Kevan tuh tipe kakak yang penyayang. Namun, dia tidak menunjukkannya secara langsung. Walaupun sering tidak akur, tapi dia sangat sayang kepada adiknya.
"Lama banget sih, buru!" Naya terus mengomel sampai telinga Kevan pengang. Cerewet.
"Diem atau nggak gue anter," ancam Kevan. Namun, hanya bercanda. Cuma nada bicaranya saja seperti serius.
Naya yang hendak ingin angkat bicara terurung karena tangan kekar milik Kevan membekap mulutnya. Dia ingin berteriak. Mengadu lebih tepatnya.
"Lo tuh ya, di sekolah aja so' cuek. Tapi di rumah cerewet dan manjanya minta ampun. Gue bilangin sikap lo ke si Gavin baru tau rasa lo," celotehnya.
"Lah? Hubungannya sama gue apa?" tanya Naya bingung. Bukannya teman-temannya sudah tahu perihal Naya yang bersikap manja jika dirumah?
Bukannya juga hal itu wajar bagi adik perempuan yang lebih manja kepada kakak laki-lakinya?
"Dia kan suka sama lo," ujarnya.
"Ya emang kenapa sih? Biarin lah mau suka gue, mau benci gue, orang bukan urusan gue. Itu hak mereka, gue sebagai manusia ya cuma bisa menerima."
Daripada berdebat dengan perempuan yang selalu benar. Maka, Kevan lah yang mengalah. Emang ya, hakikatnya lelaki tuh selalu salah!
Dengan dibalut hoodie warna kuning terang dan celana jeans panjang, lalu rambut yang sengaja digerai, Naya terlihat cantik tanpa make-up. Kevan juga dengan hoodie warna putih dan celana jeans selutut, nampak seperti tukang ngamen, nggak sih?
"Van, lo punya pacar?" Naya bertanya ketika keheningan terjadi dimobil yang mereka kendarai.
Kevan menoleh. "Pacar mah nggak ada, kalo yang disuka ada," ujarnya.
"Siapa?" Naya memicingkan matanya, menyelidik.
"Kepo lo. Bocah mah kagak boleh tau," sombongnya.
Naya mencubit lengan Kevan, "Heh! Kita tuh beda lima menit doang. Gitu aja bangga!" sergah Naya.
Kevan meringis. "Harus dong, itu berati tua an gue. Lo masih bocah."
"Iya deh, gimana yang tua. Yang muda ngalah aja," ejek Naya.
"Eh, inget. Nggak setua itu kok," ralatnya.
Daripada mendengarkan ocehan Kevan, lebih baik Naya membuka HP nya saja. Siapa tau aja kan, ada notif.
Iya, notif banyak pun Naya tak peduli, apalagi itu dari Gavin.
***
"Ke supermarket deket rumah Kevan aja lah, mampir dulu bentar."
"Eh, tapi kalo udah pada tidur, gimana?"
"Ah bodo, baru jam delapan ini."
Gavin bermonolog, alasannya sih pengen ketemu Naya. Sudah cukup jelas, bukan?
Gavin memarkirkan mobilnya, lalu keluar dan berjalan menuju pintu supermarket.
Gavin mulai mengambil cemilan-cemilan yang dia suka. Terus beralih ke tempat minuman.
Kevan keluar dari mobilnya dan disusul oleh Naya.
"Yuk," ajak Naya sambil melingkarkan tangannya dilengan Kevan.
"Kaya orang pacaran aja kita, ya, Nay."
"Gak papa."
Naya dan Kevan sedang berada dibarisan makanan ringan, Naya mengambil sebanyak-banyaknya. Sedangkan Kevan ke barisan minuman.
Naya ingin meraih pembalut. Namun, terlalu tinggi untuk ukuran tubuh dia. Naya terus meloncat-loncat meraih pembalut itu.
"Tinggi banget sih," gerutunya.
"Lo nya aja yang pendek. Nih," ujar seorang cowok sembari menodongkan pembalut kearah Naya.
Naya mendongakkan kepalanya, begitu terangkat. Dia membelalak kaget, lalu tatapannya beralih ke tangan cowok itu. Dia semakin malu, pembalut itu ada ditangan cowok itu. Apalagi orangnya.
"Makasih," cetus Naya seraya mengambil barangnya.
"Lo kesini sama siapa? Udah malem loh ini," ujarnya.
"Sam—"
"Eh, Vin. Ngapain lo?" tanya Kevan yang tiba-tiba ada dibarisan kecantikkan.
