Dari kawasan bernama Lubuk Kandis, Dangmudo Basa memimpin yang lainnya untuk menaiki lereng dataran tinggi Bukit Tigapuluh.Dengan satu dan lain alasan, Feng serta Huang juga mendampingi Dangmudo Basa untuk menyisir kawasan perbukitan yang luas tersebut demi menemukan si Mata Malaikat yang sebelumnya melarikan diri dari pertempuran di kawasan Terusan Siam.Hoa Nhai memandang ke sana kemari ketika mereka telah mencapai puncak bukit dari sisi utara tersebut.“Sekarang, kemana kita akan menyelidik?” tanyanya.Dangmudo Basa memerhatikan kondisi puncak bukit yang subur itu untuk sesaat, sebelum dia berkata, “Kurasa akan lebih baik menelisik hingga ke bagian paling selatan dari perbukitan ini.”“Paduko,” ucap Kirat, “apa Anda yakin?”“Kenapa tidak?” sahut Kamba. “Kurasa kita sudah separo jalan. Tidak ada salahnya menyusuri semua bagian perbukitan ini.”“Yaah,” Dangmudo Basa menghela napas lebih dalam. “Itulah yang aku pikirkan.”“Maaf,” kata Feng kemudian. “Tapi, bagaimana dengan kami berdu
“Jadi,” si Mata Malaikat menatap jauh sembari mengusap dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu kasar. “Yang sepasang pergi ke arah selatan, hah?”“Benar, Ketua,” ucap salah seorang dari dua anak buahnya. “Sedangkan rombongan Dangmudo Basa, kami rasa mereka kembali ke Batang Kuantan melalui sisi timur Bukit Tigapuluh.”“Apa yang kau pikirkan, Ketua?” tanya Siwan.Si Mata Malaikat menghela napas dalam-dalam. Dia kemudian berdiri dan meninggalkan singgasananya, melangkah ke sisi kanan ruangan besar tanpa sekat tersebut.“Dua orang itu,” ucapnya kemudian dengan melirik Siwan di belakang hanya dari ujung bahunya saja sementra dua tangan menyatu di belakang punggung. “Kurasa mereka sama seperti si gadis cantik yang mengaku bernama Hoa Nhai sebelumnya itu.”“Yaah!” Siwan mengangguk. “Sepertinya mereka juga berasal dari Champa. Ketua!”Sang wanita muda menghampiri sang pimpinan lalu berdiri dua langkah di kiri belakangnya.“Engkau sudah pernah bertarung dengan sosok yang pria, bukan?”Si Mata Malaik
“Hei,” Feng sedikit merasa tersinggung dengan ucapan si pria di tengah. “Kami tidak mengenal kalian dan kalian tidak mengenal kami, lalu mengapa berkasar kata pada kami?”“Jangan banyak cakap, orang asing!” hardik seorang yang di kiri dengan menunjuk Feng menggunakan parang di tangannya. “Apakah kalian punya izin memasuki kawasan kami ini, hah?”“Izin?” Huang menyeringai tipis, lantas melipat tangan ke dada, sekaligus mengepit pedang bergagang merahnya.“Yah, tentu saja!” sahut pria yang sama. “Apa kau itu bodoh?”“Apakah kalian akan percaya,” balas Huang, “jika kukatakan bahwa kami diberi izin langsung oleh Putra Mahkota Minangatamvan?”Tiga pria itu saling pandang. Keraguan sedikit terlihat di antara mereka, akan tetapi, itu hanya sekejap sebelum mereka tertawa-tawa dengan merendahkan Feng dan Huang.“Tuan-Tuan bertiga,” kata Feng dengan mencoba untuk tetap tampak tenang, bahkan dengan gestur yang sangat sopan. “Saya adalah Feng dan ini adalah istri saya, Huang. Istri saya berkata y
