Pukul 09.55 di rumah sakit,
"Aku yakin sekali dia mengetahui sesuatu." Lila berbicara dengan nada tinggi menunjuk ruang tempat lelaki bernama Galang itu dirawat. "Kaburnya dia justru semakin menguatkan keyakinanku. Percayalah kepadaku, kau harus mencari dia."
Eros berpikir sejenak, "Ya. Jika dilihat dari lokasi Anda menyelamatkannya, dan tingkahnya yang kabur dalam kondisi terluka, Besar kemungkinan dia mengetahui sesuatu perihal kebakaran di rumahmu atau mungkin saja itu sebuah kebetulan." Eros melirik ke gadis berusia dua puluhan tersebut. "Hai… Anda baik baik saja kan? Kenapa tiba-tiba menangis lagi?"
Lila membuang muka begitu Eros memegangi bahunya. "... Andai saja, orang itu memang terlibat. Kamu pikir, Apakah a-aku telah menyelamatkan seorang penjahat? yang mungki
Setelah selesai mencatat beberapa poin yang dianggap penting, Eros menyuruh pak Udin untuk menunjukan lokasi terjadinya penembakan tersebut."... Bukan cuma mendengarnya Pak. Saya melihatnya dengan mata kepala sendiri. Sungguh, saya intip orang berbadan besar itu tepat saat menembak ke arah Karto. Dia menembak dengan tangan kiri pak. Ayo sini, saya tunjukan lokasi penembakannya."Mereka pergi masuk ke dalam kawasan makam yang dipenuhi dengan pepohonan tinggi, meskipun siang hari, nampak terasa aura di tempat peristirahatan terakhir ini sangat mencekam, suara serangga serangga bising terdengar dari penjuru arah seperti tidak mau kalah bising dengan suara kendaraan kota. Sementara itu, Lila merasa lebih senang untuk tetap duduk di teras gubuk, matanya melihat ke segala penjuru, daun-daun pohon ber
Pukul 10:00 di sebuah kafe.Lonceng di pintu kaca kafe bergemerincing tiga kali ketika daun pintunya dibuka oleh seorang wanita tinggi semampai. Para lelaki yang sedang saling berbincang sambil menikmati kopi ataupun sedang makan di ruangan bernuansa klasik, secara bersamaan menoleh ke arahnya. Wanita tersebut memakai kacamata hitam besar dengan bingkai coklat emas, tas jinjing kecil yang mengkilap digapit pada ketiaknya, baju dress hijau selutut cukup ketat menyelimuti tubuhnya hingga lekukan siap sisi tubuhnya terlihat menonjol, sepatu high-heel di kakinya semakin menambah keseksiannya, rambut pirangnya tergerai ke samping seperti daun di musim semi yang berguguran, bibir merahnya yang tipis tersungging kecil begitu mel
*** Musim panas di akhir tahun melekat sekali dalam ingatan Galang. Burung camar yang berkoak, gemercik ombak laut membelah karang, angin berhembus dari ufuk timur, siraman hangat sinar matahari yang menggairahkan, aroma menggoda pasir kering, serta tawa kanak-kanak seusianya di bibir pantai, seakan menyambut Galang dan keluarganya begitu roda mobil menginjak pasir pantai itu. Dua hal yang tidak mungkin dilupakan Galang pada hari itu, Ayahnya adalah seorang dokter yang hendak menyelesaikan studi kedokteran internasionalnya di Jepang yang akan menepati janjinya kepada Galang dan Hanum. Janji yang dibuatnya saat hendak terbang menjalankan tugas, sambil mengecupkan bibir pada kening Hanum, ia berjanji pulang dengan selamat dan akan mengajak mereka berlibur di pantai selatan yang masih asri lingkungannya begitu sampai di rumah. Musim panas hari itu kebetulan berbarengan dengan libur panjang sekolah. Pantai yang beberapa tahun sebelumnya masih sedikit yang tahu keberadaannya, saat mereka
Kedua mata Galang lamat-lamat terbuka, ia memandang lampu pijar yang dikenalinya berada tepat di langit-langit ruangan, ia bangun dari ranjang motel yang tidak asing lagi baginya. Kepalanya masih terasa berat dan nyeri, namun perlahan menghilang. Jam dinding yang menempel di sisi samping lampu pijar itu berdentang tujuh kali."Mimpi buruk lagi. Efek morfin menidurkanku lebih dari enam jam, luar biasa. Sebanding dengan tubuhku yang tidak terasa kesakitan lagi." gumam Galang pada dirinya sendiri.Ia melangkah keluar kamar begitu selesai mencuci muka. Didapatinya sebuah laptop terbuka menganga di meja ruang tamu. Tidak ada seorang pun berada disana. Ia duduk di sofa menghadap layar laptop. Sebuah file rekaman video berdurasi 2 menit ada di sana. Saat hendak mengeklik file video itu, Rossa muncul dari balik punggungnya membawa sejumlah botol kaleng minuman pe
