***Gemuruh hujan semakin deras menyerbu, genting-genting klenteng beradu dengan air yang turun dari langit. Daerah Bogor memang sering sekali hujan, tetapi hujan deras seperti ini jarang sekali terjadi. Seakan langit sedang marah dan ingin mengamuk melalui angin yang meronta-ronta.“Apa kalian dengar suara gemuruh itu?” ujar Master Chong.Para warga mengangguk seperti sebuah boneka yang digerakan kepalanya, namun tidak tahu kemana arah tujuan perkataan Master Chong.“Itu adalah dewa langit yang sedang marah, dia ganas dan tak bisa ditebak, kalian semua kan tahu daerah sini banyak pohon-pohon besar yang bisa setiap saat roboh. Apa jadinya kalau salah satu yang roboh itu mengenai kalian yang sedang mempertontonkan hal tak bermoral seperti tadi?”Semua diam, “Tak usah melakukan hal-hal bodoh seperti itu lagi, itu memalukan. Aku ingin kalian menyerahkan anak ini pada klenteng. Kami akan memulangkannya, tanpa melakuk
Rossa mengangguk, begitulah yang diperintahkan oleh si Limbertman bos besarnya, “Jika kau tertangkap oleh seseorang, gunakanlah nama itu. Seharusnya mereka akan segera melepaskanmu.” Rossa sudah beberapa kali menggunakan nama itu untuk menakuti orang yang menangkapnya dan itu memang berhasil.Entah kenapa wajah orang-orang yang mendengar nama tersebut seketika pucat dan tanpa sadar bergetar ketakutan, pada saat itulah Rossa biasanya melarikan diri sekencang mungkin.Namun, biksu berkepala plontos dengan luka bakar dimatanya ini sama sekali tidak menunjukan bahwa dia menjadi takut, justru sebaliknya. Dia mendekat ke Rossa dengan bola mata yang berkilat memantulkan cahaya-cahaya lentera. Entah kenapa Rossa merasa dia nampak seperti predator buas yang kaget melihat onggokan daging lezat di hadapannya.Biksu Wabi menekukan lutut lalu tangan kanannya mengusap rambut Rossa yang basah akibat kehujanan.“Kau tidak usah takut disini, orang tua berjanggut putih itu sangatlah kuat. Bahkan Lim
Pukulan tangan kiri Andrian akhirnya menembus pertahanan Galang, kepalan tangannya menghantam rahang bawah pria yang terkenal dengan ke kolotannya itu. Sepersekian detik berikutnya, tangan kanan Andrian menghantam pelipis kiri Galang dengan gaya pukulan menyilang. Sarung tangan dengan tebal 2 cm itu rasanya tidak menimbulkan efek meredam apa pun, pukulan terasa sangat sakit. Kaki Galang tersentak mundur, tubuhnya sedikit terempas hampir tersungkur dan ia mengalami disorientasi sesaat, telinganya berdenging. Galang terlambat melakukan pertahanan, dia meremehkan stamina lawannya yang sudah bertahan di atas ring selama 4 ronde. Dengan kecepatan seekor tupai, Andrian melanjutkan serangannya, ia melompat, mendekap tubuh Galang hingga mereka berdua pun menjerembap di matras. Penonton bersorak kegirangan. Andrian yang sejak awal dipukuli habis-habisan, kini membalik keadaan di dua puluh detik ronde terakhir ini. Pergulatan terjadi, Galang mencoba melepaskan pelukan Andrian, namun posisi Andr
"GILA, dapet banyak lo, To?" pekik Udin dengan takjub. Pria bermulut agak monyong ini pemilik warung kopi dua puluh empat jam di Kampung Melayu. Ia memegang secarik kertas putih yang berisi kombinasi angka acak. Dan untuk kesekian kalinya Udin mencocokan nomor di kertas tersebut denganp catatan di bukunya."Ssttt, gak usah kenceng-kenceng napa, Din. Buruan sini duitnya ah. Mau berapakali lo cek juga tetep cocok nomernya." desak seorang pria bertubuh pendek yang berdiri di ambang pintu warung.Suara tawa terbahak-bahak menembus bilik kayu sampai masuk ke dalam warung. Di luar, empat orang pria sedang asik bermain kartu Poker. Salah seorang di antara mereka mengumpat dengan kesal, berbagai macam kata makian keluar dari moncongnya. Ketidak-ahliannya m
