"AAAAAAAAAAAAA!" teriak seorang gadis yang tengah berbaring langsung mendudukkan dirinya. Dengan jam weker ditangannya.
Pukul 07.55. Berarti dia terlambat. Pake banget malah!
Dengan cekatan gadis itu berlari kearah kamar mandi, melakukan ritual mandinya dengan tergesa-gesa. Tidak apa-apa telat, yang penting harus! Prinsipnya.
Jessie yang mendengar teriakan anak gadisnya terperanjat kaget. Masalahnya, ngapain dia teriak-teriak di pagi buta seperti ini, dan posisinya sedang memotong sayuran yang akan di masaknya. Untung saja tidak mengenai tangan, kan.
"Ya Allah, kenapa lagi sih," gumam Jessie.
Jessie dengan langkah tergesa, menaiki anak tangga dengan hati-hati. Ketika sampai didepan pintu kamar putrinya, Jessie mengetuknya. Tetapi tidak ada sahutan, langsung saja Jessie membukanya.
Dan, yah tidak dikunci.
Jessie mengedarkan pandangannya, tidak menemukan keberadaan putrinya. Dia melihat ke arah kasur, sangat berantakan. Bantal ada di lantai, selimut yang terjuntai ke lantai. Jessie menggeleng kan kepala, ada-ada saja kelakuan putrinya ini.
Suara decitan pintu kamar mandi terbuka, menampakkan gadis itu dengan seragam yang melekat ditubuhnya dan handuk yang sedang digosok-gosokkan ke kepalanya. Ralat, rambutnya.
"Astagfirullah Mama, nggak ngetok dulu sih. Ngagetin aja," ujar gadis itu sambil memegang dadanya pertanda dia terkejut.
Jessie berjalan mendekati putrinya. "Lagian kamu, teriak-teriak kaya dihutan aja tau nggak! Mama lagi potong sayuran, untung aja gak kena tangan Mama," omelnya.
"Aduh, Mama! Nay tuh telat, bisa nggak ngomelnya nanti dulu?" jawab Naya.
Mata Jessie membulat sempurna. Dia melihat ke arah jendela. Masih tertutup oleh gordeng, lalu tatapannya mengalih ke jam weker putrinya. "Heh! Telat dari Hongkong! Buka tuh gordeng, terus cek ponsel kamu," titahnya.
Dengan sedikit berlari Naya membuka gordeng dengan kasar. Masih gelap. Lalu ke ponselnya. Begitu menyala, mata Naya membulat sempurna.
05.15, masih subuh.
Naya menepuk jidatnya. Dia lupa jika jamnya sudah rusak dan dengan bodohnya dia masih menyimpannya di nakas.
"Eh ... heheh Nay lupa Ma," ujar Naya cengengesan, dan tak lupa ia menggaruk kepala yang tak gatal.
"Hadeuh! Sholat dulu kamu," titah Jessie dan langsung melenggang dari kamar Naya.
Jessie pun terkadang heran, sikap sama sifat Naya itu sama persis dengan suaminya. Sedangkan sifat dan sikap Jessie menurun kepada Kevan, kembaran Naya.
***
"GAVIN! BANGUN!" pekik sang Ibu yang sedang membangunkan anak semata wayangnya, terlalu kebo!
Cowok itu mengucek matanya, dengan perlahan membuka matanya. Hal yang pertama dia lihat adalah sang Mama yang sedang berkacak pinggang dengan wajah yang sangat gemas. Eh ralat, dia sedang marah.
"Berisik Ma, Gavin juga ini mau bangun," ujarnya. Kemudian cowok itu berjalan berniat ingin ke kamar mandi. Tetapi belakang kaos bajunya di tarik oleh Renata—sang Mama. Dan hal itu membuat Gavin membalikkan tubuhnya kearah Renata
"Mau bangun mau bangun! Kalo nggak di bangunin mana mau kamu bangun hah?! Besok kalo kamu masih susah dibangunin, Mama potong uang jajan kamu!"
