"Maaf banget ya, Tiana. Soalnya Ryo masih mau makan. Jadi telurnya dihabiskan terus nasi gorengnya jadi tinggal sisa sedikit. Kamu bisa kan masak lagi?" tanya Mbak Dyan dengan memasang wajah yang tidak bersalah. Seolah meminta maaf tetapi ekspresinya tidak menunjukan rasa penyesalan sama sekali."Lain kali jangan begitu, Mbak. Aku masak dicukupkan bahkan sudah aku lebihkan untuk lima orang yang ada di rumah ini. Kalau Ryo masih lapar, harusnya Mbak masak lagi. Mbak udah tau aku belum makan," jawabku yang tidak ingin mewajarkan dan memaafkan apa yang sudah dilakukan oleh Mbak Dyan dengan tanpa rasa bersalah.Sekaligus aku juga ingin menunjukan padanya jika aku bukan wanita yang lemah. Bukan wanita yang tidak bisa mengatakan ketidaksukaannya. Aku ingin membuat diriku tidak terlihat lemah agar tidak seenaknya bisa diinjak."Ya elah, Tiana. Namanya juga anak-anak. Wajar Ryo masih mau makan, dia masih dalam masa pertumbuhan. Kamu nggak bakal ngerasain karena kamu belum punya anak.""Justru
Tubuhku terasa membeku saat langkah kakiku terhenti secara otomatis. Perlahan aku tempelkan telingaku pada pintu kamar dengan niat ingin mendengar lebih jelas lagi.Ya, memang tidak salah lagi!Aku mendengar suara napas yang memburu, seperti orang yang terengah-engah ketika berolahraga. Tepatnya berolahraga malam. Apalagi kalau bukan aktivitas seksual.Umurku sudah 28 tahun, tidak mungkin jika aku tidak tahu suara apa yang sedang aku dengar sekarang ini. Bahkan aku sudah menggigit lidahku sendiri hanya untuk memastikan jika aku tidak sedang bermimpi dalam tidurku.Tubuhku seketika saja terasa gemetar. Kalau bukan Mas Rendi dan Mbak Dyan, lalu siapa lagi? Karena sudah pasti mereka berdua.Aku masih mencoba menyangkal. Sehingga kini aku mengambil kursi meja riasku, aku akan melihat dan memastikan langsung lewat celah ventilasi pintu kamar.Perlahan aku naik, memastikan aku benar-benar melihat dengan jelas apa yang terjadi diluar kamar.Dan ....Boom!!!Benar saja, aku melihat Mbak Dyan
"Ya, maaf, Mas. Aku kesiangan. Soalnya aku kan nggak kerja lagi libur. Perasaan ini masih weekend aja," jawabku dengan tenang sembari mengulur waktu agar Mas Rendi tetap merasa panik."Kamu nggak biasanya loh kesiangan kaya gini. Mau kerja atau nggak kan kamu selalu bangun sebelum jam 5. Padahal kamu kemarin ikut aku packing barang, kenapa kamu lupa Mas mau keluar kota?"Mas Rendi masih panik dan masih tidak terima jika aku bangun terlambat sampai tidak bisa membangunkan dirinya untuk bersiap berangkat. Bahkan aku juga dengan sengaja tidak membuatkan sarapan, baik untuk Mas Rendi atau pun buat semua yang ada di rumah ini termasuk diriku sendiri. Aku mempunyai uang sendiri yang bisa aku gunakan untuk mencari makan yang enak diluar tanpa harus memikirkan orang rumah makan dengan apa."Ya aku juga manusia, Mas. Masa nggak boleh kesiangan sih? Lagian Mas semalam tidur jam berapa memangnya? Kok bisa keliatan masih ngantuk kaya kurang tidur gitu? Jam berapa Mas masuk ke kamar?" tanyaku hany
Mbak Dyan terlihat diam sejenak, tampak wajah gugup yang tidak bisa ia disembunyikan dengan sempurna.Ah, payah sekali!Aku pikir Mbak Dyan akan menantangku dengan biasanya yang memang selalu berani. Namun ternyata ia malah menyembunyikan itu. Ternyata memang benar, hubungan Mas Rendi dan Mbak Dyan di belakangku itu benar-benar tidak boleh sampai aku tahu. Mereka tidak ingin disalahkan, mereka tidak ingin aku menjadi korban di sini.Sayangnya Mas Rendi dan Mbak Dyan tidak bisa bermain cantik. Firasatku yang belum ada bukti kuat, sudah terjawab dengan apa yang aku lihat semalam."Ya kalau bukan buat duduk, apa lagi? Ya itulah gunanya sofa," jawab Mbak Dyan sambil memalingkan wajahnya."Oh, soalnya aku kepikiran aja buat bikin adek untuk Ryo di kursi ini," ucapku sambil tertawa kecil. "Fantasi aku cukup liar sih, Mbak. Tapi sayangnya karena aku dan Mas Rendi tinggal lagi sama Ibu, jadinya aku nggak enak kalau bercumbu di ruang tamu. Takutnya yang punya rumah liat, kan nggak enak. Udah nu
