"Mas nggak ngerti sama kamu, kamu ingin Mas prioritaskan disaat sekarang ini? Kamu sedang sehat, sedangkan Ibu lagi sakit. Jelas Mas harus prioritaskan Ibu dulu. Mohon pengertiannya sedikit saja," ucap Mas Rendi yang juga salah paham dengan maksudku. Aku bahkan tidak menyinggung Ibu sama sekali."Bukan tentang Ibu, Mas. Tapi masalah pekerjaan kamu. Aku tau kemarin kamu ada ketemu klien mendadak sekali, itu dari Mbak Dyan. Terus aku juga tau kamu sudah naik jabatan, itu juga dari Mbak Dyan. Aku rasa wajar jika aku mempertanyakan skala prioritas kamu, Mas. Aku atau Mbak Dyan?"Mas Rendi menggelengkan kepalanya, sambil sedikit tersenyum seolah merasa tidak habis pikir saja. "Sekarang kamu bawa-bawa Dyan sebagai alasan? Berapa kali mesti Mas kasih tau sama kamu, kamu juga tau sendiri Mas dan Dyan itu mantan suami istri. Kami berteman pun sekarang ini hanya untuk Ryo saja. Terus soal Mas yang bercerita sama Dyan, ya karena memang momennya Dyan sedang ada bersama Mas. Syukurlah kalau misaln
"Bi Wati pedes banget kata-katanya," ucapku dengan sedikit tertawa. "Mungkin karena khilaf juga bisa, kan? Atau ada hal lain yang membuat dia akhirnya memilih untuk berselingkuh. Kita kan nggak tau, Bi. Yang dilihat cuma orang yang berbuat salah dari covernya saja, sedangkan permasalahan dalam rumahnya tidak ada yang tau. Bahkan mungkin juga mungkin tidak peduli."Ya, aku sadar, secara tidak langsung aku seolah membela tindakan perselingkuhan. Sebab aku mengalaminya. Meski aku sendiri tidak sepenuhnya mengakui itu selingkuh, tetap saja pada dasarnya aku bermain di belakang suami. Dan alam bawah sadarku melakukan pembelaan bahwa yang aku lakukan tentu bukan tanpa alasan."Bibi ngomong pedes juga nggak bakal sebanding sama sakitnya di selingkuhin, Tia. Bibi juga kan korban selingkuhan suami Bibi yang pertama. Hanya karena dia punya banyak uang, jadinya bisa seenaknya. Seolah semua bisa dimaafkan kalau Bibi di kasih uang. Meski dimaafkan pun, bakal tetep membekas diingatan. Rasa kepercay
Aku merasa terkejut dengan respon Mas Rendi yang tidak sesuai dengan apa yang aku ekspektasikan. Sebab aku pikir Mas Rendi akan merasa senang jika aku kembali menjadi Ibu rumah tangga seperti apa yang ia inginkan dulu sebelum kami akhirnya menikah. Padahal saat aku izin kembali untuk bekerja lagi, Mas Rendi terasa setengah hati mengizinkanku, tetapi terpaksa karena keadaan yang mengharuskan.Namun sekarang, mengapa dia tidak setuju dengan keputusanku? Padahal Mas Rendi sudah naik jabatan. Bukankah itu artinya aku sudah tidak perlu lagi bekerja untuk membantu perekonomian keluarga kami?"Kenapa Mas nggak setuju? Bukannya dari awal juga Mas nggak mau aku bekerja? Aku kemarin memutuskan kerja lagi kan untuk membantu Mas. Tapi sekarang Mas kan udah naik jabatan.""Sayang, biaya pengobatan dan pemulihan Ibu itu tidak sedikit nominalnya. Kamu juga masih ingat kan dengan impian Mas agar kita segera kembali memiliki rumah? Jadi, ayo kita bekerja sama-sama.""Tapi, Mas. Aku udah nggak mau kerj