Setelah puas menasehati dan mengancam sang putra, Renata keluar dari kamar Gavin.
Brakk!
Renata membanting pintu dengan keras, membuat Gavin terperanjat kaget, dikarenakan nyawanya belum terkumpul semua.
"Astagfirullah, punya nyokap gini amat yak?" gumam Gavin sembari mengelus dadanya. Kaget.
***
Mobil lamborghini putih memasuki gerbang yang bertuliskan PRAMODYA HIGH SCHOOL. Atau lebih sering disebut PRAHIGH SCHOOL.
Well, kenapa nama sekolah nya Pramodya? Ya, sekolah ini milik keluarga Pramodya. Yaitu Devano Pramodya dan sang istri Jessie Pramodya. Dikaruniai anak kembar yaitu Kevandra Azzie Pramodya yang lebih akrab dipanggil Kevan dan Kanaya Ezzie Pramodya yang lebih akrab dipanggil Naya.
Dan disekolah ini tidak ada yang tahu menahu bahwa Kevan dan Naya ini anak dari pemilik yayasan. Ya, atas perintah keduanya. Hanya sahabat-sahabat terdekat mereka saja yang tahu.
Mobil itu berisikan Kevan dan Naya. Kevan keluar dengan kacamata hitam bertengger manis dihidung bangirnya. Kemudian disusul oleh Naya, dengan wajah datarnya dia keluar dari mobil.
"VAN!" teriak seorang cowok dibelakang Kevan dan Naya. Tanpa keduanya berbalik badan pun mereka sudah tahu siapa orangnya.
"Berisik Rel, liat tuh. Ulah lo jadi semuanya liat sini," ucap Kevan.
Dia Darrel. Darrel Anderson. Si petakilan, nggak tau tempat kalo teriak, contohnya saja sekarang, nggak tau situasi kalo nyablak. Tapi dia humoris. Soal wajah, dia setara dengan Kevan. Sama-sama tampan.
"Kagak tau aja si Udin lo Van, dia kan nggak tau malu." celetuk Gavin dengan terkekeh kecil.
Gavinno Leonard Pradipta. Si keras kepala, kalo dikasih tau suka nggak ngedengerin, udah kejadian baru tau rasa, dia sama humorisnya kaya Kevan dan Darrel, cuma dia nggak se-petakilan kaya Darrel.
Darrel mengumpat dalam hati, nama sebagus itu disebut Udin. Ya, walaupun Udin juga tidak terlalu buruk, tapi tetap saja!
"Lo semua berisik," ujar Naya dengan wajah datar, tangannya menyelipkan beberapa anak rambut yang jatuh menutupi pandangannya.
"Heh! Lo kalo mau hening di kuburan sana. Namanya juga sekolah, ya rame lah," sahut Darrel sewot.
Gavin menatap Naya, selalu aja dingin. Walaupun dia tahu jika sedang di rumah sikap Naya berbanding balik dengan di sekolah.
Bel tanda masuk sudah berbunyi. Semua orang berbondong-bondong memasuki kelas mereka masing-masing. Tetapi keempat remaja ini masih ada di area parkiran.
Kevan merangkul pundak Naya, mengajak adiknya menuju ke kelasnya. Namun, Naya malah menoleh cepat ke arah Kevan, mendorong tubuh Kevan agar tidak terlalu dekat dengannya.
"Nggak usah rangkul-rangkul, ih!" Tangan mungil Naya menepis tangan Kevan sehingga rangkulannya terlepas.
"Dih, malu-malu, di rumah aja sering minta dipel—"
Dengan cepat Naya membekap mulut Kevan, berjaga-jaga agar rahasianya tidak terbongkar.
"Dipeluk?" Gavin melanjutkan ucapan Kevan yang terhenti karena dibekap oleh Naya. "Mau dipeluk Nay? Ayo sini gue peluk." Kedua tangannya ia rentangkan, lalu mendekat ke arah Naya.
