Pukulan tangan kiri Andrian akhirnya menembus pertahanan Galang, kepalan tangannya menghantam rahang bawah pria yang terkenal dengan ke kolotannya itu. Sepersekian detik berikutnya, tangan kanan Andrian menghantam pelipis kiri Galang dengan gaya pukulan menyilang. Sarung tangan dengan tebal 2 cm itu rasanya tidak menimbulkan efek meredam apa pun, pukulan terasa sangat sakit. Kaki Galang tersentak mundur, tubuhnya sedikit terempas hampir tersungkur dan ia mengalami disorientasi sesaat, telinganya berdenging. Galang terlambat melakukan pertahanan, dia meremehkan stamina lawannya yang sudah bertahan di atas ring selama 4 ronde.
Dengan kecepatan seekor tupai, Andrian melanjutkan serangannya, ia melompat, mendekap tubuh Galang hingga mereka berdua pun menjerembap di matras. Penonton bersorak kegirangan. Andrian yang sejak awal dipukuli habis-habisan, kini membalik keadaan di dua puluh detik ronde terakhir ini. Pergulatan terjadi, Galang mencoba melepaskan pelukan Andrian, namun posisi Andrian lebih diuntungkan karena kakinya berhasil mengunci tubuh Galang, mereka kembali terbanting, berguling - guling saling bertukar keringat hingga dari belakang, tangan kiri Andrian berhasil memiting leher Galang sekuat tenaga.
Teng … teng ... (suara tanda 10 detik lagi ronde berakhir)
Penonton semakin bergemuruh, suara menggelegar mereka memenuhi langit-langit arena.
Dalam dekapannya, Andrian membisikan sesuatu pada Galang.
"Menyerah saja, kalau kau masih ingin hidup… aku masih kasihan terhadapmu."
Menyerah? Jangan bercanda! Itu jelas bukan prinsip seorang petarung sejati seperti Galang, baginya lebih baik mati dalam penyesalan daripada harus melanjutkan hidup di atas rasa belas kasihan orang lain.
Galang menggigit keras pelindung gigi di mulutnya, wajahnya merah padam serta otot-otot besar di dahinya menonjol keluar, ia mengerang layaknya seekor harimau yang diganggu masa tidurnya, tinju di tangan mengepal dengan kuat. Dengan sisa tenaga yang dia miliki, ia berhasil melepaskan kuncian tangan kirinya. namun, paru-parunya belum bisa bernafas akibat cekikan Andrian yang semakin menguat.
Menyerang atau tidak sama sekali…
Galang menyikut sekuat tenaga ke arah belakang, ujung sikutnya tepat mengenai rahang bawah Andrian. Kretek! Dia terpental, jatuh berdentam. Sadar waktu tinggal beberapa detik lagi, giliran Galang menerkam tubuhnya dan seketika menghantamkan kepalan tangannya sekuat tenaga ke muka Andrian. Penyiksaan di detik terakhir pun dimulai.
Jap … empat …
Straight … tiga ...
Jap lagi … dua …
Dan satu pukulan straight terakhir, menghabisi kesadaran diri Andrian. Pelipis di atas matanya bercucuran darah, bola matanya sudah berada diawang-awang, pandangannya gelap dan ia terkapar tak berdaya … Knock Out!
Sesaat, penonton terdiam keheranan atas apa yang terjadi empat menit terakhir di atas ring. Namun, perlahan-lahan mulai bersorak dengan terkesiap.
***
Jarum jam di ruang loker bergerak naik menuju angka 12, setiap detakannya mengikuti irama napas petarung yang tak pernah kalah itu. Galang melempar kedua sarung tinju MMA-nya ke dalam loker dengan perasaan puas. Rasanya sudah lama sekali, ia tidak mendapat lawan yang merepotkan seperti Andrian. Jantungnya masih berderap kencang mengalirkan darah serta oksigen ke seluruh tubuh.
"... Kerja sebagai apa si Andrian itu? Aku rasa pertahanan dia sangat kokoh sampai-sampai aku harus memancingnya untuk menyerangku lebih dahulu sekaligus membuka pertahanannya." gumam Galang sambil menggosok-gosokan punggungnya dengan handuk kecil yang sejak tadi menggantung di lehernya.
Kejuaraan bela diri amatir yang diikuti Galang itu memang cukup terkenal dikalangan para pekerja 'keamanan' swasta, dari mulai seorang satpam, body guard, tukang pukul hingga preman-preman sewaan. Namun, tidak jarang pula pesertanya berasal dari instansi keamanan negara yang mungkin ingin menguji ketangkasan serta meregangkan otot-otot nganggurnya. Seperti Andrian tadi, Galang yakin dia berasal dari satuan POLRI/TNI atau bahkan satuan khusus penjinak teroris. Mengingat gerakan orang itu penuh dengan teknik dan kokoh. Jelas gerakan seperti itu hanya bisa didapatkan dengan latihan yang begitu berat.
Ketukan berulang jari-jari pria yang sedari tadi berdiri di samping Galang berhenti. Mulutnya berembus pelan, ia mengambil lalu menjentikan setugel rokok yang tergapit di bibirnya. Batang rokok itu tepat masuk ke dalam keranjang sampah di sudut ruangan.
