Author's POVMalam kian pekat bercampur dengan hujan deras yang mengguyur bumi. Hujan yang tenang tanpa angin dan gempuran guruh yang biasanya menggelegar seolah hendak mencambuk isi bumi.Hawa dingin menguar dan menenangkan. Menambah syahdu suasana malam."Aku susui Kalandra dulu, Mas," kata Embun terus beranjak mendekati box. Bayi yang tertidur pulas dibangunkan karena sudah waktunya minum susu. Suasana hujan membuat tidurnya cukup anteng. "Mas, mau ngecek pintu sama jendela dulu, ya." Andrean keluar kamar setelah mencium kening baby Kalandra.Setelah Andrean pulang kerja, Mbok Darmi sama Pak Karyo juga pulang ke rumahnya. Jadi tiap malam mereka hanya tinggal bertiga. Mbok Darmi sempat menemani hingga baby Kalandra hingga berusia satu bulan. Wanita itu menolak tinggal di rumah Andrean karena harus menjaga cucunya juga jika Cici mendapatkan kerja shift malam. Wanita itu bekerja di pabrik sepatu yang ada di kota kecil mereka.Andrean menyentuh kursi goyang di ruang tengah. Di mana ka
Author's POVAndrean menatap lurus langit-langit kamar yang terang. Mereka belum mematikan kembali lampu yang tadi dinyalakan Andrean ketika Kalandra terbangun."Suatu hari papa datang dan membawa Mas pada seorang perempuan yang akhirnya harus kupanggil 'Mama Salwa'. Awalnya Mas bahagia karena akan bertemu mama yang kurindukan selama ini. Waktu itu Mas masih sangat kecil, umur empat atau lima tahun. Namun momen itu masih bisa kuingat hingga kini. Mungkin karena rasa rindu itu, makanya peristiwa itu membekas jelas dalam kalbu. Nyatanya Mas salah. Dia bukan wanita yang bisa mengobati rinduku pada sosok ibu. Semakin lama kami bukan semakin dekat, tapi kami merasa asing dari waktu ke waktu. Sosok ibu hanya Mas temukan pada diri nenek dan Tante Verra.""Mas merasa bersalah pada Tante Verra. Mas pernah berprasangka buruk ketika dia sibuk mengatur hidupku. Nyatanya sekarang semua sudah terbuka. Mas paham maksudnya. Dia terlalu terluka oleh kenyataan pahit dalam hidup mama."Embun menggeser t
Author's POVPak Darmawan melihat Miranda melangkah di depan sambil membawa beberapa buket bunga dan Hendriko menyusul di belakangnya sambil mendorong sang mama yang duduk di kursi roda. Ada Pak Wahab juga yang mengikuti di belakang.Lelaki setengah baya itu berdiri diam sambil menunggu kedatangan mereka. Tidak menyangka juga kalau istri dan anaknya akan mengunjungi makam sepagi itu. Waktu ia pamit keluar tadi, Hendriko dan Miranda belum bangun, sedangkan Bu Salwa tengah sarapan di suapi Bu Atun.Semenjak mamanya sakit, tiap akhir pekan Hendriko dan Miranda menginap di rumah papanya. Minggu sorenya baru ke rumah Bu Evi. Dua keluarga yang sama-sama butuh support mereka sebagai anak.Bu Salwa menatap suaminya yang berdiri di hadapannya. Jujur ia kaget, ketika melihat Pak Darmawan sudah ada di makam dengan pakaian olahraga. Setahunya, sang suami pergi joging tiap Minggu pagi di taman kota. Rupanya ada di makam istri pertamanya. Selama ini ia tidak tahu. Yang ia tahu, suaminya banyak meng
Author's POVDarah Verra yang mendidih membuat gadis itu kehilangan kendali. Di jambaknya rambut Salwa. Di cakar dan di tamparnya wajah itu, di tendang perutnya hingga terjengkang ke belakang menabrak tembok. Dua adiknya bukan menolong tapi malah lari ke belakang karena ketakutan."Aku akan melaporkan kamu ke polisi," kata Salwa sambil menahan sakit di perutnya."Laporkan saja, aku tidak takut. Ayo, laporkan! Jika kamu ingin reputasimu hancur, adik-adikmu jadi bahan lelucon di sekolah karena kakaknya perebut suami orang. Dan karir Mas Edi yang sedang berkembang akan hancur berantakan. Ayo, lakukan kalau kamu nggak terima. Aku akan memberikan kesaksian di pengadilan dan pada semua orang, kalau kamu perempuan nggak punya harga diri."Salwa menangis. "Kamu nggak akan menang di pengadilan. Lelaki boleh menikahi lebih dari satu wanita." Wanita itu masih berusaha membela diri.Verra tertawa ngakak. "Memangnya menikah lagi itu nggak ada aturannya, nggak ada adabnya. Bilang pada Mas Edi kalau