"Ya belanja lah, masa iya mau berenang." Gavin terkekeh.
"Van, udah semua?" tanya Naya yang tidak memperdulikan keberadaan Gavin. Yah, yang mengambil barangnya itu dia.
"Udah nih," ujar Kevan sambil menyerahkan makanan dan minuman yang diambilnya kepada Naya.
"Eh, bareng aja bayarnya. Gue juga tadinya mau mampir ke rumah kalian." Gavin tersenyum lagi.
"Nggak," tolak Naya.
Gavin berdecak. "Cuma segini Nay."
"Bayar sendiri." sewotnya
Naya pergi dari hadapan mereka, menuju kasir.
"Galak banget," gumam Gavin.
"Emang dia galak kali Vin," jawab Kevan yang mendengar gumaman Gavin.
"Tapi, sekarang nambah. Lagi PMS kali ya?"
***
Keluarga Pramodya kini sedang melakukan sarapan paginya. Dengan Naya yang terus di goda oleh orangtuanya dan Kevan.
"Nay kenapa gak jujur aja sih," ujar Papanya sembari terkekeh.
Naya menoleh, "Jujur apa sih Pa? Kan Nay udah bilang, kalo Gavin tuh bukan pacar Nay." Masih kekeh membela diri sendiri, Naya berujar dengan ketus.
Ya memang itu kenyataannya, bukan?
Memang, semalam sesuai dengan ucapan Gavin, dia bertamu ke rumah Naya.
—Flashback on—
"Eh, nak Gavin. Malem banget main nya," sapa Papa Naya saat Gavin memasuki ruang tamu.
"Eh om, ini mau ketemu pacar, ngapel hehe," balas Gavin.
Mama Naya menoleh kearahnya. "Nay, kamu pacaran sama Gavin? Kok nggak bilang-bilang sama Mama Papa sih?"
Naya menatap Gavin tajam, seolah berkata 'awas lo!'
"Ma, Nay sama Gavin cuma Temen, nggak lebih."
"Ih, kamu mah suka malu-malu Nay." Mama Naya terkekeh sembari mencolek dagu Naya.
—Falshback off—
"Akuin Nay, kasian digantungin." Dengan mulut penuh nasi, Kevan masih bisa-bisanya menggoda adiknya itu.
"SERAH LAH SERAH!"
"Tapi Papa perhatiin, kalian cocok kok. Kan Ma, Van?" tanya Papanya. Meminta persetujuan dari istri dan anaknya.
Jessie mengangguk. "Iya, loh. Keliatannya Gavin juga baik, sepertinya humoris juga. Cocok buat kamu yang cuek kaya papamu."
Naya berdecak tidak setuju. "Baik apanya, ngeselin dia tuh, suka jailin Nay mulu."
"Ya itu biar dia dinotice sama kamu, Nay. Kalo dia diem aja mandang kamu dari jauh, nggak ada usaha dong?" ujar Devan menasihati. "Makannya dia selalu jahilin kamu, biar kamu terus merhatiin dia."
"Mau tau kenapa cowok suka banget bikin cewek kesel nggak?" Devan melanjutkan ucapannya dengan berbisik.
Naya mengangguk mantap, ia ingin bebas dari usilan Gavin.
Sebelum berbicara, Devan melirik Jessie sekejap. "Karena marahnya cewek itu mood banget buat cowok, apalagi kalau ceweknya cuek seperti kamu."
Pipi Naya mendadak memanas, gadis itu memalingkan wajahnya dari orangtuanya ke makanan yang ada dibawahnya. "Terus papa suka jahilin mama juga? Makannya kalian bisa nikah?" tanya Naya. Sebenarnya pertanyaan ini bukan yang ada dibenaknya, ini hanya pelarian saja agar orangtuanya lupa dari membahas soal Gavin.
Devan sedikit terkekeh sebelum menjawab. "Tidak, dulu malah mama kalian yang sering jahilin papa, ganggu terus. Akhirnya papa juga lelah, dan memang sudah memiliki perasaan sama mama kalian, jadi ya kita bersama."
Naya dan Kevan tertawa mendengarnya. Mamanya yang mengejar papanya? Sedikit lucu kisah mereka.
"Kenapa kamu nanya kaya gitu? Mau ada rencana nikah sama Gavin?"
What? Padahal Naya sudah berusaha agar topiknya tidak kembali ke arah sana. Tapi, mamanya mengembalikan topik itu.
"Tau ah. Nay mau berangkat dulu, assalamualaikum." Naya mencium punggung tangan keduanya. Lalu menarik tas Kevan kasar.