Suara sirine Ambulans, gemeretak baut-baut kendur, celoteh mulut-mulut bergosip dari depan, desis roda yang berputar semakin kencang, nyanyian angin yang berlalu. Galang setengah sadar mendengarkan itu semua. Dia terkapar di atas ranjang pasien yang telah reyot. Napasnya dibantu oleh tabung oksigen. Perempuan yang menyelamatkannya tidak terlihat ikut di ambulan ini. Galang menutup matanya lagi. Koak burung camar dari atas sana menyeruak sampai ke telinga Galang yang merintih kesakitan. Dia sadar dengan susah payah, sekujur tubuhnya gemetar berlumur darah. Gemeletuk roda kereta sudah semakin menjauh dari pendengarannya. Beberapa menit lalu -sebelum kejadian- gendang telinganya dipenuhi klakson kereta yang semakin keras mendekat, merobek telinga. Mobil yang dikemudikan ayahnya entah kenap
Pukul 06.00 di kantor kepolisian,Telapak tangan komandan berbintang tiga itu menggebrak meja dengan keras. Jejeran gelas serta alat tulis di atas daun meja melompat bergetar. Air di dalam gelas tersebut terkoyak hampir tumpah.Kedua bola mata komandan memandangi satu per satu orang di ruangan brifing para penyidik. Hanya ada enam orang di ruangan berukuran 5 x 6 m² tersebut, duduk mengelilingi meja panjang.Komandan mengambil sebuah tongkat kayu, diketuknya dengan tegas muka papan tulis putih di depannya itu. Air muka komandan yang sangar dengan kumis tebalnya yang bergerak-gerak seperti ulat bulu, membuat semua orang tegang memandanginya."Eros! Kau, lihatkan daftar kasus in
Pukul 09.12Baru saja Lila memarkirkan mobil, sebuah ambulan mengaung pergi menjauh dari halaman rumahnya. Kepala Lila menatap perginya mobil tersebut yang melaju cepat melewatinya, buru-buru ia berlari menuju rumah.Ia memelankan langkah lari ketika hampir sampai, menatap nanar ke rumah. terbatuk akibat bau hangus yang sangat menyengat. Hampir semua orang yang ada disitu, memandanginya dengan tatapan bersimpati. Lila berjalan pelan menerawang ke seluruh bangunan yang kini tidak dikenalinya lagi. Atap yang setengah roboh, pintu depan yang telah habis, jendela-jendela kaca berserakan, serta debu hitam yang menyelimuti setiap sudut ruang, ia menerjang garis polisi lalu masuk ke dalam rumah dengan perasaan gundah, lantai rumah dipenuhi barang-barang yang menjadi abu. Kakinya tanpa ia sadari terus melangkah ke depan.
Mobil ambulan yang dikemudikan Galang meliuk-liuk di antara kendaraan besar di jalan protokol. Sebuah kontainer mengklaksoninya dengan geram karena ia memotong jalurnya dengan sembarangan dan gila. Namun, Galang tidak menggubris, asal mereka tahu, ia jauh lebih kesal dari para supir-supir itu. Sudah lima kali panggilan teleponnya tidak diangkat Nazar, sambil menggerutu Galang melempar telepon seluler ke bangku samping. Kedua roda depan mobil ambulan itu akhirnya berbelok keluar dari jalan protokol, memasuki jalan yang lebih kecil dan tidak terlalu ramai. Kanan kirinya berdiri bangunan ruko bekas peninggalan Belanda dulu. Satu-satunya bangunan yang paling mencolok di sepanjang jalan ini adalah sebuah apartemen berbentuk kue lapis yang berdiri kokoh menghadap jalur protokol. Galang memutar kemudi dan ambulan masuk ke parkiran apartemen. Sebelum Galang kel