Author's POV"Nggak," jawab Roy cepat."Terus ....""Kira-kira dua mingguan yang lalu dia ngajak ketemuan makan malam di President Cafe. Terus ngomong serius banget. Dia minta supaya aku melamarnya. Sumpah, kaget aku Mbak. Nggak nyangka dia ngomong seserius itu."Embun tersenyum. Sebelumnya ia sudah menduga kalau di antara adik dan Nency memang ada rasa. "Itu tandanya dia suka sama kamu. Terus kamunya gimana?""Aku nggak mau ngambil resiko. Jelas antara aku sama dia itu ibarat langit dan bumi. Dia punya segalanya dan aku nggak punya apa-apa. Aku bilang kita temenan aja. Malah dia nangis. Udah seminggu ini dia datang ke bengkel. Nggak mau pulang sampai aku sungkan sama bosku.""Habis tuh ...." Embun tidak sabar untuk mendengarkan banyak hal.Roy diam sejenak. "Dia ikut aku pulang ke rumah.""Tanggapan ibu sama bapak gimana?""Inilah masalahnya sekarang. Mbak, tau bagaimana ibu. Pastilah ibu suka dengan Nency. Cantik, kaya, cerdas. Dia juga pandai mengambil hati ibu. Kalau bapak tersera
Author's POV"Apalagi orang tuaku ingin mengenalkan aku dengan anak teman mereka. Aku nggak maulah, Nit. Aku nggak tahu banget laki-laki itu. Belum tentu dia suka sama aku. Nggak ingin aku kecewa lagi, seperti saat aku hendak dijodohkan dengan Mas Andrean. Umurku nggak lagi muda. Kamu saja sudah punya anak dua. Kalau dengan Roy, aku bisa lihat kalau dia juga punya perasaan yang sama. Aku jenuh dengan kehidupan seperti ini. Perjodohan dan mengikuti aturan keluarga soal pendamping hidup.""Aku juga jenuh hidup penuh aturan mama. Dipaksa bercampur dengan kaum sosialita yang hanya mementingkan penampilan dan gaya hidup kelas atas. Beberapa bulan yang lalu aku memang menikmatinya. Bahagia selalu jadi pusat perhatian dan tatap kagum perempuan-perempuan yang menjadi pelayan restoran tempat kami mengadakan ketemuan. Atau di spa tempat kami memanjakan diri. Capek berjalan sambil membusungkan dada untuk menunjukkan strata sosial kami. Aku ingin merubah diri dan hidup sederhana. Sebab segala kek
Author's POVHendriko dan Miranda tersenyum pada dua wanita di hadapannya. Antara Miranda dengan Hera pun sudah lama tidak bertemu. Terakhir ketemuan waktu di pernikahan Miranda. Kasus pemukulan yang dilakukan oleh Hendriko pada Rusdi waktu itu membuat hubungan mereka makin renggang. Terlebih setelah Pak Bagas dan Bu Evi bercerai. Mereka seolah tak mau tahu antara satu dengan yang lain."Apa kabar, Mbak?" tanya Miranda pada istri sepupu jauhnya."Alhamdulillah, sehat," jawab Hera sambil tersenyum canggung.Hendriko mendekati sang kakak yang berdiri di pembatas koridor mall. Membiarkan ketiga perempuan duduk di bangku sambil berbincang dan mengawasi anak-anak. Andrean menawari untuk duduk dan ngobrol di kafe. Tapi karena sudah pada makan akhirnya mereka menolak."Mbak Hera, sekarang tinggal di mana?" tanya Miranda. Ia pun sudah mendengar kepergian Hera dari rumah Rusdi beberapa bulan yang lalu. Bertepatan dengan kisruhnya rumah tangga papa dan mamanya."Aku kos di dekat tempat kerjaku.
