Namun ternyata bertambahnya skill yang aku punya justru malah membuat Mas Rendi bertambah cepat mencapai puncaknya, padahal aku baru saja melakukan pemanasan.Dan jika itu sudah terjadi, maka berakhir pula permainan kami. Ya, seperti itulah memang biasanya. Tidak pernah lama dan tidak pernah lebih dari satu kali saja."Sudah, Sayang. Mas mau tidur lagi. Ini juga hari Sabtu. Kamu bangunkan Mas jam 7 saja."Mas Rendi menarik selimutnya dan kembali tidur, apalagi setelah bermain denganku, ia pasti akan tertidur dengan cepat meski aku yang paling lelah.Aku kembali memakai bajuku satu persatu, ingin rasanya kembali merebahkan diri, tetapi aku melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah 6 pagi. Sudah saatnya aku untuk segera keluar dari kamar dan menyiapkan sarapan.Ternyata Mbak Dyan dan Ryo sudah tidak ada di depan televisi tetapi bekas mereka tidur semalam belum dibereskan. Aku juga melihat kamar Ibu sudah terbuka dan dia juga tidak ada di dalam.'Mereka bertiga kayanya jala
"Mas?! Kok kamu nggak nungguin aku? Kan aku udah bilang kita sarapan bareng. Kenapa malah sama Mbak Dyan?" ucapku yang tidak baik-baik saja melihat Mas Rendi sarapan bersama Mbak Dyan berdua di meja makan."Mas lapar, Sayang. Semalam nggak sempat makan juga. Kamu juga mandinya lama, jadi Mas duluan aja," jawab Mas Rendi yang sudah hampir menghabiskan semua makanan yang ada di piringnya."Aku juga kebetulan udah selesai nyuapin Ryo, makanya langsung makan juga. Masakan kamu enak, Tiana. Lebih enak dari Abang nasgor yang suka jualan di pinggir jalan," ucap Mbak Dyan yang entah memujiku atau malah tengah mengejekku."Terserah deh, Mas."Aku berlalu untuk masuk ke dalam kamar."Ya ampun, Tiana. Masalah kaya gitu aja dibesar-besarkan. Memang kamu nggak bisa makan sendiri? Masa suami udah lapar harus nunggu kamu selesai mandi dulu? Makin lama tingkah kamu makin diluar nalar. Jangan hanya karena sekarang kamu udah bisa cari uang sendiri, jadi kamu makin seenaknya sama suami," ujar Ibu Mertua
"Maaf banget ya, Tiana. Soalnya Ryo masih mau makan. Jadi telurnya dihabiskan terus nasi gorengnya jadi tinggal sisa sedikit. Kamu bisa kan masak lagi?" tanya Mbak Dyan dengan memasang wajah yang tidak bersalah. Seolah meminta maaf tetapi ekspresinya tidak menunjukan rasa penyesalan sama sekali."Lain kali jangan begitu, Mbak. Aku masak dicukupkan bahkan sudah aku lebihkan untuk lima orang yang ada di rumah ini. Kalau Ryo masih lapar, harusnya Mbak masak lagi. Mbak udah tau aku belum makan," jawabku yang tidak ingin mewajarkan dan memaafkan apa yang sudah dilakukan oleh Mbak Dyan dengan tanpa rasa bersalah.Sekaligus aku juga ingin menunjukan padanya jika aku bukan wanita yang lemah. Bukan wanita yang tidak bisa mengatakan ketidaksukaannya. Aku ingin membuat diriku tidak terlihat lemah agar tidak seenaknya bisa diinjak."Ya elah, Tiana. Namanya juga anak-anak. Wajar Ryo masih mau makan, dia masih dalam masa pertumbuhan. Kamu nggak bakal ngerasain karena kamu belum punya anak.""Justru
Tubuhku terasa membeku saat langkah kakiku terhenti secara otomatis. Perlahan aku tempelkan telingaku pada pintu kamar dengan niat ingin mendengar lebih jelas lagi.Ya, memang tidak salah lagi!Aku mendengar suara napas yang memburu, seperti orang yang terengah-engah ketika berolahraga. Tepatnya berolahraga malam. Apalagi kalau bukan aktivitas seksual.Umurku sudah 28 tahun, tidak mungkin jika aku tidak tahu suara apa yang sedang aku dengar sekarang ini. Bahkan aku sudah menggigit lidahku sendiri hanya untuk memastikan jika aku tidak sedang bermimpi dalam tidurku.Tubuhku seketika saja terasa gemetar. Kalau bukan Mas Rendi dan Mbak Dyan, lalu siapa lagi? Karena sudah pasti mereka berdua.Aku masih mencoba menyangkal. Sehingga kini aku mengambil kursi meja riasku, aku akan melihat dan memastikan langsung lewat celah ventilasi pintu kamar.Perlahan aku naik, memastikan aku benar-benar melihat dengan jelas apa yang terjadi diluar kamar.Dan ....Boom!!!Benar saja, aku melihat Mbak Dyan