"Tak usah mengalihkan pokok pembicaraan kita, Galang. Kau mau terima atau tidak penawaran ini, biar aku perjelas lagi, 70% persen untukmu dan sisanya untukku. 25 ribu USD sudah ada di berangkasku sebagai uang muka, kalau kau mau, kau bisa mengambilnya besok. Klien kita kali ini sangat kaya raya, aku rasa kalau misi pertama ini memuaskannya, ia akan menyewa tenaga kita lagi. Dan dia bukan sembarangan orang, dia punya pengaruh politik yang besar! bukankah ini sungguh menguntungkan, hah?"
Pintu lemari loker berwarna biru muda itu dibanting Galang dengan kencang. Ia menoleh ke pria berambut klimis dan berpakaian gaya perlente tersebut. Ia menyampirkan handuk pada pundak.
"Nazar, satu hal yang harus kau ingat tentang diriku. Aku memukuli orang bukan untuk kesenangan atau untuk memperkaya hidupku seperti orang-orang dungu di bawah naunganmu! Aku tidak sudi menghantamkan tinjuku ke orang yang bahkan tidak tau caranya berdiri dengan sikap kuda-kuda yang benar, itu bukan prinsip seorang petarung sejati. Kau salah kira, kalau sampai berpikir aku hanya menginginkan uang, aku muak jika kau selalu datang menawari pekerjaan kotor macam ini. pakai saja orang lain, aku menolak!" pungkas Galang sambil mengacungkan jari telunjuk layaknya seorang ibu yang memarahi anaknya karena terlalu banyak meminta mainan.
Omong kosong! batin Nazar. Ia mengepulkan asap rokok terakhirnya yang sedari tadi bersembunyi di antara sela-sela paru-parunya.
"Hei Bung, tenangkan dirimu dulu. Kau bahkan belum melihat berkasnya… kan?" Bibir Nazar berdenyut-denyut saat mengucapkannya dengan suara sumbang, ia mengambil tas jinjing di atas bangku besi yang berbaris di antara loker-loker.
"Aku mohon baca dulu ini, sebelum kau ambil keputusan. Ini bisa jadi kesempatan sekali seumur hidupmu."
Galang menerima amplop coklat itu lalu mulai membaca dokumen di dalamnya. Selembar demi selembar ia perhatikan dengan seksama, matanya menyelidik ke segala informasi calon target. Bola matanya terbelalak secara tiba-tiba ia berhenti bernapas, giginya bergeletuk saling adu, bergeming ketika pandangannya tertuju pada sebuah foto di lembar terakhir.
"Apa maksudnya ini?" Tangan Galang mencengkeram kertas dokumen itu, bola matanya menusuk tertuju pada Nazar.
"Seperti yang aku bilang, kesempatan ini tidak akan datang untuk kedua kalinya. Klien kita bukan sembarang orang, ia orang berpengaruh dan tahu segala macam informasi. Matanya ada dimana-mana, yang kau baca barusan bukanlah sebuah kebohongan, ia tahu dimana orang yang selama ini kau cari-cari itu, keberadaan saudari kecilmu."
Galang bergeming.
"Hanum? Mungkinkah dia memang masih hidup?" Sebuah suara membisiknya entah dari mana.
Keringat yang menari-nari di ujung dagunya menetes, terjun menuju lantai ruangan yang lengang, sementara sebagian keringat lain turun penuh semangat membelok di antara pori-pori leher.
Jakun Galang naik-turun, menelan ludah.
"Jadi... ya atau tidak, Galang?" tegas Nazar, manajer yang menaunginya sebagai petarung.
***
Pukul dua dini hari, Galang berjalan menuju rumah berpagar beton milik keluarga Darmawan. Sudah tiga kali ini Nazar memberinya misi biadab seperti ini, yang pertama dan kedua sungguh enteng diselesaikannya, karena Galang tau orang macam apa yang hendak dipukuli hingga ampun-ampunan. Kedua orang pertama itu setidaknya memiliki beberapa kesamaan dalam hal keserakahan. Yang pertama adalah seorang pemilik restoran cina di pusat kota, mereka menjual makanan dengan harga yang mahal, namun menggaji karyawan dengan sewenang-wenang hingga tiba pada suatu waktu para karyawannya sepakat untuk menyewa seorang tukang pukul untuk memberi pelajaran kepada bosnya. Misi yang kedua, ia menghajar habis seorang kontraktor bangunan yang kerap kali menggusur lahan yang disengketakan tanpa memberi uang ganti rugi sepeser pun ke warga kecil yang tergusur, walaupun ini dibayar dengan uang yang sangat kecil, Galang merasa puas melakukannya. Ia tahu mana orang-orang yang memang pantas diberi pelajaran.
Berbanding terbalik dari keduanya, malam ini entah kenapa, di dalam hati kecilnya dan untuk pertama kalinya… Galang merasa gelisah.
