Pukul 21:35 di Little Tokyo.
Bangunan-bangunan berlantai dua dengan atap genteng khas jepang berjejeran saling berhadapan sepanjang jalan kawasan Blok M. Lentera-lentera berwarna merah bergelantungan tertiup angin menghiasi hampir disetiap bangunan-bangunan tersebut. Orang-orang berlalu lalang di bawahnya, mereka saling bergandengan, bencanda ria, mengobrol, berfoto, lalu tertawa lagi, di antara mereka berucap “Ya, tentu saja aku mau...”. Dan beberapa orang lainnya yang berjalan sendirian terlihat murung, ia menyumpahi segala macam yang ada di sepanjang jalan itu, “sialan, aku menginjak tahi burung lagi.” Kawasan itu benar benar ramai.
Galang mengisyaratkan ke Rossa supaya menepi di sebuah sisi jalan yang masih agak jauh dari kawasan tersebut, kedua bola mata Rossa melirik ke sebuah restoran jepang yang sangat ramai dikunjungi. Restoran tersebut berlantai dua dengan lantai ruftop yang difungsikan sebagai tempat makan untuk para pen
Persis seperti yang dikatakan oleh si Manajer mobil, Pria bertubuh besar itu memiliki tatto berbentuk mawar di lengannya, dia berkumis tebal, namun tidak memiliki rambut sepeserpun di kepalanya. Sambil mengancing rompi kulitnya, dia berjalan ke arah Galang dengan langkah tegap. Jantung Galang berderap begitu kencang memandangi wajah sok kuat itu, tangannya meremas kesal di atas dasbord mobil, di belakang pria itu muncul pula beberapa temannya dengan baju rompang-ramping khas preman pasar. Tangan Galang sudah hampir membuka pintu mobil, namun berhasil ditahan oleh Rossa. “Tahan emosimu, Darling. Jangan mengamuk disini, banyak orang-orang tak bersalah yang akan kena imbasnya jika kamu menghajar mereka disini. Lihatlah, pandangan pria itu tidak tertuju ke kita. Artinya dia tidak sadar kita telah mengawasinya. Biarkan dia mengendarai motornya, lalu kita buntuti mereka.” Benar kata Rossa, si Anton melewati mobil mereka begitu saja tanpa curiga sedikit pun. Hanya saja preman-preman pasar d
*** Bulan Desember 15 tahun lalu... Saat itu hujan deras mengguyur daerah kaki Gunung Pancar, wilayah Bogor. Angin dari barat meronta-rontakan dedaunan pohon di sekitar Klenteng Tiga Dewa yang diurus Master Chong. Beberapa ranting yang patah dari pohonnya menyerbu genting tanah liat yang menaungi klenteng tersebut, sehingga menciptakan suara gemuruh dan gaduh di atas kepala Master Chong. “Sepertinya badai akan datang,” ucap Master Chong dalam hati, sambil terhuyung masuk ke ruang berdoa, dia dari tadi beridiri di ambang pintu. Kakinya yang sebetulnya masih sehat, entah kenapa terasa kaku dan gemetaran. Firasatnya merasa hal buruk mungkin saja akan terjadi padanya atau pada klenteng ini atau pada orang-orang disekitarnya. Tepat saat baru tiga langkah masuk ke dalam seseorang meneriakinya, suaranya memekik di antara deburan air hujan yang deras. Master Chong menengok ke arah hujan, seorang laki-laki muda berlarian ke arahnya, tubuhnya seratus persen basah. Namun, masih bisa dikenali
***Gemuruh hujan semakin deras menyerbu, genting-genting klenteng beradu dengan air yang turun dari langit. Daerah Bogor memang sering sekali hujan, tetapi hujan deras seperti ini jarang sekali terjadi. Seakan langit sedang marah dan ingin mengamuk melalui angin yang meronta-ronta.“Apa kalian dengar suara gemuruh itu?” ujar Master Chong.Para warga mengangguk seperti sebuah boneka yang digerakan kepalanya, namun tidak tahu kemana arah tujuan perkataan Master Chong.“Itu adalah dewa langit yang sedang marah, dia ganas dan tak bisa ditebak, kalian semua kan tahu daerah sini banyak pohon-pohon besar yang bisa setiap saat roboh. Apa jadinya kalau salah satu yang roboh itu mengenai kalian yang sedang mempertontonkan hal tak bermoral seperti tadi?”Semua diam, “Tak usah melakukan hal-hal bodoh seperti itu lagi, itu memalukan. Aku ingin kalian menyerahkan anak ini pada klenteng. Kami akan memulangkannya, tanpa melakuk
Rossa mengangguk, begitulah yang diperintahkan oleh si Limbertman bos besarnya, “Jika kau tertangkap oleh seseorang, gunakanlah nama itu. Seharusnya mereka akan segera melepaskanmu.” Rossa