Sebelum Gavin mendekat, maka Naya menghindar, bersembunyi dibalik tubuh Kevan.
Namun dengan usil, Gavin malah berlari mengejar Naya yang berlari-lari ke kelasnya karena menghindari pelukan Gavin.
"WOY! GUE JUGA MAU DIPELUK!"
"VAN, AYO PELUKAN!"
"LAH KOK MALAH KABUR?!"
Suara tawa Gavin dan Kevan terdengar dikoridor, dengan Kevan yang dikejar oleh Darrel yang memintanya untuk dipeluk. Tentu saja membuat yang berada disana menatap keributan mereka, ada yang iri, ada yang mungkin terganggu karena gelak tawanya.
Ketika sampai dikelas, mereka berempat ngos-ngosan. Ya, jalan dari parkiran ke kelas mereka itu lumayan jauh. Ralat, bukan jalan, tapi mereka berlari karena peluk-memeluk itu.
"Cape banget anjir, haus." Gavin bersuara, kemudian ia mendudukkan dirinya disamping tempat duduk Naya.
"Ngapain duduk disini?!" ujar Naya saat sadar Gavin duduk disebelahnya.
"Nggak mau jauh-jauh dari kamu, lah."
***
any feedback to appreciate me, thanks for reading this❤️
Bel istirahat berbunyi lima menit yang lalu, para siswa/siswi pun mulai keluar masuk ke dalam kelas, berbeda dengan Naya. Dia sangat kesal pada hari ini. Teman sebangku juga sahabat sejak SMPnya tidak hadir, dikarenakan izin keluar kota bersama keluarganya.Gea Favella. Cewek cantik nan manis, kulit putih, rambut sebahunya terkesan makin imut. Sikap dia berbanding balik dengan Naya. Dia cerewet, Naya sebaliknya.Alhasil dia sebangku dengan Gavin. Kan ngeselin.Kevan mendekati meja yang diduduki Naya dan Gavin. "Kantin kuy lah, laper gue," ujarnya sembari mengelus perutnya bak orang hamil.Mereka berempat berjalan beriringan menuju kantin. Dengan posisi Naya di apit oleh Gavin dan Kevan, sedangkan Darrel disamping Kevan.Banyak pasang mata terarah kearah mereka. Jangan salah, ketiga cowok itu most wanted disini. Jadi, siapa yang tidak iri kepada Naya yang bisa berdekatan dengan pr
Sesuai dengan kesepakatan Naya, mereka berempat kerja kelompok dirumah sikembar. Tak lupa mengajak Gea yang kabarnya sudah pulang dari luar kota.Mereka kini berada di ruang televisi. Naya yang sedang berkutat dengan laptopnya, Gea yang membolak-balikkan buku Bahasa Indonesia-nya. Dan para cowok sedang berkutat dengan Handphonenya membuka google, mencari judul dan tema yang akan dikerjakan."Nay, ini bagus nih," ujar Gavin, lalu mendekat ke arah Naya."Judulnya?" jawab Naya sembari menoleh."Yang ini aja ya, tentang kesehatan. Disini juga ada contohnya, pengertian, aspek-aspeknya, cara menjaganya. Ini juga singkat. Tinggal direvisi lebih baik aja," jelas Gavin."Setuju nggak?" tanya Naya sembari menoleh ke arah Kevan, Gea dan Darrel yang tadinya sibuk langsung menoleh dan mengangguk paham."Boleh juga. Nay, lo yang ketik. Dan lo Vin, Ganti kata-kata yang kura