Galang mengenakan tudung kepala beserta masker rapat tanpa celah, berpakaian hitam, berjalan menunduk dengan bola mata yang selalu melirik ke kanan dan ke kiri, ia menelusuri jalan lengang di sebuah perumahan elite Jakarta Utara.
Derapan langkah kaki serta napas yang terengah-engah tiba-tiba saja muncul dari arah kiri Galang di sebuah simpangan jalan, seorang lelaki berlari tanpa melihat ke depan, hingga akhirnya ia menabrak tubuh Galang dan terpental jatuh. Mata kelabu lelaki itu terbelalak memandang Galang, ia menelan ludah, mulutnya komat-kamit tidak keruan, dari air mukanya tersirat sebuah ketakutan yang teramat dalam. Lelaki tersebut tergagap berdiri lagi, ia melanjutkan larinya tanpa menoleh ke Galang.
Rumah keluarga Darmawan jauh berbeda dari deretan rumah orang-orang kaya pada umumnya. Di hadapan Galang saat ini rumah itu hanya seperti sebuah kotak, berlantai dua, dengan permukaan dinding yang dicat basah, tidak ada batu marmer, tidak ada kolam renang, ataupun air mancur, semua nampak biasa, hanya sebuah kaca jendela besar di lantai dua yang berbeda, karena bergaya eropa kontinental yang kuno, ini cukup memberi kesan estetik, namun seorang yang tidak pernah mendengar kuliah perihal bangunan pun pasti bisa menilai bahwa rumah ini sama sekali tidak bernilai seni. Jendela kaca besar menempel di muka rumah yang membentang dari sisi balkon satu ke sisi seberangnya, ini malah membuat gaya minimalisnya terkesan paradoks.
Galang sudah hafal setiap sudut dan celah di rumah ini. Dokumen yang ia terima dari Nazar, sangat detail menjelaskan seluk beluk tata ruang di dalam. Termasuk waktu dan momen yang tepat untuk merangsek masuk dan melancarkan aksinya.
Di dalam dokumen itu tertulis, Galang harus menunggu hingga pukul setengah tiga. Saat pembantu mulai tidur dari tugas menidurkan anak majikannya. Karena berdasarkan kebiasaan, anak dari Ranto Darmawan tidur larut malam.
Jarum menit bergerak hingga bergeser satu langkah menjauh dari angka 6. Galang melirik pergelangan tangannya, sudah saatnya bergerak.
Dia memanjat pagar beton dari samping rumah. di sini banyak tumbuhan yang dapat menyembunyikan keberadaannya, ia memastikan sekelilingnya aman, lalu mencongkel daun jendela dengan bayonet, masuk melalui jendela belakang. Di dalam sungguh gelap, lampu sudah dimatikan. Hanya menyala beberapa lampu tidur temaram yang menempel di dinding-dinding undakan. Galang mengendap-endap naik menuju lantai dua, langkah kakinya yang tenang tidak menimbulkan suara apa pun. Ia mengencangkan sarung tangan kemudian berhenti tepat di depan sebuah pintu ruangan tertutup. Tepat di daun pintu tertulis "Ruangan Pribadi Tn. & Ny. Darmawan."
Tangan kirinya yang sudah bersapu tangan mencengkeram gagang pintu bulat. Di puntirnya gagang berbentuk apel tersebut,
cekrek!
Engsel pintu berdenyit lirih.
Galang membusungkan dada mengambil napas lalu mengempaskannya lagi, ia siap dengan segala sesuatu yang akan terjadi di dalam ruangan itu.
Di dalam ruangan kondisinya sangat berantakan. Pakaian berhamburan di lantai, daun lemari menganga terbuka dan sebagian engselnya rusak seperti dipaksakan dibuka. Alat-alat tulis terlempar ke segala arah, meja kerjanya terbalik sepertinya bergeser dari tempat semula. Gorden yang menutup kaca besar itu dipenuhi bercak darah lalu di salah satu sudut ruangan, dua pisau dan sebuah sendok garpu tergeletak berlumur darah, noda-noda merah tersebut lebih banyak dijumpai di atas ranjang, tepatnya di balik selimut yang menutupi seonggok badan. Galang menghampiri ranjang tersebut, namun sebelum ia menyingkap selimut, dilihatnya selongsong peluru yang berceceran di sekeliling ranjang. Setelah dibuka, pemandangan yang mengerikan ada di sana. Suami istri Darmawan tidur bermandikan darah, hampir di sekujur tubuhnya terdapat lubang-lubang bekas tembakan dan beberapa di wajah tergores luka kasar akibat sayatan yang dalam. Kondisi istrinya juga tidak jauh berbeda, bahkan satu sendok garpu masih menempel di lehernya. Mereka terlentang kaku dengan ekspresi wajah yang menyeramkan.
Galang mundur beberapa langkah, jantungnya berderap kencang, dirinya memang sering berjumpa dengan darah ketika sedang bertarung di atas ring, namun tidak pernah ia melihat darah sebanyak ini yang keluar dari sekujur mayat. Dan pada saat itu kakinya terhenti karena menabrak seseorang yang berdiri di belakangnya. Ia yang tersentak langsung menoleh dengan sikap siap siaga.