Ibu sangat menolak dengan kehadiranku untuk menemaninya. Ia malah mengatakan lebih baik ada Mbak Dyan dibandingkan denganku. Jangan tanya betapa sakitnya yang aku rasakan, karena itu sangatlah sakit."Aku tidak pernah membenci Ibu. Mana mungkin aku melakukan hal yang Ibu bilang. Aku hanya tidak suka ketika Ibu mencampuri urusanku dengan Mas Rendi, tetapi secara pribadi aku tidak membenci Ibu. Ibu sudah seperti Ibu kandung aku sendiri," ucapku masih mencoba untuk bersabar.Aku tidak lupa dengan niatku yang ingin memperbaikinya hubungan dengan Mertuaku sendiri. Sehingga meskipun begini jadinya, aku tetap harus berusaha. Tidak akan aku biarkan Mbak Dyan kembali hadir diantara keluarga kami."Tidak! Ibu tetap tidak mau dijaga sama kamu. Mendingan Ibu dijaga sama suster aja sampai Rendi pulang. Kamu keluar saja."Memang benar apa yang dikatakan oleh Mas Rendi, Ibu tidak mudah untuk diluluhkan. Sangat berat untukku. Entah perlu waktu berapa lama sampai akhirnya Ibu bisa menerimaku. Mana sek
Pak Anggara membawaku ke rooftop. Tidak aku sangka ternyata dia menyiapkan makan malam yang tidak biasa untukku. Rooftop saat malam yang dalam bayangan pasti sudah terbayang pasti gelap, dibuat menjadi tempat yang terasa romantis, sebab banyak lilin disetiap dekorasi.Aku dan Pak Anggara berjalan menuju meja makan yang berada di tengah-tengah spot."Kapan Bapak menyiapkan ini semua?" tanyaku yang tidak terpikirkan dan hampir melupakan jika Pak Anggara pasti bisa melakukan apa saja yang dia inginkan meski terkadang mustahil dalam pikiranku."Bisa kalau diluar jam kantor, jangan panggil aku Bapak? Aku bahkan belum menikah apalagi menjadi Bapak-bapak!" protes Pak Anggara yang terdengar seperti anak kecil sedang merajuk."Lalu? Angga? Gara?""Ingat, aku lebih tua darimu!""Terus maunya apa?""Panggil aku Mas, seperti panggilan kamu pada suami kamu.""Ahh, aku rasanya tidak akan terbiasa.""Bisa!""Baik, Mas. Begitu?""Nah, itu terdengar sangat baik di telingaku. Lihatlah ke sana," ucap Pa
Akhirnya aku dan Pak Anggara kini duduk berdua di dalam tenda sambil melihat bintang yang bertaburan di langit yang gelap. Lagi-lagi aku sampai lupa kapan menikmati pemandangan indah di langit saat malam hari. Rasanya aku sudah bosan terus mengatakan jika apa yang aku lakukan bersama Pak Anggara adalah kali pertamanya."Malam ini cukup banyak bintang di langit," ucap Pak Anggara disaat aku sedang menikmati pemandangan yang tak kalah indah dari city light."Memang bagaimana dengan hari-hari biasanya? Aku pikir sama saja.""Polusi Ibu kota membuat bintang tidak begitu banyak yang muncul. Tapi mungkin karena sekarang sudah masuk musim hujan, jadinya banyak bintang yang terlihat.""Memang itu mempengaruhi?""Mungkin, tadi aku hanya mengarang saja," ucap Pak Anggara sambil tersenyum dengan wajah yang seolah puas sudah menipuku sampai aku merasa percaya dengan bualannya."Ishh!!" Aku memukul lengannya pelan."Mm, kamu sudah mulai berani memukulku? Oke, sebuah perubahan yang baik. Lanjutkan,
Setelah beberapa saat kemudian, kami sampai di sebuah apartemen. Aku pikir, aku akan di bawa ke rumahnya, ternyata ke apartemennya. Ah, sayang sekali memang karena aku penasaran dengan rumah pria misterius yang mau denganku dan juga sangat royal padaku."Ayo turun."Kami berjalan masuk setelah memarkirkan mobil di parkiran basemen apartemen itu. Pak Anggara menekan angka 20 di lift, yang itu artinya apartemen miliknya pasti ada di lantai itu."Memangnya kamu tinggal di apartemen? Bukan di rumah pribadi?""Aku tinggal di mana pun bisa selagi itu punyaku. Aku lebih suka tinggal sendiri.""Jadi, kamu tidak tinggal dengan orang tuamu?""Memangnya kamu ingin aku bawa ke rumah orang tuaku dengan menginap bersama di sana? Bagaimana kalau mereka menganggap kamu adalah calon istriku. Tidak apa?"Aku langsung menggelengkan kepala. "Ya, memang lebih baik di sini saja."Aku langsung berjalan ke dalam apartemen Pak Anggara setelah dipersilahkan untuk masuk. Apartemen yang sangat luas jika hanya un
