Author's POVTidak hanya merawat raganya. Tapi Embun akan senantiasa sedia menyiapkan kedua telinganya untuk mendengarkan suaminya bicara. Dalam hal bicara pun ia selalu berhati-hati, supaya tidak menyinggung perasaan pasangan. Karena lelaki, pantang direndahkan. Meski tidak disanjung setinggi langit, setidaknya ia hanya ingin dihargai.Embun ingin menjadi wanita yang selalu dirindukan suaminya. Makanya tiap Andrean datang, pelayanan tetap diutamakan dan meninggalkan kesibukan yang lain. Andrean sendiri sangat menghargai istrinya.Embun memahami bagaimana seorang istri itu mengabdi pada suami. melakukannya dengan sepenuh hati. Tiap sore ia akan membawa anaknya menunggu Andrean pulang, terus menyiapkan makan, meluangkan waktu salat berjamaah, bercinta di tengah malam dan berpelukan hingga ujung pagi.Namun semenjak Kalandra lahir, Andrean selalu bilang untuk mengutamakan kepentingan Kalandra dulu. Baru dirinya. Wajah Embun yang berseri-seri ditenung suaminya dalam-dalam. Membuat Embun
Author's POVHendriko makin erat memeluk dan mencium pipi istrinya. Dari caranya menyentuh dan memandang, Miranda tahu kalau suaminya sedang ingin bercinta. Apalagi hampir seminggu ini mereka belum melakukannya karena sama-sama sibuk, capek, dan banyak pikiran."Aku nggak bisa tidur semalaman. Pengen pulang, tapi kasihan papa jagain mama sendiri. Bu Atun pulang untuk mengambil baju ganti buat mama. Pagi-pagi beliau datang dan aku langsung pulang." Embusan napas Hendriko terasa panas menjalari kulit dan hangat di telinga istrinya."Kangen?"Hendriko tertawa membuat tubuh Miranda yang ada di atasnya ikut terguncang. "Tau kan apa maksudnya?""Tau." Miranda mengulum senyum sambil menatap suaminya. Diakui bukan hanya Hendriko saja yang rindu. Dirinya pun sama. Bahkan semalaman dia juga gelisah. Membayangkan otot-otot tubuh suaminya yang liat, yang terkadang mencumbuinya secara brutal. Dan Miranda suka itu. "Sekarang?" tanya Miranda."Iya, sekarang."Matahari beranjak naik, ketika sepasan
Author's POV"Nggak," jawab Roy cepat."Terus ....""Kira-kira dua mingguan yang lalu dia ngajak ketemuan makan malam di President Cafe. Terus ngomong serius banget. Dia minta supaya aku melamarnya. Sumpah, kaget aku Mbak. Nggak nyangka dia ngomong seserius itu."Embun tersenyum. Sebelumnya ia sudah menduga kalau di antara adik dan Nency memang ada rasa. "Itu tandanya dia suka sama kamu. Terus kamunya gimana?""Aku nggak mau ngambil resiko. Jelas antara aku sama dia itu ibarat langit dan bumi. Dia punya segalanya dan aku nggak punya apa-apa. Aku bilang kita temenan aja. Malah dia nangis. Udah seminggu ini dia datang ke bengkel. Nggak mau pulang sampai aku sungkan sama bosku.""Habis tuh ...." Embun tidak sabar untuk mendengarkan banyak hal.Roy diam sejenak. "Dia ikut aku pulang ke rumah.""Tanggapan ibu sama bapak gimana?""Inilah masalahnya sekarang. Mbak, tau bagaimana ibu. Pastilah ibu suka dengan Nency. Cantik, kaya, cerdas. Dia juga pandai mengambil hati ibu. Kalau bapak tersera
Author's POV"Apalagi orang tuaku ingin mengenalkan aku dengan anak teman mereka. Aku nggak maulah, Nit. Aku nggak tahu banget laki-laki itu. Belum tentu dia suka sama aku. Nggak ingin aku kecewa lagi, seperti saat aku hendak dijodohkan dengan Mas Andrean. Umurku nggak lagi muda. Kamu saja sudah punya anak dua. Kalau dengan Roy, aku bisa lihat kalau dia juga punya perasaan yang sama. Aku jenuh dengan kehidupan seperti ini. Perjodohan dan mengikuti aturan keluarga soal pendamping hidup.""Aku juga jenuh hidup penuh aturan mama. Dipaksa bercampur dengan kaum sosialita yang hanya mementingkan penampilan dan gaya hidup kelas atas. Beberapa bulan yang lalu aku memang menikmatinya. Bahagia selalu jadi pusat perhatian dan tatap kagum perempuan-perempuan yang menjadi pelayan restoran tempat kami mengadakan ketemuan. Atau di spa tempat kami memanjakan diri. Capek berjalan sambil membusungkan dada untuk menunjukkan strata sosial kami. Aku ingin merubah diri dan hidup sederhana. Sebab segala kek
Author's POVHendriko dan Miranda tersenyum pada dua wanita di hadapannya. Antara Miranda dengan Hera pun sudah lama tidak bertemu. Terakhir ketemuan waktu di pernikahan Miranda. Kasus pemukulan yang dilakukan oleh Hendriko pada Rusdi waktu itu membuat hubungan mereka makin renggang. Terlebih setelah Pak Bagas dan Bu Evi bercerai. Mereka seolah tak mau tahu antara satu dengan yang lain."Apa kabar, Mbak?" tanya Miranda pada istri sepupu jauhnya."Alhamdulillah, sehat," jawab Hera sambil tersenyum canggung.Hendriko mendekati sang kakak yang berdiri di pembatas koridor mall. Membiarkan ketiga perempuan duduk di bangku sambil berbincang dan mengawasi anak-anak. Andrean menawari untuk duduk dan ngobrol di kafe. Tapi karena sudah pada makan akhirnya mereka menolak."Mbak Hera, sekarang tinggal di mana?" tanya Miranda. Ia pun sudah mendengar kepergian Hera dari rumah Rusdi beberapa bulan yang lalu. Bertepatan dengan kisruhnya rumah tangga papa dan mamanya."Aku kos di dekat tempat kerjaku.