"Woy! Ntar gue jatuh gimana?" ujar Kevan kesal.
"Ck. Dasar siput." Naya memberenggut kesal.
"Nay, nggak boleh gitu," tegas Papanya.
Naya hanya mengangguk patuh. Daripada membalas ucapannya? Toh, dia juga pasti tidak bakalan menang.
***
any feedback to appreciate me, thanks for reading this❤️
Bel istirahat berbunyi lima belas menit yang lalu. Naya dan teman-temannya sedang berada di kantin dan melakukan makan siang mereka.Kelihatannya Naya masih marah atas kejadian semalam. Tapi, Gavin bisa apa? Sepertinya Naya sedang datang tamu."Nay, lo kenapa deh. Diem-diem bae," ucap Darrel."Lagi ngambek dia sama si Gavin," sahut Kevan.Gea menoleh ke arah Kevan. "Lah, emang kalian pacaran?" tanya Gea yang melirik ke arah Naya dan Gavin secara bergantian."Enggak lah," sergah Naya."Lah emang kudu orang pacaran aja yang ngambekkan?" sahut Darrel, yang sahabatan juga bisa saja toh marah-marahan, ya kan?Naya sedang badmood, dia tidak mau jika harus marah-marah gak jelas. Apalagi di kantin yang se-ramai ini. Bukan malu, hanya jaga attitude saja. Walau kenyataannya sekolah ini milik orang tuanya.Dia beranjak dan melen
Sudah dua minggu sejak kejadian waktu Gavin menemui Naya yang sedang datang bulan, mereka menjadi dekat. Banyak yang heran dan iri sekaligus.Seorang cowok kini tengah berbaring di kasur empuknya. Sedari tadi bibirnya terus terangkat keatas. Senang, bahagia. Semuanya dia rasakan.Renata-Mama Gavin. Membuka pintu kamar putranya. Dia tersenyum geli melihat tingkah anaknya, pasti lagi kasmaran!"Vin," panggilnya.Gavin diam."Vin."Masih diam."Gavin." Kali ini Renata berbicara sedikit berteriak."Astagfirullah Mama, ngagetin!" ucap Gavin sembari mengusap dadanya, terkejut. "Nggak ngetuk pintu dulu pula," lanjutnya."Mama tuh udah ngetuk beberapa kali Vin. Cuma kamunya aja yang budek!" cercanya."Amit-amit, Ma!" sarkas Gavin dengan mengusap perutnya beberapa kali.Renata mendengus. "Cepet turun. Papamu sudah menunggu di meja makan," titahnya lalu beranjak kaluar dari kamar Gavin."Iya."***
Dengan langkah malas, Naya membuka pintu utama, suara bel masuk ke pendengarannya, pembantu-pembantunya sedang sibuk di dapur. Jadi, dialah yang akan membukanya. Masih pagi siapa yang sudah bertamu? Ketika Naya memutar knop pintu dan membukanya. Oh! Dia Gavin! Masa iya Naya bertemu Gavin dengan fashion kaya gini? Lihatlah, dia memakai piyama unicorn dengan lengan panjang serta celana panjang. Lalu, rambut yang di ikat asal, terkesan acak-acakkan. Kan, nggak banget! "Ngapain?" tanyanya ketus. Apa tidak ada waktu yang pas untuk Gavin bertemu dengannya? Kenapa harus saat Naya berpakaian seperti ini. "Ketemu lo, lah. Masa iya Kevan." "Masih pagi juga," decaknya. "Nggak papa, lo cantik kok kalo lagi gini juga," kata Gavin yang sukses membuat pipi Naya bersemu. "Apaan sih." Naya memalingkan wajahnya ke arah lain, tak menatap wajah
"Sayang, sini dong," rengek seorang pemuda sembari merentangkan kedua tangannya meminta untuk dipeluk."Apasih kamu. Bangun, gak usah pake tidur lagi," kata gadisnya galak."Sayang. Bentar aja kok. Janji," rengeknya semakin menjadi.Gadis itu menghela nafas. "Gak ada Vin. Udahlah bangun.""Ayolah Nay, peluk doang." Gavin berucap sambil memajukan bibirnya, merajuk.Naya menghampiri Gavin yang sedang berada diranjang. Lalu duduk ditepi ranjang. Membuat senyum Gavin mengembang. Dengan cekatan Gavin beringsut untuk memeluk tubuh mungil Naya."Sesek Vin, jangan erat banget."Gavin cengengesan. "Hehe, maaf ya sayang," katanya. Lalu mencium pipi Naya.Naya menghindar lalu mendorong pelan kepala Gavin. "Bau ish. Mandi dulu sana," titahnya."Apasih?" tanyanya. Lalu menciumi wangi tubuhnya. "Masih wangi Nay