"Jangan sia-siakan kebahagiaan yang ada di depan mata, Tiana. Kamu akan menyesal jika hubungan kita berakhir disaat suami kamu berhubungan dengan mantan istrinya. Jika dia tidak bisa membahagiakan kamu, aku siap."Setelah mengatakan itu, Pak Anggara langsung mencumbuiku. Aku yang memendam rasa kecewa pada Mas Rendi, tanpa berpikir lama langsung mengimbangi apa yang dilakukan Pak Anggara padaku. Aku tidak ingin egois, tidak hanya ingin jadi pihak yang dipuaskan, tetapi aku juga akan memuaskannya.Malam itu berlangsung sangat panas. Dingin AC saja rasanya tidak mampu untuk menahan keringat yang terus mengucur bak sedang mandi dibawah shower saja.Malam itu adalah kali pertamanya, aku dan Pak Anggara satu ranjang berdua. Rasanya lebih leluasa daripada saat melakukannya di sofa tempo hari. Aku beberapa kali mencapai puncak dalam beberapa gaya yang kami coba. Aku benar-benar mendapatkan hal yang tidak aku dapatkan dari Suamiku sendiri. Bahkan jika aku sedang menginginkan belaiannya, aku s
Semua orang tanpa terkecuali pasti memiliki sebuah luka. Luka yang tidak kasat mata, hanya sang pemilik luka lah yang bisa merasakannya.Sembuh atau tidaknya tidak bisa dipastikan secara nyata, sebab tergantung sang pemilik luka itulah akan berbicara berdasarkan fakta atau malah menyembunyikannya agar terlihat baik-baik saja.Meski pada akhirnya luka yang tidak terlihat itu bisa sembuh, tapi memorinya akan selalu tertanam dalam ingatan. Semakin mencoba untuk dilupakan, maka akan semakin tenggelam dalam kesakitan.Hanya diri sendirilah yang mampu menyembuhkan dan memastikan luka itu tidak bersarang lama dalam hidupnya.Masa lalu akan tetap menjadi masa lalu, sejauh apapun mengejarnya tak akan bisa kembali apalagi hanya untuk menyesali apa yang sudah terjadi dimasa sekarang.Luka dimasa lalu yang dibiarkan, biasanya akan menjalar menjadi sebuah dendam. Sebuah titik balik yang berniat untuk melupakan, malah meluap menjadi emosi yang harus terbalaskan.Ketidakadilan adalah hal yang pasti
POV Anggara"Kania ...." Setelah istriku mengatakan semua isi hatinya di depan makam Kania, kini giliranku yang harus aku utarakan juga apa yang ada dalam hatiku ini."Sudah lama rasanya sejak hari di mana kita terakhir bertemu dalam keadaan hubungan kita yang tidak baik-baik saja. Itu adalah hal yang paling aku sesalkan. Aku kira aku tau semua tentangmu, tentang cerita senang dan sedihmu. Ternyata aku tidak sedalam itu mengetahui hidupmu. Entah apa lagi yang harus aku sesalkan karena semua itu tidak akan membuat waktu berputar kembali sehingga kamu mungkin masih hidup dan bersamaku sekarang."Pertama kalinya, aku mengutarakan apa yang ada di dalam hatiku, penyesalan yang aku rasakan terhadap kematian Kania yang tidak aku sadari apa yang terjadi pada Kania sebelumnya."Selama ini aku sama sekali tidak melupakanmu. Aku melanjutkan hidup karena aku selalu mengingatmu. Aku bawa dendam kematianmu dengan menghancurkan hidup orang yang menjadi alasan kamu mengakhiri hidupmu."Sekejap aku me
