Author's POV"PAPA!" teriak Sisi sambil berlari dari arah pintu kamar perawatan yang di buka oleh Hera, lantas menubruk Rusdi yang duduk di kursi sebelah brankar Putra. Tangan kanan Rusdi terentang untuk menyambut pelukan putrinya. Sementara tangan kirinya masih di gendong karena terbalut gips.Bocah perempuan itu menciumi pipi Rusdi untuk melepaskan rindunya pada sang papa. Netra lelaki itu berkaca-kaca. Dipeluknya erat tubuh kecil Sisi. Mata bocah itu menatap tangan kiri papanya. "Kenapa tangan, Papa?""Sakit, Sayang.""Sakit apa? Kenapa putih-putih begini.""Papa jatuh."Sisi memandang Rusdi. Lalu mengalungkan lengannya pada leher sang papa.Sementara Hera memeluk Putra sambil mencium kening anaknya. Air mata sudah tidak bisa ditahannya lagi. Beberapa bulan tidak bertemu, bocah umur delapan tahun itu tidak mau melepaskan pelukan mamanya. "Jangan pergi lagi, Ma," ucap Putra di antara isaknya.Hera tidak bisa menjawab selain mengusap rambut anak lelakinya. Sungguh itu menjadi momen
Author's POVPagi yang dingin. Kabut tipis melayang-layang menyelimuti dedaunan dan meninggalkan bercak embun di sana. Mentari juga belum beranjak naik. Semburat kekuningan menyembul dari balik perbukitan.Roy keluar kamar dan menghampiri ibunya di dapur yang sedang membuat sarapan. "Kamu mau berangkat sepagi ini? Nggak sarapan dulu?" tanya Bu Wanti pada putranya yang terlihat segar dengan kaos warna biru dan celana jeans."Nggak usah, Bu," jawab Roy sambil memakai jaketnya."Minum dulu tehnya." Bu Wanti menunjuk tiga gelas teh dan segelas kopi yang berada di atas meja.Roy duduk di kursi meja makan. Mengambil segelas teh dan menyesap sedikit karena masih lumayan panas."Bapak kenapa pagi-pagi sekali ke sawah, Bu?""Mau ngasih pupuk tanaman jagung. Siang nanti giliran dapat aliran air dari kali, makanya pagi-pagi bapakmu ke sawah. Terus kenapa kamu berangkat sepagi ini?""Banyak kerjaan, Bu." Roy tidak menceritakan kalau dia ada janji ketemuan dengan Nency. Jika diberitahu sang ibu p
Author's POVSetelah Pak Darmawan tidur pulas, Andrean bicara pada sang adik. "Papa sudah tidur. Kamu tinggal saja, biar aku yang jaga."Dengan langkah gontai Hendriko keluar kamar papanya. Meninggalkan Andrean di kamar itu. Semenjak papanya jatuh sakit, Hendriko menyarankan sang papa supaya tidur di kamar lain. Biar Mama dan papanya sama-sama bisa istirahat. Hendriko melangkah gontai ke kamar sebelahnya lagi. Dia mengajak Miranda pindah ke kamar bawah agar mudah memantau kedua orang tuanya yang tengah sakit. "Mama sudah tidur?" tanya Miranda yang mengaplikasikan cream malam pada wajahnya di depan cermin kecil yang ada di depannya. "Sudah." "Papa juga sudah tidur?" "Ya. Ada Mas Andrean di sana," jawab Hendriko terlihat sangat lelah. Pria itu asal berbaring saja di ranjang. Bagaimana tidak lelah. Setelah pulang dari kantor, dia akan mengurusi Pak Darmawan dan Bu Salwa yang tengah terbaring sakit. Papanya masih bisa bangun dan ke kamar mandi sendiri. Sedangkan mamanya tergantung pa
Author's POV"Dia bukan anakku," jawab Rusdi datar. Istrinya pasti sedang membahas Rista yang pernah datang dan mengaku sedang hamil anaknya. Itu sudah lama dan Rusdi sendiri sudah tidak berhubungan dengan perempuan itu.Ganti Hera yang tersenyum sinis. "Setelah benih kamu tanam lantas kamu campakkan?""Dia bukan anakku. Rista hanya mengaku-ngaku." Rusdi masih kekeuh dengan jawabannya.Dan percakapan mereka terhenti ketika Sisi yang lebih dulu terbangun dan memanggil sang mama. Hera lekas menghampiri putrinya. "Sudah bangun, Sayang?"Gadis kecil itu mengangguk dengan wajah yang terlihat pucat dan tubuh lemas. Hera menyentuh kening putrinya. "Badan kamu kok anget? Sisi pusing nggak kepalanya?"Sisi kembali mengangguk. Hera langsung pias. Setelah Putra sembuh dan boleh pulang, sekarang Sisi yang gantian sakit. Semoga dia tidak kena gejala typus seperti kakaknya.Rusdi yang mendengar percakapan mereka segera keluar kamar untuk memanggil dokter anak. Untungnya dokter masih standby di rum
