Author's POVHening. Malam tak berhias hujan seperti malam-malam sebelumnya. Tapi tidak juga ada sinar rembulan yang menghuni angkasa. Yang ada hanya pekat yang kelam.Fariq duduk di balkon lantai dua rumah orang tuanya. Papanya sakit dan ia harus menginap di sana. Namun Karina lebih memilih liburan bersama mamanya ketimbang menemani suami menjaga mertuanya. Usai kegagalan bayi tabung beberapa minggu yang lalu, hubungannya dengan sang istri makin dingin. Sekeras apapun ia berupaya, nyatanya tetap sia-sia. Karina lebih memilih dunianya daripada memperbaiki hubungan mereka."Kenapa Mas selalu datang ke rumah itu? Untuk mengenang masa lalumu atau bertemu perempuan itu?" Kilat kecemburuan membahana suatu senja saat Fariq baru saja pulang dari kantor.Perempuan? Oh, Aryana tentu yang di maksud Karina. Lelucon apa itu. Dia ke rumah lamanya karena ada tukang AC yang ingin menservis alat pendingin itu. Juga membenahi plafon dapur."Bagaimana kamu bisa menuduhku seperti itu, sedangkan aku bert
Author's POV"Mas," panggil Hendriko menyambut Andrean dengan perasaan lega. Sang kakak akhirnya sudi datang.Pria yang sudah berpakaian kerja rapi tersenyum pada sang adik. "Aku belum bisa bawa Embun dan Kalandra ke sini.""Nggak apa-apa, Mas. Mama belum bangun. Sebentar lagi mungkin," jawab Hendriko sambil melihat ke arah jam dinding.Andrean mengikuti langkah adiknya menuju kamar utama. Kamar mewah yang jadi peraduan wanita penuh ambisi ketika masih sehat dan cantik. Namun sekarang terlihat dia sungguh tak berdaya meski untuk menggerakkan tubuhnya sendiri. Wajahnya cekung, kulitnya agak gelap, dan rambutnya acak-acakan.Pak Darmawan tampak lega melihat kehadiran putra sulungnya. Andrean duduk di salah satu sofa di ruangan itu.Tepat di dinding depannya ada foto papanya dan sang ibu tiri ukuran satu kali setengah meter. Foto berpakaian pengantin ketika mereka masih muda dulu. Hati Andrean kembali tersayat dan terluka. Tidak dipungkiri sebagai anak kalau sebenarnya dalam lubuk hatiny
Author's POV"Saya akan berangkat ke kantor. Lain hari, saya akan mengajak Embun dan Kalandra ke sini." Andrean bicara sambil menggenggam tangan Bu Salwa. Wanita itu menjawab ucapannya dengan anggukan kepala.Kemudian Andrean bangkit dari duduknya dan pamitan pada papa dan adiknya."Terima kasih, Mas, sudi datang," ucap Hendriko saat mengantar kakaknya hingga sampai di teras."Ya," jawab Andrean sambil tersenyum. "Kamu tidak kerja hari ini?""Kerja. Ini mau ganti baju dulu."Andrean menepuk bahu sang adik, setelah itu melangkah menuju mobilnya yang terparkir di halaman depan.Belum sempat masuk mobil, papanya muncul di teras dan memanggilnya. Lelaki itu tergesa-gesa menghampiri putranya."Terima kasih, kamu mau datang, Ndre. Maafkan papa." Lelaki itu memeluk tubuh tegap putranya sambil menahan sesak dalam dada."Maafkan papa.""Sudah kumaafkan. Saya berangkat ke kantor dulu, Pa." Andrean pamit, karena tidak ingin banyak basa-basi. Pak Darmawan mengangguk sambil menepuk bahu putranya.