Seorang gadis kecil yang merangkul boneka berdiri mematung disana. Matanya bulat berair dengan pandangan ketakutan, mulutnya menekuk ke bawah, jari-jari kecilnya mencengkeram boneka dipelukannya, ia semakin kencang begitu melihat Galang berbalik badan, napasnya mulai tersedu-sedu. Segera mungkin Galang meraihnya lalu membekap mulut gadis, dia memberontak, namun secara reflek tangan Galang memukul ke balik leher gadis kecil itu dan pada akhirnya ia pingsan. Kini sudah ada saksi yang melihat dirinya berada dikamar ini, tidak mungkin ia pergi begitu saja. Galang menjambak rambut mengerang dengan kesal. Beberapa kali ia mondar-mandir di kamar tersebut, dan langkahnya terhenti, melihat lagi ke wajah gadis tersebut. Sebuah ide terlintas di benaknya, tentu saja satu-satunya cara membersihkan keberadaannya adalah dengan melenyapkan saksi. Ketika Galang hampir mencekik leher gadis itu sebuah bayangan samar wajah Hanum muncul. Untuk beberapa saat Galang bergeming lalu mengurungkan niatnya.
Langkah kakinya membawa ia pergi ke gorden yang menutup kaca besar itu, Galang mengintip dari balik gorden, ingin memastikan bagaimana keadaan di luar rumah dan pada saat itu juga sebuah peluru tiba-tiba melesat memecahkan jendela kaca, mengenai bahu kiri Galang, ia mengerang kesakitan. Baru selintas saja ia melihat sebuah mobil terparkir di depan rumah ini. Dan dengan sekejap selongsong senapan diarahkan kepadanya. Serangan itu belum berakhir, berendelan peluru mulai menyerbu kembali. Galang buru-buru tiarap, namun ia melihat gadis kecil itu beresiko terkena muntahan ratusan peluru tersebut. Segera mungkin Galang melompat ke arah gadis itu, mendekapnya dalam pelukan. Serpihan-serpihan kaca memenuhi ruangan tersebut, lubang demi lubang membentuk di segala sudut kaca, sebuah teriakan wanita terdengar dari luar sana sepertinya seorang tetangga ada yang mendengar keributan ini, namun si penembak masih belum mengurangi intensitas tembakannya, peluru-peluru tersebut tertancap ke dinding perlahan mengikisnya, lampu besar di kamar pecah, beberapa guci di sudut ruangan juga terkena muntahan peluru. Debu, remah dinding, serpihan kayu, serta serbuk beling menggumpal dan mengubur tubuh Galang, bau bubuk mesiu juga memenuhi indra penciumannya. Ia harus bertahan dengan meminimalisir gerakan dan menunggu kesempatan untuk lari.
Ceklek… ceklek… ceklek...
Lelaki di dalam mobil menatap senapannya yang berhenti mengeluarkan peluru, sepersekian detik ia langsung mengambil magasin baru lalu memasangnya dengan sigap.
"Sialan! Dia melompat ke luar pagar. Simpan pelurumu." bentak seorang pria lainnya yang memegang kendali mobil, kakinya buru-buru memancal pedal gas. Roda berdecit keras, mengeluarkan asap putih. Mereka melesat.
Galang harus segera menjauh dari area ini. Jantungnya berderap semakin kencang, tubuhnya setengah remuk menahan sakit yang masih terasa bekas pertandingan, terlebih lagi bahu kirinya tidak mau berhenti mengeluarkan darah, akibatnya tangan terasa kebas dan sangat sakit, ketika di dalam kamar sebuah dorongan entah dari mana memaksa Galang untuk membopong gadis kecil itu. membuat kecepatan larinya melambat dan pikirannya jadi kalut karena terus membayangkan darah kental yang mengalir dari leher suami-istri Darmawan dan ekspresi wajah itu...
Galang berlari sekuat tenaga masuk ke sebuah gang sempit, dia lebih memilih jalur tikus.
perasaan Galang tidak enak, intuisinya mengatakan dia harus lebih cepat berlari, entah kemana pun, harus … harus … lebih kencang lagi ... ada yang tidak beres akan suatu hal yang belum bisa dijelaskannya, namun dia sudah merasakannya dari awal menerima tawaran ini, "KURANG AJAR! NAZAR PASTI MENGETAHUI SESUATU." Galang memaki dalam hati.
Kemungkinan besar orang-orang tersebut juga yang telah membunuh suami istri Darmawan, itulah kesimpulan Galang sejauh ini. Ia terus berlari menyusuri gang demi gang yang sama sekali belum pernah ia lewati. Kemudian berhenti sejenak di sebuah simpangan, punggungnya menyender pada sebuah tiang listrik, ia melihat ke bulan yang menyinar terang, perlahan kakinya kehilangan daya tumpu yang membuatnya merosot ke bawah, ia pun duduk bersandarkan tiang listrik tersebut untuk sekadar mengambil napas. Gadis dalam pelukannya sedikit membuka mata seketika ia langsung menangis ketakutan, Galang mencoba menenangkannya. Dan tiba-tiba saja mobil itu lewat tepat di hadapannya, decit rem yang dipaksakan menimbulkan bekas roda menempel di atas aspal. Galang buru-buru berlari lagi.