"Tiana! Sopan kah kamu bicara seperti itu sama Ibu? Meskipun hanya Ibu mertua, tapi tetap menjadi orang tua kamu sendiri. Tega banget, ya!" ucap Mbak Dyan yang aku tahu niatnya ingin membela Ibu.Andai saja dulu saat pertama kali bertemu lagi dengan Mbak Dyan, aku rekam ucapannya yang bilang bahwa Ibu memang seriang mencampuri urusan rumah tangga, akan aku buat dia malu karena tidak hanya mempunyai satu muka. Sudah semakin jelas terlihat saja niatnya."Menurut Mbak Dyan, aku kurang sopan? Maaf kalau begitu. Aku memang tidak pernah merasa benar. Hal sekecil apa pun akan tetap bernilai salah. Aku permisi ke kamar. Selamat malam," ucapku langsung masuk ke dalam kamar.Sebenarnya aku belum puas jika hanya seperti itu saja. Rasanya belum aku keluarkan semua yang selama ini hanya bisa aku pendam sendiri saja selama menikah dengan Mas Rendi.Mungkin memang benar rasanya, wanita mempunyai uang sendiri saat berumah tangga itu memang harus. Suami hanyalah titipan dari Tuhan, jika bukan diambil
Esok harinya, pagi-pagi sekali aku membatu Bi Rini membereskan rumah, sementara ia menyiapkan sarapan sebelum kami berangkat ke pemakaman.Inilah yang aku maksudkan, hidup bersama, berbagi tugas rumah untuk dikerjakan bersama-sama. Bukan hanya sekedar tinggal bersama yang semua hal aku kerjakan sendiri saja, melayani semua orang yang tinggal di rumah. Bukan begitu, bahkan aku tidak mendapatkan gaji untuk semua yang aku kerjakan sendiri itu."Bi, Samsi itu yang anak juragan tanah di kampung sini, kan? Bukannya dia dari kecil sudah pindah ke kota? Kenapa sekarang tiba-tiba jadi rentenir?" tanyaku pada Bi Rini saat kami sedang sarapan.Aku berhasil mengingat pria bernama Samsi itu yang dulu sempat menjadi teman masa kecilku walau tidak berlangsung lama karena Samsi bersekolah di kota sejak SD."Ibunya sakit-sakitan sudah kira-kira 6 tahun yang lalu. Ayahnya menikah lagi sama kembang desa sebelah, seumuran dengan Samsi. Terus Ibunya meninggal 3 tahun yang lalu. Dan tak lama setelah Ibunya
"Iya, saya kenal.""Kamu makin cantik saja, Tiana. Kamu sudah menikah? Terakhir kali kita ketemu pas kita mau sekolah, kan? Aku pindah ke kota."Dengan tanpa wajah bersalah Samsi memujiku padahal di sebelahnya duduk istrinya yang mempunyai julukan sebagai kembang desa. Meskipun itu bisa aku anggap sebagai basa-basi, tetapi rasanya tidak pantas diucapkan di depan pasangan sendiri disaat sedang memuji orang lain apalagi lawan jenis. Terkadang lebih baik tidak beramah tamah dengan orang lain, jika itu hanya akan menyakiti pasangan sendiri.But, we never know. Setiap orang berbeda-beda, beda isi kepala tentu beda juga dengan pemikirannya. Hanya saja aku tetap menyayangkan itu sebab aku sendiri pernah mengalaminya. Semoga istri Samsi tidak sesensitif aku."Iya, betul. Saya sudah menikah dan menetap di Ibukota. Saya pulang untuk mengunjungi Bibi dan berkunjung ke makam Ayah dan Ibu.""Sayang sekali kamu sudah menikah.""Kalau begitu kami permisi. Terimakasih banyak."Aku segera mengakhiri o
"Perceraian itu bukan takdir, tetapi sebuah pilihan yang menentukan masa depan kamu nantinya. Ibaratnya sekarang kamu sedang berada di persimpangan jalan, ada dua jalan dihadapan kamu. Bertahan atau berpisah. Kamu harus memilih salah satu karena tidak bisa berbalik arah. Setiap jalan tentu ada resiko yang harus kamu terima, itu adalah pertanggungjawaban atas pilihan yang kamu ambil."Aku hanya diam dan menyimak. Pandangan dari Bibi benar-benar masuk di logikaku yang akhir-akhir ini memang sering terpikirkan untuk berpisah, tetapi aku bertahan hanya untuk mencari waktu yang tepat. Dan aku hanya ingin memastikan bahwa aku akan baik-baik saja di berpisah nanti, bukan malah sebaliknya yang akhirnya memberikan aku sebuah penyesalan. Sedangkan nantinya akan ada pihak yang merasa senang atas penderitaanku yang meratapi penyesalan dari perpisahan yang aku inginkan."Andai kalau aku tidak menikah dengan Mas Rendi, mungkin aku tidak akan mengalami hal yang sekarang aku alami kan, Bi?""Jangan