"Hay, Kania. Perkenalkan aku Tiana, aku adalah istri Mas Anggara, cinta pertama kamu. Senang bisa tau cerita kamu dari suamiku sendiri. Semoga kamu bisa beristirahat tenang di sana. Sungguh, kamu jatuh cinta pada pria yang tepat. Aku merasa keberuntungan yang harusnya kamu miliki, kini menjadi milikku. Aku berharap kamu bahagia atas kebahagiaan aku dan Mas Anggara saat ini. Sekarang kami sudah mempunyai tiga anak, dua anak kembar dan bungsu yang masih bayi. Nanti jika mereka sudah besar, akan aku ceritakan bagaimana ayahnya mencintai kamu begitu hebat dan tulus. Terimakasih sudah menyemangati Mas Anggara disaat ia merasa ada dititik terendah dalam hidupnya, sehingga dia bisa sehebat sekarang ini. Aku akan mencintai Mas Anggara dan menjaga anak-anak kami selamanya."Aku mengutarakan isi hatiku disaat kami sudah menaburkan bunga dan berdoa untuk Kania. Tidak ada lagi rasanya cemburu, sedih atau bahkan sakit hati. Aku sudah benar-benar ikhlas dengan kenyataan dari cerita Mas Anggara.Tid
Bulan madu setelah memiliki anak, tadinya aku berpikir itu hanya buang-buang waktu dan bentuk keegoisan orang tua yang tega meninggalkan anak-anak hanya demi kesenangan berdua, padahal bulan madu berdua itu bisa digantikan dengan liburan bersama keluarga, sehingga anak-anak bisa ikut merasakan bahagia yang sama seperti orang tuanya. Namun ada hal yang aku sadari setelah aku merasakannya sendiri. Setelah menjadi seorang istri, prioritasku berpindah pada suami. Aku belajar memasak masakan yang disukai suami, mengingat makanan apa yang tidak ia sukai, menjaga bentuk badan agar suami tetap cinta, menjaga dan membersihkan rumah agar tetap bersih sehingga ketika suami pulang kerja dia bisa nyaman beristirahat, memastikan pakaian suami bersih ketika akan dipakai bekerja, memastikan dia makan sehat meskipun diluar rumah. Sampai kepentinganku sendiri tergeser dari prioritas yang tadinya selalu utama. Lalu, lahirlah sang buah hati. Bertambah pula yang harus diprioritaskan selain diri sendi
Pagi indah aku benar-benar menyarap suamiku sendiri. Bercinta dipagi hari ternyata lebih fresh, mungkin energi kita masih utuh karena belum melakukan aktivitas apa-apa. Ini adalah honeymoon kedua yang berhasil. Selain aku mendapatkan kenikmatanku kembali, aku mendapatkan ketenangan setelah berhati-hati menyimpan rasa kecewa karena sulit untuk menerima realita. Di villa itu, aku dan Mas Anggara seperti mengadakan pesta bercinta saja. Rasanya malu melihat kelakuan diri sendiri, seperti orang yang kehausan dan lama tidak mendapatkan air. Mungkin itu yang akan dikatakan oleh rahimku jika dia bisa berbicara. Mempunyai suami tapi aku malah kekeringan. Sering cemburuan, mudah marah, mudah tersinggung, ternyata sentuhan suami lah obatnya. Kesabaran suami yang menjadi vitamin tambahan. Untunglah dia tidak berpikiran untuk membayar jasa wanita diluar sana, yang bahkan pasti ada saja yang menjajakan diri dengan suka rela alias gratis. Aku malu sekali jika mengingat semua yang telah terjad
Bagaimana ada istri seperti aku sekarang ini. Rasanya aku tidak pandai bersyukur sekali, semua yang aku inginkan sudah aku dapatkan di pernikahan kedua ini, tetapi aku tidak memperhatikan suamiku sendiri. Padahal dialah sumber yang membuat aku bisa mendapatkan apa yang selama ini menjadi keinginanku.Mas Anggara tidak pernah menuntut apa-apa, selalu memberikan yang terbaik untukku dan tentu juga untuk anak-anak. Namun aku tidak memperhatikan kebutuhan biologisnya. Padahal itu bukan hal yang besar dan mahal untuk aku berikan karena pastinya aku juga akan merasakan kenikmatannya.Aku baru tersadar kenapa beberapa kali Mas Anggara menyarankan agar kami mencari pengasuh bayi, karena dia juga butuh perhatian dariku, dia butuh aku untuk mengurusnya. Aku saja yang kurang peka dan tidak pernah bertanya."Maafkan aku, Mas. Aku akan lebih memperhatikanmu disamping kesibukanku mengurus anak-anak. Dan sepertinya aku akan menerima tawaran untuk mencari pengasuh bayi saja. Aku tidak akan egois dan