Kevan tuh tipe kakak yang penyayang. Namun, dia tidak menunjukkannya secara langsung. Walaupun sering tidak akur, tapi dia sangat sayang kepada adiknya."Lama banget sih, buru!" Naya terus mengomel sampai telinga Kevan pengang. Cerewet."Diem atau nggak gue anter," ancam Kevan. Namun, hanya bercanda. Cuma nada bicaranya saja seperti serius.Naya yang hendak ingin angkat bicara terurung karena tangan kekar milik Kevan membekap mulutnya. Dia ingin berteriak. Mengadu lebih tepatnya."Lo tuh ya, di sekolah aja so' cuek. Tapi di rumah cerewet dan manjanya minta ampun. Gue bilangin sikap lo ke si Gavin baru tau rasa lo," celotehnya."Lah? Hubungannya sama gue apa?" tanya Naya bingung. Bukannya teman-temannya sudah tahu perihal Naya yang bersikap manja jika dirumah?Bukannya juga hal itu wajar bagi adik perempuan yang lebih manja kepada kakak laki-lakinya?&n
Bel istirahat berbunyi lima belas menit yang lalu. Naya dan teman-temannya sedang berada di kantin dan melakukan makan siang mereka.Kelihatannya Naya masih marah atas kejadian semalam. Tapi, Gavin bisa apa? Sepertinya Naya sedang datang tamu."Nay, lo kenapa deh. Diem-diem bae," ucap Darrel."Lagi ngambek dia sama si Gavin," sahut Kevan.Gea menoleh ke arah Kevan. "Lah, emang kalian pacaran?" tanya Gea yang melirik ke arah Naya dan Gavin secara bergantian."Enggak lah," sergah Naya."Lah emang kudu orang pacaran aja yang ngambekkan?" sahut Darrel, yang sahabatan juga bisa saja toh marah-marahan, ya kan?Naya sedang badmood, dia tidak mau jika harus marah-marah gak jelas. Apalagi di kantin yang se-ramai ini. Bukan malu, hanya jaga attitude saja. Walau kenyataannya sekolah ini milik orang tuanya.Dia beranjak dan melen
Sudah dua minggu sejak kejadian waktu Gavin menemui Naya yang sedang datang bulan, mereka menjadi dekat. Banyak yang heran dan iri sekaligus.Seorang cowok kini tengah berbaring di kasur empuknya. Sedari tadi bibirnya terus terangkat keatas. Senang, bahagia. Semuanya dia rasakan.Renata-Mama Gavin. Membuka pintu kamar putranya. Dia tersenyum geli melihat tingkah anaknya, pasti lagi kasmaran!"Vin," panggilnya.Gavin diam."Vin."Masih diam."Gavin." Kali ini Renata berbicara sedikit berteriak."Astagfirullah Mama, ngagetin!" ucap Gavin sembari mengusap dadanya, terkejut. "Nggak ngetuk pintu dulu pula," lanjutnya."Mama tuh udah ngetuk beberapa kali Vin. Cuma kamunya aja yang budek!" cercanya."Amit-amit, Ma!" sarkas Gavin dengan mengusap perutnya beberapa kali.Renata mendengus. "Cepet turun. Papamu sudah menunggu di meja makan," titahnya lalu beranjak kaluar dari kamar Gavin."Iya."***
Dengan langkah malas, Naya membuka pintu utama, suara bel masuk ke pendengarannya, pembantu-pembantunya sedang sibuk di dapur. Jadi, dialah yang akan membukanya. Masih pagi siapa yang sudah bertamu? Ketika Naya memutar knop pintu dan membukanya. Oh! Dia Gavin! Masa iya Naya bertemu Gavin dengan fashion kaya gini? Lihatlah, dia memakai piyama unicorn dengan lengan panjang serta celana panjang. Lalu, rambut yang di ikat asal, terkesan acak-acakkan. Kan, nggak banget! "Ngapain?" tanyanya ketus. Apa tidak ada waktu yang pas untuk Gavin bertemu dengannya? Kenapa harus saat Naya berpakaian seperti ini. "Ketemu lo, lah. Masa iya Kevan." "Masih pagi juga," decaknya. "Nggak papa, lo cantik kok kalo lagi gini juga," kata Gavin yang sukses membuat pipi Naya bersemu. "Apaan sih." Naya memalingkan wajahnya ke arah lain, tak menatap wajah
