Mencintaimu Tanpa SyaratPart 152 Selamat JalanAuthor's POV"Hendriko yang telepon, Mas." Embun mengambilkan ponsel di atas nakas dan segera memberikan benda pipih itu pada suaminya.Entah kenapa perasaan Andrean selalu tak enak tiap kali menerima panggilan dari sang adik, di jam berapa pun itu. Semenjak papa dan mama tirinya sakit, dia selalu cemas jika terjadi sesuatu dengan mereka. Apalagi kondisi keduanya sekarang memang sedang drop."Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Mas, papa masuk rumah sakit, tadi terjatuh di depan kamar mandi. Aku di rumah sakit sekarang dengan Miranda.""Oke, aku ke sana."Andrean mematikan ponselnya. Lantas memandang sang istri. "Papa jatuh di depan kamar mandi. Sekarang sudah di rumah sakit.""Mas, pergilah. Aku dan Kalandra nggak apa-apa sendirian di rumah. Aku berani.""Jangan. Mas, akan telepon Pak Karyo agar Mbok Darmi menemanimu di rumah." Tanpa menunggu persetujuan sang istri, Andrean langsung menghubungi lelaki sepuh itu. Tidak menunggu l
Author's POVAndrean berbalik. Dulu setiap kali masuk angin, Andrean hanya minum obat kemudian tidur sepanjang hari atau sepanjang malam. Terkadang Mbok Darmi saja tidak dikasih tahu kalau dirinya sakit. Namun orang tua itu peka dengan majikannya. Dibuatkannya teh panas atau wedang jahe. Terkadang juga dibuatkan bubur. Sekarang setelah ada istri, Embun yang menggantikan peran Mbok Darmi. Wanita itu mengurusi dengan baik segala kebutuhannya. Baik lahir maupun batin. Kalandra juga selalu bersih dan wangi. Meski ada Mbok Darmi, Embun tidak menyerahkan segala urusan rumah pada pembantunya. Justru kehadiran Embun meringankan pekerjaan Mbok Darmi."Enakan, kan?" tanya Embun sambil membaluri perut suaminya dengan minyak kayu putih dan memijitnya pelan, hingga Andrean merasa lebih rileks."Ya, makasih Sayang," jawab Andrean sambil tersenyum menatap istrinya. Napas dan perutnya sudah tidak sesesak tadi.Embun berdiri dan mengambil kaos di lemari. "Pakai kaos, habis itu Mas tidur. Insyaallah na
Author's POVBunga Kamboja berguguran di area pemakaman dan angin sore berembus sepoi-sepoi mengiringi Pak Darmawan pergi ke alam keabadian. Taburan mawar merah dan putih di atas gundukan tanah basah menguarkan aroma khas sebuah pemakaman.Sekarang tinggal keluarga inti, kerabat, dan beberapa rekan bisnis yang masih bertahan di makam Pak Darmawan. Seorang laki-laki memandang mereka dengan tatapan kepedihan. Ia sudah pernah merasakan kehilangan seorang ayah. Sendirian dalam duka, tidak seperti Andrean yang memiliki sumber kekuatan dari insan yang terlihat tidak pernah melepaskan genggaman tangannya sejak tadi. Fariq yang berpakaian serba hitam perlahan menghampiri Andrean dan menepuk bahu rekan bisnisnya itu. "Ikhlaskan beliau, Pak Andrean. Beliau akan lebih tenang di alam sana."Andrean tersenyum pada Fariq. "Terima kasih, Pak Fariq.""Kalau begitu, saya permisi dulu.""Iya, silakan. Terima kasih atas kedatangannya."Fariq tersenyum sambil mengangguk. Ia menatap Embun sekilas dan ke
Author's POVSetelah kepergian papanya, Andrean sibuk di perusahaan. Meeting dengan dewan direksi, melanjutkan pembicaraan dengan beberapa relasi, juga bertemu dengan pengacara sang papa.Ternyata jauh-jauh hari, Pak Darmawan telah membagi semua asetnya seperti yang pernah mereka bicarakan dulu. Tentu saja Andrean mendapatkan yang berbeda dari Hendriko, karena perusahaan itu memang awalnya milik orang tua Bu Lili. Namun aset yang dimiliki oleh Bu Salwa, mutlak menjadi milik putra semata wayangnya. Bagi Andrean itu bukanlah sebuah masalah. Tidak sedikitpun ia menginginkan apa yang dimiliki mama tirinya. Bahkan ia masih men-support dana untuk pengobatan Bu Salwa. Hendriko sebenarnya menolak, tapi Andrean memaksa. Jika ia mengorek lagi tentang masa lalu, segenap permasalahan tidak akan pernah selesai. Jadi, sudahlah. Andrean harus bisa mengikhlaskan.Jam empat sore Andrean bersiap untuk pulang. Hari ini dia sudah berjanji dengan Embun untuk stay cation. Menghabiskan akhir pekan di penth
