyan yang sampai mempunyai anak hingga anak itu diakui anak dari Mas Rendi padahal bukan.Meski sebenarnya aku jangan terlalu mudah untuk percaya dengan cerita Yoga, tetapi semuanya terlalu related dengan apa yang aku alami juga.Sekarang aku sudah memegang kartu AS yang bisa aku gunakan untuk menentukan pilihanku yang sudah jelas akan menguntungkan untukku. Hanya aku sendiri belum memikirkan benar-benar resiko yang pastinya ada disetiap pilihan yang akan aku pilih.Sebenarnya hati kecilku ini merasa kasihan pada Mas Rendi, dia dulu diselingkuhi oleh Mbak Dyan. Dia mempunyai anak yang ia tahu anak kandungnya padahal bukan. Dan sekarang aku juga bermain di belakangnya.Namun a
Untuk sejenak kami bertiga saling diam saat pertanyaan itu aku lontarkan. Pertanyaan yang sebenarnya bisa dengan mudah dibantah oleh Mbak Dyan, tetapi sekarang Mbak Dyan seolah membisu. Ia menatap lekat ke arahku. Seolah-olah dia sudah bisa menebak jika aku tahu akan sesuatu. Apalagi Mbak Dyan tahu jika tadi mantan suaminya menemuiku untuk bertanya keberadaannya."Tiana, omongan kamu kok ngelantur?" ucap Ibu dengan nada yang cukup tinggi seolah ia tengah pasang badan untuk Mbak Dyan. Ya, aku sendiri memang menyadari jika apa yang aku katakan akan terdengar tidak sopan dan hal itu pasti akan menyinggung perasaan Mbak Dyan. Namun pada kenyataannya Mbak Dyan malah terdiam. Padahal ia adalah orang yang gampang meledak emosinya sama seperti Ibu."Bu, udah. Aku nggak apa-apa, kok. Ibu masuk ke dalam aja duluan. Aku mau ngomong sebentar sama Tiana berdua."Ibu mengangguk, lalu ia masuk ke dalam rumah.Sekarang, hanya ada aku dan Mbak Dyan berdua di depan rumah. Suasana malam semakin dingin
"Ya, jawab aja. Itu bukan pertanyaan konyol, kok.""Mana ada seorang Ayah yang nggak sayang sama anaknya. Jelas Mas sayang sama Ryo.""Kalau misalkan Ryo ternyata bukan anak kandung Mas bagaimana?"Mas Rendi terdiam dan malah menatapku. "Kamu kenapa sih, Sayang? Sewaktu Mas tinggal ke luar kota, apa ada masalah di rumah? Kalau begitu kita bicarakan di rumah aja. Mas udah cape, Mas ingin rebahan.""Cuman nanya aja sih, Mas. Soalnya mantan suami Mbak Dyan yang namanya Yoga itu datang ke rumah nyari Mbak Dyan. Untungnya Mbak Dyan sama Ibu lagi nggak ada. Dan aku yang nemuin dia.""Apa?! Kok bisa dia tau Dyan tinggal di rumah Ibu? Ini bahaya buat Dyan sama Ryo. Mas takut dia berbuat kasar apalagi sama Ryo.""Aku mau tanya deh, Mas. Emang beneran Mbak Dyan sama mantan suaminya pisah itu karena kasus KDRT? Mas liat Mbak Dyan ada luka-luka ditubuhnya? Paling tidak saat pengajuan cerai, Mbak Dyan melakukan visum, kan?""Memang kamu gak percaya kalau Dyan nggak mengalami itu?""Bukan nggak per
"Apa aku harus cerita sekarang?""Ya, aku ingin mendengarnya sekarang, aku sudah lama tidak mendengar suaramu." Pak Anggara menyandarkan diri ke jok mobil dan membawa tubuhku masuk dalam pelukannya."Tidak banyak yang aku lakukan, hanya rutinitas biasa yang selalu aku lakukan saat aku belum kerja lagi. Hanya saja ada hal yang sebelumnya tidak aku lakukan, aku lakukan di libur panjangku.""Apa itu?""Aku pulang ke kampung halaman, untuk mengunjungi makam Ayah dan Ibu, aku merasa jadi anak yang durhaka karena tahun terakhir aku ke sana itu dua tahun yang lalu. Terus juga aku bisa berleha-leha dirumah walau cuma dua hari, tapi aku rasanya bebas sekali, tanpa memasak dua kali sehari, tanpa beres-beres rumah pula," ucapku menceritakan dengan perasaan senang. Seolah aku ingin membagikan kesenangan itu pada Pak Anggara juga."Kamu bahagia dengan itu?"Aku mengangguk. "Aku bahagia saat melakukan hal-hal sederhana. Terus bagaimana sama kamu? Apa aja yang kamu lakuin di US?""Mm, itu masih jad