Author's POV Malu dan bingung. Itu yang di rasakan Bu Salwa ketika teman sosialitanya memandang ke arahnya. Ada senyum menghiasi wajah mamanya Nency -yang bernama asli Bu Gita- ketika menatap bestie-nya.Bagi Bu Salwa senyum itu seperti ejekan. Sementara keluarga yang lain sibuk memilih menu untuk sarapan dan dia terjebak oleh perasaan yang ingin membuatnya angkat kaki dari sana. Andai bisa.Ternyata Bu Gita yang berteman baik selama ini, tidak tulus padanya. Wanita itu masih menyimpan rapi kenangannya bersama perempuan yang disebutnya 'sahabat'. Bu Lili. Mereka adalah teman masa kecil, juga berteman baik dengan Bu Verra. Namun semua terungkap setelah sama-sama menua. Begitu rapinya ia menyimpan rahasia. Hingga waktu mengungkap semuanya. Satu per satu rekan-rekannya tahu kisah itu. Dan kasak-kusuk mulai terdengar di antara mereka saat berkumpul bersama. Meski tidak secara langsung, tapi sindiran mereka begitu mengena di hati. Pelakor. Tema yang selalu di bahas akhir-akhir ketika Bu
Author's POVHening. Malam tak berhias hujan seperti malam-malam sebelumnya. Tapi tidak juga ada sinar rembulan yang menghuni angkasa. Yang ada hanya pekat yang kelam.Fariq duduk di balkon lantai dua rumah orang tuanya. Papanya sakit dan ia harus menginap di sana. Namun Karina lebih memilih liburan bersama mamanya ketimbang menemani suami menjaga mertuanya. Usai kegagalan bayi tabung beberapa minggu yang lalu, hubungannya dengan sang istri makin dingin. Sekeras apapun ia berupaya, nyatanya tetap sia-sia. Karina lebih memilih dunianya daripada memperbaiki hubungan mereka."Kenapa Mas selalu datang ke rumah itu? Untuk mengenang masa lalumu atau bertemu perempuan itu?" Kilat kecemburuan membahana suatu senja saat Fariq baru saja pulang dari kantor.Perempuan? Oh, Aryana tentu yang di maksud Karina. Lelucon apa itu. Dia ke rumah lamanya karena ada tukang AC yang ingin menservis alat pendingin itu. Juga membenahi plafon dapur."Bagaimana kamu bisa menuduhku seperti itu, sedangkan aku bert
Author's POV"Mas," panggil Hendriko menyambut Andrean dengan perasaan lega. Sang kakak akhirnya sudi datang.Pria yang sudah berpakaian kerja rapi tersenyum pada sang adik. "Aku belum bisa bawa Embun dan Kalandra ke sini.""Nggak apa-apa, Mas. Mama belum bangun. Sebentar lagi mungkin," jawab Hendriko sambil melihat ke arah jam dinding.Andrean mengikuti langkah adiknya menuju kamar utama. Kamar mewah yang jadi peraduan wanita penuh ambisi ketika masih sehat dan cantik. Namun sekarang terlihat dia sungguh tak berdaya meski untuk menggerakkan tubuhnya sendiri. Wajahnya cekung, kulitnya agak gelap, dan rambutnya acak-acakan.Pak Darmawan tampak lega melihat kehadiran putra sulungnya. Andrean duduk di salah satu sofa di ruangan itu.Tepat di dinding depannya ada foto papanya dan sang ibu tiri ukuran satu kali setengah meter. Foto berpakaian pengantin ketika mereka masih muda dulu. Hati Andrean kembali tersayat dan terluka. Tidak dipungkiri sebagai anak kalau sebenarnya dalam lubuk hatiny
Author's POV"Saya akan berangkat ke kantor. Lain hari, saya akan mengajak Embun dan Kalandra ke sini." Andrean bicara sambil menggenggam tangan Bu Salwa. Wanita itu menjawab ucapannya dengan anggukan kepala.Kemudian Andrean bangkit dari duduknya dan pamitan pada papa dan adiknya."Terima kasih, Mas, sudi datang," ucap Hendriko saat mengantar kakaknya hingga sampai di teras."Ya," jawab Andrean sambil tersenyum. "Kamu tidak kerja hari ini?""Kerja. Ini mau ganti baju dulu."Andrean menepuk bahu sang adik, setelah itu melangkah menuju mobilnya yang terparkir di halaman depan.Belum sempat masuk mobil, papanya muncul di teras dan memanggilnya. Lelaki itu tergesa-gesa menghampiri putranya."Terima kasih, kamu mau datang, Ndre. Maafkan papa." Lelaki itu memeluk tubuh tegap putranya sambil menahan sesak dalam dada."Maafkan papa.""Sudah kumaafkan. Saya berangkat ke kantor dulu, Pa." Andrean pamit, karena tidak ingin banyak basa-basi. Pak Darmawan mengangguk sambil menepuk bahu putranya.