Angin tajam menggores dalam permukaan tanah dan berakhir berbentur keras dengan parang di tangan si penjahat sehingga menghentikan perputaran tubuhnya, juga sekaligus melontarkannya dua langkah ke belakang.Brukk!“Keparat!” pria berparang menggeram, dari sela giginya yang terkatup rapat mengalir darah segar.“Belum terlambat untuk pergi dari sini,” ucap Feng dengan baik.“Oh, aku semakin ingin mencincangmu, bajingan!”Wuush!Pria berkeris kembali melancarkan serangan.Tapi si Pemuda Tiongkok itu kembali menyarungkan pedangnya setelah menghempaskan si penjahat berparah.Hal ini justru membuat penjahat berkeris semakin meradang sebab menganggap bahwa si Pemuda Tiongkok sedang merendahkan dirinya.“Terima seranganku, bajingan!”Swiing!Begitu menjejak tanah, si penjahat langsung mengibaskan keris di tangannya sedemikian rupa.Gerakan itu cukup indah di mata Feng. Tapi tentu saja, dia tidak ingin terluka atau mati sia-sia karena hal tersebut sehingga menggunakan pedang yang telah dia sar
Ketiga penjahat menyadari bahwa dua orang yang mereka usik bukanlah orang sembarangan. Terlebih lagi, dengan ujung pedang di tangan sang gadis tepat berada di depan leher salah seorang dari mereka.“Adik!” Feng sedikit khawatir bila sang istri bertindak lebih jauh daripada yang semestinya.“Tidak, Kak Jian,” timpal Huang tanpa mengalihkan pandangannya dari ketiga penjahat yang menjemplok di tanah. “Sudah cukup jelas bahwa mereka bertiga adalah para penculik yang menargetkan para gadis untuk kemudian dijual sebagai wanita penghibur.”“Aku tahu,” kata Feng. “Tapi―”“Mereka harus mati, Kakak!” balas Huang dengan sorot mata yang begitu mengerikan pada ketiga penjahat. “Mereka pantas berada di Neraka!”Dalam ketakutan dan kekhawatiran mereka atas nyawa di badan, ketiga penjahat lantas berlutut dengan cepat di hadapan Huang dan Feng.“Pendekar Muda,” ucap si pimpinan yang kehilangan pedang lenturnya. “Mohon berbelaskasihan pada kami.”“Benar, Pendekar,” kata yang di kanan. “Kami mengaku sal
Zhou Hoaren meninggalkan penginapan di tepi rawa di Lubuk Linggau, meneruskan perjalanannya ke arah timur.Meski telah menunggangi seekor kuda hitam yang ia beli pada penduduk tempatan, namun si Pria Tiongkok sama sekali tak hendak terburu-buru.Seolah-olah, perjalanannya itu adalah sebuah darmawisata saja baginya. Sembari terus mengejar keinginannya, Hoaren juga menikmati setiap pemandangan yang ia temukan, atau keramaian yang ia lewati.Sementara itu, Feng dan Huang akhirnya tiba di Lubuk Linggau, satu setengah hari kemudian.Di satu kedai makan, pasangan suami-istri muda itu mendapatkan informasi bahwa orang yang mereka cari, yakni Zhou Hoaren pernah berada di kawasan tersebut.“Yaah,” ujar seorang pria paruh baya pada Huang. “Laki-laki Tiongkok itu baru-baru ini memang tinggal di satu penginapan di kawasan ini.”“Di mana itu?” desak Huang.“Hmm, sebuah penginapan yang ada di sisi timur,” jawab sang pria. “Berdekatan dengan sebuah rawa.”Huang saling lirik dengan suaminya dan menga
Sang ayah di keluarga itu memiliki badan yang lebih kurus dan sedikit lebih rendah daripada pemuda yang dikonfrontasi. Akan tetapi, dia punya ego dan kelicikan yang lebih tinggi.“Jangan menyalahkanku jika aku bertindak kasar padamu, Anak Muda!” bentaknya dengan menghunus parangnya yang memiliki ujung bengkok.“Uda …” remaja 15 tahun semakin gemetar di belakang kakak laki-lakinya.“Tenanglah, Adik,” bisik sang pemuda. “Aku tidak akan membiarkan orang-orang ini balanteh angan kepada kita hanya lantaran kita adalah anak yatim piatu!”“Ouh, kau punya urat juga rupanya untuk terus membantahku, hah?” teriak si pria dengan parang bengkoknya. “Balanteh angan kau bilang? Sudah kenyataan di depan mata kalian bahwa ketiding dan ikan-ikan itu milik kami, dan kalian masih saja berkilah!”Sang pemuda menjatuhkan ketiding yang setengahnya dipenuhi oleh ikan-ikan hasil dari lukah sebelumnya ke tanah.Tentu saja, pikirnya. Satu keluarga yang menuduh dia dan adiknya mencuri ketiding dan ikan hasil tan
