Golden hour!Ya, aku tahu melodi dari piano itu adalah golden hour. Tenang sekali rasanya mendengar alunan piano ditengah suasana Villa yang sepi tetapi menenangkan. Meskipun terlihat seperti bangunan peninggalan Belanda, tak menyeramkan sama sekali.Aku tidak menyangka Pak Anggara ternyata pandai memainkan piano. Aku hanya berdiri memperhatikan dari jarak yang tidak begitu dekat, juga tidak terlalu jauh. Aku menikmati musiknya sampai permainan berhenti.Pak Anggara langsung melihat ke arahku yang tanpa sadar tengah tersenyum tipis sambil membayangkan jika kehidupanku bak di istana kerajaan, apalagi dress yang aku pakai cukup mendukung halusinasiku."Bagaimana?" tanya Pak Anggara yang jelas sedang ingin mengetahui pendapatku, mungkin tentang permainan pianonya."Bagus. Ternyata Pak Anggara pandai bermain piano. Saya cukup tenang saat mendengarnya," jawabku yang percaya diri jika yang ditanyakan oleh Pak Anggara itu memang tentang permainan pianonya.Dan nyatanya salah!Pak Anggara ban
Aku cukup merasa tercengang melihat banyak makanan tertata dengan rapi di atas meja makan padahal kita hanya makan untuk berdua saja."Semua makanan ini Pak Anggara yang buat?" tanyaku yang terkejut sekaligus merasa tidak percaya juga jika semua hidangan di atas meja dibuat oleh Pak Anggara sendiri."Memang kamu melihat ada orang lain di sini?""Makanan sebanyak ini tidak mungkin habis jika berdua saja.""Aku tidak tau makanan apa yang kamu sukai, sebenarnya bisa saja aku mencari tau hal itu dengan mudah. Hanya saja untuk hal-hal yang menyangkut dirimu pribadi, aku ingin tau langsung dari kamu. Jadi, silakan Nona memilih makanan apa yang akan dimakan. Biar sisanya aku berikan pada penjaga Villa dan keluarganya yang tinggal tak jauh dari sini."Aku sampai berpikir sejenak, kapan terakhir kali aku makan makanan yang dibuat oleh orang lain. Oleh Ibu saja itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Sementara Mas Rendi, tidak pernah sekalipun menyentuh perabotan dapur. Jangankan untuk memasak maka
Sepersekian detik aku merasa lengah. Dan kami kembali tenggelam dalam ciuman kali ketiga terjadi tanpa aku sangka-sangka.Namun sekarang aku diam, tidak menolak. Tubuhku sepenuhnya merespon dengan suka rela tanpa adanya paksaan seperti waktu itu. Aku menyadari kesalahan yang kubuat di belakang Suamiku. Hanya saja untuk kali ini, aku merasa perasaan yang nyaman dan aman.Perhatian dan semua yang ia lakukan dengan membawaku ke tempat ini untuk melihat senja yang indah, seolah hutang bagiku. Sehingga aku membayarnya dengan kerelaan ciuman kami di malam ini.Derasnya hujan di luar, seolah seirama dengan desiran sesuatu yang aku rasakan tanpa bisa aku utarakan dengan kata-kata. Ciuman kami bukan hanya sekedar kecupan bibir saja. Aku sudah seluruhnya mengikuti ritme lidahnya yang mencoba masuk ke dalam mulutku.Oh, tidak! Aku semakin menikmati ciuman ini dengan Pak Anggara.Otakku terus saja mengingatkanku jika hal yang terjadi adalah sebuah kesalahan yang sudah seharusnya segera dihentika