"Ya, maaf, Mas. Aku kesiangan. Soalnya aku kan nggak kerja lagi libur. Perasaan ini masih weekend aja," jawabku dengan tenang sembari mengulur waktu agar Mas Rendi tetap merasa panik."Kamu nggak biasanya loh kesiangan kaya gini. Mau kerja atau nggak kan kamu selalu bangun sebelum jam 5. Padahal kamu kemarin ikut aku packing barang, kenapa kamu lupa Mas mau keluar kota?"Mas Rendi masih panik dan masih tidak terima jika aku bangun terlambat sampai tidak bisa membangunkan dirinya untuk bersiap berangkat. Bahkan aku juga dengan sengaja tidak membuatkan sarapan, baik untuk Mas Rendi atau pun buat semua yang ada di rumah ini termasuk diriku sendiri. Aku mempunyai uang sendiri yang bisa aku gunakan untuk mencari makan yang enak diluar tanpa harus memikirkan orang rumah makan dengan apa."Ya aku juga manusia, Mas. Masa nggak boleh kesiangan sih? Lagian Mas semalam tidur jam berapa memangnya? Kok bisa keliatan masih ngantuk kaya kurang tidur gitu? Jam berapa Mas masuk ke kamar?" tanyaku hany
Mbak Dyan terlihat diam sejenak, tampak wajah gugup yang tidak bisa ia disembunyikan dengan sempurna.Ah, payah sekali!Aku pikir Mbak Dyan akan menantangku dengan biasanya yang memang selalu berani. Namun ternyata ia malah menyembunyikan itu. Ternyata memang benar, hubungan Mas Rendi dan Mbak Dyan di belakangku itu benar-benar tidak boleh sampai aku tahu. Mereka tidak ingin disalahkan, mereka tidak ingin aku menjadi korban di sini.Sayangnya Mas Rendi dan Mbak Dyan tidak bisa bermain cantik. Firasatku yang belum ada bukti kuat, sudah terjawab dengan apa yang aku lihat semalam."Ya kalau bukan buat duduk, apa lagi? Ya itulah gunanya sofa," jawab Mbak Dyan sambil memalingkan wajahnya."Oh, soalnya aku kepikiran aja buat bikin adek untuk Ryo di kursi ini," ucapku sambil tertawa kecil. "Fantasi aku cukup liar sih, Mbak. Tapi sayangnya karena aku dan Mas Rendi tinggal lagi sama Ibu, jadinya aku nggak enak kalau bercumbu di ruang tamu. Takutnya yang punya rumah liat, kan nggak enak. Udah nu
"Tiana! Sopan kah kamu bicara seperti itu sama Ibu? Meskipun hanya Ibu mertua, tapi tetap menjadi orang tua kamu sendiri. Tega banget, ya!" ucap Mbak Dyan yang aku tahu niatnya ingin membela Ibu.Andai saja dulu saat pertama kali bertemu lagi dengan Mbak Dyan, aku rekam ucapannya yang bilang bahwa Ibu memang seriang mencampuri urusan rumah tangga, akan aku buat dia malu karena tidak hanya mempunyai satu muka. Sudah semakin jelas terlihat saja niatnya."Menurut Mbak Dyan, aku kurang sopan? Maaf kalau begitu. Aku memang tidak pernah merasa benar. Hal sekecil apa pun akan tetap bernilai salah. Aku permisi ke kamar. Selamat malam," ucapku langsung masuk ke dalam kamar.Sebenarnya aku belum puas jika hanya seperti itu saja. Rasanya belum aku keluarkan semua yang selama ini hanya bisa aku pendam sendiri saja selama menikah dengan Mas Rendi.Mungkin memang benar rasanya, wanita mempunyai uang sendiri saat berumah tangga itu memang harus. Suami hanyalah titipan dari Tuhan, jika bukan diambil
Esok harinya, pagi-pagi sekali aku membatu Bi Rini membereskan rumah, sementara ia menyiapkan sarapan sebelum kami berangkat ke pemakaman.Inilah yang aku maksudkan, hidup bersama, berbagi tugas rumah untuk dikerjakan bersama-sama. Bukan hanya sekedar tinggal bersama yang semua hal aku kerjakan sendiri saja, melayani semua orang yang tinggal di rumah. Bukan begitu, bahkan aku tidak mendapatkan gaji untuk semua yang aku kerjakan sendiri itu."Bi, Samsi itu yang anak juragan tanah di kampung sini, kan? Bukannya dia dari kecil sudah pindah ke kota? Kenapa sekarang tiba-tiba jadi rentenir?" tanyaku pada Bi Rini saat kami sedang sarapan.Aku berhasil mengingat pria bernama Samsi itu yang dulu sempat menjadi teman masa kecilku walau tidak berlangsung lama karena Samsi bersekolah di kota sejak SD."Ibunya sakit-sakitan sudah kira-kira 6 tahun yang lalu. Ayahnya menikah lagi sama kembang desa sebelah, seumuran dengan Samsi. Terus Ibunya meninggal 3 tahun yang lalu. Dan tak lama setelah Ibunya