Pukul 06.00 di kantor kepolisian,
Telapak tangan komandan berbintang tiga itu menggebrak meja dengan keras. Jejeran gelas serta alat tulis di atas daun meja melompat bergetar. Air di dalam gelas tersebut terkoyak hampir tumpah.
Kedua bola mata komandan memandangi satu per satu orang di ruangan brifing para penyidik. Hanya ada enam orang di ruangan berukuran 5 x 6 m² tersebut, duduk mengelilingi meja panjang.
Komandan mengambil sebuah tongkat kayu, diketuknya dengan tegas muka papan tulis putih di depannya itu. Air muka komandan yang sangar dengan kumis tebalnya yang bergerak-gerak seperti ulat bulu, membuat semua orang tegang memandanginya.
"Eros! Kau, lihatkan daftar kasus in
Pukul 09.12Baru saja Lila memarkirkan mobil, sebuah ambulan mengaung pergi menjauh dari halaman rumahnya. Kepala Lila menatap perginya mobil tersebut yang melaju cepat melewatinya, buru-buru ia berlari menuju rumah.Ia memelankan langkah lari ketika hampir sampai, menatap nanar ke rumah. terbatuk akibat bau hangus yang sangat menyengat. Hampir semua orang yang ada disitu, memandanginya dengan tatapan bersimpati. Lila berjalan pelan menerawang ke seluruh bangunan yang kini tidak dikenalinya lagi. Atap yang setengah roboh, pintu depan yang telah habis, jendela-jendela kaca berserakan, serta debu hitam yang menyelimuti setiap sudut ruang, ia menerjang garis polisi lalu masuk ke dalam rumah dengan perasaan gundah, lantai rumah dipenuhi barang-barang yang menjadi abu. Kakinya tanpa ia sadari terus melangkah ke depan.
Mobil ambulan yang dikemudikan Galang meliuk-liuk di antara kendaraan besar di jalan protokol. Sebuah kontainer mengklaksoninya dengan geram karena ia memotong jalurnya dengan sembarangan dan gila. Namun, Galang tidak menggubris, asal mereka tahu, ia jauh lebih kesal dari para supir-supir itu. Sudah lima kali panggilan teleponnya tidak diangkat Nazar, sambil menggerutu Galang melempar telepon seluler ke bangku samping. Kedua roda depan mobil ambulan itu akhirnya berbelok keluar dari jalan protokol, memasuki jalan yang lebih kecil dan tidak terlalu ramai. Kanan kirinya berdiri bangunan ruko bekas peninggalan Belanda dulu. Satu-satunya bangunan yang paling mencolok di sepanjang jalan ini adalah sebuah apartemen berbentuk kue lapis yang berdiri kokoh menghadap jalur protokol. Galang memutar kemudi dan ambulan masuk ke parkiran apartemen. Sebelum Galang kel
Cetek… cetek… cetek… sebuah suara terdengar dari arah depan.Setelah menutup pintu kamar, Galang menoleh ke gagang pintu depan. Knop bergerak konstan naik-turun, lalu beberapa saat kemudian terdengar suara percakapan dari balik pintu tersebut. Galang terkesiap akan kehadiran orang tersebut, situasinya akan lebih buruk jika ada yang melihatnya berada di sini. Ia menatap ke seluruh sudut ruangan berharap ada celah ataupun lubang yang bisa digunakannya bersembunyi. Otaknya dipaksa berpikir cepat.Dua orang polisi bersenjata akhirnya bersepakat untuk mendobrak pintu kamar nomor 402, mereka secara bersamaan menghantamkan badan pada daun pintu. Pintu tersentak membuka, sekrup yang terpasang di engsel menjerit hampir lepas terkena hentakan untuk yang kedua kalinya.