Lagi-lagi aku malah tanpa sadar mengatakan masalah rumah tanggaku, terutama masalah ranjangku bersama Mas Rendi. Namun memang mau bagaimana lagi karena itulah kenyataannya. Dan aku merasa cukup terkejut saat Pak Anggara bilang akan menggantikan tugas Mas Rendi.Sebelum hal yang jauh itu berlanjut, aku malah terpikirkan kejadian malam ini mungkin akan terulang kembali diwaktu selanjutnya.Tanpa banyak obrolan lagi, Pak Anggara memulai langkah selanjutnya setelah tubuh kita berdua sama-sama polos. Pemanasan yang sudah amat panas, membuat malam ini menjadi sangat menggairahkan. Batinku secara tidak sadar terus membandingkan Pak Anggara dengan Mas Rendi. Sungguh jauh berbeda. Apalagi dari segi teknik dan juga ukurannya.Hingga disaat Pak Anggara mencoba untuk memasukiku, sungguh itu sakit sekali. Rasanya macam malam pertama dulu bersama Mas Rendi. Padahal aku merasa sudah sangat basah saat pemanasan tadi, yang seharusnya tak akan terasa begitu sakit.Namun aku salah, entah mungkin ukuran
"Tiana, dengarkan aku. Semua yang sudah terjadi tidak akan bisa dirubah. Kita kan sudah saling berjanji kalau ini hanya akan menjadi rahasia kita berdua saja. Aku akan menepatinya."Meskipun yang dikatakan oleh Pak Anggara benar, semua yang terjadi tidak akan bisa diubah lagi. Seperti itulah mengapa penyesalan datang terlambat."Lihat aku!"Pak Anggara melepaskan pelukannya dan membuatku menatap wajahnya."Kamu benar-benar menyesal dengan semua yang sudah terjadi diantara kita semalam?""Iya, aku sangat menyesalinya. Sangat-sangat menyesal saat aku mengingat Mas Rendi. Dia baik padaku, dan semua orang pasti mempunyai kekurangan, jadi tidak seharusnya aku mencari kekurangan yang ada pada Suamiku di orang lain. Aku saja akan sangat sakit hati dan kecewa jika Mas Rendi bermain bersama wanita lain di belakangku. Dan pasti Mas Rendi juga akan merasakan hal yang sama. Dia akan kecewa padaku," ucapku dengan tangis penuh penyesalan. Bahkan aku sampai tidak menyadari jika selimut yang kupegang
"Kita ngobrol di luar, Mbak. Biar gak ganggu Ibu.""Ishh, mengganggu saja. Ya sudah ayo!" Dengan wajah muram Mbak Dyan berjalan lebih dahulu dariku. Makin lama aku perhatikan sikapnya padaku semakin tidak mengenakan saja. Padahal dulu dia baik. Benar mendukung dan tidak mencampuri urusan rumah tanggaku. Namun, disaat dia kembali tinggal di kota ini, sampai akhirnya aku tahu bahwa dia sudah bercerai lagi, dia secara suka rela datang dengan alasan ingin menjenguk Ibu.Bohong namanya jika aku tidak berpikiran buruk yang mungkin saja Mbak Dyan memang mempunyai niat sesuatu pada rumah tanggaku dan Mas Rendi. Aku takut sekali.Kini, kami berdua duduk di bangku taman rumah sakit."Cepet, mau ngomong apa memangnya?""Semalam Mbak pulang ke rumah Mbak atau menginap lagi di sini?""Kamu ngajak bicara di luar cuman mau nanya itu?""Jawab saja dulu, Mbak. Karena ada hal lain lagi yang ingin aku tanyakan.""Iya, aku nginap di sini.""Terus kalau Mas Rendi gimana? Dia nginap di sini juga atau pula
"Mas nggak ngerti sama kamu, kamu ingin Mas prioritaskan disaat sekarang ini? Kamu sedang sehat, sedangkan Ibu lagi sakit. Jelas Mas harus prioritaskan Ibu dulu. Mohon pengertiannya sedikit saja," ucap Mas Rendi yang juga salah paham dengan maksudku. Aku bahkan tidak menyinggung Ibu sama sekali."Bukan tentang Ibu, Mas. Tapi masalah pekerjaan kamu. Aku tau kemarin kamu ada ketemu klien mendadak sekali, itu dari Mbak Dyan. Terus aku juga tau kamu sudah naik jabatan, itu juga dari Mbak Dyan. Aku rasa wajar jika aku mempertanyakan skala prioritas kamu, Mas. Aku atau Mbak Dyan?"Mas Rendi menggelengkan kepalanya, sambil sedikit tersenyum seolah merasa tidak habis pikir saja. "Sekarang kamu bawa-bawa Dyan sebagai alasan? Berapa kali mesti Mas kasih tau sama kamu, kamu juga tau sendiri Mas dan Dyan itu mantan suami istri. Kami berteman pun sekarang ini hanya untuk Ryo saja. Terus soal Mas yang bercerita sama Dyan, ya karena memang momennya Dyan sedang ada bersama Mas. Syukurlah kalau misaln
