Author's POVTuhan memang begitu apik menyusun scenario-nya. Hal sekecil apapun akan terasa nikmat karena Allah yang mengaturnya. Seperti pagi ini, Embun sudah muntah dua kali. Yang pertama ketika bangun hendak Salat Subuh tadi. Yang kedua setelah sarapan bareng suami. Jika yang mengalami morning sicknes ini suaminya, alangkah repotnya Andrean. Mana harus mengurusi pekerjaan yang menumpuk, meeting, dan bolak-balik menjenguk mamanya di rumah sakit. "Kamu tidak apa-apa, kan?" tanya Andrean tampak cemas melihat kondisi Embun yang baru saja muntah dan duduk lemas di kursi meja rias. Lelaki itu jongkok di depan istrinya. Ia bisa merasakan apa yang dialami Embun, karena waktu sang istri hamil Kalandra, dirinya yang mengalami mual dan ngidam."Aku nggak apa-apa," jawab Embun sambil mengelap mulutnya dengan tisu."Serius?""Iya, serius. Aku nggak apa-apa, Mas."Andrean berdiri setelah mengecup kening istrinya. Pria itu melangkah melihat putranya di box bayi. Kalandra masih tertidur pulas.
Author's POVSetelah menerima telepon, Endah menghampiri bosnya. Mereka sedang meeting jam sepuluh pagi itu. Asistennya membisikkan sesuatu yang membuat Andrean terkejut. Setelah cukup tenang, ia menarik napas panjang. Lantas menatap anggota rapat yang terdiri dari beberapa staf dan supplier.Lelaki itu berdiri dan minta maaf karena terpaksa harus menghentikan meeting. Ada kabar duka yang membuatnya mesti segera meninggalkan ruangan. Innalilahi wa innailaihi rojiun. Bu Salwa telah tiada. Semua anggota rapat mengucapkan bela sungkawa tanpa menyalami Andrean, karena pria itu harus segera pulang. Tante Verra yang berada di ruangannya langsung dikabari Endah. Wanita itu bersama suaminya langsung berangkat ke rumah duka.Dalam perjalanan Andrean menelepon Embun. Tapi ternyata Embun sudah tahu karena baru saja di telepon oleh Miranda.Rumah Pak Darmawan kembali ramai oleh para pelayat. Tenda darurat di dirikan di halaman depan. Kerabat jauh juga mulai berdatangan. Tak ada air mata dari a
Author's POVPesisir pantai. Kaki telanjang mereka menapak di pasir yang agak lembab karena deburan ombak. Andrean, Embun, Hendriko, dan Miranda melangkah menyusuri pantai selatan di sore yang indah. Kalandra di hotel bersama Mbok Darmi dan Bu Evi. Bocah umur sembilan bulan itu belum pernah di bawah tekanan angin yang berembus kencang, makanya tidak diajak, takutnya akan masuk angin.Liburan bersama untuk pertama kalinya. Begitu berkesan dan menyenangkan. Andrean memang mengajak Mbok Darmi, Pak Karyo, dan Tyas. Biar keluarga wanita yang sangat berjasa dalam hidupnya itu tidak hanya membersamai dalam dukanya, tapi juga dalam bahagianya. Bagi Andrean, Mbok Darmi tidak hanya sekedar pembantu. Tapi lebih dari itu, mereka adalah bagian penting dari hidupnya. Sekarang Embun juga mencari pekerja paruh waktu yang membantu Mbok Darmi mengerjakan pekerjaan rumah. Sebab dirinya yang kini tengah hamil empat bulan sudah tidak bisa membantu di dapur. Dia juga harus mengawasi Kalandra yang gesit da
Author's POVMiranda menatap kalender di atas meja. Rasanya tidak sabar menunggu sehari lagi untuk menggenapi seminggu penantiannya, yang ingin segera melakukan pemeriksaan instan. Dia sudah terlambat haid selama enam hari. Harus sabar menunggu sehari lagi.Kekecewaannya yang berulang kali membuatnya menahan diri untuk tidak melakukan pemeriksaan dengan cepat. Dulu terlambat sehari saja, langsung memeriksa sendiri dengan testpack. Kemudian terlambat haid dua hari juga langsung ngecek. Untuk kali ini ia sengaja menunggu sampai seminggu. Wanita itu lantas keluar ruangannya dan membantu para karyawan melayani pengunjung yang tengah memilih beberapa pakaian. Bersyukur sekali, butiknya kini mulai berkembang. Banyak teman sekolah dan rekan kuliahnya yang datang melarisi butiknya.Ketika tengah menunggui seorang pembeli, dari arah pintu muncul seorang perempuan. Miranda menyerahkan pekerjaan itu pada salah satu karyawannya."Hai," tegur Miranda pada Nency."Udah makan siang?" tanya Nency."