"Tidak," jawabku sambil menggelengkan kepala. "Sepertinya ada satu hal yang baru aku sadari sekarang, Mas.""Apa itu?""Setelah memiliki anak, fokusku hanya pada mereka saja. Kamu tidak aku perhatikan bahkan aku mengabaikan diriku sendiri. Baru aku sadari ternyata kamu malah semakin tampan meskipun sudah mempunyai tiga anak, usia kamu beberapa tahun lagi akan memasuki kepala empat. Kamu masih sangat sehat, bugar, berkharisma seperti aktor-aktor Hollywood yang semakin matang usia malah semakin menarik mata."Mas Anggara tersenyum tipis. "Kamu memujiku terlalu berlebihan, Sayang. Tidak seperti itu. Biasa saja seperti lelaki pada umumnya."Aku menggelengkan kepala dengan tegas. "Beda! Kamu sangat berbeda. Aku tidak memuji kamu secara berlebihan tapi memang faktanya begitu. Aku hanya membicarakan apa adanya yang aku lihat.""Kalau memang begitu, kenapa kamu tampak sedih sekarang? Bukannya memiliki suami yang tampan itu akan membuat kamu bangga?""Yang ada aku malah insecure, Mas. Kalau ki
Senja perlahan bergantian dengan langit yang menggelap. Tidak ada lagi pemandangan yang bisa aku lihat dari atas sini kecuali perlahan digantikan dengan lampu-lampu kota yang satu persatu mulai dinyalakan. Aku hanya bisa menunggu karena waktu yang akan menjawab bagaimana selanjutnya. Apa yang bisa aku lakukan jika dia mengatakan sebuah janji selain aku menunggu dan merasakan sendiri bagaimana dia membuktikan itu semua. Sehingga tidak ada jawaban lain selain aku tetap bertahan untuk melihat janji yang dia ucapkan, bisa dia buktikan.Aku mencintai suamiku terlepas dari apapun masa lalunya, rahasianya juga alasan awal bagaimana dia mendekatiku hingga akhirnya sungguh menikahiku.Aku harus melapangkan dada, meluaskan rasa sabarku, melihat ke masa depan dan merasakan apa yang masa sekarang terjadi. Bukankah selama ini rumah tangga kami baik-baik saja?Itulah yang sudah seharusnya aku lakukan. Tidak ada manusia yang tanpa pernah melakukan sebuah kesalahan dimasa lalu. Semua manusia adalah
Mas Anggara selalu bisa memberikanku jawaban yang masuk diakal. Tidak mengada-ada seperti mencari pembenaran untuk dirinya, tetapi memang seolah faktanya seperti apa yang dia katakan."Coba bilang padaku, apa yang harus aku lakukan sekarang?"Aku menggelengkan kepala."Papa saja menyadari jika hubungan kita tidak baik-baik saja makanya dia menyuruh kita untuk menghabiskan waktu berdua tanpa anak-anak. Jangan sampai sepulang kita dari sini, kamu tetap menjaga jarak dariku. Kita ini suami istri.""Aku tau. Aku juga tidak mau seperti ini, Mas. Tidak ada seorang pun yang mau rumah tangganya diuji, kalau bisa itu juga. Tapi cerita kamu itu membuat hatiku sakit, kecewa. Jadi banyak sekali hal yang aku pikirkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi yang aku hubungkan dengan cerita kamu. Aku sudah punya trauma di pernikahanku dulu, dan aku masih tidak percaya kita begini jadinya. Apa ini karma untukku?"Tiba-tiba saja langsung terpikirkan hal itu dalam benakku. Memang sama sekali tidak