"Bi Wati pedes banget kata-katanya," ucapku dengan sedikit tertawa. "Mungkin karena khilaf juga bisa, kan? Atau ada hal lain yang membuat dia akhirnya memilih untuk berselingkuh. Kita kan nggak tau, Bi. Yang dilihat cuma orang yang berbuat salah dari covernya saja, sedangkan permasalahan dalam rumahnya tidak ada yang tau. Bahkan mungkin juga mungkin tidak peduli."Ya, aku sadar, secara tidak langsung aku seolah membela tindakan perselingkuhan. Sebab aku mengalaminya. Meski aku sendiri tidak sepenuhnya mengakui itu selingkuh, tetap saja pada dasarnya aku bermain di belakang suami. Dan alam bawah sadarku melakukan pembelaan bahwa yang aku lakukan tentu bukan tanpa alasan."Bibi ngomong pedes juga nggak bakal sebanding sama sakitnya di selingkuhin, Tia. Bibi juga kan korban selingkuhan suami Bibi yang pertama. Hanya karena dia punya banyak uang, jadinya bisa seenaknya. Seolah semua bisa dimaafkan kalau Bibi di kasih uang. Meski dimaafkan pun, bakal tetep membekas diingatan. Rasa kepercay
Semua orang tanpa terkecuali pasti memiliki sebuah luka. Luka yang tidak kasat mata, hanya sang pemilik luka lah yang bisa merasakannya.Sembuh atau tidaknya tidak bisa dipastikan secara nyata, sebab tergantung sang pemilik luka itulah akan berbicara berdasarkan fakta atau malah menyembunyikannya agar terlihat baik-baik saja.Meski pada akhirnya luka yang tidak terlihat itu bisa sembuh, tapi memorinya akan selalu tertanam dalam ingatan. Semakin mencoba untuk dilupakan, maka akan semakin tenggelam dalam kesakitan.Hanya diri sendirilah yang mampu menyembuhkan dan memastikan luka itu tidak bersarang lama dalam hidupnya.Masa lalu akan tetap menjadi masa lalu, sejauh apapun mengejarnya tak akan bisa kembali apalagi hanya untuk menyesali apa yang sudah terjadi dimasa sekarang.Luka dimasa lalu yang dibiarkan, biasanya akan menjalar menjadi sebuah dendam. Sebuah titik balik yang berniat untuk melupakan, malah meluap menjadi emosi yang harus terbalaskan.Ketidakadilan adalah hal yang pasti
POV Anggara"Kania ...." Setelah istriku mengatakan semua isi hatinya di depan makam Kania, kini giliranku yang harus aku utarakan juga apa yang ada dalam hatiku ini."Sudah lama rasanya sejak hari di mana kita terakhir bertemu dalam keadaan hubungan kita yang tidak baik-baik saja. Itu adalah hal yang paling aku sesalkan. Aku kira aku tau semua tentangmu, tentang cerita senang dan sedihmu. Ternyata aku tidak sedalam itu mengetahui hidupmu. Entah apa lagi yang harus aku sesalkan karena semua itu tidak akan membuat waktu berputar kembali sehingga kamu mungkin masih hidup dan bersamaku sekarang."Pertama kalinya, aku mengutarakan apa yang ada di dalam hatiku, penyesalan yang aku rasakan terhadap kematian Kania yang tidak aku sadari apa yang terjadi pada Kania sebelumnya."Selama ini aku sama sekali tidak melupakanmu. Aku melanjutkan hidup karena aku selalu mengingatmu. Aku bawa dendam kematianmu dengan menghancurkan hidup orang yang menjadi alasan kamu mengakhiri hidupmu."Sekejap aku me