Satu peluru berhasil ditembakan mengenai sebuah tong sampah dan Galang sudah berbelok masuk ke gang lainnya.
Beberapa warga memekik mendengar letupan senapan itu. Lampu-lampu rumah mereka satu per satu menyala.
Kaki Galang bergerak dengan gontai dan gemeteran. Ia membuka masker wajah lalu membuangnya. Ia butuh asupan udara yang lebih banyak. Sementara gadis kecil itu semakin merengek. akhirnya ia putuskan mencari taxi malam atau tumpangan dari siapa saja. Dia sudah sangat lelah. Energinya terkuras habis. Bahkan keringat pun tidak keluar dari kelenjarnya.
Galang mengikuti arah gang ini yang penerangannya sangat minim namun, mulai terlihat ujung gang tersebut adalah sebuah jalan yang cukup besar. Galang melangkah kesana dan begitu keluar dari gang tersebut…
BRAAKKK…
Tubuh Galang terpental seperti sebuah karung beras yang dilempar dari atas truk. Ia tersungkur dan berguling masuk ke dalam parit di samping jalan. Kepala Galang membentur sebuah batu besar dengan keras. Telinganya berdenging lagi … seharian ini sudah dua kali telinganya mendapat siksaan seperti ini. Namun posisinya meringkuk seperti seekor tenggiling berhasil ia pertahankan, ia melindungi gadis kecil dalam pelukannya sehingga punggungnya penuh goresan luka. Pandangan matanya menjadi kabur, hidungnya mencium bau amis keluar dari kepalanya.
Mobil yang menabraknya dari arah belakang, berhenti di tepi jalan. Seseorang keluar dari sana. Mengacungkan Revolver ke arah Galang.
" … tidak usah. Biarkan saja dia mati membusuk di situ. Ambil anak itu segera! Kita sudah banyak kehabisan waktu." bentak seseorang lainnya yang memegang kemudi.
Mereka pun meninggalkannya, Galang setengah sadar menatap nomor plat mobil yang semakin lama semakin menjauh.
Setelah hampir 10 menit Galang merangkak dan menggeliat di tanah, ia akhirnya berhasil keluar dari dalam parit lalu terengah-engah menuju tepi jalan. Namun, tenaganya sudah terkuras habis, dia menyerah, terkapar di atas kerikil jalanan.
Tak berselang lama sebuah mobil berhenti tepat di tempat mobil yang menabraknya. Ia menyalakan lampu hazard yang berkedip-kedip. Seorang perempuan keluar dari sana menghampiri Galang dengan panik. Galang melihat wajah perempuan itu, cantik dan rambutnya dikuncir ke belakang. Tepat saat itu, dia akhirnya kehilangan kesadaran, hanya beberapa ucapan perempuan itu yang berhasil didengarnya, menggema di dalam otak.
" … Ya, dia sekarat. Aku mohon cepat kesini, lukanya sangat parah.… di bawah jalan layang Kelapa Gading … "
" … Tentu aku tidak tahu, namanya. Dia sudah pingsan, kemungkinan dia korban tabrak lari."
"Ya, aku tidak keberatan… pake namaku saja, Lila Darmawan."
"GILA, dapet banyak lo, To?" pekik Udin dengan takjub. Pria bermulut agak monyong ini pemilik warung kopi dua puluh empat jam di Kampung Melayu. Ia memegang secarik kertas putih yang berisi kombinasi angka acak. Dan untuk kesekian kalinya Udin mencocokan nomor di kertas tersebut denganp catatan di bukunya."Ssttt, gak usah kenceng-kenceng napa, Din. Buruan sini duitnya ah. Mau berapakali lo cek juga tetep cocok nomernya." desak seorang pria bertubuh pendek yang berdiri di ambang pintu warung.Suara tawa terbahak-bahak menembus bilik kayu sampai masuk ke dalam warung. Di luar, empat orang pria sedang asik bermain kartu Poker. Salah seorang di antara mereka mengumpat dengan kesal, berbagai macam kata makian keluar dari moncongnya. Ketidak-ahliannya m