Author's POV"PAPA!" teriak Sisi sambil berlari dari arah pintu kamar perawatan yang di buka oleh Hera, lantas menubruk Rusdi yang duduk di kursi sebelah brankar Putra. Tangan kanan Rusdi terentang untuk menyambut pelukan putrinya. Sementara tangan kirinya masih di gendong karena terbalut gips.Bocah perempuan itu menciumi pipi Rusdi untuk melepaskan rindunya pada sang papa. Netra lelaki itu berkaca-kaca. Dipeluknya erat tubuh kecil Sisi. Mata bocah itu menatap tangan kiri papanya. "Kenapa tangan, Papa?""Sakit, Sayang.""Sakit apa? Kenapa putih-putih begini.""Papa jatuh."Sisi memandang Rusdi. Lalu mengalungkan lengannya pada leher sang papa.Sementara Hera memeluk Putra sambil mencium kening anaknya. Air mata sudah tidak bisa ditahannya lagi. Beberapa bulan tidak bertemu, bocah umur delapan tahun itu tidak mau melepaskan pelukan mamanya. "Jangan pergi lagi, Ma," ucap Putra di antara isaknya.Hera tidak bisa menjawab selain mengusap rambut anak lelakinya. Sungguh itu menjadi momen
Author's POVPagi yang dingin. Kabut tipis melayang-layang menyelimuti dedaunan dan meninggalkan bercak embun di sana. Mentari juga belum beranjak naik. Semburat kekuningan menyembul dari balik perbukitan.Roy keluar kamar dan menghampiri ibunya di dapur yang sedang membuat sarapan. "Kamu mau berangkat sepagi ini? Nggak sarapan dulu?" tanya Bu Wanti pada putranya yang terlihat segar dengan kaos warna biru dan celana jeans."Nggak usah, Bu," jawab Roy sambil memakai jaketnya."Minum dulu tehnya." Bu Wanti menunjuk tiga gelas teh dan segelas kopi yang berada di atas meja.Roy duduk di kursi meja makan. Mengambil segelas teh dan menyesap sedikit karena masih lumayan panas."Bapak kenapa pagi-pagi sekali ke sawah, Bu?""Mau ngasih pupuk tanaman jagung. Siang nanti giliran dapat aliran air dari kali, makanya pagi-pagi bapakmu ke sawah. Terus kenapa kamu berangkat sepagi ini?""Banyak kerjaan, Bu." Roy tidak menceritakan kalau dia ada janji ketemuan dengan Nency. Jika diberitahu sang ibu p
Author's POVSetelah Pak Darmawan tidur pulas, Andrean bicara pada sang adik. "Papa sudah tidur. Kamu tinggal saja, biar aku yang jaga."Dengan langkah gontai Hendriko keluar kamar papanya. Meninggalkan Andrean di kamar itu. Semenjak papanya jatuh sakit, Hendriko menyarankan sang papa supaya tidur di kamar lain. Biar Mama dan papanya sama-sama bisa istirahat. Hendriko melangkah gontai ke kamar sebelahnya lagi. Dia mengajak Miranda pindah ke kamar bawah agar mudah memantau kedua orang tuanya yang tengah sakit. "Mama sudah tidur?" tanya Miranda yang mengaplikasikan cream malam pada wajahnya di depan cermin kecil yang ada di depannya. "Sudah." "Papa juga sudah tidur?" "Ya. Ada Mas Andrean di sana," jawab Hendriko terlihat sangat lelah. Pria itu asal berbaring saja di ranjang. Bagaimana tidak lelah. Setelah pulang dari kantor, dia akan mengurusi Pak Darmawan dan Bu Salwa yang tengah terbaring sakit. Papanya masih bisa bangun dan ke kamar mandi sendiri. Sedangkan mamanya tergantung pa
Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan
Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan
Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku
Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny
Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi
Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah
Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen
Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su