"Hay, Kania. Perkenalkan aku Tiana, aku adalah istri Mas Anggara, cinta pertama kamu. Senang bisa tau cerita kamu dari suamiku sendiri. Semoga kamu bisa beristirahat tenang di sana. Sungguh, kamu jatuh cinta pada pria yang tepat. Aku merasa keberuntungan yang harusnya kamu miliki, kini menjadi milikku. Aku berharap kamu bahagia atas kebahagiaan aku dan Mas Anggara saat ini. Sekarang kami sudah mempunyai tiga anak, dua anak kembar dan bungsu yang masih bayi. Nanti jika mereka sudah besar, akan aku ceritakan bagaimana ayahnya mencintai kamu begitu hebat dan tulus. Terimakasih sudah menyemangati Mas Anggara disaat ia merasa ada dititik terendah dalam hidupnya, sehingga dia bisa sehebat sekarang ini. Aku akan mencintai Mas Anggara dan menjaga anak-anak kami selamanya."Aku mengutarakan isi hatiku disaat kami sudah menaburkan bunga dan berdoa untuk Kania. Tidak ada lagi rasanya cemburu, sedih atau bahkan sakit hati. Aku sudah benar-benar ikhlas dengan kenyataan dari cerita Mas Anggara.Tid
Bulan madu setelah memiliki anak, tadinya aku berpikir itu hanya buang-buang waktu dan bentuk keegoisan orang tua yang tega meninggalkan anak-anak hanya demi kesenangan berdua, padahal bulan madu berdua itu bisa digantikan dengan liburan bersama keluarga, sehingga anak-anak bisa ikut merasakan bahagia yang sama seperti orang tuanya. Namun ada hal yang aku sadari setelah aku merasakannya sendiri. Setelah menjadi seorang istri, prioritasku berpindah pada suami. Aku belajar memasak masakan yang disukai suami, mengingat makanan apa yang tidak ia sukai, menjaga bentuk badan agar suami tetap cinta, menjaga dan membersihkan rumah agar tetap bersih sehingga ketika suami pulang kerja dia bisa nyaman beristirahat, memastikan pakaian suami bersih ketika akan dipakai bekerja, memastikan dia makan sehat meskipun diluar rumah. Sampai kepentinganku sendiri tergeser dari prioritas yang tadinya selalu utama. Lalu, lahirlah sang buah hati. Bertambah pula yang harus diprioritaskan selain diri sendi
Pagi indah aku benar-benar menyarap suamiku sendiri. Bercinta dipagi hari ternyata lebih fresh, mungkin energi kita masih utuh karena belum melakukan aktivitas apa-apa. Ini adalah honeymoon kedua yang berhasil. Selain aku mendapatkan kenikmatanku kembali, aku mendapatkan ketenangan setelah berhati-hati menyimpan rasa kecewa karena sulit untuk menerima realita. Di villa itu, aku dan Mas Anggara seperti mengadakan pesta bercinta saja. Rasanya malu melihat kelakuan diri sendiri, seperti orang yang kehausan dan lama tidak mendapatkan air. Mungkin itu yang akan dikatakan oleh rahimku jika dia bisa berbicara. Mempunyai suami tapi aku malah kekeringan. Sering cemburuan, mudah marah, mudah tersinggung, ternyata sentuhan suami lah obatnya. Kesabaran suami yang menjadi vitamin tambahan. Untunglah dia tidak berpikiran untuk membayar jasa wanita diluar sana, yang bahkan pasti ada saja yang menjajakan diri dengan suka rela alias gratis. Aku malu sekali jika mengingat semua yang telah terjad
Bagaimana ada istri seperti aku sekarang ini. Rasanya aku tidak pandai bersyukur sekali, semua yang aku inginkan sudah aku dapatkan di pernikahan kedua ini, tetapi aku tidak memperhatikan suamiku sendiri. Padahal dialah sumber yang membuat aku bisa mendapatkan apa yang selama ini menjadi keinginanku.Mas Anggara tidak pernah menuntut apa-apa, selalu memberikan yang terbaik untukku dan tentu juga untuk anak-anak. Namun aku tidak memperhatikan kebutuhan biologisnya. Padahal itu bukan hal yang besar dan mahal untuk aku berikan karena pastinya aku juga akan merasakan kenikmatannya.Aku baru tersadar kenapa beberapa kali Mas Anggara menyarankan agar kami mencari pengasuh bayi, karena dia juga butuh perhatian dariku, dia butuh aku untuk mengurusnya. Aku saja yang kurang peka dan tidak pernah bertanya."Maafkan aku, Mas. Aku akan lebih memperhatikanmu disamping kesibukanku mengurus anak-anak. Dan sepertinya aku akan menerima tawaran untuk mencari pengasuh bayi saja. Aku tidak akan egois dan