Seorang pria berusia 40 tahunan terlihat sedang berusaha mengunci pintu kaca showroom Aston itu. Ia tidak menyadari telah di taruh sebuah koin pengganjal pada mulut kunci, berulang kali dia coba anak kunci yang satu dengan yang lainnya, namun tidak ada yang pas. Sesuai dengan data yang berhasil direntas Rossa di laman situs perusahaan, hari ini adalah jadwal piket sang manajer, dia terpaksa pulang paling akhir dan mengunci sendiri pintu showroom-nya.Galang yang memperhatikan dari seberang jalan sudah tak sabar lagi, ia segera melompat keluar dari balik pohon sebrang jalan, berjalan pelan menghampirinya."Hei, bukan seperti itu rencananya, Galang…" pekik Rossa dengan raut wajah terperangah.Galang tidak
"Ini tidak akan susah, Darling." sesaat kemudian setelah Rossa mengambil alih laptop itu, ia mengangkat alis. "Nah ketemu, lihat ini. Cuma ada ratusan buyer mobil jenis Aston DBS ini dari sekian banyak daftar ini yang menarik perhatianku adalah pria bernama Anton. Coba lihat, dalam catatan ini 10 bulan lalu dia membelinya, namun dia memberi catatan mobil harus dikirimkan untuk perusahaan bernama PT. Genta Tama, nama yang sama seperti yang diucapkan seseorang dalam rekaman di flashdisk itu.""Dimana alamat perusahaan tersebut?" ucap Galang ikut melihat layar laptop."Sayangnya tidak ada catatan di dalam laptop ini, bahkan di google ataupun di deepweb juga tidak ada catatannya sana sekali, yang tertera dalam invoice elektronik ini h
Sang manajer memperbaiki posisi duduknya, pantat kurusnya sudah mulai terasa panas beradu dengan kursi kantor yang busanya sudah kempis, ia mulai menjelaskan."Sepuluh bulan lalu, pria bernama Anton itu membeli mobil disini dengan opsi pengiriman ke sebuah perusahaan bernama PT. Genta yang letaknya tidak jauh dari Tanjung Priok. Jangan tanyakan mengapa begitu, karena aku berani sumpah, aku tidak tahu ada hubungan apa antara si Anton tersebut dengan PT. Genta. Namun, yang pasti... kau harus tahu orang-orang tersebut sangatlah berbahaya. Mereka punya kelompok yang kuat dan kejam." terang sang manajer tanpa mengedipkan mata sama sekali, ia mengucapkannya dengan penuh tekanan."Aku tidak peduli! Cepat katakan dimana mereka itu, entah itu si Anton entah itu si kelompok dari perusahaan Genta!"
Pukul 21:35 di Little Tokyo.Bangunan-bangunan berlantai dua dengan atap genteng khas jepang berjejeran saling berhadapan sepanjang jalan kawasan Blok M. Lentera-lentera berwarna merah bergelantungan tertiup angin menghiasi hampir disetiap bangunan-bangunan tersebut. Orang-orang berlalu lalang di bawahnya, mereka saling bergandengan, bencanda ria, mengobrol, berfoto, lalu tertawa lagi, di antara mereka berucap “Ya, tentu saja aku mau...”. Dan beberapa orang lainnya yang berjalan sendirian terlihat murung, ia menyumpahi segala macam yang ada di sepanjang jalan itu, “sialan, aku menginjak tahi burung lagi.” Kawasan itu benar benar ramai.Galang mengisyaratkan ke Rossa supaya menepi di sebuah sisi jalan yang masih agak jauh dari kawasan tersebut, kedua bola mata Rossa melirik ke sebuah restoran jepang yang sangat ramai dikunjungi. Restoran tersebut berlantai dua dengan lantai ruftop yang difungsikan sebagai tempat makan untuk para pen
