Author's POVSetelah kepergian papanya, Andrean sibuk di perusahaan. Meeting dengan dewan direksi, melanjutkan pembicaraan dengan beberapa relasi, juga bertemu dengan pengacara sang papa.Ternyata jauh-jauh hari, Pak Darmawan telah membagi semua asetnya seperti yang pernah mereka bicarakan dulu. Tentu saja Andrean mendapatkan yang berbeda dari Hendriko, karena perusahaan itu memang awalnya milik orang tua Bu Lili. Namun aset yang dimiliki oleh Bu Salwa, mutlak menjadi milik putra semata wayangnya. Bagi Andrean itu bukanlah sebuah masalah. Tidak sedikitpun ia menginginkan apa yang dimiliki mama tirinya. Bahkan ia masih men-support dana untuk pengobatan Bu Salwa. Hendriko sebenarnya menolak, tapi Andrean memaksa. Jika ia mengorek lagi tentang masa lalu, segenap permasalahan tidak akan pernah selesai. Jadi, sudahlah. Andrean harus bisa mengikhlaskan.Jam empat sore Andrean bersiap untuk pulang. Hari ini dia sudah berjanji dengan Embun untuk stay cation. Menghabiskan akhir pekan di penth
Author's POVHendriko langsung melangkah cepat ke kamar mamanya. Wanita itu terdiam dan memejam. Miranda meraih pergelangan tangan sang mertua dan merasakan denyut nadinya yang melemah."Bu Atun, panggilkan Pak Wahab. Kita bawa mama ke rumah sakit," perintah Hendriko. Bu Atun langsung berlari keluar setelah mendapatkan perintah majikannya. Sedangkan Miranda menyiapkan segala kebutuhan yang akan di bawa.Setelah Pak Wahab siap dengan kendaraannya, Hendriko membopong mamanya keluar dan langsung memangkunya di dalam mobil. Jika bisa dilihat dengan mata telanjang, hati Hendriko di dalam sana sudah menciut melihat kondisi sang mama. Sebenarnya dirinya sudah mempersiapkan diri untuk kehilangan sekali lagi. Namun melihat mamanya makin lemas, nyalinya ikut mengkerut."Bertahan, Ma," ucap lelaki itu lirih. Dia sangat hati-hati menyentuh tubuh itu. Khawatir mamanya akan kesakitan jika badannya yang kurus terlalu di tekan.Miranda yang duduk di sebelah Hendriko tak kalah cemas. Bu Atun duduk d
Author's POVAndrean menyentuh lengan ringkih Bu Salwa ketika tangan itu bergerak seolah ingin menyentuh Andrean. Bibirnya bergetar. "Maafkan saya dan Embun, Ma."Dari sudut netra wanita itu hanya bisa mengalirkan air mata, karena tidak sanggup lagi berkata-kata. Mata Embun ikut berkaca-kaca. Perasaannya tersentuh melihat kondisi mama mertuanya yang sangat memprihatinkan."Saya juga sudah memaafkan, Mama Salwa. Sembuhlah untuk Hendriko yang sangat mengkhawatirkan Mama." Andrean bicara di dekat telinga Bu Salwa sambil menatap wajah wanita itu.Bu Salwa hanya bisa menangis sambil memandang senyum tulus Andrean yang masih menggenggam lengannya. Hatinya terasa pilu karena mengingat masa lalu.Sebenarnya Andrean tahu jika kesedihan bisa saja membuat kondisi Mama Salwanya tambah memburuk. Namun ia harus tetap bicara, siapa tahu wanita itu sedang menunggunya. Mendengar kalimat maaf yang bisa melegakan hatinya.Perlahan Andrean mengecup kening Bu Salwa. "Lekas sembuh ya, Ma. Mama, pasti ingin
Author's POV "Perceraian mereka sudah diputuskan oleh pengadilan bulan kemarin kalau tidak salah." Andrean menjelaskan pada Embun sambil melangkah ke arah mobilnya.Baru kali ini Embun mendengar kabar itu. Tidak menyangka kalau pernikahan mereka akhirnya juga berakhir cerai. Kenapa? Apa karena soal anak juga? Bukankah selama ini Fariq tidak mempermasalahkan hal itu. Ia juga tahu kalau Karina sangat mencintai suaminya. Dan ia yakin Fariq tidak mempermasalahkan ada tidaknya anak dalam pernikahan. Pria itu sebenarnya sebaik suaminya yang sekarang.Andrean membukakan pintu mobil untuk istrinya. "Aku bener-bener nggak nyangka kalau mereka cerai, Mas. Karina bucin banget sama Mas Fariq. Bahkan dia mencari cara agar aku tersingkir." Embun masih tidak habis pikir dengan perpisahan mereka."Kita kan tidak tahu apa yang sedang mereka hadapi. Kamu masih memikirkannya?" Embun yang menyadari ada nada lain dari ucapan suaminya, segera memeluk lengan kiri pria yang tengah fokus mengemudi. Selama
