Author's POVNia kaget dan melangkah pelan di belakang Hera. Sementara Bu Evi yang duduk di sofa tampak santai. Wanita itu kian cantik dan terawat setelah bercerai. Cantik diusianya yang tidak lagi muda.Dia merasa lebih merdeka setelah badai rumah tangganya selesai. Tinggal menikmati hidup dan tidak perlu memikirkan banyak hal. Anak-anak juga telah bahagia dengan pasangan masing-masing.Justru Nia yang belingsatan setelah bersalaman dan duduk di sebelah suaminya. Dia juga heran, kenapa mantan kakak madunya datang ke rumah Rusdi sepagi itu. Apakah suaminya tadi janjian?"Tante Evi, tambah cantik aja," seloroh Hera sambil menyuguhkan minum di depan Pak Bagas dan Nia."Harus dong! Sekarang punya banyak waktu untuk memanjakan diri," jawab Tante Evi sambil tersenyum. "Saya buatkan minum dulu buat, Tante.""Nggak usah, Ra," tolak wanita itu."Biar punyaku saja untuk, Mbak." Nia menggeser gelas teh ke hadapan Bu Evi. Namun Bu Evi menggeser balik. "Nggak usah, itu buat kamu. Aku nggak aka
Author's POV Rudi mengajak istrinya pergi dari sana dan masuk ruang kerja. Rusdi duduk di salah satu kursi putar dan Hera menatap ke luar lewat jendela kaca besar yang ada di sana."Kamu nggak mau memberiku kesempatan lagi.""Apa jaminannya kalau kamu nggak akan selingkuh lagi? Sedangkan selama tujuh tahun ini sudah berapa perempuan yang kamu kencani, kamu biayai, dan kamu ajak liburan. Bahkan berlibur ke luar negeri. Setelah kamu berantakan seperti ini, ke mana perginya perempuan-perempuanmu itu. Meninggalkanmu karena kamu nggak berduit lagi?"Rusdi hanya bisa mengeratkan giginya menahan amarah. Kali ini dia bisa memahami kenapa sekarang Hera seberani itu padanya. Lukanya sudah terlalu lama mengangga. Dan yang diucapkan istrinya juga tidak salah. Perempuan-perempuan itu hanya butuh uangnya saja. Membayar kenikmatan yang diberikan mereka dengan materi. Hanya satu perempuan yang tergila-gila padanya. Rista yang mengaku mengandung anaknya. Padahal selama bersamanya Rusdi tidak bodoh. D
Author's POVBu Evi mengalihkan perhatian. Jika ia selalu antusias jika ada tamu terutama teman dan kerabat yang datang. Tapi kali ini terasa muak dengan kehadiran mantan suami dan mantan madunya.Wanita itu tidak ingin lagi berhubungan dengan orang-orang yang telah menghancurkan rumah tangganya. Dengan wajahnya yang tampak pucat, Nia tersenyum kaku pada mantan kakak madu. Sementara bocah perempuan kecil itu langsung berdiri menempel pada papanya. Dia menatap Bu Evi dengan perasaan takut-takut. Bu Evi sendiri tersenyum sebentar pada gadis kecil yang ia tidak berniat untuk tahu siapa namanya. Terlihat sang mantan seperti sedang memangku cucunya. "Aku tadi naik taksi dari sekolah, lewat depan sana. Aku lihat mobil Mas di sini, akhirnya aku mampir." Nia menjelaskan lebih dulu karena melihat kalau suaminya tidak suka ia datang menyusul."Kalian pulanglah, selesaikan urusan kalian sendiri. Kita sudah punya kehidupan masing-masing. Semua yang kita dapatkan sudah kita sepakati di pengadil
Author's POVMatahari bersinar dengan teriknya. Angin musim pancaroba berembus kencang menerbangkan dedaunan kering yang jatuh berguguran di tepian trotoar. Di sebuah kafe pinggiran kota, dua pria dewasa baru selesai membicarakan mengenai kerjasama dan berlanjut dengan makan siang. Dua porsi ayam kampung bakar, dan lalapan. Dua gelas es jeruk yang sudah diminum separuh."Pak Fariq sejak tadi tampak gelisah," seloroh Andrean sambil menyuap nasi.Fariq tersenyum. "Maaf, Pak Andrean. Saya kurang konsentrasi tadi. Saya sedang menjalani proses perceraian dengan istri saya."Andrean yang sedang menikmati makanannya seketika mengangkat wajah. Memandang pria di hadapannya. "Serius?""Iya.""Sabar, Pak Fariq," ucap Andrean. Dia tidak tahu harus berkata apa. Tidak ingin kalimat yang diucapkannya nanti akan menyinggung perasaan rekan bisnisnya. Hendak bertanya alasan perceraian, bagi Andrean itu terlalu privasi. Selama ini mereka berteman dekat karena sebuah pekerjaan."Terima kasih, Pak Andrea