"Tidak," jawabku sambil menggelengkan kepala. "Sepertinya ada satu hal yang baru aku sadari sekarang, Mas.""Apa itu?""Setelah memiliki anak, fokusku hanya pada mereka saja. Kamu tidak aku perhatikan bahkan aku mengabaikan diriku sendiri. Baru aku sadari ternyata kamu malah semakin tampan meskipun sudah mempunyai tiga anak, usia kamu beberapa tahun lagi akan memasuki kepala empat. Kamu masih sangat sehat, bugar, berkharisma seperti aktor-aktor Hollywood yang semakin matang usia malah semakin menarik mata."Mas Anggara tersenyum tipis. "Kamu memujiku terlalu berlebihan, Sayang. Tidak seperti itu. Biasa saja seperti lelaki pada umumnya."Aku menggelengkan kepala dengan tegas. "Beda! Kamu sangat berbeda. Aku tidak memuji kamu secara berlebihan tapi memang faktanya begitu. Aku hanya membicarakan apa adanya yang aku lihat.""Kalau memang begitu, kenapa kamu tampak sedih sekarang? Bukannya memiliki suami yang tampan itu akan membuat kamu bangga?""Yang ada aku malah insecure, Mas. Kalau ki
Senja perlahan bergantian dengan langit yang menggelap. Tidak ada lagi pemandangan yang bisa aku lihat dari atas sini kecuali perlahan digantikan dengan lampu-lampu kota yang satu persatu mulai dinyalakan. Aku hanya bisa menunggu karena waktu yang akan menjawab bagaimana selanjutnya. Apa yang bisa aku lakukan jika dia mengatakan sebuah janji selain aku menunggu dan merasakan sendiri bagaimana dia membuktikan itu semua. Sehingga tidak ada jawaban lain selain aku tetap bertahan untuk melihat janji yang dia ucapkan, bisa dia buktikan.Aku mencintai suamiku terlepas dari apapun masa lalunya, rahasianya juga alasan awal bagaimana dia mendekatiku hingga akhirnya sungguh menikahiku.Aku harus melapangkan dada, meluaskan rasa sabarku, melihat ke masa depan dan merasakan apa yang masa sekarang terjadi. Bukankah selama ini rumah tangga kami baik-baik saja?Itulah yang sudah seharusnya aku lakukan. Tidak ada manusia yang tanpa pernah melakukan sebuah kesalahan dimasa lalu. Semua manusia adalah
Mas Anggara selalu bisa memberikanku jawaban yang masuk diakal. Tidak mengada-ada seperti mencari pembenaran untuk dirinya, tetapi memang seolah faktanya seperti apa yang dia katakan."Coba bilang padaku, apa yang harus aku lakukan sekarang?"Aku menggelengkan kepala."Papa saja menyadari jika hubungan kita tidak baik-baik saja makanya dia menyuruh kita untuk menghabiskan waktu berdua tanpa anak-anak. Jangan sampai sepulang kita dari sini, kamu tetap menjaga jarak dariku. Kita ini suami istri.""Aku tau. Aku juga tidak mau seperti ini, Mas. Tidak ada seorang pun yang mau rumah tangganya diuji, kalau bisa itu juga. Tapi cerita kamu itu membuat hatiku sakit, kecewa. Jadi banyak sekali hal yang aku pikirkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi yang aku hubungkan dengan cerita kamu. Aku sudah punya trauma di pernikahanku dulu, dan aku masih tidak percaya kita begini jadinya. Apa ini karma untukku?"Tiba-tiba saja langsung terpikirkan hal itu dalam benakku. Memang sama sekali tidak