Pukul 09.55 di rumah sakit,"Aku yakin sekali dia mengetahui sesuatu." Lila berbicara dengan nada tinggi menunjuk ruang tempat lelaki bernama Galang itu dirawat. "Kaburnya dia justru semakin menguatkan keyakinanku. Percayalah kepadaku, kau harus mencari dia."Eros berpikir sejenak, "Ya. Jika dilihat dari lokasi Anda menyelamatkannya, dan tingkahnya yang kabur dalam kondisi terluka, Besar kemungkinan dia mengetahui sesuatu perihal kebakaran di rumahmu atau mungkin saja itu sebuah kebetulan." Eros melirik ke gadis berusia dua puluhan tersebut. "Hai… Anda baik baik saja kan? Kenapa tiba-tiba menangis lagi?"Lila membuang muka begitu Eros memegangi bahunya. "... Andai saja, orang itu memang terlibat. Kamu pikir, Apakah a-aku telah menyelamatkan seorang penjahat? yang mungki
Setelah selesai mencatat beberapa poin yang dianggap penting, Eros menyuruh pak Udin untuk menunjukan lokasi terjadinya penembakan tersebut."... Bukan cuma mendengarnya Pak. Saya melihatnya dengan mata kepala sendiri. Sungguh, saya intip orang berbadan besar itu tepat saat menembak ke arah Karto. Dia menembak dengan tangan kiri pak. Ayo sini, saya tunjukan lokasi penembakannya."Mereka pergi masuk ke dalam kawasan makam yang dipenuhi dengan pepohonan tinggi, meskipun siang hari, nampak terasa aura di tempat peristirahatan terakhir ini sangat mencekam, suara serangga serangga bising terdengar dari penjuru arah seperti tidak mau kalah bising dengan suara kendaraan kota. Sementara itu, Lila merasa lebih senang untuk tetap duduk di teras gubuk, matanya melihat ke segala penjuru, daun-daun pohon ber
Pukul 10:00 di sebuah kafe.Lonceng di pintu kaca kafe bergemerincing tiga kali ketika daun pintunya dibuka oleh seorang wanita tinggi semampai. Para lelaki yang sedang saling berbincang sambil menikmati kopi ataupun sedang makan di ruangan bernuansa klasik, secara bersamaan menoleh ke arahnya. Wanita tersebut memakai kacamata hitam besar dengan bingkai coklat emas, tas jinjing kecil yang mengkilap digapit pada ketiaknya, baju dress hijau selutut cukup ketat menyelimuti tubuhnya hingga lekukan siap sisi tubuhnya terlihat menonjol, sepatu high-heel di kakinya semakin menambah keseksiannya, rambut pirangnya tergerai ke samping seperti daun di musim semi yang berguguran, bibir merahnya yang tipis tersungging kecil begitu mel
*** Musim panas di akhir tahun melekat sekali dalam ingatan Galang. Burung camar yang berkoak, gemercik ombak laut membelah karang, angin berhembus dari ufuk timur, siraman hangat sinar matahari yang menggairahkan, aroma menggoda pasir kering, serta tawa kanak-kanak seusianya di bibir pantai, seakan menyambut Galang dan keluarganya begitu roda mobil menginjak pasir pantai itu. Dua hal yang tidak mungkin dilupakan Galang pada hari itu, Ayahnya adalah seorang dokter yang hendak menyelesaikan studi kedokteran internasionalnya di Jepang yang akan menepati janjinya kepada Galang dan Hanum. Janji yang dibuatnya saat hendak terbang menjalankan tugas, sambil mengecupkan bibir pada kening Hanum, ia berjanji pulang dengan selamat dan akan mengajak mereka berlibur di pantai selatan yang masih asri lingkungannya begitu sampai di rumah. Musim panas hari itu kebetulan berbarengan dengan libur panjang sekolah. Pantai yang beberapa tahun sebelumnya masih sedikit yang tahu keberadaannya, saat mereka
Kedua mata Galang lamat-lamat terbuka, ia memandang lampu pijar yang dikenalinya berada tepat di langit-langit ruangan, ia bangun dari ranjang motel yang tidak asing lagi baginya. Kepalanya masih terasa berat dan nyeri, namun perlahan menghilang. Jam dinding yang menempel di sisi samping lampu pijar itu berdentang tujuh kali."Mimpi buruk lagi. Efek morfin menidurkanku lebih dari enam jam, luar biasa. Sebanding dengan tubuhku yang tidak terasa kesakitan lagi." gumam Galang pada dirinya sendiri.Ia melangkah keluar kamar begitu selesai mencuci muka. Didapatinya sebuah laptop terbuka menganga di meja ruang tamu. Tidak ada seorang pun berada disana. Ia duduk di sofa menghadap layar laptop. Sebuah file rekaman video berdurasi 2 menit ada di sana. Saat hendak mengeklik file video itu, Rossa muncul dari balik punggungnya membawa sejumlah botol kaleng minuman pe