Rossa mengangguk, begitulah yang diperintahkan oleh si Limbertman bos besarnya, “Jika kau tertangkap oleh seseorang, gunakanlah nama itu. Seharusnya mereka akan segera melepaskanmu.” Rossa sudah beberapa kali menggunakan nama itu untuk menakuti orang yang menangkapnya dan itu memang berhasil.Entah kenapa wajah orang-orang yang mendengar nama tersebut seketika pucat dan tanpa sadar bergetar ketakutan, pada saat itulah Rossa biasanya melarikan diri sekencang mungkin.Namun, biksu berkepala plontos dengan luka bakar dimatanya ini sama sekali tidak menunjukan bahwa dia menjadi takut, justru sebaliknya. Dia mendekat ke Rossa dengan bola mata yang berkilat memantulkan cahaya-cahaya lentera. Entah kenapa Rossa merasa dia nampak seperti predator buas yang kaget melihat onggokan daging lezat di hadapannya.Biksu Wabi menekukan lutut lalu tangan kanannya mengusap rambut Rossa yang basah akibat kehujanan.“Kau tidak usah takut disini, orang tua berjanggut putih itu sangatlah kuat. Bahkan Lim
***Gemuruh hujan semakin deras menyerbu, genting-genting klenteng beradu dengan air yang turun dari langit. Daerah Bogor memang sering sekali hujan, tetapi hujan deras seperti ini jarang sekali terjadi. Seakan langit sedang marah dan ingin mengamuk melalui angin yang meronta-ronta.“Apa kalian dengar suara gemuruh itu?” ujar Master Chong.Para warga mengangguk seperti sebuah boneka yang digerakan kepalanya, namun tidak tahu kemana arah tujuan perkataan Master Chong.“Itu adalah dewa langit yang sedang marah, dia ganas dan tak bisa ditebak, kalian semua kan tahu daerah sini banyak pohon-pohon besar yang bisa setiap saat roboh. Apa jadinya kalau salah satu yang roboh itu mengenai kalian yang sedang mempertontonkan hal tak bermoral seperti tadi?”Semua diam, “Tak usah melakukan hal-hal bodoh seperti itu lagi, itu memalukan. Aku ingin kalian menyerahkan anak ini pada klenteng. Kami akan memulangkannya, tanpa melakuk
*** Bulan Desember 15 tahun lalu... Saat itu hujan deras mengguyur daerah kaki Gunung Pancar, wilayah Bogor. Angin dari barat meronta-rontakan dedaunan pohon di sekitar Klenteng Tiga Dewa yang diurus Master Chong. Beberapa ranting yang patah dari pohonnya menyerbu genting tanah liat yang menaungi klenteng tersebut, sehingga menciptakan suara gemuruh dan gaduh di atas kepala Master Chong. “Sepertinya badai akan datang,” ucap Master Chong dalam hati, sambil terhuyung masuk ke ruang berdoa, dia dari tadi beridiri di ambang pintu. Kakinya yang sebetulnya masih sehat, entah kenapa terasa kaku dan gemetaran. Firasatnya merasa hal buruk mungkin saja akan terjadi padanya atau pada klenteng ini atau pada orang-orang disekitarnya. Tepat saat baru tiga langkah masuk ke dalam seseorang meneriakinya, suaranya memekik di antara deburan air hujan yang deras. Master Chong menengok ke arah hujan, seorang laki-laki muda berlarian ke arahnya, tubuhnya seratus persen basah. Namun, masih bisa dikenali
Persis seperti yang dikatakan oleh si Manajer mobil, Pria bertubuh besar itu memiliki tatto berbentuk mawar di lengannya, dia berkumis tebal, namun tidak memiliki rambut sepeserpun di kepalanya. Sambil mengancing rompi kulitnya, dia berjalan ke arah Galang dengan langkah tegap. Jantung Galang berderap begitu kencang memandangi wajah sok kuat itu, tangannya meremas kesal di atas dasbord mobil, di belakang pria itu muncul pula beberapa temannya dengan baju rompang-ramping khas preman pasar. Tangan Galang sudah hampir membuka pintu mobil, namun berhasil ditahan oleh Rossa. “Tahan emosimu, Darling. Jangan mengamuk disini, banyak orang-orang tak bersalah yang akan kena imbasnya jika kamu menghajar mereka disini. Lihatlah, pandangan pria itu tidak tertuju ke kita. Artinya dia tidak sadar kita telah mengawasinya. Biarkan dia mengendarai motornya, lalu kita buntuti mereka.” Benar kata Rossa, si Anton melewati mobil mereka begitu saja tanpa curiga sedikit pun. Hanya saja preman-preman pasar d