“Desa kecil ini berada di kawasan paling barat Air Hitam,” ucap pria 40 tahun pada tamunya. “Untuk sampai ke Sriwijaya di Palembang, engkau harus menempuh perjalanan ke timur. Setidaknya, akan menghabiskan waktu dua hari dengan berkuda.”“Begitu, ya?” Zhou Hoaren mengangguk-angguk. “Terima kasih sudah memberi saya petunjuk arah.”“Tidak,” si kepala keluarga terkekeh. “Jangan sungkan padaku, Anak Muda. Kau penyelamat keluarga kami. Dan maaf jika rumah kami tidak begitu nyaman bagimu.”“Oh, tidak,” kekeh Hoaren dan menyeruput secangkir teh hangat. “Anda punya rumah yang lebih besar dibandingkan rumah penduduk lainnya yang saya lihat dalam perjalanan ke sini tadi. Dan ini cukup nyaman, menyenangkan.”“Ahh, engkau sangat pandai memuji, Anak Muda.”Dan keduanya tertawa-tawa.Sedangkan di dapur, sang ibu sedang memberikan sebuah usulan pada putrinya.“Kau sudah lihat si Orang Gagah itu, bukan?” bisik sang ibu pada sang gadis.Sang gadis tersenyum senang dan mengangguk.“Dia pasti dari kelua
“Yah, di sini memang pas untuk dijadikan tempat beristirahat,” ucap Dangmudo Basa.Puncak perbukitan rendah terlihat memang bergelombang, akan tetapi, secara garis besar justru terlihat rata.“Lihat!” dia menunjuk ke arah tenggara. “Ujung perbukitan ini sepertinya melandai.”Puti Champo tidak begitu menggubris sang Putra Mahkota, dia terlihat asyik memandangi bebungaan liar di sekitar.“Baiklah,” Kirawah mengangguk. “Saya dan Kanteh akan mencari kayu bakar untuk membuat perapian.”“Mungkin pula ada kelinci-kelinci liar yang hidup di atas sini,” sambung Kanteh pula. “Setidaknya, sesuatu untuk kita makan malam ini.”Dangmudo Basa mengangguk dan kedua pengawalnya itu berpencar.Meski pepohonan besar tidak banyak yang terlihat di sana, tapi pastinya akan ada ranting-ranting mati yang bisa digunakan.“Aku tidak pernah tahu tempat ini sebelumnya,” sang Putra Mahkota melirik pada Saliah.Si pemuda lugu menghela napas lebih dalam. “Sa-Saya juga tidak,” balasnya. “Ta-Tapi … mungkin disebabkan
“Me-Mereka pasti tidak mau jauh-jauh dari Pu-Putra Mahkota.”“Aah!” sang gadis mengangguk-angguk menanggapi ucapan Saliah.“Kau keberatan?” Dangmudo Basa tersenyum lebar sembari meluruskan punggung. “Nona Champo?”“Dasar manja!” kikik sang gadis. “Kemana-mana harus dikawal.”“Ayolah, Nona,” balas sang Putra Mahkota dengan wajah sedikit merah. “Beri sedikit muka untukku di sini. Lagi pula, sudah menjadi tugas mereka untuk selalu mendampingiku. Aku sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa.”Puti Champo terkikik tanpa suara seraya mengendikkan bahu.“Paduko,” ucap Kirawah begitu dia dan Kanteh telah berada di dekat Dangmudo Basa. “Lain kali, jangan pergi begitu saja.”“Ya!” Kanteh mengangguk-angguk. “Setidaknya, tolong pikirkan juga nasib kami jika hal semacam ini diketahui oleh Datuak Rajo Tuo.”Dangmudo Basa menyeringai pada Puti Bungo, “Kau dengar itu?”“He-emm, terserah!” jawab sang gadis acuh tak acuh.Dia melangkah ke sisi barat telaga.“Hei, hei!” Dangmudo Basa langsung menyusul. “J