"Sayang, sini dong," rengek seorang pemuda sembari merentangkan kedua tangannya meminta untuk dipeluk."Apasih kamu. Bangun, gak usah pake tidur lagi," kata gadisnya galak."Sayang. Bentar aja kok. Janji," rengeknya semakin menjadi.Gadis itu menghela nafas. "Gak ada Vin. Udahlah bangun.""Ayolah Nay, peluk doang." Gavin berucap sambil memajukan bibirnya, merajuk.Naya menghampiri Gavin yang sedang berada diranjang. Lalu duduk ditepi ranjang. Membuat senyum Gavin mengembang. Dengan cekatan Gavin beringsut untuk memeluk tubuh mungil Naya."Sesek Vin, jangan erat banget."Gavin cengengesan. "Hehe, maaf ya sayang," katanya. Lalu mencium pipi Naya.Naya menghindar lalu mendorong pelan kepala Gavin. "Bau ish. Mandi dulu sana," titahnya."Apasih?" tanyanya. Lalu menciumi wangi tubuhnya. "Masih wangi Nay
Naya memasuki kamar Kevan. Dengan kesal dia menghentak-hentakkan kakinya. "Van," rengeknya.Kevan menoleh, ia hanya bergumam untuk membalas ucapan Naya."Van, ih.""Apa Kanaya?" tanya nya yang mulai kesal."Gue gak bisa bersikap hangat sama semua orang," katanya jujur."APA?!" pekik Kevan. "Lo gak bisa bersikap hangat sama sahabat lo sendiri?" katanya tak percaya.Naya berdecak. Alay sekali. "Bukan gitu. Gue sama Gea udah kenal dari smp kan? Dia tuh udah ngerti banget sama sikap dan sifat gue. Sedangkan Darrel dan," Naya menggantungkan ucapannya. Dia malas menyebut nama itu. "Gavin. Baru kelas sepuluh. Gue gak bisa Van," rengeknya. Dengan mata yang sudah berkaca-kaca."KALO LO UDAH GINI! MANA BISA GUE NOLAK?!" Kevan berteriak gemas lalu memeluk tubuh Naya.Akhirnya, rencana Naya berhasil. Dia bukan memanfaatkan kelemahan Kevan. Tapi, dia juga tidak bisa menjadi apa yang Kevan mau.Naya memeluk Kevan erat. "Gue sayang lo,
Empat tahun kemudian ... Seorang pria tengah sibuk berkutik dengan laptopnya. Tangannya dengan lincah menekan huruf-huruf dikeyboard laptop. "Kakak!" teriak bocah berumur lima tahun lebih, bocah itu sedikit berlari menghampiri Kakaknya. Memeluknya dengan erat. "Kok nggak bilang-bilang mau ke sini, hm?" Dengan gemas Gavin menarik hidung mungil adiknya. "Kak Naya katanya kangen," ucap Giona sedikit terkekeh. "Aih, apaan, kamu sendiri ngerengek minta ke sini," sahut Naya yang sedang duduk dikursi khusus ruangan kerja Gavin. "Suka malu-malu Kak Naya ya, Gi?" Gavin sedikit bergurau, kemudian ia menghampiri Naya yang sedang memakan camilan yang gadis itu bawa. Hubungan keduanya berjalan dengan mulus selama tiga tahun, mereka berkuliah di kampus yang sama. Bahkan Kevan, Gea dan Darrel ju
Sudah setahun lamanya dari waktu Gavin mengungkapkan perasaannya kepada Naya, sudah selama itu juga mereka berpacaran. Awal hubungan memang banyak cobaannya, seperti mudah cemburu karena hal sepele, atau jarang mengabari satu sama lain. Tapi, mereka mencoba memahami kesibukkan satu sama lain, walaupun satu kampus tapi mereka tidak punya banyak waktu untuk berdua. Jika pun ada waktu untuk berdua, pasti teman-temannya ikut serta, tapi mereka tidak terlalu masalah juga. Toh mereka senang karena mereka dan teman-temannya masih bisa bermain walaupun tidak sebebas saat SMA. Saat ini Naya sedang berada dirumah Gavin, ingin bermain dengan Giona dan bertemu dengan pacarnya. Aneh, dulu Gavin adalah orang yang sangat ia hindari, tapi sekarang malah sering ia cari. Mendengar kata 'pacar' sebenarnya membuat Naya sedikit merinding, karena menurutnya asing sekali kata itu. Hari ini Naya tidak ada kelas, namun Gavin ada. Naya semp