Suara sirine Ambulans, gemeretak baut-baut kendur, celoteh mulut-mulut bergosip dari depan, desis roda yang berputar semakin kencang, nyanyian angin yang berlalu. Galang setengah sadar mendengarkan itu semua. Dia terkapar di atas ranjang pasien yang telah reyot. Napasnya dibantu oleh tabung oksigen. Perempuan yang menyelamatkannya tidak terlihat ikut di ambulan ini. Galang menutup matanya lagi. Koak burung camar dari atas sana menyeruak sampai ke telinga Galang yang merintih kesakitan. Dia sadar dengan susah payah, sekujur tubuhnya gemetar berlumur darah. Gemeletuk roda kereta sudah semakin menjauh dari pendengarannya. Beberapa menit lalu -sebelum kejadian- gendang telinganya dipenuhi klakson kereta yang semakin keras mendekat, merobek telinga. Mobil yang dikemudikan ayahnya entah kenap
Pukul 06.00 di kantor kepolisian,Telapak tangan komandan berbintang tiga itu menggebrak meja dengan keras. Jejeran gelas serta alat tulis di atas daun meja melompat bergetar. Air di dalam gelas tersebut terkoyak hampir tumpah.Kedua bola mata komandan memandangi satu per satu orang di ruangan brifing para penyidik. Hanya ada enam orang di ruangan berukuran 5 x 6 m² tersebut, duduk mengelilingi meja panjang.Komandan mengambil sebuah tongkat kayu, diketuknya dengan tegas muka papan tulis putih di depannya itu. Air muka komandan yang sangar dengan kumis tebalnya yang bergerak-gerak seperti ulat bulu, membuat semua orang tegang memandanginya."Eros! Kau, lihatkan daftar kasus in
Pukul 09.12Baru saja Lila memarkirkan mobil, sebuah ambulan mengaung pergi menjauh dari halaman rumahnya. Kepala Lila menatap perginya mobil tersebut yang melaju cepat melewatinya, buru-buru ia berlari menuju rumah.Ia memelankan langkah lari ketika hampir sampai, menatap nanar ke rumah. terbatuk akibat bau hangus yang sangat menyengat. Hampir semua orang yang ada disitu, memandanginya dengan tatapan bersimpati. Lila berjalan pelan menerawang ke seluruh bangunan yang kini tidak dikenalinya lagi. Atap yang setengah roboh, pintu depan yang telah habis, jendela-jendela kaca berserakan, serta debu hitam yang menyelimuti setiap sudut ruang, ia menerjang garis polisi lalu masuk ke dalam rumah dengan perasaan gundah, lantai rumah dipenuhi barang-barang yang menjadi abu. Kakinya tanpa ia sadari terus melangkah ke depan.
Mobil ambulan yang dikemudikan Galang meliuk-liuk di antara kendaraan besar di jalan protokol. Sebuah kontainer mengklaksoninya dengan geram karena ia memotong jalurnya dengan sembarangan dan gila. Namun, Galang tidak menggubris, asal mereka tahu, ia jauh lebih kesal dari para supir-supir itu. Sudah lima kali panggilan teleponnya tidak diangkat Nazar, sambil menggerutu Galang melempar telepon seluler ke bangku samping. Kedua roda depan mobil ambulan itu akhirnya berbelok keluar dari jalan protokol, memasuki jalan yang lebih kecil dan tidak terlalu ramai. Kanan kirinya berdiri bangunan ruko bekas peninggalan Belanda dulu. Satu-satunya bangunan yang paling mencolok di sepanjang jalan ini adalah sebuah apartemen berbentuk kue lapis yang berdiri kokoh menghadap jalur protokol. Galang memutar kemudi dan ambulan masuk ke parkiran apartemen. Sebelum Galang kel
Cetek… cetek… cetek… sebuah suara terdengar dari arah depan.Setelah menutup pintu kamar, Galang menoleh ke gagang pintu depan. Knop bergerak konstan naik-turun, lalu beberapa saat kemudian terdengar suara percakapan dari balik pintu tersebut. Galang terkesiap akan kehadiran orang tersebut, situasinya akan lebih buruk jika ada yang melihatnya berada di sini. Ia menatap ke seluruh sudut ruangan berharap ada celah ataupun lubang yang bisa digunakannya bersembunyi. Otaknya dipaksa berpikir cepat.Dua orang polisi bersenjata akhirnya bersepakat untuk mendobrak pintu kamar nomor 402, mereka secara bersamaan menghantamkan badan pada daun pintu. Pintu tersentak membuka, sekrup yang terpasang di engsel menjerit hampir lepas terkena hentakan untuk yang kedua kalinya.
