Author's POVHera hendak bangun tapi tubuh Rusdi menahannya. Lelaki itu membuat tubuh istrinya tidak bisa berkutik meski dirinya sambil menahan rasa nyeri di lengan kiri."Selingkuh itu bagimu penyakit, Mas. Juga seperti napas kehidupanmu. Penyakit yang sewaktu-waktu bisa sembuh. Sebagai napasmu karena kamu nggak bisa lepas dari itu semenjak kita menikah. Aku nggak mau kamu akan menularkan penyakit padaku.""Kamu pikir aku bodoh. Aku juga nggak mau sakit. Aku tahu bagaimana memproteksi diriku." Tentang Rusdi tidak bisa menerima perkataan istrinya."Kamu pikir aku selalu tidur dengan perempuan yang jalan denganku? Dugaanmu salah! Kamu pikir aku nggak takut mereka yang punya gaya hidup bebas akan menularkan penyakit padaku," tambah Rusdi berapi-api. Jika dulu tiap ada pertengkaran selalu dibarengi dengan air mata Hera. Tapi kali ini tidak. Meski merasakan dada yang sesak, wanita itu tidak ingin menangis lagi. Pengorbanannya meninggalkan pria yang sangat dicintainya tak pernah dibalas s
Author's POV Jika ia bertahan, anak-anak akan memiliki keluarga yang utuh dan harmonis di mata mereka. Toh selama ini Rusdi tidak pernah sekali saja bilang ingin cerai. Entahlah, apa yang ada dipikiran laki-laki itu. Hera juga meragukan kata-kata Rusdi semalam. Bahwa tidak semua perempuan yang ia kencani juga ia tiduri. Lelaki seperti Rusdi bisakah di percaya? Semalam saja dengan tangannya yang masih sakit, dia bisa menyentuhnya sekasar itu. Seharusnya ia tidak ikut menikmati. Hera benci dengan dirinya sendiri.Wanita itu menoleh ketika ada ketukan di pintu. "Bu, ditunggu sarapan sama Bapak dan Neng Sisi," kata si Bibik dari luar.Tanpa menjawab, Hera bangkit sambil membuka pintu kamar. Kemudian melangkah ke ruang makan dan duduk berseberangan dengan Rusdi dan Sisi.Di sana, Sisi riang bercerita dengan sang papa. Bocah itu mengulang cerita ketika bersama teman-temannya di kosan. Seolah dia ingin menebus waktu yang luput dari sepengetahuan papanya."Nanti kalau tangan papa sudah sembu
Author's POVNia kaget dan melangkah pelan di belakang Hera. Sementara Bu Evi yang duduk di sofa tampak santai. Wanita itu kian cantik dan terawat setelah bercerai. Cantik diusianya yang tidak lagi muda.Dia merasa lebih merdeka setelah badai rumah tangganya selesai. Tinggal menikmati hidup dan tidak perlu memikirkan banyak hal. Anak-anak juga telah bahagia dengan pasangan masing-masing.Justru Nia yang belingsatan setelah bersalaman dan duduk di sebelah suaminya. Dia juga heran, kenapa mantan kakak madunya datang ke rumah Rusdi sepagi itu. Apakah suaminya tadi janjian?"Tante Evi, tambah cantik aja," seloroh Hera sambil menyuguhkan minum di depan Pak Bagas dan Nia."Harus dong! Sekarang punya banyak waktu untuk memanjakan diri," jawab Tante Evi sambil tersenyum. "Saya buatkan minum dulu buat, Tante.""Nggak usah, Ra," tolak wanita itu."Biar punyaku saja untuk, Mbak." Nia menggeser gelas teh ke hadapan Bu Evi. Namun Bu Evi menggeser balik. "Nggak usah, itu buat kamu. Aku nggak aka
Author's POV Rudi mengajak istrinya pergi dari sana dan masuk ruang kerja. Rusdi duduk di salah satu kursi putar dan Hera menatap ke luar lewat jendela kaca besar yang ada di sana."Kamu nggak mau memberiku kesempatan lagi.""Apa jaminannya kalau kamu nggak akan selingkuh lagi? Sedangkan selama tujuh tahun ini sudah berapa perempuan yang kamu kencani, kamu biayai, dan kamu ajak liburan. Bahkan berlibur ke luar negeri. Setelah kamu berantakan seperti ini, ke mana perginya perempuan-perempuanmu itu. Meninggalkanmu karena kamu nggak berduit lagi?"Rusdi hanya bisa mengeratkan giginya menahan amarah. Kali ini dia bisa memahami kenapa sekarang Hera seberani itu padanya. Lukanya sudah terlalu lama mengangga. Dan yang diucapkan istrinya juga tidak salah. Perempuan-perempuan itu hanya butuh uangnya saja. Membayar kenikmatan yang diberikan mereka dengan materi. Hanya satu perempuan yang tergila-gila padanya. Rista yang mengaku mengandung anaknya. Padahal selama bersamanya Rusdi tidak bodoh. D
