“Jadi,” si Mata Malaikat menatap jauh sembari mengusap dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu kasar. “Yang sepasang pergi ke arah selatan, hah?”“Benar, Ketua,” ucap salah seorang dari dua anak buahnya. “Sedangkan rombongan Dangmudo Basa, kami rasa mereka kembali ke Batang Kuantan melalui sisi timur Bukit Tigapuluh.”“Apa yang kau pikirkan, Ketua?” tanya Siwan.Si Mata Malaikat menghela napas dalam-dalam. Dia kemudian berdiri dan meninggalkan singgasananya, melangkah ke sisi kanan ruangan besar tanpa sekat tersebut.“Dua orang itu,” ucapnya kemudian dengan melirik Siwan di belakang hanya dari ujung bahunya saja sementra dua tangan menyatu di belakang punggung. “Kurasa mereka sama seperti si gadis cantik yang mengaku bernama Hoa Nhai sebelumnya itu.”“Yaah!” Siwan mengangguk. “Sepertinya mereka juga berasal dari Champa. Ketua!”Sang wanita muda menghampiri sang pimpinan lalu berdiri dua langkah di kiri belakangnya.“Engkau sudah pernah bertarung dengan sosok yang pria, bukan?”Si Mata Malaik
“Hei,” Feng sedikit merasa tersinggung dengan ucapan si pria di tengah. “Kami tidak mengenal kalian dan kalian tidak mengenal kami, lalu mengapa berkasar kata pada kami?”“Jangan banyak cakap, orang asing!” hardik seorang yang di kiri dengan menunjuk Feng menggunakan parang di tangannya. “Apakah kalian punya izin memasuki kawasan kami ini, hah?”“Izin?” Huang menyeringai tipis, lantas melipat tangan ke dada, sekaligus mengepit pedang bergagang merahnya.“Yah, tentu saja!” sahut pria yang sama. “Apa kau itu bodoh?”“Apakah kalian akan percaya,” balas Huang, “jika kukatakan bahwa kami diberi izin langsung oleh Putra Mahkota Minangatamvan?”Tiga pria itu saling pandang. Keraguan sedikit terlihat di antara mereka, akan tetapi, itu hanya sekejap sebelum mereka tertawa-tawa dengan merendahkan Feng dan Huang.“Tuan-Tuan bertiga,” kata Feng dengan mencoba untuk tetap tampak tenang, bahkan dengan gestur yang sangat sopan. “Saya adalah Feng dan ini adalah istri saya, Huang. Istri saya berkata y
Angin tajam menggores dalam permukaan tanah dan berakhir berbentur keras dengan parang di tangan si penjahat sehingga menghentikan perputaran tubuhnya, juga sekaligus melontarkannya dua langkah ke belakang.Brukk!“Keparat!” pria berparang menggeram, dari sela giginya yang terkatup rapat mengalir darah segar.“Belum terlambat untuk pergi dari sini,” ucap Feng dengan baik.“Oh, aku semakin ingin mencincangmu, bajingan!”Wuush!Pria berkeris kembali melancarkan serangan.Tapi si Pemuda Tiongkok itu kembali menyarungkan pedangnya setelah menghempaskan si penjahat berparah.Hal ini justru membuat penjahat berkeris semakin meradang sebab menganggap bahwa si Pemuda Tiongkok sedang merendahkan dirinya.“Terima seranganku, bajingan!”Swiing!Begitu menjejak tanah, si penjahat langsung mengibaskan keris di tangannya sedemikian rupa.Gerakan itu cukup indah di mata Feng. Tapi tentu saja, dia tidak ingin terluka atau mati sia-sia karena hal tersebut sehingga menggunakan pedang yang telah dia sar
Ketiga penjahat menyadari bahwa dua orang yang mereka usik bukanlah orang sembarangan. Terlebih lagi, dengan ujung pedang di tangan sang gadis tepat berada di depan leher salah seorang dari mereka.“Adik!” Feng sedikit khawatir bila sang istri bertindak lebih jauh daripada yang semestinya.“Tidak, Kak Jian,” timpal Huang tanpa mengalihkan pandangannya dari ketiga penjahat yang menjemplok di tanah. “Sudah cukup jelas bahwa mereka bertiga adalah para penculik yang menargetkan para gadis untuk kemudian dijual sebagai wanita penghibur.”“Aku tahu,” kata Feng. “Tapi―”“Mereka harus mati, Kakak!” balas Huang dengan sorot mata yang begitu mengerikan pada ketiga penjahat. “Mereka pantas berada di Neraka!”Dalam ketakutan dan kekhawatiran mereka atas nyawa di badan, ketiga penjahat lantas berlutut dengan cepat di hadapan Huang dan Feng.“Pendekar Muda,” ucap si pimpinan yang kehilangan pedang lenturnya. “Mohon berbelaskasihan pada kami.”“Benar, Pendekar,” kata yang di kanan. “Kami mengaku sal