Author's POVSiang itu Hera mengemas barang-barang karena Putra sudah diizinkan pulang. Sisi juga sudah sembuh. Terpaksa dia akan ikut Rusdi kembali ke rumah mereka. Sisi ngotot ingin ikut kakak dan papanya pulang ke rumah. Sepagi itu Hera membujuk tapi si bungsu malah menangis. Hera tidak tega memandang kedua anaknya yang sangat sedih. Terutama Sisi. Dia malah menangis karena ingin ikut kakaknya. Pada akhirnya Hera mengalah. Mungkin butuh waktu lagi untuk membujuk dan memberikan pemahaman pada mereka.Rengekan anak-anak yang membuat Hera mengalah, sangat memuaskan Rusdi. Dia tidak perlu lagi susah-susah membujuk istrinya. Cukup dengan mempengaruhi anak-anak saja.Mereka meninggalkan rumah sakit setelah sopir yang menjemput datang. Lelaki setengah baya itu membawakan barang-barang ke mobil. Putra di gandeng Rusdi karena sudah cukup sehat untuk berjalan sendiri. Sedangkan Sisi di gendong oleh mamanya."Sisi kangen sama pusy, Ma," ujarnya polos tentang kucing kesukaannya ketika mereka
Author's POVHera hendak bangun tapi tubuh Rusdi menahannya. Lelaki itu membuat tubuh istrinya tidak bisa berkutik meski dirinya sambil menahan rasa nyeri di lengan kiri."Selingkuh itu bagimu penyakit, Mas. Juga seperti napas kehidupanmu. Penyakit yang sewaktu-waktu bisa sembuh. Sebagai napasmu karena kamu nggak bisa lepas dari itu semenjak kita menikah. Aku nggak mau kamu akan menularkan penyakit padaku.""Kamu pikir aku bodoh. Aku juga nggak mau sakit. Aku tahu bagaimana memproteksi diriku." Tentang Rusdi tidak bisa menerima perkataan istrinya."Kamu pikir aku selalu tidur dengan perempuan yang jalan denganku? Dugaanmu salah! Kamu pikir aku nggak takut mereka yang punya gaya hidup bebas akan menularkan penyakit padaku," tambah Rusdi berapi-api. Jika dulu tiap ada pertengkaran selalu dibarengi dengan air mata Hera. Tapi kali ini tidak. Meski merasakan dada yang sesak, wanita itu tidak ingin menangis lagi. Pengorbanannya meninggalkan pria yang sangat dicintainya tak pernah dibalas s
Author's POV Jika ia bertahan, anak-anak akan memiliki keluarga yang utuh dan harmonis di mata mereka. Toh selama ini Rusdi tidak pernah sekali saja bilang ingin cerai. Entahlah, apa yang ada dipikiran laki-laki itu. Hera juga meragukan kata-kata Rusdi semalam. Bahwa tidak semua perempuan yang ia kencani juga ia tiduri. Lelaki seperti Rusdi bisakah di percaya? Semalam saja dengan tangannya yang masih sakit, dia bisa menyentuhnya sekasar itu. Seharusnya ia tidak ikut menikmati. Hera benci dengan dirinya sendiri.Wanita itu menoleh ketika ada ketukan di pintu. "Bu, ditunggu sarapan sama Bapak dan Neng Sisi," kata si Bibik dari luar.Tanpa menjawab, Hera bangkit sambil membuka pintu kamar. Kemudian melangkah ke ruang makan dan duduk berseberangan dengan Rusdi dan Sisi.Di sana, Sisi riang bercerita dengan sang papa. Bocah itu mengulang cerita ketika bersama teman-temannya di kosan. Seolah dia ingin menebus waktu yang luput dari sepengetahuan papanya."Nanti kalau tangan papa sudah sembu
Author's POVNia kaget dan melangkah pelan di belakang Hera. Sementara Bu Evi yang duduk di sofa tampak santai. Wanita itu kian cantik dan terawat setelah bercerai. Cantik diusianya yang tidak lagi muda.Dia merasa lebih merdeka setelah badai rumah tangganya selesai. Tinggal menikmati hidup dan tidak perlu memikirkan banyak hal. Anak-anak juga telah bahagia dengan pasangan masing-masing.Justru Nia yang belingsatan setelah bersalaman dan duduk di sebelah suaminya. Dia juga heran, kenapa mantan kakak madunya datang ke rumah Rusdi sepagi itu. Apakah suaminya tadi janjian?"Tante Evi, tambah cantik aja," seloroh Hera sambil menyuguhkan minum di depan Pak Bagas dan Nia."Harus dong! Sekarang punya banyak waktu untuk memanjakan diri," jawab Tante Evi sambil tersenyum. "Saya buatkan minum dulu buat, Tante.""Nggak usah, Ra," tolak wanita itu."Biar punyaku saja untuk, Mbak." Nia menggeser gelas teh ke hadapan Bu Evi. Namun Bu Evi menggeser balik. "Nggak usah, itu buat kamu. Aku nggak aka
Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan
Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan
Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku
Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny
Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi
Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah
Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen
Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su