Mencintaimu Tanpa SyaratPart 152 Selamat JalanAuthor's POV"Hendriko yang telepon, Mas." Embun mengambilkan ponsel di atas nakas dan segera memberikan benda pipih itu pada suaminya.Entah kenapa perasaan Andrean selalu tak enak tiap kali menerima panggilan dari sang adik, di jam berapa pun itu. Semenjak papa dan mama tirinya sakit, dia selalu cemas jika terjadi sesuatu dengan mereka. Apalagi kondisi keduanya sekarang memang sedang drop."Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Mas, papa masuk rumah sakit, tadi terjatuh di depan kamar mandi. Aku di rumah sakit sekarang dengan Miranda.""Oke, aku ke sana."Andrean mematikan ponselnya. Lantas memandang sang istri. "Papa jatuh di depan kamar mandi. Sekarang sudah di rumah sakit.""Mas, pergilah. Aku dan Kalandra nggak apa-apa sendirian di rumah. Aku berani.""Jangan. Mas, akan telepon Pak Karyo agar Mbok Darmi menemanimu di rumah." Tanpa menunggu persetujuan sang istri, Andrean langsung menghubungi lelaki sepuh itu. Tidak menunggu l
Author's POVAndrean berbalik. Dulu setiap kali masuk angin, Andrean hanya minum obat kemudian tidur sepanjang hari atau sepanjang malam. Terkadang Mbok Darmi saja tidak dikasih tahu kalau dirinya sakit. Namun orang tua itu peka dengan majikannya. Dibuatkannya teh panas atau wedang jahe. Terkadang juga dibuatkan bubur. Sekarang setelah ada istri, Embun yang menggantikan peran Mbok Darmi. Wanita itu mengurusi dengan baik segala kebutuhannya. Baik lahir maupun batin. Kalandra juga selalu bersih dan wangi. Meski ada Mbok Darmi, Embun tidak menyerahkan segala urusan rumah pada pembantunya. Justru kehadiran Embun meringankan pekerjaan Mbok Darmi."Enakan, kan?" tanya Embun sambil membaluri perut suaminya dengan minyak kayu putih dan memijitnya pelan, hingga Andrean merasa lebih rileks."Ya, makasih Sayang," jawab Andrean sambil tersenyum menatap istrinya. Napas dan perutnya sudah tidak sesesak tadi.Embun berdiri dan mengambil kaos di lemari. "Pakai kaos, habis itu Mas tidur. Insyaallah na
Author's POVBunga Kamboja berguguran di area pemakaman dan angin sore berembus sepoi-sepoi mengiringi Pak Darmawan pergi ke alam keabadian. Taburan mawar merah dan putih di atas gundukan tanah basah menguarkan aroma khas sebuah pemakaman.Sekarang tinggal keluarga inti, kerabat, dan beberapa rekan bisnis yang masih bertahan di makam Pak Darmawan. Seorang laki-laki memandang mereka dengan tatapan kepedihan. Ia sudah pernah merasakan kehilangan seorang ayah. Sendirian dalam duka, tidak seperti Andrean yang memiliki sumber kekuatan dari insan yang terlihat tidak pernah melepaskan genggaman tangannya sejak tadi. Fariq yang berpakaian serba hitam perlahan menghampiri Andrean dan menepuk bahu rekan bisnisnya itu. "Ikhlaskan beliau, Pak Andrean. Beliau akan lebih tenang di alam sana."Andrean tersenyum pada Fariq. "Terima kasih, Pak Fariq.""Kalau begitu, saya permisi dulu.""Iya, silakan. Terima kasih atas kedatangannya."Fariq tersenyum sambil mengangguk. Ia menatap Embun sekilas dan ke
Author's POVSetelah kepergian papanya, Andrean sibuk di perusahaan. Meeting dengan dewan direksi, melanjutkan pembicaraan dengan beberapa relasi, juga bertemu dengan pengacara sang papa.Ternyata jauh-jauh hari, Pak Darmawan telah membagi semua asetnya seperti yang pernah mereka bicarakan dulu. Tentu saja Andrean mendapatkan yang berbeda dari Hendriko, karena perusahaan itu memang awalnya milik orang tua Bu Lili. Namun aset yang dimiliki oleh Bu Salwa, mutlak menjadi milik putra semata wayangnya. Bagi Andrean itu bukanlah sebuah masalah. Tidak sedikitpun ia menginginkan apa yang dimiliki mama tirinya. Bahkan ia masih men-support dana untuk pengobatan Bu Salwa. Hendriko sebenarnya menolak, tapi Andrean memaksa. Jika ia mengorek lagi tentang masa lalu, segenap permasalahan tidak akan pernah selesai. Jadi, sudahlah. Andrean harus bisa mengikhlaskan.Jam empat sore Andrean bersiap untuk pulang. Hari ini dia sudah berjanji dengan Embun untuk stay cation. Menghabiskan akhir pekan di penth