Pukul 21:35 di Little Tokyo.Bangunan-bangunan berlantai dua dengan atap genteng khas jepang berjejeran saling berhadapan sepanjang jalan kawasan Blok M. Lentera-lentera berwarna merah bergelantungan tertiup angin menghiasi hampir disetiap bangunan-bangunan tersebut. Orang-orang berlalu lalang di bawahnya, mereka saling bergandengan, bencanda ria, mengobrol, berfoto, lalu tertawa lagi, di antara mereka berucap “Ya, tentu saja aku mau...”. Dan beberapa orang lainnya yang berjalan sendirian terlihat murung, ia menyumpahi segala macam yang ada di sepanjang jalan itu, “sialan, aku menginjak tahi burung lagi.” Kawasan itu benar benar ramai.Galang mengisyaratkan ke Rossa supaya menepi di sebuah sisi jalan yang masih agak jauh dari kawasan tersebut, kedua bola mata Rossa melirik ke sebuah restoran jepang yang sangat ramai dikunjungi. Restoran tersebut berlantai dua dengan lantai ruftop yang difungsikan sebagai tempat makan untuk para pen
Sang manajer memperbaiki posisi duduknya, pantat kurusnya sudah mulai terasa panas beradu dengan kursi kantor yang busanya sudah kempis, ia mulai menjelaskan."Sepuluh bulan lalu, pria bernama Anton itu membeli mobil disini dengan opsi pengiriman ke sebuah perusahaan bernama PT. Genta yang letaknya tidak jauh dari Tanjung Priok. Jangan tanyakan mengapa begitu, karena aku berani sumpah, aku tidak tahu ada hubungan apa antara si Anton tersebut dengan PT. Genta. Namun, yang pasti... kau harus tahu orang-orang tersebut sangatlah berbahaya. Mereka punya kelompok yang kuat dan kejam." terang sang manajer tanpa mengedipkan mata sama sekali, ia mengucapkannya dengan penuh tekanan."Aku tidak peduli! Cepat katakan dimana mereka itu, entah itu si Anton entah itu si kelompok dari perusahaan Genta!"
"Ini tidak akan susah, Darling." sesaat kemudian setelah Rossa mengambil alih laptop itu, ia mengangkat alis. "Nah ketemu, lihat ini. Cuma ada ratusan buyer mobil jenis Aston DBS ini dari sekian banyak daftar ini yang menarik perhatianku adalah pria bernama Anton. Coba lihat, dalam catatan ini 10 bulan lalu dia membelinya, namun dia memberi catatan mobil harus dikirimkan untuk perusahaan bernama PT. Genta Tama, nama yang sama seperti yang diucapkan seseorang dalam rekaman di flashdisk itu.""Dimana alamat perusahaan tersebut?" ucap Galang ikut melihat layar laptop."Sayangnya tidak ada catatan di dalam laptop ini, bahkan di google ataupun di deepweb juga tidak ada catatannya sana sekali, yang tertera dalam invoice elektronik ini h
Seorang pria berusia 40 tahunan terlihat sedang berusaha mengunci pintu kaca showroom Aston itu. Ia tidak menyadari telah di taruh sebuah koin pengganjal pada mulut kunci, berulang kali dia coba anak kunci yang satu dengan yang lainnya, namun tidak ada yang pas. Sesuai dengan data yang berhasil direntas Rossa di laman situs perusahaan, hari ini adalah jadwal piket sang manajer, dia terpaksa pulang paling akhir dan mengunci sendiri pintu showroom-nya.Galang yang memperhatikan dari seberang jalan sudah tak sabar lagi, ia segera melompat keluar dari balik pohon sebrang jalan, berjalan pelan menghampirinya."Hei, bukan seperti itu rencananya, Galang…" pekik Rossa dengan raut wajah terperangah.Galang tidak
Kedua mata Galang lamat-lamat terbuka, ia memandang lampu pijar yang dikenalinya berada tepat di langit-langit ruangan, ia bangun dari ranjang motel yang tidak asing lagi baginya. Kepalanya masih terasa berat dan nyeri, namun perlahan menghilang. Jam dinding yang menempel di sisi samping lampu pijar itu berdentang tujuh kali."Mimpi buruk lagi. Efek morfin menidurkanku lebih dari enam jam, luar biasa. Sebanding dengan tubuhku yang tidak terasa kesakitan lagi." gumam Galang pada dirinya sendiri.Ia melangkah keluar kamar begitu selesai mencuci muka. Didapatinya sebuah laptop terbuka menganga di meja ruang tamu. Tidak ada seorang pun berada disana. Ia duduk di sofa menghadap layar laptop. Sebuah file rekaman video berdurasi 2 menit ada di sana. Saat hendak mengeklik file video itu, Rossa muncul dari balik punggungnya membawa sejumlah botol kaleng minuman pe