Author's POV"Kenapa?" kejar Fariq. Hubungan mereka memang berjarak setelah Pak Salim meninggal. Namun Fariq tidak menyangka kalau Karina punya keputusan seperti itu. Kandasnya pernikahan pertamanya membuat Fariq mencoba berhati-hati supaya tidak gagal lagi. Ia selalu mengalah untuk menghindari perdebatan di antara mereka.Mengingat pernikahannya dengan Embun sepuluh tahun tanpa anak dan Karina juga dua kali keguguran janinnya, serta kegagalan bayi tabung, membuat Fariq memang tidak kepikiran lagi tentang buah hati. Ia sudah pasrah. Dia tidak menuntut Karina melahirkan anak untuknya seperti yang ia lakukan pada Embun dulu. Tak ada pemaksaan untuk itu."Entahlah, aku merasa kalau kita nggak bisa sepaham lagi. Kita sering berselisih akhir-akhir ini. Walaupun Mas memilih diam daripada meladeniku bertengkar," jawab Karina dengan pandangan menerawang."Maafkan, jika belakangan ini aku mementingkan kondisi kesehatan Mama. Kamu tahu mama tergantung padaku meski ada pembantu di sana. Aku satu
Author's POVPak Bagas tampak bingung dan serba salah. Rona wajahnya tidak bisa dipungkiri. Ada sesal dalam tatapannya. Namun ada titik pasrah yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata."Ada dokter visit, Pa.""I-iya."Selesai menjawab dari dalam muncul seorang wanita setengah baya. "Pak, Ibu mau di bawa ke ruang USG." Wanita itu memberitahu."Iya," jawab Pak Bagas singkat. Lantas menyuruh putrinya untuk ikut pembantu rumah tangganya masuk. Gadis kecil itu tidak membantah. Melorot turun dan lari ikut ART-nya."Aku mau pergi dulu, Pa." Miranda meraih tali tasnya kemudian melangkah pergi meninggalkan sang papa. Tanpa menyalami bahkan menatap lelaki itu. Dia memilih pergi sebelum papanya mengatakan sesuatu.Miranda melangkah dengan hati dongkol. Teringat bagaimana papanya menyesal ketika proses perceraian dengan mamanya. Tapi kenyataannya sekarang, perempuan itu hamil lagi anak kedua mereka. Sungguh memuakkan bagi Miranda. Nanti anak kedua mereka akan seumuran dengan anak kakaknya yang
Author's POVTidak hanya merawat raganya. Tapi Embun akan senantiasa sedia menyiapkan kedua telinganya untuk mendengarkan suaminya bicara. Dalam hal bicara pun ia selalu berhati-hati, supaya tidak menyinggung perasaan pasangan. Karena lelaki, pantang direndahkan. Meski tidak disanjung setinggi langit, setidaknya ia hanya ingin dihargai.Embun ingin menjadi wanita yang selalu dirindukan suaminya. Makanya tiap Andrean datang, pelayanan tetap diutamakan dan meninggalkan kesibukan yang lain. Andrean sendiri sangat menghargai istrinya.Embun memahami bagaimana seorang istri itu mengabdi pada suami. melakukannya dengan sepenuh hati. Tiap sore ia akan membawa anaknya menunggu Andrean pulang, terus menyiapkan makan, meluangkan waktu salat berjamaah, bercinta di tengah malam dan berpelukan hingga ujung pagi.Namun semenjak Kalandra lahir, Andrean selalu bilang untuk mengutamakan kepentingan Kalandra dulu. Baru dirinya. Wajah Embun yang berseri-seri ditenung suaminya dalam-dalam. Membuat Embun
Author's POVHendriko makin erat memeluk dan mencium pipi istrinya. Dari caranya menyentuh dan memandang, Miranda tahu kalau suaminya sedang ingin bercinta. Apalagi hampir seminggu ini mereka belum melakukannya karena sama-sama sibuk, capek, dan banyak pikiran."Aku nggak bisa tidur semalaman. Pengen pulang, tapi kasihan papa jagain mama sendiri. Bu Atun pulang untuk mengambil baju ganti buat mama. Pagi-pagi beliau datang dan aku langsung pulang." Embusan napas Hendriko terasa panas menjalari kulit dan hangat di telinga istrinya."Kangen?"Hendriko tertawa membuat tubuh Miranda yang ada di atasnya ikut terguncang. "Tau kan apa maksudnya?""Tau." Miranda mengulum senyum sambil menatap suaminya. Diakui bukan hanya Hendriko saja yang rindu. Dirinya pun sama. Bahkan semalaman dia juga gelisah. Membayangkan otot-otot tubuh suaminya yang liat, yang terkadang mencumbuinya secara brutal. Dan Miranda suka itu. "Sekarang?" tanya Miranda."Iya, sekarang."Matahari beranjak naik, ketika sepasan
Author's POV"Nggak," jawab Roy cepat."Terus ....""Kira-kira dua mingguan yang lalu dia ngajak ketemuan makan malam di President Cafe. Terus ngomong serius banget. Dia minta supaya aku melamarnya. Sumpah, kaget aku Mbak. Nggak nyangka dia ngomong seserius itu."Embun tersenyum. Sebelumnya ia sudah menduga kalau di antara adik dan Nency memang ada rasa. "Itu tandanya dia suka sama kamu. Terus kamunya gimana?""Aku nggak mau ngambil resiko. Jelas antara aku sama dia itu ibarat langit dan bumi. Dia punya segalanya dan aku nggak punya apa-apa. Aku bilang kita temenan aja. Malah dia nangis. Udah seminggu ini dia datang ke bengkel. Nggak mau pulang sampai aku sungkan sama bosku.""Habis tuh ...." Embun tidak sabar untuk mendengarkan banyak hal.Roy diam sejenak. "Dia ikut aku pulang ke rumah.""Tanggapan ibu sama bapak gimana?""Inilah masalahnya sekarang. Mbak, tau bagaimana ibu. Pastilah ibu suka dengan Nency. Cantik, kaya, cerdas. Dia juga pandai mengambil hati ibu. Kalau bapak tersera