sudah beberapa kali menggunakan nama itu untuk menakuti orang yang menangkapnya dan itu memang berhasil.Entah kenapa wajah orang-orang yang mendengar nama tersebut seketika pucat dan tanpa sadar bergetar ketakutan, pada saat itulah Rossa biasanya melarikan diri sekencang mungkin.Namun, biksu berkepala plontos dengan luka bakar dimatanya ini sama sekali tidak menunjukan bahwa dia menjadi takut, justru sebaliknya. Dia mendekat ke Rossa dengan bola mata yang berkilat memantulkan cahaya-cahaya lentera. Entah kenapa Rossa merasa dia nampak seperti predator buas yang kaget melihat onggokan daging lezat di hadapannya.Biksu Wabi menekukan lutut lalu tangan kanannya mengusap rambut Rossa yang basah akibat kehujanan.“Kau tidak usah takut disini, orang tua berjanggut putih itu sangatlah kuat. Bahkan Lim
Pukulan tangan kiri Andrian akhirnya menembus pertahanan Galang, kepalan tangannya menghantam rahang bawah pria yang terkenal dengan ke kolotannya itu. Sepersekian detik berikutnya, tangan kanan Andrian menghantam pelipis kiri Galang dengan gaya pukulan menyilang. Sarung tangan dengan tebal 2 cm itu rasanya tidak menimbulkan efek meredam apa pun, pukulan terasa sangat sakit. Kaki Galang tersentak mundur, tubuhnya sedikit terempas hampir tersungkur dan ia mengalami disorientasi sesaat, telinganya berdenging. Galang terlambat melakukan pertahanan, dia meremehkan stamina lawannya yang sudah bertahan di atas ring selama 4 ronde. Dengan kecepatan seekor tupai, Andrian melanjutkan serangannya, ia melompat, mendekap tubuh Galang hingga mereka berdua pun menjerembap di matras. Penonton bersorak kegirangan. Andrian yang sejak awal dipukuli habis-habisan, kini membalik keadaan di dua puluh detik ronde terakhir ini. Pergulatan terjadi, Galang mencoba melepaskan pelukan Andrian, namun posisi Andr
"GILA, dapet banyak lo, To?" pekik Udin dengan takjub. Pria bermulut agak monyong ini pemilik warung kopi dua puluh empat jam di Kampung Melayu. Ia memegang secarik kertas putih yang berisi kombinasi angka acak. Dan untuk kesekian kalinya Udin mencocokan nomor di kertas tersebut denganp catatan di bukunya."Ssttt, gak usah kenceng-kenceng napa, Din. Buruan sini duitnya ah. Mau berapakali lo cek juga tetep cocok nomernya." desak seorang pria bertubuh pendek yang berdiri di ambang pintu warung.Suara tawa terbahak-bahak menembus bilik kayu sampai masuk ke dalam warung. Di luar, empat orang pria sedang asik bermain kartu Poker. Salah seorang di antara mereka mengumpat dengan kesal, berbagai macam kata makian keluar dari moncongnya. Ketidak-ahliannya m
Suara sirine Ambulans, gemeretak baut-baut kendur, celoteh mulut-mulut bergosip dari depan, desis roda yang berputar semakin kencang, nyanyian angin yang berlalu. Galang setengah sadar mendengarkan itu semua. Dia terkapar di atas ranjang pasien yang telah reyot. Napasnya dibantu oleh tabung oksigen. Perempuan yang menyelamatkannya tidak terlihat ikut di ambulan ini. Galang menutup matanya lagi. Koak burung camar dari atas sana menyeruak sampai ke telinga Galang yang merintih kesakitan. Dia sadar dengan susah payah, sekujur tubuhnya gemetar berlumur darah. Gemeletuk roda kereta sudah semakin menjauh dari pendengarannya. Beberapa menit lalu -sebelum kejadian- gendang telinganya dipenuhi klakson kereta yang semakin keras mendekat, merobek telinga. Mobil yang dikemudikan ayahnya entah kenap
Pukul 06.00 di kantor kepolisian,Telapak tangan komandan berbintang tiga itu menggebrak meja dengan keras. Jejeran gelas serta alat tulis di atas daun meja melompat bergetar. Air di dalam gelas tersebut terkoyak hampir tumpah.Kedua bola mata komandan memandangi satu per satu orang di ruangan brifing para penyidik. Hanya ada enam orang di ruangan berukuran 5 x 6 m² tersebut, duduk mengelilingi meja panjang.Komandan mengambil sebuah tongkat kayu, diketuknya dengan tegas muka papan tulis putih di depannya itu. Air muka komandan yang sangar dengan kumis tebalnya yang bergerak-gerak seperti ulat bulu, membuat semua orang tegang memandanginya."Eros! Kau, lihatkan daftar kasus in