Author's POV"PAPA!" teriak Sisi sambil berlari dari arah pintu kamar perawatan yang di buka oleh Hera, lantas menubruk Rusdi yang duduk di kursi sebelah brankar Putra. Tangan kanan Rusdi terentang untuk menyambut pelukan putrinya. Sementara tangan kirinya masih di gendong karena terbalut gips.Bocah perempuan itu menciumi pipi Rusdi untuk melepaskan rindunya pada sang papa. Netra lelaki itu berkaca-kaca. Dipeluknya erat tubuh kecil Sisi. Mata bocah itu menatap tangan kiri papanya. "Kenapa tangan, Papa?""Sakit, Sayang.""Sakit apa? Kenapa putih-putih begini.""Papa jatuh."Sisi memandang Rusdi. Lalu mengalungkan lengannya pada leher sang papa.Sementara Hera memeluk Putra sambil mencium kening anaknya. Air mata sudah tidak bisa ditahannya lagi. Beberapa bulan tidak bertemu, bocah umur delapan tahun itu tidak mau melepaskan pelukan mamanya. "Jangan pergi lagi, Ma," ucap Putra di antara isaknya.Hera tidak bisa menjawab selain mengusap rambut anak lelakinya. Sungguh itu menjadi momen
Author's POVPagi yang dingin. Kabut tipis melayang-layang menyelimuti dedaunan dan meninggalkan bercak embun di sana. Mentari juga belum beranjak naik. Semburat kekuningan menyembul dari balik perbukitan.Roy keluar kamar dan menghampiri ibunya di dapur yang sedang membuat sarapan. "Kamu mau berangkat sepagi ini? Nggak sarapan dulu?" tanya Bu Wanti pada putranya yang terlihat segar dengan kaos warna biru dan celana jeans."Nggak usah, Bu," jawab Roy sambil memakai jaketnya."Minum dulu tehnya." Bu Wanti menunjuk tiga gelas teh dan segelas kopi yang berada di atas meja.Roy duduk di kursi meja makan. Mengambil segelas teh dan menyesap sedikit karena masih lumayan panas."Bapak kenapa pagi-pagi sekali ke sawah, Bu?""Mau ngasih pupuk tanaman jagung. Siang nanti giliran dapat aliran air dari kali, makanya pagi-pagi bapakmu ke sawah. Terus kenapa kamu berangkat sepagi ini?""Banyak kerjaan, Bu." Roy tidak menceritakan kalau dia ada janji ketemuan dengan Nency. Jika diberitahu sang ibu p
Author's POVSetelah Pak Darmawan tidur pulas, Andrean bicara pada sang adik. "Papa sudah tidur. Kamu tinggal saja, biar aku yang jaga."Dengan langkah gontai Hendriko keluar kamar papanya. Meninggalkan Andrean di kamar itu. Semenjak papanya jatuh sakit, Hendriko menyarankan sang papa supaya tidur di kamar lain. Biar Mama dan papanya sama-sama bisa istirahat. Hendriko melangkah gontai ke kamar sebelahnya lagi. Dia mengajak Miranda pindah ke kamar bawah agar mudah memantau kedua orang tuanya yang tengah sakit. "Mama sudah tidur?" tanya Miranda yang mengaplikasikan cream malam pada wajahnya di depan cermin kecil yang ada di depannya. "Sudah." "Papa juga sudah tidur?" "Ya. Ada Mas Andrean di sana," jawab Hendriko terlihat sangat lelah. Pria itu asal berbaring saja di ranjang. Bagaimana tidak lelah. Setelah pulang dari kantor, dia akan mengurusi Pak Darmawan dan Bu Salwa yang tengah terbaring sakit. Papanya masih bisa bangun dan ke kamar mandi sendiri. Sedangkan mamanya tergantung pa
Author's POV"Dia bukan anakku," jawab Rusdi datar. Istrinya pasti sedang membahas Rista yang pernah datang dan mengaku sedang hamil anaknya. Itu sudah lama dan Rusdi sendiri sudah tidak berhubungan dengan perempuan itu.Ganti Hera yang tersenyum sinis. "Setelah benih kamu tanam lantas kamu campakkan?""Dia bukan anakku. Rista hanya mengaku-ngaku." Rusdi masih kekeuh dengan jawabannya.Dan percakapan mereka terhenti ketika Sisi yang lebih dulu terbangun dan memanggil sang mama. Hera lekas menghampiri putrinya. "Sudah bangun, Sayang?"Gadis kecil itu mengangguk dengan wajah yang terlihat pucat dan tubuh lemas. Hera menyentuh kening putrinya. "Badan kamu kok anget? Sisi pusing nggak kepalanya?"Sisi kembali mengangguk. Hera langsung pias. Setelah Putra sembuh dan boleh pulang, sekarang Sisi yang gantian sakit. Semoga dia tidak kena gejala typus seperti kakaknya.Rusdi yang mendengar percakapan mereka segera keluar kamar untuk memanggil dokter anak. Untungnya dokter masih standby di rum
Author's POVSiang itu Hera mengemas barang-barang karena Putra sudah diizinkan pulang. Sisi juga sudah sembuh. Terpaksa dia akan ikut Rusdi kembali ke rumah mereka. Sisi ngotot ingin ikut kakak dan papanya pulang ke rumah. Sepagi itu Hera membujuk tapi si bungsu malah menangis. Hera tidak tega memandang kedua anaknya yang sangat sedih. Terutama Sisi. Dia malah menangis karena ingin ikut kakaknya. Pada akhirnya Hera mengalah. Mungkin butuh waktu lagi untuk membujuk dan memberikan pemahaman pada mereka.Rengekan anak-anak yang membuat Hera mengalah, sangat memuaskan Rusdi. Dia tidak perlu lagi susah-susah membujuk istrinya. Cukup dengan mempengaruhi anak-anak saja.Mereka meninggalkan rumah sakit setelah sopir yang menjemput datang. Lelaki setengah baya itu membawakan barang-barang ke mobil. Putra di gandeng Rusdi karena sudah cukup sehat untuk berjalan sendiri. Sedangkan Sisi di gendong oleh mamanya."Sisi kangen sama pusy, Ma," ujarnya polos tentang kucing kesukaannya ketika mereka