DesirePart 1 Luka Masa Lalu 1"Aku belum tertarik lagi dengan pernikahan, Git," kata Fariq pada Sigit. Rekan kerja sekaligus sahabatnya ketika mereka makan siang bersama di sebuah restoran depan kantor."Nggak ada salahnya memulai lagi sebuah hubungan. Mahika tampaknya ngebet banget pengen deketin kamu."Fariq tersenyum hambar sambil mengaduk minumannya di gelas. Bayangan perempuan itu melintas. Sosok cantik, cerdas, dan energik. Keponakan bosnya sendiri. Perempuan itu juga tahu kisah kelam hidupnya. "Apa kamu ingin menua sendirian? Sudahlah hilangkan trauma itu? Sekali gagal, dua kali gagal, belum tentu kali ketiga bakalan gagal juga. Cobalah berdamai dengan perasaan sendiri. Memulai lagi hubungan baru. Percaya bahwa kamu bisa bahagia."Panjang lebar Sigit bicara di depan sahabatnya, tapi Fariq hanya diam memperhatikan tanpa menanggapi. Tiga tahun setelah perceraiannya yang kedua, ia lebih fokus untuk menjaga mamanya. Berulang kali wanita yang telah melahirkannya itu memintanya lag
DesirePart 2 Luka Masa Lalu 2Jingga hanya diam memperhatikan dua wanita yang usianya jauh di atas dirinya itu bicara. Sejak kecil gadis itu sudah tidak heran dengan tabiat Kang Lamidi dan Yu Lastri. Para tetangga sudah tidak pernah heboh jika mereka kejar-kejaran di jalanan depan rumah. Sudah menjadi hal biasa. Tidak ada yang mau melerai lagi. Bahkan dijadikan tontonan gratis oleh warga. "Kamu kok udah pulang ngajar, Nduk?" Yu Lastri bertanya pada Jingga."Iya, Yu."Mereka bertiga memandang ke luar saat mendengar bunyi motor Kang Lamidi. Lelaki berkulit gelap dengan tubuh kekar itu melaju pergi ke arah kanan."Eh, iya. Aku belum jemur baju, Ras. Aku pulang dulu ya." Yu Lastri berdiri. Wanita itu mengambil sandal jepitnya ke belakang dan menentengnya lewat pintu depan.Laras dan Jingga hanya memperhatikan wanita itu hingga menyeberang jalan, tanpa berniat mencegahnya. "Nggak takut apa kalau Kang Lamidi pulang lagi," kata Jingga."Heleh, nggak lama lagi baikan. Lihat saja, besok pag
DesirePart 3 Kembang Gunung Wilis I"Itu rumahnya Pak Lurah, Mas." Jingga menunjuk rumah paling besar dan paling mewah untuk ukuran orang desa. Jauh berbeda dengan rumah-rumah di sekitarnya. Di depan rumah utama ada bangunan joglo dengan pilar kayu jati yang kokoh dan berplitur cokelat mengkilap. Lantainya tampak bersih berkilauan. Di tengah joglo ada satu set meja kursi berukir untuk menerima tamu.Lelaki pengemudi mobil yang berhenti di sebelah Jingga memandang ke arah yang ditunjuk gadis itu. Bahkan seluruh penumpang juga menatap ke arah seberang jalan kecil tengah desa."Saya permisi dulu!" pamit Jingga langsung pergi dengan motornya. Gadis itu sudah tidak mendengar lagi teriakan terima kasih dari laki-laki yang pegang kemudi. Lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu asisten pribadi Fariq."Kita langsung turun semua, Pak Fariq? Atau yang lain menunggu di mobil saja?" tanya Mahika."Biar saya dan Pak Restu saja yang turun, Mbak. Kita hanya akan memberitahu sekaligus izin sama Pak
DesirePart 4 Kembang Gunung Wilis IIBanyak informasi yang Fariq dapat dari Mbok Legi. Tentang kebiasaan masyarakat desa itu dan adanya sebuah makam keramat yang sering di ziarahi oleh orang-orang dari luar kota. Makam Ki Ageng Ngaliman. Tokoh yang menyebarkan agama Islam di wilayah Sawahan. Juga di sebut sebagai cikal bakal adanya desa Ngliman. Beliau di makamkan di area tanah yang tinggi dan teduh, karena banyak pohon-pohon besar menaungi tempat itu. Beliau di makamkan dalam satu kawasan bersama dengan beberapa pengikut setianya.Mbok Legi menutup warungnya ketika rombongan Fariq telah pergi. Lelaki itu mengajak timnya untuk mampir Salat Asar sekaligus menunggu waktu Salat Maghrib di sebuah masjid pinggir jalan. Mereka ingin menikmati suasana malam di lereng Wilis yang menyimpan banyak kisah cerita sejarah. Ada juga kisah Mpu Sindok yang menjadi cikal bakal berdirinya kota Nganjuk."Di sini nggak ada signal, Pak Fariq." Mahika bicara sambil memandangi layar ponselnya. Dua orang i