“Tidak ada lagi yang tersisa di sini!” Kanteh mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Kita turun sekarang!”Salah satu pengawal Putra Mahkota Minanga membawa sekitar seratus orang prajurit bersamanya menuruni lereng perbukitan, dari sudut utara.Sementara Kamba yang berada di sudut timur perbukitan besar itu juga melakukan hal yang sama, bersama seratus prajurit bersamanya.Juga, Kirawah di sisi barat dengan seratus prajurit yang mengikuti perintahnya.Mereka baru saja selesai menyisir semua sisi dari kawasan Bukit Tiga Puluh. Tidak ada lagi penjahat-penjahat di bawah pimpinan Amugar alias si Mata Malaikat yang bersarang ataupun bersembunyi di kawasan itu.Bahkan goa besar dan alami yang menjadi markas Amugar beserta kroni-kroninya juga ditemukan dan telah disisir dengan baik.Para prajurit membawa semua barang-barang milik Penjahat Bukit Tiga Puluh. Mulai dari perhiasan perak, emas, kain-kain sutra, dan benda-benda berharga lainnya.Barang-barang tersebut sejatinya adalah hasil rampasan
Dengan menahan geram dan kekesalan luar biasa terhadap Hoaren, Daiyun mengangkat jasad sang kusir.“Apa yang harus aku lakukan, Guru?”“Amitabha,” sahut Guru Ma. “Orang-orang di Swarnadwipa lebih suka menguburkan jasad daripada mengkremasinya.”Sang Biksu Muda langsung mengerti apa yang harus dia lakukan.Akan tetapi, langkahnya tertahan sebab Hoaren melesat ke arahnya dengan melancarkan serangan dahsyat.“Kau tidak perlu menguburkan bangkai pria itu, Biksu busuk!”Wuush!Daiyun membelalak sebab mengenali jurus telapak yang dilepas oleh Hoaren.“Kau―”Teph!Hoaren sempat terkejut ketika mendapati jurus telapaknya ditahan seseorang, dan seseorang itu adalah Guru Ma sendiri.Dia menyeringai.“Sudah kuduga!”“Kau berlebihan, Tuan Muda Zhou,” ucap Guru Ma yang beradu telapak tangan kanan dengan telapak tangan kanan Hoaren. “Sangat berlebihan, shan cai, shan cai.”Swoosh!Dhumm!Akibat paksaan pada tekanan tenaga dalam oleh Hoaren, kekuatan itu pecah dan mementalkannya beberapa langkah ke
“Saya tidak yakin apakah di orang yang kalian kejar,” ujar Galang. “Akan tetapi, kendatipun dia menutupi sebagian wajahnya dan mencoba mengubah gaya bicaranya, saya masih bisa menduga bahwa dia bukanlah pribumi Sriwijaya.”Feng dan Huang saling pandang.“Tidak mungkin tidak,” Huang terlihat begitu geram. “Kak Jian, aku yakin, dia pasti si Hoaren!”Sang suami menghela napas dalam-dalam.“Aku juga berpikiran yang sama,” tanggapnya. “Komandan Galang … tidak ada orang yang mengenal kami di Swarnadwipa ini, kecuali mereka yang telah menjadi sahabat baru bagi kami. Terlebih lagi, seseorang dari Tiongkok. Selain Guru Ma dan Biksu Muda bernama Daiyun itu, tidak ada.”“Zhou Hoaren itu orang yang sangat licik,” sambung Huang pula pada sang komandan. “Dia sangat berbahaya!”Galang mengangguk-angguk dengan tangan merangkap di dada.Dia berada di dalam sel tahanan Feng dan Huang tanpa penjagaan dari prajurit lainnya.Lagi pula, dia sangat yakin bahwa orang-orang seperti suami-istri muda di hadapan
Datu Agung Sarta mendengus pelan, itu lebih terdengar seperti sedang menahan tawa.Komandan Galang menghela napas lebih dalam, lalu berkata, “Maaf, Datu, saya tidak bermaksud―”“Kalaupun benar,” sahut sang datu, “di mana salahnya? Sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk melindungi suami-istri muda itu, bukan? Aku juga akan melakukan hal yang sama, Galang. Mencari dan mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, menghubungi seseorang berpengaruh yang dapat membantuku. Yaah, tidak ada yang salah. Jadi, biarkan saja mereka.”Sang komandan mengangguk-angguk. Setidaknya, pemikirannya menjadi semakin tercerahka oleh ucapan sang Datu Panglima.“Yang jadi pertanyaan sebenarnya adalah,” lanjut sang datu, “pada siapa mereka hendak meminta bantuan? Kita semua tahu, Guru Ma dan Biksu Muda itu belum setahun jagung di Andalas ini. Begitu juga dengan Feng dan Huang.”“Mungkinkah Dangmudo Basa?” tebak Galang. “Putra Mahkota Minanga?”Sang datu mendesah halus. “Sulit untuk dipastikan,” ujarnya. “Lagi pula,