Naya memasuki kamar Kevan. Dengan kesal dia menghentak-hentakkan kakinya. "Van," rengeknya.Kevan menoleh, ia hanya bergumam untuk membalas ucapan Naya."Van, ih.""Apa Kanaya?" tanya nya yang mulai kesal."Gue gak bisa bersikap hangat sama semua orang," katanya jujur."APA?!" pekik Kevan. "Lo gak bisa bersikap hangat sama sahabat lo sendiri?" katanya tak percaya.Naya berdecak. Alay sekali. "Bukan gitu. Gue sama Gea udah kenal dari smp kan? Dia tuh udah ngerti banget sama sikap dan sifat gue. Sedangkan Darrel dan," Naya menggantungkan ucapannya. Dia malas menyebut nama itu. "Gavin. Baru kelas sepuluh. Gue gak bisa Van," rengeknya. Dengan mata yang sudah berkaca-kaca."KALO LO UDAH GINI! MANA BISA GUE NOLAK?!" Kevan berteriak gemas lalu memeluk tubuh Naya.Akhirnya, rencana Naya berhasil. Dia bukan memanfaatkan kelemahan Kevan. Tapi, dia juga tidak bisa menjadi apa yang Kevan mau.Naya memeluk Kevan erat. "Gue sayang lo,
"Berjuanglah jika orang itu patut untuk diperjuangkan." -Gavinno Leonard Pradipta.***Hari ini kepulangan Gavin. Dia sudah dibolehkan pulang karena memang lukanya sudah membaik. Kini Gavin sedang berada didalam mobilnya, yang dikendarai oleh Papanya dan Mamanya berada disampingnya. Jadilah dia sendiri dibelakang.Gavin menghela nafas beratnya. Sudah lima hari ia tidak sekolah. Dan esok, ia kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa. Ini lah, akibat keras kepala. Tapi, tak apa. Yang penting Naya sudah mulai peduli dengannya.Deringan ponsel Gavin mengusik ketiganya. Gavin melirik nama yang menghubunginya 'Es balok<3'. Itu nama Naya yang telah ia ubah pada saat mereka berdebat menyebut 'Es' dan 'Batu'.Tidak ingin Naya menunggu, Gavin langsung menggeser tombol hijaunya. Lalu mendekatkan ponselnya ketelinganya. Agar orangtuanya tidak mendengarkan.
Cowok itu masih bergelung dengan selimutnya. Seakan enggan untuk meninggalkan kasur ternyamannya. Dia adalah Gavin. Tukang molor. Eh, ralat. Susah dibangunin. Eh, sama saja ya? Gavin mengucek matanya, sinar matahari menembus pada kedua iris mata cokelatnya. Tak ingin berlama-lama, karena dia tahu konsekuensinya. Dia mengacir kekamar mandi untuk melakukan ritual paginya. Kemudian cowok itu bersiap - siap. Baju rapih ceklist✅ Dasi plus sabuk ceklist✅ Rambut acak - acakkan tapi tetep tampan ceklist✅ Naya membalas perasaannya ... "Belum anjer!" serunya ketika ia bergumam. "Eh, kalo belum berati masih bisa berjuang dong, yakan?" tanya nya pada dirinya sendiri. "Ah iya dong!" Gavin kembali berseru. Menatap sebentar kearah cermin, kemudian mengedipkan sebelah mata
Naya memasuki rumahnya dengan langkah gontai. Setelah ditaman tadi, Naya meminta Gavin untuk ke Cafe terdekat terlebih dulu. Karena sudah hampir tiga jam mereka berada ditaman itu, cacing-cacing didalam perut Naya sudah demo meminta diisi. Gadis itu tidak mempedulikan tatapan khawatir Kevan dari ruang tamu. Naya mencium punggung tangan Jessie dan Devan. "Dari mana Nay?" tanya Devan. "Taman." "Dengan?" "Gavin." "Udah mulai ekhem - ekhem nih ya," goda Jessie. Membuat Naya memutar bola matanya jengah. "Enggak ma," elak Naya. "Iya juga nggak papa," sahut Devan. Membuat Naya ingin mengumpat saja. "Kamu kok nggak bareng sama Kev—" "Nay cape, mau istirahat." Naya memotong ucapan Devan dengan cepat. Dia hanya ingin merebahkan tubuhnya yang lelah ini.