Author's POVMiranda mengerti apa yang dialami Hera. Ia turut prihatin. Tentu tidak mudah menjalani posisi seperti itu. Semoga Hendriko tidak pernah membagi cintainya. Semoga apa yang terjadi dalam keluarganya menjadi pelajaran yang akan selalu diingat suaminya itu sepanjang hidup. Hingga tak ada lagi Bu Lili selanjutnya, Mama Evi berikutnya, atau Hera."Kadang aku mikir, aku ini bodoh atau apa ya. Disakiti sedemikian rupa masih saja tetap bertahan.""Tentu apapun yang Mbak putuskan sudah Mbak pikirkan dengan matang. Biarkan orang lain berkata apa saja, mereka nggak tahu posisi Mbak itu seperti apa dan bagaimana. Semangat Mbak, semoga Mas Rusdi bener-bener sudah berubah. Nggak suka main kasar lagi."Hera mengangguk. Harapannya juga begitu, Rusdi akan berubah jika memang ingin memperbaiki pernikahan mereka.* * *Andrean kaget dengan hidangan makan malam yang di susun secara apik oleh istrinya. Ada dua lilin yang menyala di kedua ujung meja. Sambil menarik kursi ia berpikir ada apa den
Author's POVTuhan memang begitu apik menyusun scenario-nya. Hal sekecil apapun akan terasa nikmat karena Allah yang mengaturnya. Seperti pagi ini, Embun sudah muntah dua kali. Yang pertama ketika bangun hendak Salat Subuh tadi. Yang kedua setelah sarapan bareng suami. Jika yang mengalami morning sicknes ini suaminya, alangkah repotnya Andrean. Mana harus mengurusi pekerjaan yang menumpuk, meeting, dan bolak-balik menjenguk mamanya di rumah sakit. "Kamu tidak apa-apa, kan?" tanya Andrean tampak cemas melihat kondisi Embun yang baru saja muntah dan duduk lemas di kursi meja rias. Lelaki itu jongkok di depan istrinya. Ia bisa merasakan apa yang dialami Embun, karena waktu sang istri hamil Kalandra, dirinya yang mengalami mual dan ngidam."Aku nggak apa-apa," jawab Embun sambil mengelap mulutnya dengan tisu."Serius?""Iya, serius. Aku nggak apa-apa, Mas."Andrean berdiri setelah mengecup kening istrinya. Pria itu melangkah melihat putranya di box bayi. Kalandra masih tertidur pulas.
Author's POVSetelah menerima telepon, Endah menghampiri bosnya. Mereka sedang meeting jam sepuluh pagi itu. Asistennya membisikkan sesuatu yang membuat Andrean terkejut. Setelah cukup tenang, ia menarik napas panjang. Lantas menatap anggota rapat yang terdiri dari beberapa staf dan supplier.Lelaki itu berdiri dan minta maaf karena terpaksa harus menghentikan meeting. Ada kabar duka yang membuatnya mesti segera meninggalkan ruangan. Innalilahi wa innailaihi rojiun. Bu Salwa telah tiada. Semua anggota rapat mengucapkan bela sungkawa tanpa menyalami Andrean, karena pria itu harus segera pulang. Tante Verra yang berada di ruangannya langsung dikabari Endah. Wanita itu bersama suaminya langsung berangkat ke rumah duka.Dalam perjalanan Andrean menelepon Embun. Tapi ternyata Embun sudah tahu karena baru saja di telepon oleh Miranda.Rumah Pak Darmawan kembali ramai oleh para pelayat. Tenda darurat di dirikan di halaman depan. Kerabat jauh juga mulai berdatangan. Tak ada air mata dari a
Author's POVPesisir pantai. Kaki telanjang mereka menapak di pasir yang agak lembab karena deburan ombak. Andrean, Embun, Hendriko, dan Miranda melangkah menyusuri pantai selatan di sore yang indah. Kalandra di hotel bersama Mbok Darmi dan Bu Evi. Bocah umur sembilan bulan itu belum pernah di bawah tekanan angin yang berembus kencang, makanya tidak diajak, takutnya akan masuk angin.Liburan bersama untuk pertama kalinya. Begitu berkesan dan menyenangkan. Andrean memang mengajak Mbok Darmi, Pak Karyo, dan Tyas. Biar keluarga wanita yang sangat berjasa dalam hidupnya itu tidak hanya membersamai dalam dukanya, tapi juga dalam bahagianya. Bagi Andrean, Mbok Darmi tidak hanya sekedar pembantu. Tapi lebih dari itu, mereka adalah bagian penting dari hidupnya. Sekarang Embun juga mencari pekerja paruh waktu yang membantu Mbok Darmi mengerjakan pekerjaan rumah. Sebab dirinya yang kini tengah hamil empat bulan sudah tidak bisa membantu di dapur. Dia juga harus mengawasi Kalandra yang gesit da