—“Nyatanya, seseorang akan merasa lebih tenang dan nyaman ketika berada ditempat dimana dihargai dan diapresiasi.” *** "Lo, siapa?" Naya menjauhi ranjang Gavin, menatap Renata yang sedang duduk di sofa dengan penuh tanya. "Tante?!" Naya sedikit berteriak meminta penjelasan kepada orang tua Gavin. Kevan terkejut mendengar kembarannya berteriak, buru-buru ia menyusul dengan Gea dan Darrel mengekori. "Ada apa?" tanya Kevan sembari menatap sekitar. "Kok dia lupanya cuma sama gue doang?!" Kevan menyernyit tak mengerti. "Hah?" "Dia amnesia, kan?" Naya menunjuk Gavin. "Apa dah? Tadi dia—" "Dia nggak kenal sama gue!" Mata Naya berkaca-kaca, menatap Gavin dan Kevan bergantian. "Heh! Kok nang
—Aku akan menatap matamu dan mengatakan “Aku sangat merindukanmu.”— Hari pertama Ujian Nasional saja sudah membuat para siswa pusing, bagaimana selanjutnya? Entahlah, mereka hanya berdoa yang terbaik dan berharap agar soal-soal selanjutnya tidak terlalu sulit. Bel pulang sudah berbunyi, semua murid kelas dua belas mulai keluar dari kelasnya. "Gimana, bro? Baru hari pertama ini cuy," ujar Darrel. Mereka tak langsung pulang, karena mereka lapar, jadi lah mengunjungi kantin dahulu. "Gue, sih, biasa aja tuh," sahut Kevan. "Kalau gue agak susah, karena terlalu seneng ngajak main Gio. Malemnya pas mau belajar Gio suka nangis kenceng banget, jadi gak fokus gue. Bawaannya khawatir mulu," ujar Gavin lesu. "Iya deh yang udah jadi Abang," ejek Kevan. "Lo juga, bego!" tukas Gav
—“Dan merasa kosong adalah seburuk-buruknya perasaan.”— Cowok itu berjalan maju, balik kanan, maju lagi. Begitu seterusnya. "Bisa diem nggak, sih?! Pening mata gue liat lo mondar mandir mulu!" ujar Darrel. "Gue takut nyokap gue kenapa-napa!" balas Gavin kasar. Cowok itu kemudian duduk di samping Kevan. Mereka menunggu Renata yang sedang bersalin, Kevan, Gea dan Darrel ikut serta. Ternyata perkiraan dokter itu salah, Renata melahirkan jauh dari perkirannya. Makannya itu membuat Ardi dan Gavin kewalahan. Di dalam, Ardi menunggu Renata. Mereka di luar hanya bisa berdo'a agar Renata tidak kenapa-napa. Soal kepulangan Naya, diundurkan karena ada hal mendadak membuat gadis itu mendumel. Jadi, lah minggu depan ia pulang. Tapi, teman-temannya tidak tahu-menahu soal kepulangannya, biar surprise. "Padahal gue berharap N
—“Teruntuk rindu, bisakah kau diam? Dia sudah tak lagi ku genggam.”— Sebulan lagi ujian Nasional akan berlangsung, Gavin, Kevan, Gea dan Darrel sedang sibuk-sibuknya belajar agar mendapat nilai yang memuaskan. Ralat, minus Darrel. Cowok itu sibuk mengotak-atik ponselnya. Entah sedang apa, yang pasti ia sedang bergerutu pada ponselnya itu. "Apa lo nggak keberatan kalau nanti soal-soal ujian susah?" tanya Kevan. Darrel menoleh. "Tenang, lah. Nggak perlu serius-serius amat, jawab sebisa gue aja. Lagian, kalau belajar lama-lama, entar pas ujian berlangsung kalian gugup, otomatis itu pelajaran bakalan ngilang gitu aja kaya tetangga sebelah." Dagunya ia arahkan ke sampingnya, bermaksud menyindir Gavin. Gavin mendelik ke arah Darrel, ia tahu Darrel sedang menyindirnya. Tapi, tak usah hiraukan manusia itu. "Sebut nama kalau mau nyindir, cow