“Tidak ada hal yang bisa kita lakukan lagi jika Datu Telinga Utara berhasil membawa seseorang yang mengetahui segalanya ke sini.”Daiyun terlihat sedikit panik demi mendengar ucapan dari Feng barusan.Sementara, Guru Ma mengangguk-angguk kecil.“Guru Ma?” Huang berharap pria tua bersahaja yang satu itu punya jalan keluar yang baik bagi keduanya.Atas izin dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Guru Ma dan Daiyun diperbolehkan menjenguk Feng dan Huang di dalam penjara.“Amitabha …” ujar Guru Ma. “Jika Tuan Muda sudah berkata demikian, saya khawatir apa yang saya takutkan benar-benar terjadi.”Feng dan Huang saling pandang, sedangkan Daiyu sedikit bingung sebab tidak begitu memahami apa yang sedang dibahas oleh Guru Ma dengan dua sejoli bersama mereka.“Adik,” ujar Feng pada Huang, “kurasa, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi.”“Aku tahu,” Huang mengangguk. “Lagi pula, kita membutuhkan Guru Ma untuk saat sekarang ini.”“Shan cai, shan cai …” seakan memahami apa yang perah dialami oleh Fe
Datu Telinga Utara berlalu dengan pandangan dingin dan seringai lebar di wajah terhadap Feng dan Huang.Seolah-olah, tatapan itu menegaskan bahwa pasangan muda itu tidak akan bisa kemana-mana.“Tunggu saja hari kalian!”Hanya kalimat itu yang didengar oleh Feng maupun Huang seiring sosok sang datu berlalu dari ruang besar. Kalimat tidak menyenangkan yang dipenuhi ancaman besar.“Maafkan aku, Tuan Muda Feng, Nona Huang.”Perhatian suami-istri muda beralih pada sosok yang baru saja berujar, Dapunta Hyang Sri Jayanasa.“Tapi kami telah menebus kesalahan tak berniat di Batu Limau ketika itu!”Sang raja mengernyit menanggapi ucapan Huang yang sedikit dibalut emosi.“Adik!” Feng lekas merangkul bahu sang istri.“Kami memperlihatkan itikad baik selama ini, Tuan Raja,” lanjut Huang dengan mata memerah. “Tanyakan saja pada komandan bernama Galang di sana!”Galang mereguk ludah. Tatapannya berpindah dari Huang ke sang raja, lalu kepada Datu Panglima.“Adik tenanglah!” pinta Feng dengan lembut.
“Jika Yang Mulia mengizinkan,” kata Datu Arrumanda, “maka, sekarang juga patik akan berlayar ke Pulau Alai demi mendatangkan dua saksi kunci yang mengetahui kejadian sebenarnya di Batu Limau.”Dapunta Hyang sebenarnya meyakini bahwa Feng dan Huang bukanlah seburuk dan sekeji yang dituduhkan. Dia bisa saja melepas keduanya, membebaskan mereka dari segala tuduhan.Akan tetapi, hal ini tentu menjadi bertolak belakang dengan nama besarnya yang tersohor sebagai seorang pemimpin yang adil lagi arif.“Yang Mulia?”Sementara sang raja berpikir keras, Datu Maripualam pula dan yang lainnya di sana tidak tahu harus berkata apa lagi.Komandan Galang juga demikian. Padahal, dia dan Datu Panglima sengaja untuk menyimpan kejadian di luar tembok barat agar tidak dikait-kaitkan pada Feng dan Huang.Tapi tampaknya, peristiwa yang lebih besar lagi justru muncul ke permukaan, memberatkan pasangan suami-istri muda.Tatapan sang raja bertemu pandang dengan tatapan Feng dan Huang, bergantian. Dia menghela n