Author's POVBu Evi mengalihkan perhatian. Jika ia selalu antusias jika ada tamu terutama teman dan kerabat yang datang. Tapi kali ini terasa muak dengan kehadiran mantan suami dan mantan madunya.Wanita itu tidak ingin lagi berhubungan dengan orang-orang yang telah menghancurkan rumah tangganya. Dengan wajahnya yang tampak pucat, Nia tersenyum kaku pada mantan kakak madu. Sementara bocah perempuan kecil itu langsung berdiri menempel pada papanya. Dia menatap Bu Evi dengan perasaan takut-takut. Bu Evi sendiri tersenyum sebentar pada gadis kecil yang ia tidak berniat untuk tahu siapa namanya. Terlihat sang mantan seperti sedang memangku cucunya. "Aku tadi naik taksi dari sekolah, lewat depan sana. Aku lihat mobil Mas di sini, akhirnya aku mampir." Nia menjelaskan lebih dulu karena melihat kalau suaminya tidak suka ia datang menyusul."Kalian pulanglah, selesaikan urusan kalian sendiri. Kita sudah punya kehidupan masing-masing. Semua yang kita dapatkan sudah kita sepakati di pengadil
Author's POVMatahari bersinar dengan teriknya. Angin musim pancaroba berembus kencang menerbangkan dedaunan kering yang jatuh berguguran di tepian trotoar. Di sebuah kafe pinggiran kota, dua pria dewasa baru selesai membicarakan mengenai kerjasama dan berlanjut dengan makan siang. Dua porsi ayam kampung bakar, dan lalapan. Dua gelas es jeruk yang sudah diminum separuh."Pak Fariq sejak tadi tampak gelisah," seloroh Andrean sambil menyuap nasi.Fariq tersenyum. "Maaf, Pak Andrean. Saya kurang konsentrasi tadi. Saya sedang menjalani proses perceraian dengan istri saya."Andrean yang sedang menikmati makanannya seketika mengangkat wajah. Memandang pria di hadapannya. "Serius?""Iya.""Sabar, Pak Fariq," ucap Andrean. Dia tidak tahu harus berkata apa. Tidak ingin kalimat yang diucapkannya nanti akan menyinggung perasaan rekan bisnisnya. Hendak bertanya alasan perceraian, bagi Andrean itu terlalu privasi. Selama ini mereka berteman dekat karena sebuah pekerjaan."Terima kasih, Pak Andrea
Mencintaimu Tanpa SyaratPart 152 Selamat JalanAuthor's POV"Hendriko yang telepon, Mas." Embun mengambilkan ponsel di atas nakas dan segera memberikan benda pipih itu pada suaminya.Entah kenapa perasaan Andrean selalu tak enak tiap kali menerima panggilan dari sang adik, di jam berapa pun itu. Semenjak papa dan mama tirinya sakit, dia selalu cemas jika terjadi sesuatu dengan mereka. Apalagi kondisi keduanya sekarang memang sedang drop."Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Mas, papa masuk rumah sakit, tadi terjatuh di depan kamar mandi. Aku di rumah sakit sekarang dengan Miranda.""Oke, aku ke sana."Andrean mematikan ponselnya. Lantas memandang sang istri. "Papa jatuh di depan kamar mandi. Sekarang sudah di rumah sakit.""Mas, pergilah. Aku dan Kalandra nggak apa-apa sendirian di rumah. Aku berani.""Jangan. Mas, akan telepon Pak Karyo agar Mbok Darmi menemanimu di rumah." Tanpa menunggu persetujuan sang istri, Andrean langsung menghubungi lelaki sepuh itu. Tidak menunggu l
Author's POVAndrean berbalik. Dulu setiap kali masuk angin, Andrean hanya minum obat kemudian tidur sepanjang hari atau sepanjang malam. Terkadang Mbok Darmi saja tidak dikasih tahu kalau dirinya sakit. Namun orang tua itu peka dengan majikannya. Dibuatkannya teh panas atau wedang jahe. Terkadang juga dibuatkan bubur. Sekarang setelah ada istri, Embun yang menggantikan peran Mbok Darmi. Wanita itu mengurusi dengan baik segala kebutuhannya. Baik lahir maupun batin. Kalandra juga selalu bersih dan wangi. Meski ada Mbok Darmi, Embun tidak menyerahkan segala urusan rumah pada pembantunya. Justru kehadiran Embun meringankan pekerjaan Mbok Darmi."Enakan, kan?" tanya Embun sambil membaluri perut suaminya dengan minyak kayu putih dan memijitnya pelan, hingga Andrean merasa lebih rileks."Ya, makasih Sayang," jawab Andrean sambil tersenyum menatap istrinya. Napas dan perutnya sudah tidak sesesak tadi.Embun berdiri dan mengambil kaos di lemari. "Pakai kaos, habis itu Mas tidur. Insyaallah na