Zhou Hoaren meninggalkan penginapan di tepi rawa di Lubuk Linggau, meneruskan perjalanannya ke arah timur.Meski telah menunggangi seekor kuda hitam yang ia beli pada penduduk tempatan, namun si Pria Tiongkok sama sekali tak hendak terburu-buru.Seolah-olah, perjalanannya itu adalah sebuah darmawisata saja baginya. Sembari terus mengejar keinginannya, Hoaren juga menikmati setiap pemandangan yang ia temukan, atau keramaian yang ia lewati.Sementara itu, Feng dan Huang akhirnya tiba di Lubuk Linggau, satu setengah hari kemudian.Di satu kedai makan, pasangan suami-istri muda itu mendapatkan informasi bahwa orang yang mereka cari, yakni Zhou Hoaren pernah berada di kawasan tersebut.“Yaah,” ujar seorang pria paruh baya pada Huang. “Laki-laki Tiongkok itu baru-baru ini memang tinggal di satu penginapan di kawasan ini.”“Di mana itu?” desak Huang.“Hmm, sebuah penginapan yang ada di sisi timur,” jawab sang pria. “Berdekatan dengan sebuah rawa.”Huang saling lirik dengan suaminya dan menga
Sang ayah di keluarga itu memiliki badan yang lebih kurus dan sedikit lebih rendah daripada pemuda yang dikonfrontasi. Akan tetapi, dia punya ego dan kelicikan yang lebih tinggi.“Jangan menyalahkanku jika aku bertindak kasar padamu, Anak Muda!” bentaknya dengan menghunus parangnya yang memiliki ujung bengkok.“Uda …” remaja 15 tahun semakin gemetar di belakang kakak laki-lakinya.“Tenanglah, Adik,” bisik sang pemuda. “Aku tidak akan membiarkan orang-orang ini balanteh angan kepada kita hanya lantaran kita adalah anak yatim piatu!”“Ouh, kau punya urat juga rupanya untuk terus membantahku, hah?” teriak si pria dengan parang bengkoknya. “Balanteh angan kau bilang? Sudah kenyataan di depan mata kalian bahwa ketiding dan ikan-ikan itu milik kami, dan kalian masih saja berkilah!”Sang pemuda menjatuhkan ketiding yang setengahnya dipenuhi oleh ikan-ikan hasil dari lukah sebelumnya ke tanah.Tentu saja, pikirnya. Satu keluarga yang menuduh dia dan adiknya mencuri ketiding dan ikan hasil tan
“Desa kecil ini berada di kawasan paling barat Air Hitam,” ucap pria 40 tahun pada tamunya. “Untuk sampai ke Sriwijaya di Palembang, engkau harus menempuh perjalanan ke timur. Setidaknya, akan menghabiskan waktu dua hari dengan berkuda.”“Begitu, ya?” Zhou Hoaren mengangguk-angguk. “Terima kasih sudah memberi saya petunjuk arah.”“Tidak,” si kepala keluarga terkekeh. “Jangan sungkan padaku, Anak Muda. Kau penyelamat keluarga kami. Dan maaf jika rumah kami tidak begitu nyaman bagimu.”“Oh, tidak,” kekeh Hoaren dan menyeruput secangkir teh hangat. “Anda punya rumah yang lebih besar dibandingkan rumah penduduk lainnya yang saya lihat dalam perjalanan ke sini tadi. Dan ini cukup nyaman, menyenangkan.”“Ahh, engkau sangat pandai memuji, Anak Muda.”Dan keduanya tertawa-tawa.Sedangkan di dapur, sang ibu sedang memberikan sebuah usulan pada putrinya.“Kau sudah lihat si Orang Gagah itu, bukan?” bisik sang ibu pada sang gadis.Sang gadis tersenyum senang dan mengangguk.“Dia pasti dari kelua
“Langit sudah gelap,” ucap sang suami seraya memandang ke arah luar dari jendela yang terbuka di ruang depan. Dia melirik lagi pada istrinya. “Tapi, putri kita dan si Anak Muda itu belum juga kembali.”“Apa yang engkau khawatirkan?” sang istri terkikik pelan. “Suamiku?”“Tentu saja aku khawatir,” balas sang suami. “Bagaimana jika ternyata si Pria Tiongkok itu menipu kita? Astaga … aku harus menyusul mereka ke sungai di belakang sekarang!”“Jangan konyol!”Sang suami menghentikan langkah, memandang dengan kening mengernyit pada istrinya.“Dengar,” lanjut sang istri, “mereka baru saja saling mengenal. Tentu saja, akan butuh waktu untuk bisa lebih intim. Apa kau tidak memahami ini, hmm?”Sang suami terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar.“Kau benar,” ucapnya. “Yaah, kau benar, Istriku. Pasti butuh basa-basi yang sangat canggung sekali. Terlebih lagi, putri kita adalah seorang gadis pemalu yang belum pernah tersentuh laki-laki mana pun.”“Yaah, itulah yang aku maksud.”Suami-istri itu mela