Author's POVHendriko langsung melangkah cepat ke kamar mamanya. Wanita itu terdiam dan memejam. Miranda meraih pergelangan tangan sang mertua dan merasakan denyut nadinya yang melemah."Bu Atun, panggilkan Pak Wahab. Kita bawa mama ke rumah sakit," perintah Hendriko. Bu Atun langsung berlari keluar setelah mendapatkan perintah majikannya. Sedangkan Miranda menyiapkan segala kebutuhan yang akan di bawa.Setelah Pak Wahab siap dengan kendaraannya, Hendriko membopong mamanya keluar dan langsung memangkunya di dalam mobil. Jika bisa dilihat dengan mata telanjang, hati Hendriko di dalam sana sudah menciut melihat kondisi sang mama. Sebenarnya dirinya sudah mempersiapkan diri untuk kehilangan sekali lagi. Namun melihat mamanya makin lemas, nyalinya ikut mengkerut."Bertahan, Ma," ucap lelaki itu lirih. Dia sangat hati-hati menyentuh tubuh itu. Khawatir mamanya akan kesakitan jika badannya yang kurus terlalu di tekan.Miranda yang duduk di sebelah Hendriko tak kalah cemas. Bu Atun duduk d
Author's POVAndrean menyentuh lengan ringkih Bu Salwa ketika tangan itu bergerak seolah ingin menyentuh Andrean. Bibirnya bergetar. "Maafkan saya dan Embun, Ma."Dari sudut netra wanita itu hanya bisa mengalirkan air mata, karena tidak sanggup lagi berkata-kata. Mata Embun ikut berkaca-kaca. Perasaannya tersentuh melihat kondisi mama mertuanya yang sangat memprihatinkan."Saya juga sudah memaafkan, Mama Salwa. Sembuhlah untuk Hendriko yang sangat mengkhawatirkan Mama." Andrean bicara di dekat telinga Bu Salwa sambil menatap wajah wanita itu.Bu Salwa hanya bisa menangis sambil memandang senyum tulus Andrean yang masih menggenggam lengannya. Hatinya terasa pilu karena mengingat masa lalu.Sebenarnya Andrean tahu jika kesedihan bisa saja membuat kondisi Mama Salwanya tambah memburuk. Namun ia harus tetap bicara, siapa tahu wanita itu sedang menunggunya. Mendengar kalimat maaf yang bisa melegakan hatinya.Perlahan Andrean mengecup kening Bu Salwa. "Lekas sembuh ya, Ma. Mama, pasti ingin
Author's POV "Perceraian mereka sudah diputuskan oleh pengadilan bulan kemarin kalau tidak salah." Andrean menjelaskan pada Embun sambil melangkah ke arah mobilnya.Baru kali ini Embun mendengar kabar itu. Tidak menyangka kalau pernikahan mereka akhirnya juga berakhir cerai. Kenapa? Apa karena soal anak juga? Bukankah selama ini Fariq tidak mempermasalahkan hal itu. Ia juga tahu kalau Karina sangat mencintai suaminya. Dan ia yakin Fariq tidak mempermasalahkan ada tidaknya anak dalam pernikahan. Pria itu sebenarnya sebaik suaminya yang sekarang.Andrean membukakan pintu mobil untuk istrinya. "Aku bener-bener nggak nyangka kalau mereka cerai, Mas. Karina bucin banget sama Mas Fariq. Bahkan dia mencari cara agar aku tersingkir." Embun masih tidak habis pikir dengan perpisahan mereka."Kita kan tidak tahu apa yang sedang mereka hadapi. Kamu masih memikirkannya?" Embun yang menyadari ada nada lain dari ucapan suaminya, segera memeluk lengan kiri pria yang tengah fokus mengemudi. Selama
Author's POVMiranda mengerti apa yang dialami Hera. Ia turut prihatin. Tentu tidak mudah menjalani posisi seperti itu. Semoga Hendriko tidak pernah membagi cintainya. Semoga apa yang terjadi dalam keluarganya menjadi pelajaran yang akan selalu diingat suaminya itu sepanjang hidup. Hingga tak ada lagi Bu Lili selanjutnya, Mama Evi berikutnya, atau Hera."Kadang aku mikir, aku ini bodoh atau apa ya. Disakiti sedemikian rupa masih saja tetap bertahan.""Tentu apapun yang Mbak putuskan sudah Mbak pikirkan dengan matang. Biarkan orang lain berkata apa saja, mereka nggak tahu posisi Mbak itu seperti apa dan bagaimana. Semangat Mbak, semoga Mas Rusdi bener-bener sudah berubah. Nggak suka main kasar lagi."Hera mengangguk. Harapannya juga begitu, Rusdi akan berubah jika memang ingin memperbaiki pernikahan mereka.* * *Andrean kaget dengan hidangan makan malam yang di susun secara apik oleh istrinya. Ada dua lilin yang menyala di kedua ujung meja. Sambil menarik kursi ia berpikir ada apa den