Pukul 09.55 di rumah sakit,"Aku yakin sekali dia mengetahui sesuatu." Lila berbicara dengan nada tinggi menunjuk ruang tempat lelaki bernama Galang itu dirawat. "Kaburnya dia justru semakin menguatkan keyakinanku. Percayalah kepadaku, kau harus mencari dia."Eros berpikir sejenak, "Ya. Jika dilihat dari lokasi Anda menyelamatkannya, dan tingkahnya yang kabur dalam kondisi terluka, Besar kemungkinan dia mengetahui sesuatu perihal kebakaran di rumahmu atau mungkin saja itu sebuah kebetulan." Eros melirik ke gadis berusia dua puluhan tersebut. "Hai… Anda baik baik saja kan? Kenapa tiba-tiba menangis lagi?"Lila membuang muka begitu Eros memegangi bahunya. "... Andai saja, orang itu memang terlibat. Kamu pikir, Apakah a-aku telah menyelamatkan seorang penjahat? yang mungki
Setelah selesai mencatat beberapa poin yang dianggap penting, Eros menyuruh pak Udin untuk menunjukan lokasi terjadinya penembakan tersebut."... Bukan cuma mendengarnya Pak. Saya melihatnya dengan mata kepala sendiri. Sungguh, saya intip orang berbadan besar itu tepat saat menembak ke arah Karto. Dia menembak dengan tangan kiri pak. Ayo sini, saya tunjukan lokasi penembakannya."Mereka pergi masuk ke dalam kawasan makam yang dipenuhi dengan pepohonan tinggi, meskipun siang hari, nampak terasa aura di tempat peristirahatan terakhir ini sangat mencekam, suara serangga serangga bising terdengar dari penjuru arah seperti tidak mau kalah bising dengan suara kendaraan kota. Sementara itu, Lila merasa lebih senang untuk tetap duduk di teras gubuk, matanya melihat ke segala penjuru, daun-daun pohon ber
Rossa mengangguk, begitulah yang diperintahkan oleh si Limbertman bos besarnya, “Jika kau tertangkap oleh seseorang, gunakanlah nama itu. Seharusnya mereka akan segera melepaskanmu.” Rossa sudah beberapa kali menggunakan nama itu untuk menakuti orang yang menangkapnya dan itu memang berhasil.Entah kenapa wajah orang-orang yang mendengar nama tersebut seketika pucat dan tanpa sadar bergetar ketakutan, pada saat itulah Rossa biasanya melarikan diri sekencang mungkin.Namun, biksu berkepala plontos dengan luka bakar dimatanya ini sama sekali tidak menunjukan bahwa dia menjadi takut, justru sebaliknya. Dia mendekat ke Rossa dengan bola mata yang berkilat memantulkan cahaya-cahaya lentera. Entah kenapa Rossa merasa dia nampak seperti predator buas yang kaget melihat onggokan daging lezat di hadapannya.Biksu Wabi menekukan lutut lalu tangan kanannya mengusap rambut Rossa yang basah akibat kehujanan.“Kau tidak usah takut disini, orang tua berjanggut putih itu sangatlah kuat. Bahkan Lim
***Gemuruh hujan semakin deras menyerbu, genting-genting klenteng beradu dengan air yang turun dari langit. Daerah Bogor memang sering sekali hujan, tetapi hujan deras seperti ini jarang sekali terjadi. Seakan langit sedang marah dan ingin mengamuk melalui angin yang meronta-ronta.“Apa kalian dengar suara gemuruh itu?” ujar Master Chong.Para warga mengangguk seperti sebuah boneka yang digerakan kepalanya, namun tidak tahu kemana arah tujuan perkataan Master Chong.“Itu adalah dewa langit yang sedang marah, dia ganas dan tak bisa ditebak, kalian semua kan tahu daerah sini banyak pohon-pohon besar yang bisa setiap saat roboh. Apa jadinya kalau salah satu yang roboh itu mengenai kalian yang sedang mempertontonkan hal tak bermoral seperti tadi?”Semua diam, “Tak usah melakukan hal-hal bodoh seperti itu lagi, itu memalukan. Aku ingin kalian menyerahkan anak ini pada klenteng. Kami akan memulangkannya, tanpa melakuk
*** Bulan Desember 15 tahun lalu... Saat itu hujan deras mengguyur daerah kaki Gunung Pancar, wilayah Bogor. Angin dari barat meronta-rontakan dedaunan pohon di sekitar Klenteng Tiga Dewa yang diurus Master Chong. Beberapa ranting yang patah dari pohonnya menyerbu genting tanah liat yang menaungi klenteng tersebut, sehingga menciptakan suara gemuruh dan gaduh di atas kepala Master Chong. “Sepertinya badai akan datang,” ucap Master Chong dalam hati, sambil terhuyung masuk ke ruang berdoa, dia dari tadi beridiri di ambang pintu. Kakinya yang sebetulnya masih sehat, entah kenapa terasa kaku dan gemetaran. Firasatnya merasa hal buruk mungkin saja akan terjadi padanya atau pada klenteng ini atau pada orang-orang disekitarnya. Tepat saat baru tiga langkah masuk ke dalam seseorang meneriakinya, suaranya memekik di antara deburan air hujan yang deras. Master Chong menengok ke arah hujan, seorang laki-laki muda berlarian ke arahnya, tubuhnya seratus persen basah. Namun, masih bisa dikenali
Persis seperti yang dikatakan oleh si Manajer mobil, Pria bertubuh besar itu memiliki tatto berbentuk mawar di lengannya, dia berkumis tebal, namun tidak memiliki rambut sepeserpun di kepalanya. Sambil mengancing rompi kulitnya, dia berjalan ke arah Galang dengan langkah tegap. Jantung