—“Kapan hari itu akan tiba? Hari dimana aku bertemu denganmu lagi.”— Semester satu telah usai, tinggal beberapa bulan lagi masa-masa putih abu-abu Gavin dengan teman-temannya akan berakhir. Ya, hanya masa putih abu-abunya saja yang telah usai, cerita tentang teman dan cintanya belum berakhir sampai disini, masih panjang dan masih rumit. Selama itu juga Gavin menunggu kepastian dari gadis yang ia cintai. Lelah memang menunggu tanpa kepastian, tapi ia tak ingin jadi lelaki pengecut. Ia harus memperjuangkan cintanya. Ia akan menerima konsekuensinya jika Naya sudah lupa dengannya. Tak apa, yang penting ia sudah berjuang sebisanya. Soal hasil yang akan ia dapatkan nanti, itu urusannya dengan Tuhan dan Naya sendiri. Ada kemajuan dari pesannya yang dikirim pada Naya. Gavin sedang bosan karena libur semester dua minggu, tangannya membuka aplikasi I*******m, melihat-lihat pesannya. Mata pemuda itu hampir melompat dari temp
—“Bahagia itu ketika hati, pikiran dan tindakan kita selaras.”— "Van, apa Naya udah lupain gue, ya?" Pertanyaan itu terus saja keluar dari mulut Gavin. Ia jadi ragu dengan perasaannya, suara seorang laki-laki yang bersama Naya waktu itu membuatnya sedikit marah dengan Naya. Kevan yang mendengarnya pun bosan karena pertanyaannya itu-itu saja. "Van, jawab dong." "Gini, Vin. Melupakan orang yang selalu ada buat kita, orang yang udah menyembuhkan kita dari luka sebelumnya, orang yang kembali melukai perasaannya, padahal luka sebelumnya belum sempat pulih itu gak mudah. Terutama Naya cewek, perasaan sama logika cewek itu kadang suka gak sinkron," jelas Kevan panjang lebar. "Disaat logika pengin ngelupain, tapi perasaan selalu mengekhianati logika. Alasannya simple, Karena masih sayang dan cinta," lanjutnya. "Gue udah bener-bener jelek ya, dimata Naya?" "Kan gue udah bilang, kalau emang orang itu cinta sama lo, sayang sama lo. Ma
—“Hati tahu mana yang patut untuk diperjuangkan dan mana yang patut ditinggalkan.”— Sebulan tanpa Naya bagai kan seabad bagi Gavin, ia belum sempat meminta maaf kepadanya dan menjelaskan semuanya. Setiap ingin pergi ke sekolah, rasanya hampa dan sepi. Apalagi sang Ibu yang terus marah-marah. "Ma, Gavin gak mau sekolah ah," rengeknya kepada sang Ibu, tangannya ia satukan, memohon agar Renata mengizinkannya. "Jangan macem-macem kamu!" "Ya habisnya tas sama sepatu Gavin gak baru! Jadi males, kan sekolahnya." "Itu masih bagus Gavinno!" "Yaudah, gak mau sekolah!" rajuk Gavin, kepalanya ia alihkan ke arah lain seakan malas menatap wajah Renata. "YAUDAH SANA, GAK SEKOLAH!" pekik Renata yang mulai kesal. Menghela nafas, lalu dibuang perlahan. Tangan kanannya sibuk mengelus-elus perutnya y