Galang berderap begitu kencang memandangi wajah sok kuat itu, tangannya meremas kesal di atas dasbord mobil, di belakang pria itu muncul pula beberapa temannya dengan baju rompang-ramping khas preman pasar. Tangan Galang sudah hampir membuka pintu mobil, namun berhasil ditahan oleh Rossa. “Tahan emosimu, Darling. Jangan mengamuk disini, banyak orang-orang tak bersalah yang akan kena imbasnya jika kamu menghajar mereka disini. Lihatlah, pandangan pria itu tidak tertuju ke kita. Artinya dia tidak sadar kita telah mengawasinya. Biarkan dia mengendarai motornya, lalu kita buntuti mereka.” Benar kata Rossa, si Anton melewati mobil mereka begitu saja tanpa curiga sedikit pun. Hanya saja preman-preman pasar d
Pukul 21:35 di Little Tokyo.Bangunan-bangunan berlantai dua dengan atap genteng khas jepang berjejeran saling berhadapan sepanjang jalan kawasan Blok M. Lentera-lentera berwarna merah bergelantungan tertiup angin menghiasi hampir disetiap bangunan-bangunan tersebut. Orang-orang berlalu lalang di bawahnya, mereka saling bergandengan, bencanda ria, mengobrol, berfoto, lalu tertawa lagi, di antara mereka berucap “Ya, tentu saja aku mau...”. Dan beberapa orang lainnya yang berjalan sendirian terlihat murung, ia menyumpahi segala macam yang ada di sepanjang jalan itu, “sialan, aku menginjak tahi burung lagi.” Kawasan itu benar benar ramai.Galang mengisyaratkan ke Rossa supaya menepi di sebuah sisi jalan yang masih agak jauh dari kawasan tersebut, kedua bola mata Rossa melirik ke sebuah restoran jepang yang sangat ramai dikunjungi. Restoran tersebut berlantai dua dengan lantai ruftop yang difungsikan sebagai tempat makan untuk para pen
Sang manajer memperbaiki posisi duduknya, pantat kurusnya sudah mulai terasa panas beradu dengan kursi kantor yang busanya sudah kempis, ia mulai menjelaskan."Sepuluh bulan lalu, pria bernama Anton itu membeli mobil disini dengan opsi pengiriman ke sebuah perusahaan bernama PT. Genta yang letaknya tidak jauh dari Tanjung Priok. Jangan tanyakan mengapa begitu, karena aku berani sumpah, aku tidak tahu ada hubungan apa antara si Anton tersebut dengan PT. Genta. Namun, yang pasti... kau harus tahu orang-orang tersebut sangatlah berbahaya. Mereka punya kelompok yang kuat dan kejam." terang sang manajer tanpa mengedipkan mata sama sekali, ia mengucapkannya dengan penuh tekanan."Aku tidak peduli! Cepat katakan dimana mereka itu, entah itu si Anton entah itu si kelompok dari perusahaan Genta!"
"Ini tidak akan susah, Darling." sesaat kemudian setelah Rossa mengambil alih laptop itu, ia mengangkat alis. "Nah ketemu, lihat ini. Cuma ada ratusan buyer mobil jenis Aston DBS ini dari sekian banyak daftar ini yang menarik perhatianku adalah pria bernama Anton. Coba lihat, dalam catatan ini 10 bulan lalu dia membelinya, namun dia memberi catatan mobil harus dikirimkan untuk perusahaan bernama PT. Genta Tama, nama yang sama seperti yang diucapkan seseorang dalam rekaman di flashdisk itu.""Dimana alamat perusahaan tersebut?" ucap Galang ikut melihat layar laptop."Sayangnya tidak ada catatan di dalam laptop ini, bahkan di google ataupun di deepweb juga tidak ada catatannya sana sekali, yang tertera dalam invoice elektronik ini h
Seorang pria berusia 40 tahunan terlihat sedang berusaha mengunci pintu kaca showroom Aston itu. Ia tidak menyadari telah di taruh sebuah koin pengganjal pada mulut kunci, berulang kali dia coba anak kunci yang satu dengan yang lainnya, namun tidak ada yang pas. Sesuai dengan data yang berhasil direntas Rossa di laman situs perusahaan, hari ini adalah jadwal piket sang manajer, dia terpaksa pulang paling akhir dan mengunci sendiri pintu showroom-nya.Galang yang memperhatikan dari seberang jalan sudah tak sabar lagi, ia segera melompat keluar dari balik pohon sebrang jalan, berjalan pelan menghampirinya."Hei, bukan seperti itu rencananya, Galang…" pekik Rossa dengan raut wajah terperangah.Galang tidak
Kedua mata Galang lamat-lamat terbuka, ia memandang lampu pijar yang dikenalinya berada tepat di langit-langit ruangan, ia bangun dari ranjang motel yang tidak asing lagi baginya. Kepalanya masih terasa berat dan nyeri, namun perlahan menghilang. Jam dinding yang menempel di sisi samping lampu pijar itu berdentang tujuh kali."Mimpi buruk lagi. Efek morfin menidurkanku lebih dari enam jam, luar biasa. Sebanding dengan tubuhku yang tidak terasa kesakitan lagi." gumam Galang pada dirinya sendiri.Ia melangkah keluar kamar begitu selesai mencuci muka. Didapatinya sebuah laptop terbuka menganga di meja ruang tamu. Tidak ada seorang pun berada disana. Ia duduk di sofa menghadap layar laptop. Sebuah file rekaman video berdurasi 2 menit ada di sana. Saat hendak mengeklik file video itu, Rossa muncul dari balik punggungnya membawa sejumlah botol kaleng minuman pe